Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

41 - Kalau Hamil Gimana, Mas?


Saat membuka mata, langit memperlihatkan perubahan warna dari jendela kamar. Melisa tidak segera bangun. Ia menoleh ke kanan-kiri hingga ia menemukan sosok suaminya sedang meletakkan mangkuk di atas nakas.

Begitu mata terbuka sempurna, visual suaminya tampak jelas. Melihat seragam pilotnya masih melekat di tubuh Candra membuat Melisa bertanya, "Mas nggak mandi semalam?"

Candra memiringkan kepalanya, lalu menunduk untuk mengecup singkat kening istrinya. "Mandi."

Jawaban itu jujur, kok. Karena barusan Melisa sempat mencium wangi sabun di tubuh suaminya. Lho, kalau pakai seragam, artinya ....

"Mas mau terbang lagi, ya?"

"Iya."

"Ke mana?"

"Sidney."

"Hah?" Seketika Melisa terduduk. Namun, setelah itu, ia merasakan kepalanya cenat-cenut tak karuan dan spontan mengaduh.

"Kalau bangun yang pelan-pelan, Sayang," tegur Candra seraya mengelus kepala istrinya.

"Berarti Mas nginep, dong?"

"Iya. Cuma tiga hari, tapi setelah itu aku libur panjang."

Melisa mencebik. Tiga hari, kok, cuma? Tidakkah Candra tahu selama tiga hari itu istrinya tersiksa lahir dan batin? Apalagi satu rumah dengan mertua yang super ajaib, dengan kondisi sakit pula. Gini amat nasibmu, Mel.

"Sekarang kamu makan dulu. Aku udah seduh oatmeal buat kamu. Aku suapin." Candra mengangkat mangkuk yang rupanya berisi oatmeal. Mulai mengaduk makanan itu, meniupnya sebentar, baru menyodorkannya ke mulut Melisa. Namun, perempuan itu memalingkan wajahnya.

"Masih kenyang."

"Masih kenyang gimana? Kamu nggak makan semalam. Makan, ya. Tiga puluh menit lagi aku berangkat, lho."

Dengan terpaksa Melisa menerima suapan itu. Kalau tidak, Candra pasti akan terus memaksanya sarapan. "Pake susu, ya, Mas?"

"Iya. Biar kamu ada tenaga."

Ah, sebenarnya Melisa tidak begitu suka. Namun, karena ini Candra yang membuat, tidak apa-apa. Suaminya sudah menyempatkan waktu untuk membuatkan sarapan di sela-sela persiapannya menuju bandara.

"Mas, kemarin ada dia nggak?" Melisa mengulang pertanyaannya di chat kemarin. Setelah tanya begitu, kan, Melisa sama sekali belum pegang ponsel. Setiap kali menatap layar, kepalanya serasa seperti naik komidi putar.

"Nggak ada."

"Berarti sekarang ada, dong?" tanya Melisa sebelum menerima suapan kedua.

"Nggak tau juga. Aku belum lihat list-nya."

Boleh tidak kalau Melisa berharap perempuan itu menghilang saja? Andai saja ada detergen yang mampu memusnahkan noda di pernikahan, Melisa akan beli selusin.

"Penerbangan kemarin gimana?" Gara-gara sakit dan semalam sudah tidur, Melisa jadi melewatkan bagian ini. Pun seharian itu ia tidak mengecek flight radar.

"Lancar meski aku lagi kepikiran kamu yang sakit."

Kernyitan muncul di kening Melisa. Perasaan dirinya tidak bilang kalau sedang sakit. "Emang Mas tahu dari mana aku sakit?"

"Dari Ibu. Setelah telepon ke kamu nggak diangkat-angkat, aku telepon Ibu."

Melisa menerima suapan lagi. Kali ini yang terakhir. Candra meletakkan mangkuk yang sudah kosong ke nakas, lalu meraih gelas berisi air putih dan sebutir obat.

"Kamu beneran nggak mau ke dokter?" tanya Candra.

Melisa menggeleng meski tangannya menerima gelas dan obat itu, sedangkan Candra beranjak mengambil dasi.

Melisa ingin meminum obat itu, tetapi urung karena teringat sesuatu. "Kalau ternyata aku hamil gimana, Mas?"

Ucapan itu sontak menghentikan pergerakan Candra. Lagi-lagi, Melisa menyinggung bagian itu. "Gimana bisa, kan, kamu KB?"

"Lho, KB itu 99% mencegah kehamilan, satu persennya gagal. Bisa jadi aku ada di antara satu persen itu. Sama kayak mamaku dulu. Aku ini lahir karena KB yang gagal."

Candra geleng-geleng dengan pemikiran ajaib sang istri. "Bulan lalu kita udah cek posisinya nggak geser, terus baru aja kamu selesai haid dan kita baru berhubungan kemarin, gimana ceritanya kamu bisa hamil, Sayang? Masa subur kamu aja belum mulai."

Berkat keinginan menggebu ini, Melisa jadi lupa punya suami cerdas. Mana bisa dibodohi pakai teori-teori ajaibnya? Malah justru Melisa kelihatan bodoh sekarang.

Oh, mungkin saatnya Melisa melancarkan rencananya. Mumpung mood oke dan Candra masih di rumah.

"Mas, beneran aku nggak boleh hamil?" Pancingan pertama.

"Kita udah sering bahas ini dan jawabanku masih sama, Mel."

Kini Melisa meletakkan gelas dan obat itu di nakas. Mulai menggeser tubuhnya mendekati Candra yang sedang memasang dasi.

"Ibu mau punya cucu, tuh. Makanya Ibu sampai bela-belain jodohin Mas sama pramugari itu. Kan, di sini ada aku yang punya rahim sehat dan sempurna, kenapa nggak dicoba aja?" Pancingan kedua.

"Kalau hanya gara-gara itu alasannya, sama aja kamu mengorbankan anak itu demi memuaskan nafsu Ibu. Kamu mau punya anak atas keinginan kamu atau karena orang lain?"

Melisa tergagap. Kan, sudah dibilangin suaminya ini tidak bisa dibodohi, ya masih saja bertindak bodoh. Melisa jadi geregetan sendiri.

"Mas nggak mau lihat aku hamil? Kata orang, perempuan yang lagi hamil itu kecantikannya makin bertambah, Mas. Boleh, ya, lepas IUD?" Pancingan ketiga. Melisa tidak akan menyerah sampai titik darah penghabisan.

"Kamu yang sekarang aja cantik. Aku nggak mau siksa kamu dengan merasakan fase kehamilan."

Sebentar, Melisa mulai menangkap sinyal-sinyal bucin di kepala suaminya. Senang, sih, artinya Candra mengerti kalau hamil itu susah. Namun, kan, Melisa mau dan siap. Dikasih kesempatan sekali saja ia sangat bersyukur, lho.

"Tapi, Mas, kita nggak akan tahu hasilnya kalau nggak dicoba. Anak itu rejeki nggak bisa diatur sesuka hati, Mas. Kalau misalnya kita ditakdirkan punya anak, ya masa mau bilang jangan. Kasihan sama pasangan yang mau punya anak tapi susah. KB yang aku pakai sekarang ini nggak menjamin aku tidak akan punya anak. Contohnya kayak mama yang KB-nya gagal terus lahir aku."

Melisa mengambil jeda. Semoga saja perkataan barusan cukup menggugah hati suaminya. Mau memberikan kesempatan sekali padanya. Banyak ketakutan yang menggelayuti bahu Candra dan Melisa akan berusaha untuk menghilangkan ketakutan itu. Melisa yakin sebenarnya dari dalam hati, Candra ingin punya anak. Terbukti kala di Semarang suaminya sangat memperhatikan Tiara.

"Aku tetap nggak mau, Mel. Udah, ya, jangan dibahas lagi."

Telak. Final. Candra masih kukuh pada prinsipnya. Menorehkan kekecewaan yang kesekian kalinya di hati Melisa. Perempuan itu menghibur diri, masih untung Candra tidak berniat melakukan vasektomi, kan. Setidaknya masih ada harapan, entah kapan.

Akhirnya Melisa menenggak obat sakit kepala yang sudah disiapkan Candra. Sekaligus menjernihkan pikirannya dengan air putih.

"Aku berangkat, ya. Kamu nggak usah antar sampai depan."

Hanya anggukan kecil yang Melisa berikan. Tidak lupa dengan adegan cium tangan sebelum pergi. Akan tetapi, Melisa tidak mengeluarkan suara.

"Aku berangkat sekarang." Candra sampai harus mengulang akibat aksi diam istrinya itu. Untuk mencairkannya lagi, Candra memeluk tubuh perempuan itu, mengecup dari dahi sampai bibir.

Ya, kalau begini, siapa yang tidak luluh?

"Minta uang." Melisa menengadah tangan, memasang wajah memelas. Melihat tingkah istrinya, Candra tertawa kecil.

"Mau buat apa?"

Melisa mendelik. "Sejak kapan aku minta uang ditanyain buat apa?"

"Sejak kapan juga kamu frontal minta uang?"

"Ish!" Bibir perempuan itu mengerucut. "Aku mau beli Lamborghini."

"Buat apa? Garasi rumah ini nggak muat kalau nambah satu mobil lagi."

"Kan, nanti punya rumah baru."

"Emang udah ketemu?"

Melisa menggaruk dahinya. "Belum, sih."

"Beli rumah dulu, baru beli mobil. Tapi, buat apa juga kamu beli mobil mahal? Kamu, kan, nggak bisa nyetir. Nanti mobilnya bisa rusak kalau kamu yang bawa."

"Iya juga." Melisa makin nelangsa. Membujuk punya anak susah, minta uang buat beli mobil nggak lolos juga.


12 Oktober 2022

•••

Gagal maning, tapi apakah Melisa kehilangan akal? Oh, tentu tidak.

Tebak-tebakan kuy, habis ini Melisa bakal ngapain?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro