Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17 - Keputusan Candra


Tiga tahun yang lalu.

Melisa dan Candra selesai melakukan serangkaian acara pernikahan. Seperti foto pre wedding, akad nikah, resepsi dua kali, foto menggunakan seragam pilot lengkap, hingga pergi bulan madu. Melisa kembali melakukan rutinitasnya sebagai mahasiswi tingkat akhir, yaitu menyusun skripsi. Akan tetapi, ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Terkait dengan percakapannya dengan Candra semalam.

"Mel, gimana kalau kamu pakai alat kontrasepsi dulu. Kamu mau nggak?"

Saat mendengar itu, Melisa cukup terkejut. Pasalnya memang tidak ada pembahasan menunda anak sebelumnya. Mereka sibuk dengan persiapan pernikahan.

"Kenapa emangnya, Mas?"

"Kamu, kan, baru aja mau nyusun skripsi. Kalau misalnya kamu hamil, terus melahirkan, bukannya malah jadi tertunda. Mendingan kita punya anak setelah urusan kamu selesai biar tenang."

Melisa mulai mempertimbangkan perkataan suaminya. Ya, benar, sih. Sebentar lagi Melisa akan disibukkan dengan skripsi. Cari referensi, revisi berkali-kali, belum lagi kalau dapat dosen pembimbing yang super sibuk, Melisa bisa stres dan kalau misalnya di tengah jalan dirinya hamil, bukannya malah membahayakan? Apalagi kalau Melisa memilih cuti kuliah selama hamil sampai melahirkan. Makin lama dirinya lulus kuliah.

"Bener juga yang Mas bilang. Ya udah, selama aku masih kuliah, aku pakai alat kontrasepsi."

Maka, keesokan harinya, sepasang pengantin baru itu pergi ke dokter kandungan guna membahas kontrasepsi apa yang cocok untuk menunda momongan. Melisa menjatuhkan pilihannya pada IUD karena kata mamanya alat yang satu ini tidak mengacaukan hormonnya. Di hari itu juga, dokter memasangkan alat kontrasepsi itu.

Hari demi hari, Melisa dan Candra beraktivitas seperti biasa. Melisa tidak terganggu sama sekali dengan benda asing di mulut rahimnya itu. Ia masih mendapat haid setiap bulan, masih bisa melayani Candra dengan baik. Dokter pun berkata posisi alat itu masih aman. Melisa hanya merasakan sakit pada bulan pertama, itu pun hanya kram perut biasa.

Hingga akhirnya Melisa lulus kuliah. Perempuan itu gencar membahas anak. Ia pun sudah berencana melepaskan IUD agar bisa hamil. Namun, sebuah kenyataan berhasil menghantam Melisa. Sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan terucap begitu saja dari bibir suaminya.

"Mel, kenapa kamu mau nikah sama aku?"

"Ya, karena Mas orangnya berdedikasi, disiplin, dewasa, terus ganteng."

"Bukan karena pekerjaan aku?"

"Bukan, lah! Pekerjaan itu bonus. Lagian kalau ditanya enak sama nggak enaknya apa, lebih banyak nggak enaknya, Mas. Ini aja aku udah berapa kali ditinggal terbang."

"Berarti kalau kita nggak punya anak ... kamu nggak masalah?"

"Eh, maksudnya gimana? Nggak ada kolerasi pertanyaan sebelumnya sama ini."

"Mel, ada satu hal yang mau aku omongin ke kamu. Maaf baru bilang sekarang. Semoga kamu nggak kecewa karena udah nikah sama aku."

Saat itu Melisa gusar mendengar penuturan suaminya. "To the point, Mas. Apa yang Mas sembunyikan dari aku?"

"Aku nggak mau punya anak, Mel."

Singkat, padat, dan berhasil meruntuhkan semua impian yang telah disusun Melisa. Tahu tidak, sejak dulu Melisa selalu membayangkan ada anak kecil keluar dari rahimnya, lalu ia, rawat dengan hati-hati, diajarkan tengkurap, merayap, hingga berdiri, lalu belajar bicara, pergi sekolah sama-sama, dan masih banyak kegiatan yang akan dilakukan bersama anak-anaknya.

"Kenapa, Mas?" Akhirnya Melisa berhasil menguasai diri dan menanyakan itu pada Candra.

"Pertama, aku ini pilot. Kita nggak akan tahu apa yang terjadi nanti. Aku nggak mau anak itu nanti hidup tanpa ayahnya. Yang kedua, aku nggak mau anak itu ngerasain apa yang pernah aku alami. Aku takut kelak aku ngelakuin hal sama seperti yang pernah Ibu lakukan. Aku nggak bisa."

Jika ditanya bagaimana perasaan Melisa saat itu, hanya satu jawabannya. Hancur. Ia merasa Candra sengaja menjebaknya dalam situasi rumit. Pernikahannya baru seumur jagung, tapi rasanya Melisa tidak memiliki daya untuk melanjutkannya sampai akhir.

"Terus kenapa Mas nikah sama aku kalau nggak mau punya anak?"

"Aku mau hidup berdua sama kamu."

"Kalau Mas bilang dari kemarin, kita bisa cari solusinya sama-sama. Kenapa baru bilang sekarang?"

"Aku nggak mau kehilangan kamu, Mel."

"Lho, Mas pikir sekarang atau kemarin nggak ada bedanya? Aku bakal pergi kalau ini yang terbaik buat kita. Mas tahu aku mau punya anak."

"Punya anak nggak seindah yang kamu pikir---"

"Aku tahu, tapi aku mau."

"Aku akan menuruti semua keinginan kamu, kecuali yang ini, Mel. Untuk yang satu ini, aku nggak bisa."

Hening mengambil alih. Melisa mengatur napas. Ia memilih berjarak dengan suaminya. Sungguh malam itu merupakan malam yang mencekam. Rasa penyesalan mendadak muncul, membungkus sanubari perempuan bermata bulat itu. Harusnya dulu ia berpikir panjang, harusnya kemarin ia mengulik lebih dalam, harusnya Candra berkata jujur sejak awal.

Tidak ada yang bisa mengubah wortel yang sudah dipotong ke bentuk aslinya. Seperti itulah hati Melisa sekarang. Namun, percuma saja merutuki nasib. Toh, cincin sudah tersemat, Melisa sudah berjanji untuk sehidup semati dengan Candra di hadapan penghulu, disaksikan oleh Allah beserta keluarganya. Mungkin dengan waktu, ia bisa menerima keputusan suaminya. Ia bisa memiliki anak dengan cara lain. Hidup berdua selamanya tidak ada yang salah. Semuanya akan baik-baik saja.

"Bilang ke orang tua kita gimana, Mas?" Tentu saja Melisa tidak melupakan bagian ini. Kalau orang tuanya, mungkin tidak akan masalah. Sejak dulu mereka tidak keberatan dengan keputusan anak-anaknya. Namun, bagaimana dengan ibu mertuanya? Sejak kedatangannya beberapa bulan yang lalu, Melisa sudah merasakan hawa peperangan dari sang mertua.

"Untuk sekarang kita rahasiakan dulu, terus sambil cari waktu yang tepat buat bilang ke mereka."

"Kapan?"

"Ya, kita cari dulu."

"Besok gimana?"

"Nggak besok juga, Mel."

"Kenapa? Mas takut?"

"Mel, nggak mudah ngomong begini ke Ibu."

"Ya udah, kita omong ke orang tua aku dulu."

"Mel, tolong, kita bener-bener harus cari waktu yang tepat."

Melisa mendengkus. Apa susahnya mengatakan 'Ma, Pa, Bu, aku sama Melisa sepakat nggak mau punya anak selamanya'? Ada yang mudah, kenapa harus dipersulit? Kalau tidak mau terima ya sudah, pisah lebih baik. Kalau langsung diterima, bukannya bagus, jalan mereka untuk menjadi childfree akan berjalan mulus.

Oke, sepertinya memang Melisa yang tidak sabaran. Ia kembali mengatur napas. Berusaha mengendalikan pikiran serta hatinya.

"Mas sudah yakin dengan keputusan ini?" Dalam hati, Melisa masih berharap Candra berubah pikiran. Entah sekarang atau nanti.

"Aku yakin karena udah dipikirin dari dulu. Maaf kalau aku ngecewain kamu."

"Terlambat, Mas. Aku udah telanjur kecewa."

"Maaf, Mel."

Melisa menghela napas. Tidak ada gunanya marah-marah. Toh, sekarang Candra berusaha berkata jujur. Lebih baik jujur sekarang daripada nanti, malah tambah runyam. Setidaknya ada hal baik yang Melisa bisa petik.

"Sebagai permintaan maaf, aku mau Mas menuruti keinginanku yang satu ini," kata Melisa setelah beberapa menit bungkam.

"Kamu mau apa?"

"Aku mau lihat dalam kokpit."


17 September 2022

••••

Sebenarnya ini buat bab 3, cuma aku mutilasi karena ngerasa kecepatan. Sekarang malah jauh banget kan 😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro