Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

35 - Mengubah Penampilan


Walau mendadak dan jatuhnya tidak romantis, Melisa tetap senang bisa makan berdua dengan Candra. Sebuah momen yang langka, nyaris tidak pernah terjadi jika ada Sarina. Ikan bakar ini terasa nikmat karena makannya bersama orang yang dicintai. Suasana restorannya pun mendukung. Candra sengaja mengambil tempat outdoor agar bisa melihat sunset sekaligus menikmati semilir angin.

Semoga saja wanita tua itu tidak mengganggunya paling tidak sampai satu jam ke depan.

"Aku belum sempat cari rumah, Mas. Tadi aku ngurus satu penulis yang naskahnya aku pinang. Ceritanya bagus banget, lho!"

Tentu saja laki-laki yang duduk di hadapannya itu antusias dengan ocehannya. "Tentang apa?"

"Tentang mertua yang pengen punya cucu, terus nyuruh anaknya nikah lagi gara-gara istrinya nggak hamil-hamil."

Sontak Candra yang baru saja memasukkan nasi dan daging ikan tersedak. Melisa yang melihat itu langsung mengulurkan segelas es jeruk milik suaminya.

"Kenapa keselek, sih?"

Candra meletakkan gelas di meja, kemudian berdeham keras. "Ceritanya, kok, mirip sama kita?"

"Ya ... emang mirip, tapi plot twist-nya, sejak si suami nikah lagi, baru ketahuan ternyata dia yang mandul."

Mata Candra melebar. "Suaminya yang mandul?"

"Iya."

"Gara-gara itu kamu jadi suka terus minang?"

Melisa mengangguk karena mulutnya penuh setelah minum. "Aku yakin bukunya bakal booming."

"Nanti kamu beli yang banyak biar penulisnya seneng."

Melisa tidak perlu terkejut mendengar itu. Setiap kali ia membantu penulis melahirkan karyanya dan Candra tahu, dia selalu meminta Melisa membeli bukunya. Katanya itu salah satu cara menghargai penulis. Jangan heran kalau di rumah Candra memiliki ruangan khusus di kamar untuk menyimpan buku-buku yang ia beli. Melisa kebagian tugas membersihkan ruangan itu sekaligus melindunginya dari jamahan Sarina. Sampai detik ini, mertuanya memang anti dengan buku, khususnya novel.

Obrolan mereka terpaksa terputus setelah ponsel Candra berdering. Sudah, tidak perlu ditebak lagi siapa pelakunya. Melisa diam saat Candra menjawab telepon ibunya. Terjadi perdebatan di sana. Namun, Melisa bisa menebak kalau suaminya akan kalah.

"Kita harus pulang, Mel. Ibu nyariin," kata Candra usai memutuskan sambungan telepon dengan Sarina.

Mendengar itu, Melisa mengerucutkan bibirnya. Ini belum ada satu jam, lho. Tidak bisakah Sarina memberikan kebebasan sejenak? Candra bukan anak kecil yang kalau mau magrib disuruh pulang.

"Maaf, ya."

Melisa mendengkus. "Maaf habis itu diulang lagi, ya, sama aja!"

Telanjur kesal, Melisa akhirnya bangkit dan menarik kasar tas tangannya. "Ya, udah pulang sekarang!"

Tanpa menunggu respons Candra, Melisa melangkah lebih dulu. Mood-nya langsung terjun bebas. Tidak terima waktu berdua dengan suaminya dikacaukan Sarina.

Selama perjalanan menuju rumah, Melisa mengunci rapat mulutnya, wajahnya menghadap ke jendela, bahkan menyalakan musik dan menutup telinganya dengan headset. Sekeras apa pun Candra membujuk dengan meraih tangannya dan mengajaknya bicara, Melisa tidak menghiraukannya. Biar suaminya itu merasakan kalau dirinya benar-benar kesal.

Setelah mobil berhenti, Melisa yang keluar lebih dulu. Ia terus berjalan meski Candra memanggil namanya.

"Sudah, abaikan saja istrimu. Kamu lebih baik siap-siap saja, kita diundang makan malam sama bibinya Syakira."

Langkah Melisa di tengah tangga terhenti. Kepalanya menoleh ke bawah, menyaksikan Sarina yang mulai membujuk Candra. Tentu saja ia dapat mendengar ucapan itu, headset-nya sudah dilepas!

"Bu, aku udah bilang, nggak mau makan malam sama mereka."

"Nggak bisa, Candra. Kamu harus ke sana bareng ibu. Kita harus menghargai undangan mereka."

"Tapi, Bu---"

"Jangan bikin ibu malu, ya."

Candra menghela napas. Kepalanya mendongak. Matanya bertemu dengan Melisa. Namun, itu hanya sebentar. Melisa memilih memutus kontak mata itu dan kembali melangkah menuju kamar.

Sampai di kamar, Melisa melepas sepatu, melepas ikat rambut, dan melempar tas ke kasur. Karena masih terbelenggu rasa kesal, tangannya membuka outer, menyisakan kaus lengan pendek berwarna putih. Tetap saja, sesak yang bercokol di dada tidak kunjung hilang. Yang ada terus bertambah.

Pintu terbuka dan Candra masuk. Melisa bergeming ketika sang suami melangkah menghampirinya.

"Aku diajak Ibu makan malam sama keluarga Syakira."

Sesak. Walau Melisa sudah tahu, rasanya tetap sama. Siapa yang rela suaminya makan malam dengan perempuan lain? Jangankan makan malam, hanya like postingan perempuan lain sudah bikin huru-hara.

"Ya udah, silakan."

Mau sekuat tenaga Melisa melarang, tetap saja jika masih ada Sarina, ia tidak akan bisa. Jeratan ibu mertuanya masih mengekang lelaki itu.

Melisa mendekati lemari, membuka pintunya, kemudian mengeluarkan setelan jas berwarna hitam dan kemeja berwarna maroon. Semua pakaian itu, ia letakkan di atas kasur. "Ini pakaian yang cocok buat makan malam."

Candra membeku sesaat. Pandangannya mengarah ke wajah istrinya. "Sayang ...."

"Silakan kalau mau pergi. Aku udah siapin bajunya. Apa sekalian mau siapin yang lain? Sepatu? Parfum?"

Bola mata Melisa memanas. Pandangannya mulai berkabut. Namun, buru-buru ia mengusap matanya. Menangis bukan senjata ampuh untuk melumpuhkan Sarina.

"Jangan kayak gini, Mel. Aku ...."

"Terus aku harus kayak gimana? Mas minta aku bujuk Ibu buat batalin janji itu? Ya, mana bisa! Ibu terus maksa, Mas nggak bisa nolak, dan aku nggak bisa apa-apa!"

Melisa mengembuskan napas. Tidak ada gunanya marah-marah. Ia harus main cantik kali ini. "Udah sana siap-siap. Nanti Ibu marah-marah lagi."

Akhirnya, Candra masuk ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Setelah pakaian suaminya berubah, Melisa menariknya ke depan kaca. Tangannya mulai menyisir rambut, lalu menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh. Bagaimanapun, penampilan itu harus nomor satu. Melisa tidak mau suaminya kena ejekan karena tidak menjaga penampilan.

"Aku pergi, ya."

Melisa mengiakan. Begitu Candra menghilang di balik pintu. Melisa mengeluarkan gaun satin tanpa lengan dengan kerah berbentuk huruf V dari dalam lemari, lalu mandi sebentar. Gaun tersebut melekat di tubuh kecilnya. Panjangnya hanya sampai bawah lutut. Terdapat tali berbentuk pita di bagian pinggang.

Untuk menunjang penampilannya malam ini, Melisa mencatok rambutnya, membiarkan tergerai menutup leher. Ia juga memakai lipstik merah dan sepatu hak tinggi warna senada. Dirasa sudah cukup, perempuan itu tergopoh-gopoh menuruni tangga, takut jika Candra dan Sarina sudah pergi. Hampir saja terjatuh di tangga.

Saat Melisa tiba di ruang tamu, mobil Candra sudah menghadap ke arah gerbang. Sarina sudah masuk. Tidak mau tertinggal, ia melangkah lebar menghampiri kendaraan tersebut.

"Tunggu!" seru Melisa kala Candra hendak menggerakkan tuas. Sontak lelaki itu menoleh dan terperanjat melihat istrinya. Melisa yang sehari-hari mengenakan kaus dilapisi outer kini bergaun merah menyala. Warna yang sebenarnya selalu Melisa tampilkan saat berdua saja di kamar.

"Kamu ngapain pakai baju seperti itu, Melisa?" Sarina bersuara. Tentu dengan nada tinggi.

"Kok, pakai ditanya, sih. Ya, aku mau ikut makan malam, lah. Aku juga harus tahu seperti apa keluarga calon madu."

Belum sempat Sarina membalas, Melisa sudah lebih dulu masuk di kursi penumpang belakang. Kelakuannya itu membuat Sarina jengkel. Namun, Melisa tidak peduli. Yang penting sekarang ia bisa ikut makan malam.

"Ayo, jalan, Mas!"


06 Oktober 2022

•••

Yeay, up siang!

Kemarin aku ceroboh banget, udah update tapi lupa absen, dianggap libur, deh. Jadi untuk bulan ini jatah liburku sisa satu, huhu. Semoga ini cuma sekali ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro