14 - Marah Besar
Sudah tiga hari anak beserta menantunya tidak ada di rumah. Selama itu pula Sarina tidak ada kegiatan di luar. Hingga ia merasakan sepi. Hanya ada Lala dan tukang kebun sekaligus sopir yang bernama Sarto di rumahnya yang besar.
Sebenarnya Sarina benci sendirian. Ia memilih menyibukkan diri dengan mengikuti berbagai macam kegiatan dengan para ibu sosialita. Ada saja yang dibicarakan oleh ibu-ibu dalam komunitas tersebut. Mereka membicarakan prestasi anak, pendapatan suami, fashion, hingga urusan ranjang. Mendengar beberapa temannya yang membanggakan anaknya, Sarina jadi terobsesi menjadikan Candra seseorang yang menarik.
Sarina mulai merancang sekolah yang menurutnya cocok untuk Candra, mulai mendaftarkan Candra ke berbagai les, mulai mengatur cara berpakaian sang anak, mulai membatasi waktu bermainnya, sampai makanan pun ia perhatikan. Wanita itu tidak peduli jika anaknya berontak, protes, dan tertekan. Yang penting Candra bisa menandingi prestasi anak-anak temannya.
Akibat dari obsesi tersebut, Sarina kerap bertengkar dengan suaminya. Sang suami tidak tega melihat anaknya mengikuti semua kegiatan yang dirancang Sarina demi memuaskan nafsu. Sarina yang merasa tidak mendapat dukungan suami akhirnya melayangkan gugatan cerai. Hak asuh Candra jatuh ke tangannya karena masih di bawah umur. Soal harta, Sarina tidak perlu khawatir. Ia masih memiliki usaha peninggalan orang tuanya.
Tidak ada suami, Sarina merasa bebas memoles Candra. Saat SMP, Sarina sudah mendaftarkan ke sekolah terbaik, tanpa persetujuan anaknya. Pun ketika SMA. Menjelang lulus, Sarina kembali dibuat iri oleh temannya. Anak dari temannya itu memilih sekolah penerbangan setelah lulus SMA. Hal itulah yang membuat Sarina mendorong Candra masuk ke sekolah penerbangan juga. Ia yakin begitu anaknya menjadi pilot, maka hidupnya akan stabil.
Candra yang sudah besar berani menolak keinginan ibunya. Namun, Sarina yang tidak mau kalah terus menekan anaknya sampai mau. Anaknya berhasil melalui berbagai macam tes seleksi masuk sekolah penerbangan. Pada tahun pertama, prestasi Candra cukup bagus. Tentu saja itu menjadi bahan Sarina saat pertemuan dengan teman-temannya. Ia selalu menceritakan anaknya yang cerdas. Tahun berganti, pendidikan pilot berhasil ditempuh dengan baik oleh Candra. Ia berhasil melewati masa menjadi cadet hingga akhirnya menjadi captain. Sarina merasa misinya telah berhasil. Setiap saat ia memamerkan keberhasilan anaknya.
Tentu Sarina tidak peduli dengan tekanan yang dialami anaknya. Demi mengurangi beban itu, Candra menumpahkannya ke dalam tulisan dan menjadi sebuah buku. Ia diam-diam menerbitkan tulisannya. Saat Sarina mengetahui itu, ia marah besar, tidak terima anaknya melakukan pekerjaan yang sia-sia. Satu kesalahan kecil melupakan semua usaha Candra ketika menjadi taruna. Benar, Sarina sudah berusaha keras agar anaknya melupakan keinginan jadi penulis. Melihat anaknya tidak sesuai keinginan, siapa yang tidak kecewa?
Kekecewaan Sarina makin menjadi kala Candra memutuskan menikah dengan Melisa. Padahal, Sarina sudah menyiapkan jodoh yang sepadan, seorang anak pilot juga. Namun, lagi-lagi, anaknya itu keras kepala, mengancam akan berhenti menjadi pilot kalau Sarina tidak merestui Melisa. Setengah hati ia menerima menantunya itu. Pernikahan pun terjadi. Sarina menyuruh Candra memboyong istrinya menetap di Jogja, tinggal satu atap dengannya.
Sarina memperlakukan Melisa sama seperti anaknya. Ia mulai mengatur gerak menantunya itu dan butuh perjuangan besar lantaran Melisa berbeda dengan Candra. Anaknya menurut, sementara menantunya sering membangkang. Selalu bisa menjawab saat Sarina memarahinya. Yang lebih parah, Melisa tetap bekerja di tempat kecil padahal suaminya sudah memiliki penghasilan besar, bahkan tidak habis.
Keadaan semakin parah saat Melisa tidak kunjung hamil. Sarina sangat mengharapkan seorang cucu hadir di kehidupannya. Apalagi, banyak teman sebayanya yang sudah menggendong cucu. Pernikahan anaknya sudah menginjak tahun ketiga, Sarina mulai mengatur strategi supaya bisa memiliki cucu. Mulai dari memilihkan makanan terbaik untuk Melisa, sampai terpikir untuk menyuruh Candra menikah lagi. Tidak ada salahnya jika anaknya berpoligami, toh, Candra cukup secara finansial. Sarina yakin anaknya mampu membagi waktu dengan dua istri, atau kalau Melisa menolak, ia bisa menyuruh Candra untuk menceraikan istrinya itu.
Semua yang ia lakukan demi kebaikan Candra dan tentu saja supaya Sarina punya bahan untuk ajang pamer.
Hari ini, Sarina mengajak Lala ke supermarket untuk beli bahan makanan. Ia ingin membuat sesuatu untuk anaknya jika sudah pulang nanti. Mengharapkan Melisa tidak mungkin, anak itu masih berada di Semarang entah sampai kapan. Sarina bahkan senang jika menantunya itu tidak pulang.
"Sudah semua, Bu. Ada yang mau dibeli lagi?" tanya perempuan berambut pendek yang sudah mengabdi pada Sarina cukup lama.
Wanita bersanggul itu mulai memeriksa belanjaan di troli. Tidak ada yang terlewat. "Cukup. Ayo, kita ke kasir."
"Nggih, Bu."
Lala mendorong troli pelan-pelan menuju kasir. Sarina sudah lebih dulu jalan di depan. Tiba di tempat itu, barang-barang mulai dihitung. Selanjutnya, Sarina mengeluarkan kartu debit untuk membayar.
"Ibu ... ibunya Captain Candra, kan?"
Sarina memutar tubuhnya, menghadap ke asal suara. Di hadapannya sekarang, ada seorang perempuan bertubuh tinggi yang juga membawa troli. Penampilan perempuan ini cukup menarik. Wajah dengan mekap tipis dan mengenakan kemeja flanel yang kancingnya terbuka, menampakkan tank top putihnya. Hidung mancung dan berkulit putih.
Namun, yang menarik lagi, kenapa perempuan ini bisa mengenalinya?
"Betul. Kamu siapa?"
"Saya Syakira, pramugari yang biasa satu set dengan Captain Candra. Saya pernah lihat foto Ibu di ponsel Captain."
"Oh." Sarina mulai menyadari sesuatu. Kalau Syakira yang kata satu set dengan Candra ada di sini, lantas ke mana anaknya?
"Pekan ini kamu tidak ikut terbang dengan anak saya?" Sarina mulai memancing perempuan bermata bulat itu.
"Saya baru saja pulang, bareng dengan Captain Candra. Harusnya Captain sudah ada di rumah kemarin, Bu."
Mendengar itu, perasaan Sarina mulai tidak enak. Hawa panas menjalar dari kaki sampai kepala. Pikirannya tertuju pada Candra. Anak itu mulai berani berbohong padanya.
"Terima kasih kamu sudah beri tahu. Saya permisi dulu." Sarina menoleh ke belakang. "Ayo, Lala, kita ke mobil."
Lala mengiakan. Ia pun merasakan hawa panas itu. Sepertinya sebentar lagi akan terjadi kerusuhan antara ibu, anak, dan menantu.
Di dalam mobil, Sarina mencoba menghubungi anaknya. Kalau nomor anak ini aktif, berarti dia sedang berada di darat. Ternyata tersambung, tetapi tidak diangkat. Sarina terus menelepon Candra, sampai gusar karena anaknya tidak mengangkat teleponnya.
"Mungkin perempuan tadi bohong, Bu. Cuma mau manas-manasin Ibu." Lala angkat bicara, tapi justru mendapat tatapan tajam dari sang majikan.
"HP Candra aktif, La. Perempuan itu nggak bohong. Candra pasti nekat nyusul Melisa ke Semarang, makanya sengaja nggak angkat telepon ibunya!"
Lala mengatupkan bibirnya.
"Awas saja kalau anak itu pulang, aku kasih pelajaran!"
Sarina sudah terbakar, Lala tak bisa berbuat apa-apa. Ia memilih diam daripada salah bicara. Walau ada rasa kasihan yang muncul, mengingat perilaku Sarina terhadap Melisa cukup mengiris hati. Tidak sekali ini Lala melihat Melisa selalu dimarahi mertuanya.
Candra baru menghubunginya saat matahari beranjak di atas kepala. Sarina tidak tahan lagi mengeluarkan amarahnya.
"Ibu habis ketemu temen kamu. Dia udah ada di sini, tapi kamu nggak pulang. Kamu pasti nyusul istrimu ke Semarang, kan?"
"Iya, Bu."
"Kenapa kamu bohong sama Ibu? Siapa yang ngajarin kamu? Gara-gara perempuan itu kamu berani bohong ke Ibu?"
"Bu, Melisa nggak tahu apa-apa. Aku yang inisiatif datang ke sini. Dia juga nggak nyuruh aku buat bohong ke Ibu."
"Ibu nggak mau tahu, malam ini juga kalian sudah ada di sini. Kalau Melisa nggak mau, kamu aja yang pulang!"
"Tapi, Bu---"
"Ibu nggak mau dibantah! Malam ini juga kamu harus ada di sini!"
14 September 2022
••••
Cadet: pilot junior
Day 14, yeay!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro