Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

37 - Penghilang Stress


"Kamu pikir saya akan menyerah begitu saja?"

Melisa yang mendengar itu menghentikan langkahnya, tidak jadi membuka pintu, memutar tubuhnya menghadap Syakira lagi. "Ya, aku tahu kamu nggak akan menyerah. Aku tahu kamu ingin sekali berada di samping suamiku. Tapi, satu hal yang perlu kamu ingat, bahagia dengan cara merebut itu bukan solusi yang bagus."

Syakira menyipit. Ini di luar perkiraannya. Melisa yang ia anggap perempuan lemah karena usianya masih muda justru lebih liar. Penampilan perempuan itu mengecohkan pikiran Syakira.

"Berarti kamu juga tahu kalau saya bisa berbuat apa saja kalau Captain Candra satu penerbangan dengan saya?"

"Ya, tapi saya jamin Mas Candra nggak semudah itu mengkhianati istrinya."

Setelah mengucapkan itu, Melisa benar-benar keluar dari toilet. Bibirnya komat-kamit menyumpahi perempuan genit itu.

"Berbuat apa saja? Cih! Sekelas pramugari, kok, pikirannya jongkok!" sungut Melisa. Tangannya memukul dinding.

"Dikira jadi menantu Ibu Sarina itu enak apa? Nggak tau aja setiap hari harus denger ceramahnya."

Sambil melangkah, perempuan bergaun merah itu terus mendumel. Sebenarnya jauh dari dalam lubuk hatinya, Melisa takut. Ia benar-benar takut Candra akan terhasut. Sarina yang masih memegang kendali, Syakira yang liar, dan Candra yang tidak bisa melawan. Sementara Melisa? Statusnya sebagai istri tidak bisa mempertahankan lelaki itu.

Kalau dipikir-pikir, Melisa tidak rugi kalau berpisah dengan Candra. Ia pun tidak takut dengan status janda. Lagi pula dengan sendiri, ia bisa meraih cita-cita yang sempat tertunda. Namun, Melisa hanya tidak mau kalah dari orang lain. Ia mau semuanya berakhir atas kehendaknya. Sampai detik ini, Melisa masih ingin berjuang.

Tiba di meja makan, rupanya Sarina dan bibinya Syakira sedang berpamitan.

"Maaf kalau jamuannya kurang memuaskan. Kita ketemu di lain waktu, ya," ujar wanita berhijab itu.

"Ah, tidak apa-apa, Bu. Justru saya yang minta maaf kalau ada kata-kata menantu saya yang kurang berkenan."

"Oh, ya, bibinya Syakira, saya mau kasih tau, coba dipikir-pikir lagi dengan rencana ini. Emangnya Ibu mau keponakan kesayangan Ibu dihujat gara-gara jadi istri kedua? Sayang, lho, cantik-cantik malah panen hinaan."

Wanita berhijab itu hanya menahan senyum mendengar ucapan Melisa. Berbanding terbalik dengan Sarina. Ia yang sudah malu itu langsung menyeret Melisa menjauh dari temannya.

Kemudian, Sarina, Melisa, dan Candra memasuki mobil, dan kendaraan itu melaju pelan meninggalkan restoran. Sama seperti saat berangkat, Melisa duduk di belakang, Sarina duduk di depan samping Candra. Namun, telinganya harus mendengar kicauan sang mertua.

"Kamu ini kenapa selalu nggak sopan di depan orang tua? Apa waktu di rumah tidak ada yang mengajarkan kamu sopan santun?"

"Ibu juga. Apa pantes nyuruh anaknya nikah lagi gara-gara mau punya cucu? Sama perempuan kayak gitu pula. Kayak nggak ada perempuan lain yang lebih pantes." Melisa tidak mau kalah.

"Syakira dan Candra akan jadi pasangan yang serasi karena sama-sama dari keluarga terpandang, sama-sama pintar, sama-sama punya pekerjaan layak. Nggak seperti kamu, ayahmu cuma angon sapi, ibumu nggak tau kerjanya apa. Ya, jelas anaknya kayak gini."

Jujur, ya, kalau Sarina sudah bawa-bawa orang tuanya, Melisa ingin sekali menjejalkan mulut mertuanya pakai sepatu. Akan tetapi, ia sadar jika cara tersebut tidak elegan. Yang ada makin dimaki-maki. Telinga Melisa berdengung nyeri.

"Walaupun angon sapi, papa bisa nyekolahin anaknya sampai sukses. Ada yang jadi dokter, jadi arsitek, ada yang kuliah di luar negeri. Coba Ibu? Anaknya cuma satu, nggak pernah kuliah di luar negeri, kan?"

"Halah, paling ayahmu itu utang sana-sini atau pakai orang dalam."

Melisa mendengkus. Sumpah demi apa pun, seumur hidupnya tidak pernah mendengar Hartanto atau Ratna punya orang dalam. Kesuksesan yang diraih murni dari usaha anak-anaknya. Apa hanya segini pola pikir Sarina? Mengapa semuanya harus diukur dengan harta?

Saat Melisa ingin membalas lagi, mobil berhenti mendadak hingga kepalanya terbentur kursi depan. Pun dengan Sarina, dahi wanita itu menyentuh dasbor.

"Kalau masih mau ribut, kalian keluar sana!" Suara berat Candra terdengar.

"Ya nggak mau, lah! Ibu aja sana!" protes Melisa. Yang benar saja! Malam-malam begini, sendirian, pakai baju warna mencolok pula, kalau ada yang tergoda bagaimana?

Sarina yang juga tidak terima lantas memperbaiki posisi duduknya. "Kamu berani usir ibu, Candra?"

"Aku bahkan bisa berbuat lebih dari itu kalau Ibu nggak mau diem."

Detik itu juga, Sarina menoleh ke belakang, menatap tajam ke arah Melisa. "Kamu dengar, kan, barusan? Anakku berani melawan ibunya sejak bergaul sama kamu!"

Di tempat duduknya, Melisa diam saja. Ia ingin tahu bagaimana reaksi Candra selanjutnya.

"Jadi Ibu mau keluar?"

Barulah Sarina menutup mulutnya. Setelah itu, Candra kembali memacu mobilnya. Baik Sarina maupun Melisa tidak ada yang mengeluarkan suara selama perjalanan sampai tiba di rumah.

Sarina masuk ke kamar. Melisa pun pergi ke kamar tanpa menunggu Candra yang sedang memarkir mobil ke dalam garasi. Melisa menjatuhkan jas hitam suaminya ke lantai, lalu mengempaskan tubuhnya ke kasur dengan posisi telentang dan kaki masih menyentuh lantai. Matanya memandang langit-langit kamar yang didominasi warna putih. Dadanya mengembang dan mengempis.

Derit terdengar saat Candra membuka pintu. Melisa enggan mengubah posisinya. Ia diam saja ketika merasakan tekanan di kasur.

Candra meraih tangan istrinya. "Aku minta maaf."

"Maaf buat apa?" tanya Melisa dan masih tidak mengubah posisi.

"Buat semuanya yang terjadi hari ini. Besok aku terbang. Aku takut ini jadi pertemuan terakhir kita dan aku belum sempat minta maaf ke kamu."

Helaan napas terdengar dari bibir Melisa. Ia akhirnya bangkit. Kini, posisi sepasang suami istri itu saling berhadapan.

Melisa menatap intens. Telunjuknya menelusuri wajah Candra. "Mas."

"Ya?"

"Aku stress. Kepalaku sakit. Rasanya, tuh, ada sesuatu yang mau aku keluarin," kata Melisa sembari jemarinya membuka kancing kemeja suaminya dari atas. Ketika sampai ujung, Melisa menarik kain warna maroon itu hingga terbuka, menampakkan kaus putih sebagai dalaman.

"Kalau kepalanya sakit, istirahat."

Wajah Melisa mulai mendekat. Tangannya kembali memberikan sentuhan, kali ini di leher belakang suaminya. "Sebelum istirahat, Mas harus hilangin beban pikiranku dulu. Mas juga butuh amunisi sebelum terbang, kan?"

Candra mengerti. Membiarkan sang istri menjelajahi tubuhnya. "Aku belum ganti baju."

"Ngapain ganti baju? Aku juga nggak ganti baju, tuh. Habis ini kita bakal nggak pakai apa-apa, Mas."

Candra menangkap tangan Melisa yang bermain di wajahnya. Mengecupnya dengan lembut. "Jangan pakai baju ini lagi kalau keluar."

"Nggak janji. Soalnya sainganku wanita seksi."

Tawa kecil terdengar dari Candra. Kini ia mengambil alih kendali dengan merengkuh erat tubuh Melisa. Mulai menelusuri wajah ayu perempuan itu menggunakan jemarinya. "Kamu perempuan paling seksi, Sayang."

"Masa?"

"Iya."

"Kalau begitu, aku mau buktiin ucapan Mas."

Perlahan, Melisa mendorong Candra hingga berbaring di kasur. Tangannya kembali mengabsen  mata, hidung, dan bibir suaminya. Puas melakukan itu, Melisa menurunkan wajahnya dan mendaratkan kecupan pada bibir pria itu.

08 Oktober 2022

•••

Udah, bagian yang lain biar dilanjutkan sama Mbak Mel 🤣🤣🤣

Yang punya Karyakarsa dan mau baca spesial chapter-nya, bisa copas link ini.

https://karyakarsa.com/pesulapcinta/hi-little-captain-special-part

https://karyakarsa.com/pesulapcinta/hi-little-captain-special-part-2

Murah kok, cuma 20 kakoin kalian bisa nikmati spesial chapter-nya ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro