40 - Maunya Dipeluk
Candra merasa beruntung karena di penerbangan kali ini tidak ada Syakira. Setidaknya tidak ada ulah dari perempuan itu. Penerbangan hari ini cukup lancar. Cuaca bagus, kabin penuh, saat lepas landas dan mendarat tidak ada kendala.
Sebelum melanjutkan perjalanan selanjutnya, Candra menyempatkan diri untuk mengecek ponsel. Sejak tadi pagi, Melisa belum juga membalas pesannya. Padahal biasanya perempuan itu paling cepat kalau sedang berjauhan begini. Pukul setengah dua siang, bukannya Melisa sedang istirahat?
"Capt, mau izin taxi sekarang?"
Suara seorang First Officer menyadarkan Candra yang sekarang sudah duduk di jumpseat. Candra lantas melihat angka pada arloji, masih tersisa tiga belas menit dari jadwal semestinya.
"Saya minta waktu lima menit untuk telepon orang rumah. Ada hal penting," kata Candra.
"Oh, iya, Capt. Saya juga sepertinya mau ke toilet dulu."
Sabuk pengaman dilepas, Candra bangkit, lalu keluar dari ruang kokpit. Ponsel sudah ditempelkan ke telinga, sudah terhubung dengan nomor Melisa. Namun, tidak ada jawaban. Candra mencoba sekali lagi, tapi sama saja.
Berpacu dengan waktu, akhirnya Candra memilih menghubungi ibunya. Barangkali Melisa sudah di rumah.
"Bu, Melisa masih di kantornya atau udah pulang?"
"Melisa di kamar."
Candra kembali mengecek jam tangannya. Masih siang, kenapa Melisa di kamar? "Melisa nggak apa-apa, kan, Bu?"
"Badannya anget. Tadi ibu sudah suruh dia makan sama minum obat."
Mendengar itu, Candra teringat semalam Melisa mengeluh sakit kepala dan mengaku sudah sembuh setelah melakukan itu. Harusnya semalam ia menyuruh Melisa istirahat saja kalau berakhir seperti ini.
"Ya udah, Bu, tolong jagain Melisa sampai aku pulang."
"Di sana ada Syakira nggak?"
Sayang sekali, Candra memilih memutuskan sambungan telepon daripada membalas pertanyaan ibunya. Bukan tidak mau, melainkan karena waktunya lima menit sebentar lagi habis.
Setelah duduk di ruang kokpit, Candra menenangkan diri. Masih ada dua kali penerbangan sebelum pulang. Akan menjadi kacau kalau terus memikirkan keadaan Melisa di rumah. Nyawa 159 penumpang berada di pundaknya.
Izin taxi diberikan. Sang First Officer mengemudikan pesawat menuju runway, sementara Candra yang berkomunikasi dengan Air Traffic Control atau ATC. Pesawat kini berada di landasan yang sudah ditetapkan. Kemudian, Candra menyapa penumpang dengan memperkenalkan diri, memperkenalkan kopilot, serta kepala kru kabin. Selanjutnya menjelaskan ke mana pesawat akan pergi, waktu perjalanan yang ditempuh dan pukul berapa akan tiba, juga suhu dan cuaca di luar pesawat. Setelah melakukan percakapan dengan penumpang, sang pilot memberi aba-aba kepada kru kabin untuk mengecek seluruh pintu karena sebentar lagi pesawat akan lepas landas.
"Doors are armed and cross-check complete," kata salah satu awak kabin. Berikutnya, pesawat mulai melaju kencang dan perlahan naik setelah diberikan izin terbang oleh ATC.
Pesawat berada di ketinggian 10.000 kaki. Visual di bawah masih terlihat atap-atap rumah dan jalan. Candra meminta izin menambah ketinggian dan diizinkan. Kini, burung besi itu naik perlahan hingga sampai di ketinggian 20.000 kaki. Komunikasi antara pilot dan ATC terus berlanjut sampai posisi pesawat benar-benar aman di atas awan.
Candra memperbaiki posisi duduknya sembari memandang langit dari jendela di depan. Tangannya memutar cincin di jari manis. Pikirannya kembali tertuju pada Melisa yang sakit. Jelas sekarang dirinya tidak bisa bertelepon karena sedang di udara. Memang bukan kali pertama meninggalkan istrinya dalam keadaan seperti itu, tetapi rasanya masih sama. Khawatir itu ada, tapi terhalang oleh kewajiban.
Betapa beruntungnya seorang suami yang bekerja di kantor. Begitu istrinya dikabarkan sakit, mereka bisa langsung datang, bisa langsung membawa istrinya ke dokter, yang paling menyenangkan bisa mendampingi sampai sembuh. Berbeda dengan Candra. Ia hanya punya kesempatan malam ini. Besok pagi dirinya sudah harus terbang lagi. Rute internasional, sudah pasti akan menginap.
Perjalanan sangat lancar dan kini pesawat telah mendarat di tempat tujuan. Masih ada waktu satu jam untuk menunggu penerbangan selanjutnya. Candra memilih kembali menghubungi orang rumah. Kali ini Mbak Lala.
"Melisa gimana, Mbak?"
"Tadi siang sudah minum obat, Mas. Tidur juga."
"Nggak dibawa ke dokter?"
"Mbak Mel nggak mau, Mas. Sama Ibu juga udah disuruh, tapi orangnya yang nggak mau. Sempet ribut juga mereka, sama-sama nggak mau ngalah. Untung cuma sebentar, Mas. Kalo lama, kan, saya bingung gimana cara nengahinnya."
Candra memijat pelipisnya. Kadang dia merasa tidak enak pada sang asisten rumah tangga. Mbak Lala harus melihat dan mendengar keributan setiap hari. "Sekarang Mbak Lala masih di rumah atau udah pulang?"
"Saya udah pulang, Mas."
"Ya udah, kalau begitu terima kasih, Mbak."
Telepon terputus. Candra belum bisa tenang kalau belum melihat keadaan Melisa langsung. Namun, ia harus sabar menunggu penerbangan terakhir. Laki-laki itu memutuskan untuk mengisi perutnya dengan roti dan kopi. Biasanya kalau sedang jeda begini, Melisa akan menghubunginya melalui video call. Akan tetapi, sejak tadi siang nomor istrinya belum aktif.
Perjalanan dari Surabaya ke Yogyakarta cukup lancar. Setelah menonaktifkan pesawat dan mencatat di dokumen pesawat, Candra keluar dari ruang kokpit dengan mendorong koper pilot miliknya. Meski rute perjalanan dekat, benda ini harus dibawa karena memuat lisensi, sertifikat kesehatan, logbook, dan perlengkapan lainnya.
Candra berpisah dengan para kru kabin yang menemaninya bertugas hari ini. Kemudian, memasukkan navbag ke bagasi mobil yang akan mengantarkannya pulang. Langit sudah gelap karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam.
Satu jam kemudian, Candra tiba di rumah. Ia turun dan sang sopir mengeluarkan koper dari bagasi. Setelah mengucapkan terima kasih, mobil jemputan itu kembali ke bandara. Candra menyeret kopernya masuk. Lampu-lampu masih menyala, artinya Sarina belum tidur.
"Sudah pulang?"
Sarina muncul dari arah dapur. Candra mencium tangan ibunya.
"Tadi kamu satu penerbangan sama Syakira tidak?"
Syakira lagi. "Nggak, Bu. Dia kena rolling," jawabnya jujur. Jangankan awak kabin, yang mendampinginya di ruang kokpit tadi juga bukan Martin. "Melisa nggak keluar kamar, Bu?"
Mendengar pertanyaan anaknya, Sarina mengembuskan napas. "Anak itu susah diatur. Sudah ibu suruh ke dokter nggak mau. Paling cuma pura-pura sakit biar kamu cepet pulang."
Candra yang tidak mau mendengar ibunya memilih langsung menaiki tangga menuju kamar. Ia yakin Melisa tidak pura-pura. Istrinya sejak tadi siang tidak menyentuh ponsel. Pasti kepalanya masih sakit.
Begitu masuk ke kamar, Candra meletakkan navbag di dekat pintu, kemudian melepaskan sepatu dan menggantinya dengan sandal. Setelah itu, ia mendekati ranjang. Memperhatikan Melisa yang terpejam. Candra menyentuh kening perempuan itu, lalu dikecup singkat.
Melisa menggeliat setelah merasakan hangat di keningnya. Mata terbuka lebar, visual laki-laki berseragam putih dengan atributnya terlihat jelas setelah itu.
"Mas ...." Melisa mengucek matanya karena takut ini hanya khayalan. Mentang-mentang sedang sakit, ia menganggap semua yang terjadi hari ini adalah halusinasi. Namun, hidungnya mencium harum parfum milik Candra. Melisa yakin bukan mimpi.
"Pantesan aku telepon kamu nggak angkat-angkat, badan kamu panas gini. Kenapa nggak mau pergi ke dokter?"
"Mas, kok, udah pulang?"
"Kan, aku udah bilang hari ini empat landing. Kita ke dokter sekarang, ya? Aku antar."
"Nggak mau."
"Kamu sakit, Mel. Kalau kamu nggak kuat jalan, aku gendong."
"Maunya dipeluk."
"Oke, tapi habis itu kita ke dokter, ya."
Setelah Melisa mengangguk, Candra naik ke tempat tidur, bersandar pada headboard, lalu membiarkan Melisa memeluk dan meletakkan kepalanya di paha. Jemari Candra mengelus rambut ikal istrinya. Ia ingat dulu Hartanto pernah berkata kalau Melisa hanya mau dipeluk ketika sedang sakit.
"Kita ke dokter sekarang, ya?" Candra masih membujuk istrinya. Namun, tidak ada jawaban. Laki-laki itu menunduk, menemukan sang istri kembali terlelap sambil memeluk tubuhnya. Kalau sudah begini, Candra tidak bisa memaksa.
Kepala Melisa ia pindahkan ke bantal dengan hati-hati. Setelah itu, ia beranjak ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan kembali merebahkan diri di samping istrinya.
11 Oktober 2022
•••
Kalau sudah part 40, berarti sisa 50 part lagi. /kejang-kejang
Candra itu sebenernya suami-able. Sayang aja ada emaknya yang nauzubillah 😌
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro