15 - Pulang
Perasaannya berkecamuk, berontak, sisi hatinya tidak menerima, tetapi lidahnya tidak cukup berani untuk sekadar mengatakan "tidak". Bertahun-tahun Candra terjebak dalam posisi ini sehingga ia, tidak memiliki daya untuk melawan. Ketika ibunya mengatakan harus, maka wajib baginya untuk mengikuti arus. Terikat situasi yang rumit. Candra yakin saat mengatakan kabar ini, Melisa akan marah padanya. Bagaimanapun ia sudah berjanji tidak akan mengecewakan istrinya.
Candra menunggu waktu yang tepat. Melisa serta keluarganya masih sibuk dengan urusan kepulangan Ahsan. Istrinya itu cukup sedih dengan kepergian sang kakak setelah terjadi kesalahpahaman. Sialnya, beberapa jam lagi dirinya yang akan menambah mendung di wajah ayunya.
Ahsan, Tiara, dan Mutia sudah masuk ke mobil. Ryan yang akan mengantarkan mereka sampai bandara. Saat Avanza merah berbelok, lalu Ratna beranjak ke dapur dan Hartanto pergi mandi, suasana mendadak sepi. Candra kembali teringat ucapan ibunya.
"Mel, aku mau ngomong sesuatu ke kamu." Candra membuka suara.
"Ngomong apa? Mas kayak orang bingung gitu. Dari tadi diem aja."
Tentu saja sikapnya terbaca di mata Melisa. Sejak menerima telepon dari Sarina, Candra tidak dapat menyembunyikan rasa gugupnya.
"Ibu udah tau kalau aku ada di sini. Katanya ketemu sama temen satu kru di penerbangan kemarin."
"Terus Ibu minta Mas pulang?" tebak Melisa. Dia sudah tahu mau dibawa ke mana arah pembicaraan suaminya.
"Iya."
"Terus Mas bilang apa?"
"Ya, kita akan pulang malam ini---"
"Kita?" Melisa memotong ucapan Candra. "Mas tahu aku di sini seminggu. Kalau Ibu minta Mas pulang, ya, pulang aja sendiri!"
"Ya, nggak bisa gitu. Kamu juga harus ikut pulang. Nanti Ibu marah kalau kamu---"
"Aku nggak peduli, Mas! Mas mau pulang sekarang silakan. Aku masih mau di sini."
"Mel, tolong ngerti posisi aku."
"Ngertiin posisi?" Suara Melisa meninggi. "Setiap hari, Mas, aku selalu berusaha untuk ngerti. Aku berusaha jaga wibawa kamu di depan ibu kamu sendiri. Aku cuma minta seminggu di sini, dan itu nggak bisa Mas turuti, kan?"
Melisa menghela napas. Mulai mengatur suaranya agar tidak terdengar sampai ke telinga orang tuanya. "Kalau Mas mau pulang sekarang silakan. Aku nggak mau."
Selanjutnya, Melisa berlari menaiki tangga menuju kamarnya. Candra mengejar sembari memanggil nama perempuan itu. Namun, ia kalah cepat. Melisa berhasil masuk dan mengunci pintunya.
"Mel, jangan kayak gini. Buka pintunya!"
Di dalam, Melisa pura-pura tidak mendengar. Kesal menggerogoti hatinya, dan ia lampiaskan dengan mengacak kasur. Masa bodo berantakan, yang penting kesalnya hilang.
Kenapa nasib baik tidak pernah berpihak padanya? Belum lama merasakan bebas karena Mutia telah pergi, kenapa Sarina harus bertemu dengan teman satu kru suaminya? Sumpah, mertuanya itu kenapa menyebalkan sekali?
"Sayang, ini Mama, boleh masuk nggak?"
Melisa memandang daun pintu. Suara mamanya terdengar dari luar. Dih, curang. Candra pakai bantuan Ratna untuk membujuknya.
"Melisa, Mama boleh masuk nggak?"
Dengan berat hati, Melisa menyeret kakinya ke arah pintu, memutar kunci, lalu membuka pintunya hingga wajah sang mama terlihat. Di belakang Ratna tidak ada siapa pun. Lho, Candra bersembunyi di mana?
Ratna dan Melisa duduk bersisian di pinggir ranjang. Melisa mengunci rapat bibirnya. Enggan membeberkan alasan ia mengunci Candra di luar.
"Kamu kenapa, Sayang?"
"Aku kesel, Ma. Ibu nyuruh kita pulang hari ini juga, padahal aku masih mau di sini!"
"Kenapa masih mau di sini?"
"Ya, aku masih kangen kalian."
Ratna tersenyum. Tangannya mengelus rambut anak bungsunya itu. "Mama paham perasaan kamu, tapi kamu juga harus ingat, orang tua kamu sekarang bukan mama dan papa aja. Ada ibu mertua kamu yang juga butuh kehadiran anaknya."
"Aku udah nyuruh Mas Candra pulang duluan, Ma. Aku masih mau di sini."
"Eh, nggak bisa gitu. Masa, suami istri saling jauhan."
"Lha, aku aja sering ditinggal terbang."
"Itu beda, Sayang. Kamu ditinggal kerja, sedangkan ini? Nggak baik kalau kamu nggak nurut sama suami. Mama yakin Candra juga masih mau di sini, tapi dia nggak bisa ninggalin ibunya lama-lama, karena laki-laki akan tetap milik ibunya meski sudah menikah. Kamu harus ikut pulang karena sekarang tanggung jawab kamu pindah ke pundak suamimu. Mungkin kamu udah bosan dengerin ini, tapi Mama nggak akan bosan bilangin."
Melisa tidak membantah lagi. Ia berusaha memosisikan dirinya sebagai Candra. Bisa jadi, tadi Candra sudah berusaha membujuk ibunya, tapi ia tahu keputusan Sarina tidak bisa diganggu gugat. Melisa cukup tahu bagaimana respons Candra terhadap ibunya. Dari dulu suaminya sudah terjerat. Memang benar, kali ini Melisa yang harus mengerti posisi Candra.
"Ya udah, deh, aku pulang hari ini," ucap Melisa pelan. Walau sebenarnya masih tidak rela, Melisa akan mencoba menjadi istri yang baik.
"Nah, gitu, dong. Mama seneng dengernya. Kadang, kita memang punya keinginan kuat, tapi karena kondisinya sudah berbeda, kita harus banyak mengalah. Dalam rumah tangga itu harus ada yang bisa menurunkan egonya."
"Iya, Ma."
Merasa misinya berhasil, Ratna meninggalkan anaknya. Lalu, Melisa membuka lemari, mengambil tas besar dan mengisinya dengan pakaian yang ia bawa. Ia juga kembali mengecek isi travel bag serta navbag milik suaminya, memasukkan seragam dan atributnya.
Mendengar derap langkah seseorang, pintu dibuka dan ditutup, Melisa tidak menoleh sama sekali. Malas memperlihatkan wajahnya. Masih melancarkan aksi ngambeknya.
Candra mengambil posisi di dekat istrinya. Matanya tidak lepas memandang wajah cantik perempuan itu. "Kita mau naik pesawat atau kereta?"
"Terserah."
"Kalau naik pesawat aja gimana?"
"Ya, terserah. Kan, Mas yang mau pulang!"
Bibir tebal milik pria itu mengembuskan napas. Ia mencoba meraih tangan istrinya, tapi langsung ditepis.
"Maafin aku, ya. Aku janji setelah ini kita bisa jalan-jalan lagi."
"Nggak usah umbar janji kalau nggak bisa ditepati! Nggak mempan!"
Namun, Candra tidak menyerah. Ia pun menarik pinggang Melisa, didekapnya dengan erat. Melisa sempat berontak, tetapi Candra berhasil mengunci pergerakannya. Dengan posisi itu, Candra berhasil merayap di bibir istrinya walau tidak berlangsung lama. Melisa yang masih kesal itu berhasil melepas ciuman itu dengan menggigit bibir suaminya.
"Sakit, Mel." Candra meraba bibirnya sendiri. Tidak berdarah, tapi berdenyut.
"Habisnya kebiasaan! Aku lagi kesel, jangan diganggu! Sana pergi!"
Candra tidak menurut. Ia kembali memeluk istrinya, tetapi kini sembari memainkan ponsel. Melisa diam saja. Mau berontak pun akan percuma. Si suami tidak menyerah.
"Aku udah pesan tiket pesawat. Penerbangan kita jam enam sore. Sekarang masih sisa dua jam lagi. Kamu kayaknya butuh istirahat di dalam pesawat."
Melisa mengernyitkan dahi. "Hah? Kenapa aku harus istirahat di pesawat?"
"Karena aku mau refreshing sama kamu di sini sebelum pulang."
Sebagai editor yang baik, Melisa paham betul arti dari kalimat suaminya. "Heh, nggak ada! Udah dibilangin aku masih kesel sama Mas. Aku mau mandi!"
"Oke, kalo gitu mandi bareng."
"Nggak mau!"
"Sayang, lusa aku terbang, lho. Kamu nggak mau nabung rindu?"
"Ora urus!"
"Oh, kalau kita coba di pesawat gimana? Aku pesan first class, lho."
Melisa melotot. "Edan kamu, Mas. Ya, nggak di pesawat juga. Kayak nggak ada tempat lain aja!"
"Ya udah, kamu pilih istirahat di pesawat atau ngelakuin di sana?"
15 September 2022
••••
Sampai juga di tengah bulan 😭😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro