Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

34 - Sama-sama Nekat


"Mau ke mana kamu?"

Suara Sarina dari arah taman belakang menghentikan langkah Candra di anak tangga terakhir.

"Jemput Melisa, Bu. Bentar lagi jam pulang dia."

"Ngapain istri kamu dijemput? Biasanya dia naik ojek kalo nggak ada kamu."

"Itu karena aku lagi terbang, Bu. Sekarang aku di rumah, wajib menjemput istri."

"Nggak usah. Mendingan sekarang kamu mandi, terus siap-siap buat makan malam bareng Syakira dan keluarganya."

Lelaki yang mengenakan kaus warna hitam itu mengangkat alisnya. "Makan malam untuk apa?"

"Ya, untuk kalian saling kenal, lah. Sebentar lagi kalian akan menikah."

"Siapa yang mau nikah sama Syakira, Bu? Berapa kali harus bilang aku nggak mau."

"Candra, ibu ini sudah tua. Sudah saatnya punya cucu. Kamu anak ibu satu-satunya, sama siapa lagi keturunan ibu diteruskan? Kamu emang nggak pengen gendong anak kamu sendiri? Lihat di luar, temen-temen sebaya kamu udah ada yang punya anak dua. Ibu sudah bilang jangan dibutakan cinta. Kalau Melisa nggak mau punya anak, ya kamu jangan ikut-ikutan."

Bukan Sarina namanya kalau tidak menyerah. Selama ini Candra selalu menuruti kemauannya. Hanya saja sejak ada Melisa, anaknya itu jadi sering membangkang, berani berbohong, dan tidak mau mendengar pendapatnya. Rencananya ini tidak akan berjalan jika Melisa masih berada di rumah ini. Perempuan itu harus segera disingkirkan.

"Kami itu udah sepakat nggak mau punya anak, Bu."

"Untuk apa kalian menikah kalau nggak mau punya anak? Kalau kalian sudah tua, siapa yang merawat kalian kalau nggak ada anak? Jangan bikin ibu malu, Candra. Kamu harus punya anak dengan menikah dengan Syakira!"

Candra tahu tidak ada gunanya mengatakan itu jika ibunya sudah memiliki keinginan yang kuat. Apalagi, Sarina masih berpikir kalau anak merupakan salah satu pencapaian yang harus diraih setelah menikah.

"Terserah Ibu. Yang jelas aku nggak mau."

Kabur menjadi senjata ampuh bagi Candra apabila sudah terpojok. Sang pilot menulikan telinga, terus melangkah keluar, masuk ke mobil, dan memacu kendaraan tersebut dengan kecepatan sedang. Ibunya tidak mungkin mengejar karena kakinya sudah sakit jika bergerak cepat.

SUV warna merah terus berpacu di aspal. Sesekali Candra melirik spion. Melisa belum tahu dirinya akan menjemput. Sengaja supaya menjadi kejutan untuk istrinya. Ia sadar selama tiga tahun ini belum bisa membahagiakan Melisa. Justru luka yang diterima akibat perlakuan ibunya. Hal kecil seperti ini mungkin tidak akan menebus semua pengorbanan istrinya.

Melisa mengorbankan banyak hal. Seperti kehilangan momen kebersamaan karena harus ditinggal terbang, harus kehilangan harapan memiliki anak karena suaminya tidak mau, rela harga dirinya diinjak-injak oleh Sarina, rela jauh dari keluarga, dan tidak ada kata protes yang terucap. Melisa mampu menjaga diri dan membentengi hatinya. Bisa jadi perempuan lain tidak ada yang setangguh Melisa jika berhadapan dengan Sarina.

Hanya keinginan pindah rumah yang bisa Candra wujudkan. Padahal dirinya sudah berkata akan mengabulkan semua keinginan Melisa. Sayangnya, Sarina masih berada di belakang, menjadi kemudi atas hidupnya. Untuk kali ini, Candra akan mencoba, selama dengan Melisa, ia yakin bisa lepas dari jeratan ibunya.

Kendaraan roda empat itu berhenti. Namun, Candra tidak langsung keluar. Ia mengambil ponsel di dasbor dan mulai mengetik pesan untuk Melisa.

Anda: Aku udah di depan kantor.

Setelah pesan itu terkirim, Candra meletakkan benda itu ke tempat semula, lalu menyandarkan punggungnya. Cincin yang melingkar di jari manis ia putar-putar. Benda ini yang membedakan dirinya dengan laki-laki lain walau sebenarnya ia tidak terlalu menyukai mengenakan aksesoris. Akan tetapi, sejak menikahi Melisa, benda ini harus setara dengan lisensi pilotnya, yang artinya wajib dibawa setiap terbang.

Selang beberapa menit, Melisa muncul dengan langkah tergesa. Bukan hanya tergesa, tapi rambut serta outer terlihat berantakan, bahkan ritsleting tasnya belum tertutup. Melihat kedatangan sang istri, Candra menegakkan tubuhnya.

"Mas! Kenapa nggak bilang kalau mau datang? Kalau bilang, kan, aku nggak perlu nungguin Inayah yang lagi rapat! Untung aja aku nggak jadi pesen ojol."

"Kenapa kamu malah nungguin Inayah? Pesen ojol? Kamu bisa telepon aku kalau mau."

Sebelum menjawab, Melisa menyatukan rambutnya dalam satu ikatan. Posisinya kini duduk di samping Candra. "Aku suka lupa punya suami saking seringnya ditinggal terbang."

Candra mulai menggerakkan tuas, menginjak pedal gas hingga roda-roda bergerak.

"Kita langsung pulang, Mas?" tanya Melisa.

"Kamu mau ke mana?"

Melisa mendongak. Jari telunjuknya menyentuh dagu. "Makan dulu gimana? Aku siang cuma ngemil. Pengen makan yang berat."

"Makan nasi?"

"Bukan! Emang makanan berat cuma nasi? Kan, ada makanan lain."

Spontan Candra mengacak rambut istrinya. Nasi merupakan musuh bebuyutan Melisa. Alasan Melisa tidak mau makan nasi karena bentuknya mirip belatung. Setiap kali melihat makanan itu, Melisa mendadak kehilangan nafsu makan.

"Makan ikan bakar mau? Tiba-tiba aku pengen," usul Candra. Sebenarnya, perutnya masih kenyang, tetapi hanya ini cara untuk mengulur waktu. Ia masih enggan mendengar perdebatan istri dan ibunya.

"Mau!"

Selanjutnya, Candra merangkul bahu istrinya, membawa ke dalam dekapan. Hal itu disambut baik oleh Melisa. Perempuan itu menyandarkan kepala di dada sang suami. Meski sedang menyetir, Candra tidak terganggu sama sekali. Justru di saat seperti inilah ia bisa berduaan dengan Melisa tanpa diganggu ibunya.

Salah satu keinginan Melisa adalah menghabiskan waktu bersama dengannya tanpa gangguan. Namun, sayang sekali Candra belum bisa mewujudkan itu. Sarina kerap menghubunginya, atau kalau di rumah, tiba-tiba ibunya datang ke kamar.

Mobil berhenti di sebuah restoran seafood. Sepasang suami istri itu bergandengan tangan saat memasuki restoran itu. Usai mendapatkan tempat duduk, Candra memesankan dua piring ikan gurami bakar. Satu pakai nasi dan satu lagi tanpa nasi.

"Mas kapan terbang lagi?" Melisa memulai percakapan.

"Besok pagi. Empat landing."

"Ke mana aja?"

"Ke Surabaya, terus ke Makassar, balik lagi ke Surabaya, terus pulang."

Melisa mengangguk. "Terbangnya sama pramugari itu?"

Ah, sepertinya ini akan menjadi topik yang malas untuk dibicarakan. "Aku belum tahu, Sayang. Kan, ketemunya kalau mau briefing."

Terdengar helaan napas setelah itu. Melisa menopang dagu menggunakan kedua telapak tangannya. "Iya, juga, ya. Semoga aja nggak sama dia."

"Tapi, aku penasaran kenapa dia mau dijodohin gitu aja sama Ibu."

Melisa mendelik. "Ya, jelas mau, lah. Dia, kan, udah suka sama Mas dari lama."

"Iya, tapi dia pasti tahu alasan Ibu. Padahal, karier dia lagi bagus. Nggak mungkin semudah itu mengorbankan pekerjaan sekarang."

"Mas itu jangan meremehkan. Perempuan kalau udah punya keinginan, bakal nekat. Mas harus hati-hati sama sifat perempuan yang satu ini."

"Berarti kamu juga begitu?"

"Iya, lah."

Melisa menegakkan punggungnya begitu seorang pramusaji datang, meletakkan pesanannya di meja. Mereka berdua mengucapkan terima kasih.

"Salah satu kenekatanku, nikah sama Mas terus berantem sama Ibu tiap hari," lanjut Melisa, lalu mulai menyantap ikan bakarnya.

Kalimat itu membuat Candra terperangah sesaat. "Aku juga nekat nikahin kamu."

"Sama-sama nekat."

05 Oktober 2022

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro