Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

36 - Pembalasan Melisa


Rupanya keluarga Syakira mengajak Sarina bertemu di The Westlake Resto, salah satu restoran bintang lima di Yogyakarta. Sarina dan Candra turun lebih dulu, sementara Melisa masih ragu menampakkan diri. Bagaimana tidak, sekarang ia mengenakan pakaian terbuka, kakinya terbungkus high heels, bibirnya warna merah. Ya, beginilah kalau mengedepankan emosi. Kini Melisa hanya bisa menyesali tindakannya.

"Ayo, Candra. Kita masuk." Sarina bersuara.

"Sebentar, Bu. Melisa belum keluar."

"Sudah, tinggalkan saja! Lagian tidak ada yang mengajak Melisa. Dia, kan, yang mau ikut."

Melisa yang mendengar itu hanya bisa mengembuskan napas. Akhirnya ia mulai membuka pintu, menurunkan kaki satu-satu, dan berdiri tegak. Tanpa diperintah, tangannya spontan  menarik kerah ke belakang agar bagian atas dadanya tertutup, tetapi justru punggungnya terlihat.

Kenapa harus baju ini yang Melisa ambil?

Kemudian, Melisa merasakan kedua bahunya ditimpa sebuah kain, dirapatkan sampai menutup dada. Melisa sudah tahu pelakunya karena tadi ia sendiri yang memilihkan kain itu.

"Jangan dibuka sampai kita pulang."

Tidak hanya merelakan jasnya dipakai Melisa, Candra juga merangkul istrinya saat masuk ke restoran tersebut. Berkali-kali Sarina melirik tajam ke arahnya, tetapi Melisa diam saja. Ia merasa menang kali ini. Setidaknya ada manfaat mengenakan pakaian terbuka seperti ini. Candra tidak akan mungkin melepaskannya sedetik pun.

Mereka bertiga tiba di meja yang sudah diisi oleh Syakira dan satu orang wanita berhijab. Awalnya Syakira tersenyum cerah saat melihat Candra. Namun, ketika ada istrinya di samping laki-laki itu, senyumnya memudar. Mana Melisa terlihat berbeda dari sebelumnya. Seolah-olah mengisyaratkan dirinya untuk terus melawan.

Melisa memperhatikan penampilan Syakira dari ujung rambut sampai ujung kaki. Wanita ini selalu sempurna. Badan langsingnya tertutup gaun tanpa lengan warna hitam yang kainnya berkilauan, rambut lurus dibiarkan tergerai, telinga serta lehernya mengenakan perhiasan, dan yang paling penting itu riasannya. Seorang pramugari sudah pasti pandai berias.

Kepercayaan diri yang sempat melambung perlahan turun beberapa persen. Melisa menyesal memilih warna merah sebagai kostumnya malam ini. Ia jadi terlihat mencolok di antara lainnya.

"Menantunya ikut, ya?" Wanita berhijab mengawali percakapan usai cipika-cipiki dengan Sarina.

"Ah, iya," jawab Sarina setengah kikuk. Harusnya tadi ia suruh Melisa diam di mobil saja.

Dengan sigap, Melisa mengulurkan tangan, menampilkan senyum terbaiknya. "Melisa. Istri sah anaknya Ibu Sarina."

Sarina melirik tajam. Namun, Melisa tidak menggubris. Syakira beserta keluarganya harus tahu jika posisi Melisa masih tinggi di sini.

Wanita tersebut menyambut uluran tangan Melisa. Hanya sebentar. Kemudian, ia menyuruh Sarina, Candra, dan Melisa duduk. Melisa ingin duduk di samping suaminya, tapi Sarina menarik tangannya.

"Kamu duduk di sebelah ibu!"

Melisa sedikit terhuyung akibat tarikan itu. Ia tidak bisa berbuat banyak kalau Sarina sudah berulah.

Kini posisinya Melisa duduk di sebelah kanan Sarina dan wanita berhijab yang katanya bibi Syakira, sedangkan di depan Candra dan Syakira duduk saling bersisihan.

Makanan yang dipesan adalah ayam bakar, hot lemon, dan salad sebagai dessert. Setelah pesanannya datang, Melisa memilih fokus pada makanan ketimbang memperhatikan Syakira yang mulai mencari perhatian dengan membantu Candra memisahkan kulit ayam dari dagingnya. Kenapa Syakira tahu kebiasaan lelaki itu? Karena baru saja Sarina yang memberi tahu.

Hatinya terbakar? Sangat! Akan tetapi, Melisa tidak bisa berbuat macam-macam.

"Saya nggak tahu kalau Candra sukanya makanan seafood, padahal di sini ada. Salah saya nggak tanya dulu sama Bu Sar," kata bibinya Syakira.

Sarina tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu. Anak saya bisa makan apa saja. Tidak seperti perempuan ini yang pilih-pilih makanan."

Merasa tersindir, Melisa tidak mau kalah. "Ibu lupa, ya, Mas Candra pernah diare terus masuk rumah sakit gara-gara Ibu salah pesan roti yang ternyata ada pisangnya? Itu bukan alergi biasa, lho."

Sarina menggeram. Ekor matanya melirik Melisa yang barusan membalasnya dengan telak. "Ah, itu karena saya kurang memperhatikan. Kalau biasanya saya selalu mengecek makanan yang disantap anak saya."

"Jangan bohong, Bu. Waktu itu Ibu bilang Mas Candra harus nambah nutrisi, padahal udah jelas-jelas nggak bisa makan pisang karena alergi," sahut Melisa.

"Siapa yang nyuruh kamu bicara?" Sarina menatap tajam.

"Lho, aku punya mulut. Boleh, dong, bersuara?"

"Daripada bersuara, kamu habiskan saja makanan kamu!"

Sarina mendengkus. Malu dengan tingkah sang menantu yang menurutnya di luar batas.

Tentu saja Melisa tidak merasa bersalah sama sekali setelah membuka aib mertuanya. Lha, yang dikatakannya benar, kok. Sarina ini memang kadang-kadang pikirannya, sudah tahu anak nggak bisa makan pisang, malah disuruh makan hanya karena tubuh anaknya terlihat kurus, padahal berat badan cukup. Kalau tidak ada Melisa saat itu, mungkin saja Candra sudah mati gara-gara pisang. Melisa kira, ibu kandung rasa ibu tiri hanya mitos, nyatanya ini kejadian di depan matanya.

Melisa merasa menang untuk kedua kalinya setelah melihat raut wajah Syakira dan bibinya yang berubah shock. Ia sudah menduga jika selama ini Sarina hanya menampakkan bagian permukaannya seperti ibu peri. Tidak tahu saja kalau di rumah, wanita tua itu berubah jadi singa.

Setidaknya skor kali ini cukup mengobati luka di hatinya karena sikap Candra dan Syakira.

"Saya dengar kamu nggak mau punya anak. Kasihan, loh, Bu Sar ini kepengen punya cucu, tapi kamu malah nggak mau kasih."

Kali ini, Melisa dan Candra saling pandang usai mendengar ucapan bibinya Syakira. Candra mengisyaratkan Melisa diam saja melalui gerakan bibir. Akan tetapi, Melisa merasa itu bukan solusi yang bagus.

"Bukan nggak mau. Saya mau, kok, punya anak, tapi saya nggak mau kalau anak saya nanti hanya dijadikan piala bergilir, jadi bahan pamer. Padahal, dikasih anak itu suatu anugerah, lho. Di luaran sana banyak pasutri yang kesulitan punya anak padahal pengen. Giliran yang cepet dikasihnya, malah cuma dijadikan robot."

"Diam, Melisa!"

Kali ini, suara Sarina meninggi. Mengundang perhatian pengunjung lain. Situasi mulai runyam. Semua yang berada di meja itu merasa tidak nyaman di tempat duduknya.

"Ibu merasa tersindir? Kalau iya, berarti bener, dong?"

"Sayang, udah, ya ...." Giliran Candra yang menegur Melisa.

"Oke." Melisa meraih sendok dan mulai menyantap dessert. Ia cukup puas melihat wajah panik Sarina dan wajah tenang Syakira beserta bibinya.

Usai menghabiskan salad buah, Melisa izin ke toilet sebentar, untuk buang air sekaligus memperbaiki riasan. Rupanya lipstik Melisa sedikit luntur. Untung ia sempat membawa tas berisi lipstik. Ini akan menjadi pertama dan terakhir dirinya memakai warna berani di tempat umum.

"Tamu yang tidak diundang harusnya punya sikap sopan santun."

Melisa terperanjat mendengar suara perempuan di ambang pintu. Perempuan yang sejak tadi bersikap anggun, sekarang mulai menampakkan taringnya.

"Harusnya kata-kata itu cocok buat kamu. Kan, kamu yang masuk ke hidup kami tanpa diundang," balas Melisa. "Mana sok mau jadi istri kedua. Emangnya kamu sanggup hidup di bawah tekanan setiap hari?"

Kaki Melisa maju satu langkah. "Ibu itu nggak seanggun yang kamu lihat di sini. Ibu kalau di rumah kayak setan. Tiap hari ada aja yang dimarahin. Harusnya kata-kata aku tadi udah cukup jadi pertimbangan. Anak kandungnya aja hampir dibunuh, apalagi kamu yang statusnya cuma menantu, istri kedua pula." Melisa mengibas rambutnya. "Tapi, kalau kamu maunya begitu, aku tidak akan menghalangi. Kita lihat aja nanti siapa yang lebih kuat. Kamu atau aku."

Sebelum pergi, Melisa sempat-sempatnya menepuk bahu Syakira. Seakan-akan sedang menyemangati perempuan itu.

"Kamu pikir saya akan menyerah begitu saja?"


07 Oktober 2022

•••

Kena mental nggak tuh Mbah Sarina 🤣🤣🤣

Maaf ya Mbah, Mbah emang enaknya dibully.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro