39 - Tumbang
Setelah jam makan siang, Melisa memilih pulang lebih awal karena kepalanya makin sakit. Mungkin akibat dari kurang tidur dan terlambat sarapan. Pertemuannya dengan Wawan terpaksa dibatalkan. Untung saja laki-laki itu juga sedang ada urusan penting. Mereka pun memilih diskusi lewat daring nanti malam.
Rumah tampak sepi saat Melisa tiba di rumah. Sepertinya Sarina sedang pergi bersama Mbak Lala. Pak Sarto pun tidak terlihat batang hidungnya. Sedikit lega kalau mertuanya tidak ada di rumah. Tidak ada argumen yang membuat kepalanya semakin berdenyut.
Tidak sanggup naik tangga, perempuan berbaju kuning itu memilih duduk sebentar di sofa. Sungguh, kepalanya terasa dicengkeram kuat, perutnya juga ikut bergejolak, keringat dingin timbul di beberapa bagian. Melisa memejamkan mata untuk mengurangi rasa sakit. Bunyi ponsel di dalam tas ia abaikan. Jangankan angkat telepon, mau berdiri saja rasanya susah.
Seingat Melisa, belum pernah sakit kepala sampai separah ini. Kalau mau pilek atau batuk paling demam dulu. Terlebih kalau ketahuan sakit, mama papanya langsung bertindak cepat. Kalau di sini, Melisa mau minta tolong siapa? Suami lagi tugas, mertua entah sedang di mana. Pun kalau di rumah, Sarina tidak mungkin akan menolongnya, Melisa juga tidak akan minta tolong. Gengsi masih tinggi di sini.
Melisa jatuh tertidur di sofa. Bermimpi indah di sana. Dalam mimpinya, ia sedang menggendong seorang bayi. Ada Candra di sampingnya. Wajah bayi itu tidak begitu jelas. Namun, yang pasti wajah Melisa dan Candra tampak bahagia. Bahkan, yang paling terlihat menyayangi bayi itu adalah suaminya. Mimpi terus berlanjut, kali ini Hartanto dan Ratna diperlihatkan. Ketika tiba giliran Sarina, suasana mendadak gelap, guncangan terasa.
"Melisa! Bangun!"
Spontan Melisa membuka mata, lalu terbelalak melihat wajah garang Sarina begitu dekat. Ia mengubah posisi dengan cepat dan mengakibatkan kepalanya berputar-putar serta mata berkunang-kunang.
"Bagus, ya, jam segini kamu malas-malasan! Kalau habis dari luar itu bersih-bersih!"
Melisa ingin membalas, tetapi tenaganya tidak cukup untuk sekadar mengeluarkan suara. Entah kenapa tenggorokannya ikut sakit. Padahal tadi baik-baik saja.
Mbak Lala kemudian menyentuh kening dan leher Melisa. "Bu, sepertinya Mbak Mel lagi sakit. Badannya anget."
"Sakit apanya? Wong tadi pagi sehat-sehat, kok!"
"Tapi, beneran anget badannya, Bu. Coba Ibu pegang."
Sarina mengikuti perkataan Mbak Lala. Pertama, ia menyentuh kening Melisa, lalu pindah ke leher. Ternyata benar, panas.
"Ya sudah kamu antar dia ke kamar, habis itu suruh minum obat."
Melisa sedikit terkejut mendengar ucapan itu keluar dari bibir Sarina. Ia pikir Sarina akan membiarkannya sakit-sakitan atau menyuruhnya jalan sendiri di saat tubuhnya lemah begini.
Akhirnya, Mbak Lala menuntun Melisa menuju kamar, sementara Sarina ke dapur. Entah apa yang mertuanya lakukan di sana, Melisa tidak bisa melihat dengan jelas sebab kalau matanya dibuka, pandangannya langsung buram.
"Maaf, ya, Mbak, saya masuk kamar," kata Mbak Lala sebelum mendorong pintu.
Melisa mengangguk sebagai jawaban. Beruntung sebelum pergi, ia sempat membersihkan sisa-sisa pertempuran semalam. Kan, malu kalau ada orang asing masuk, terus terlihat pakaian dalam berceceran di lantai.
Sepertinya hari ini Melisa benar-benar tumbang. Mbak Lala membantunya melepas sepatu, menyibak selimut, mendudukinya di kasur dengan hati-hati, lalu memasang selimut lagi.
"Mbak Mel sudah makan siang?"
Kali ini, Melisa menggeleng.
"Kalau begitu Mbak Mel harus makan biar bisa minum obat. Saya buatkan dulu makanannya."
Melisa ingin menolak, tetapi apa daya Mbak Lala sudah melesat keluar. Tubuhnya juga mendadak lemas, buat duduk saja bergoyang. Kalau ini sudah fiks Melisa akan mendapat hujatan gara-gara rebahan di kamar.
Melisa tidak menghitung berapa lama Mbak Lala keluar saat wanita mungil itu kembali muncul dengan membawa nampan berisi mangkuk dan gelas bening. Ternyata Mbak Lala benar-benar membuat makanan dan Melisa tebak pasti isinya bubur nasi. Mbak Lala belum tahu kalau dirinya tidak suka nasi karena selama ini Melisa selalu menyiapkan makanannya sendiri.
"Mbak, ini tadi Ibu bikin bubur sumsum buat Mbak. Katanya Mbak Mel nggak pernah makan nasi, ya."
Tunggu, barusan Mbak Lala bilang apa? Ibu? Berarti Sarina yang membuatkan makanan ini? Serius? Mbak Lala pasti sedang bercanda!
Melisa menegakkan tubuhnya perlahan, menyandarkan punggungnya pada headboard. "Mbak Lala bilang Ibu yang bikin?" tanya Melisa memastikan. Siapa tahu, kan, telinganya sedang tersumbat, terus salah dengar.
"Iya, Mbak. Saya tadi juga kaget pas turun Ibu udah masak itu. Saya disuruh cari obatnya."
Mbak Lala saja heran, apalagi Melisa. Jangan-jangan di makanan ini ditaburi racun supaya Melisa cepat mati. Melisa segera menyingkirkan pikiran itu. Ia ingat pesan Ratna yang mengatakan tidak boleh menodai niat baik seseorang dengan punya pikiran buruk. Akan tetapi, boleh, kan, curiga sedikit saja?
Melisa mulai memasukan makanan lunak itu ke mulutnya. Satu suap, dua, sampai lima suap, tidak ada reaksi apa pun. Berarti Sarina tidak berbuat macam-macam pada makanan ini. Melisa pun mantap menghabiskan bubur tersebut. Harus habis, takutnya kalau ada sisa sedikit saja, Sarina akan mengomel sepanjang rel kereta.
Setelah perut terisi bubur, paracetamol ikut masuk bersama air putih. Semoga saja dengan obat itu pusing yang mendera langsung sembuh. Melisa tidak mau kalau harus berakhir bertemu dokter, apalagi bersemayam di ranjang rumah sakit.
"Mbak Mel, kok, bisa sakit begini? Tadi Mbak sudah sarapan, kan?"
Melisa meletakkan gelas yang sudah kosong di atas nampan. "Sarapan, sih, tapi telat."
"Nah, kalau bisa jangan sampai terlambat sarapan, Mbak."
"Ya, habis aku lagi kesel banget sama Ibu. Ada-ada aja tingkahnya."
Mbak Lala menghela napas. Ikut prihatin dengan keadaan sang majikan. "Kalau saya jadi Mbak, saya nggak mungkin kuat menghadapi Ibu. Omongan Ibu pedes banget. Kayaknya Mbak emang wanita pilihan dari langit yang bisa merontokkan pertahan Ibu."
Melisa tertegun. Teringat dengan percakapan Inayah di kantor tadi pagi. Entah mengapa kata perpisahan itu kembali mengusik hatinya. Kalau dia memilih pergi, apa Sarina akan tertawa puas? Itu artinya, tindakan ini menambah persen angka perceraian yang disebabkan oleh tidak akurnya menantu dan mertua.
"Sepertinya sakit Mbak ini ada kaitannya sama pikiran yang lagi kacau. Mendingan Mbak liburan dulu. Jauhan sama Ibu. Saya nggak suka sebenernya melihat Mbak tersiksa batin, tapi saya nggak bisa berbuat apa-apa."
"Kalau saya pergi dari sini, menurut Mbak gimana?"
Alis Mbak Lala menyatu. "Maksudnya pergi, tuh, cerai, Mbak?"
Melisa mengangguk.
"Saya nggak berani jawab, Mbak. Kan, bukan ranah saya. Tapi, saya mau bilang, pikirin lagi untuk soal yang satu ini, Mbak. Kalau bisa jadi opsi terakhir aja."
Opsi terakhir, ya? Kalau begitu, Melisa akan menjalani rencana sebelumnya begitu Candra pulang.
10 Oktober 2022
•••
Aku mau lihatin ini
Sama ini
Jadi enaknya gimana ges? Melisa sama Candra cerai, atau mereka pisah rumah dari Sarina?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro