12 - Makin Jadi
Candra menyebalkan! Dari berendam air hangat itu, Melisa benar-benar dikurung di dalam kamar. Makan siang dan malam pun Candra yang turun lalu dibawa ke kamar. Muka Melisa mau ditaruh di mana kalau bertemu Ratna, Hartanto, dan para kakaknya? Tahu kalau sedang rindu, tapi jangan sampai segitunya!
Yang paling menyebalkan lagi ketika memutuskan turun ke dapur, hanya ada Mutia di ruangan itu. Mana Mutia belum sempat mengeringkan rambutnya. Apes. Ia pikir sudah tidak ada orang.
"Tau, sih, kalau ini rumah orang tua kamu, tapi tau diri, dong. Masa, seharian di kamar terus."
Bola mata Melisa memutar. Pipinya mengembang karena baru saja diisi air putih. Kalau boleh, sih, mau dimuntahkan saja ke wajah menor kakak iparnya itu. Halo, siapa, ya, yang kemarin pagi tidak ikut sarapan, malah berdiam di kamar? Mutia tidak amnesia, kan?
"Emang Mbak Mutia nggak pernah dikasih jatah sama Mas Ahsan, ya? Atau Mbak nggak sanggup main beberapa ronde? Jangan mau kalah, dong, sama aku." Melisa menepuk keras bahu Mutia. Kemudian, beranjak ke ruang laundry. Sebelum menghilang, Melisa melihat wajah kusut kakak iparnya. Rasakno. Siapa suruh julid?
Rumah tampak sepi. Biasanya jam segini, Ratna sudah pergi ke toko, Hartanto ke peternakan, Fyan ke firma, dan Ryan katanya mau meninjau kafenya. Kalau Ahsan ... mungkin masih di kamar dengan anaknya, belum kelihatan batang hidungnya sejak Melisa turun. Kalau Candra, masih tidur setelah subuh. Ya, istirahatnya baru terealisasikan hari ini.
Melisa memasukkan seragam Candra dan pakaian yang kemarin dikenakannya ke mesin cuci. Setelah itu, ia tambahkan air dan sabun, lalu dinyalakan. Sembari menunggu, Melisa membuka ponselnya. Membalas pesan-pesan dari para penulis yang terbengkalai sejak semalam. Melisa juga mengecek naskah yang sudah dikirim. Bibirnya mengembang sempurna. Semua penulisnya sudah paham dengan materi yang kemarin disampaikan. Kesalahan mereka berhasil diminimalisir. Nanti tinggal mengoreksi bagian alurnya.
Begitu pakaian selesai digiling, Melisa mengeluarkannya, lalu dijemur. Setelah itu, ia beranjak keluar. Kembali ke dapur, ia melihat Candra sedang duduk di kursi dan Mutia sedang mengambil cangkir, sambil tersenyum pula. Secepat kilat, Melisa mencegahnya.
"Mbak mau ngapain?" tanya Melisa. Ia sudah berhasil merebut sendok dan cangkir dari tangan Mutia.
"Aku mau bikin minum buat suami kamu. Kamu, kan, lagi sibuk nyuci, nggak ada salahnya aku gantiin tugas kamu?"
"Cucianku sedikit dan udah selesai, Mbak. Emang nggak bisa, ya, Mbak jalan terus panggil aku dan bilang suaminya udah bangun? Kenapa harus Mbak yang bikin minum?"
"Mel, udah, kan, cuma bikin minum." Candra bersuara. Mendengar itu, Melisa melirik tajam ke arah suaminya.
"Cuma Mas bilang? Yang Mas bilang cuma itu bakal jadi besar kalau dibiarin!"
Dari arah kamar, Ahsan akhirnya muncul karena mendengar suara adiknya. "Mel, kamu kenapa? Kok, marah-marah?"
Melisa beralih memandang sang kakak. "Mas, bilangin ke istrinya, dong, jangan genit sama suami orang! Kemarin dia bilang kalau oleh-oleh dari Mas Candra kemurahan, sekarang dengan pedenya mau bikinin minum. Apa namanya kalau bukan jilat ludah sendiri?"
"Sayang, udah, ya. Ini cuma salah paham." Candra akhirnya turun tangan. Mengajak Melisa duduk. Jujur melihat raut wajah kakak iparnya membuat hatinya jadi tidak enak.
"Mutia, benar kamu bilang begitu ke Melisa?" tanya Ahsan kepada istrinya.
"Ah, itu nggak seperti yang kamu pikirin, kok. Melisa pasti salah dengar."
Amarah Melisa makin memuncak usai mendengar ucapan sang kakak ipar. Benar-benar muka dua si Mutia! "Aku heran sama Mas Ahsan, dapet dari mana perempuan muka dua kayak Mbak Mutia."
"Melisa, jaga ucapan kamu! Mas nggak pernah ngajarin kamu kayak gitu."
Melisa mengerjap. Jantungnya baru saja terjun bebas hingga sesak datang tanpa diundang. Barusan Ahsan bilang apa ... Ahsan tidak percaya padanya? Ahsan membela istrinya?
"Aku pikir Mas Ahsan akan mengerti gimana rasanya nggak dihargai. Aku tahu Mas juga kerja keras, tapi masih sempat memikirkan keluarga. Itu juga yang dilakukan sama Mas Candra. Mas tahu nggak, Mas Candra lelah mikirin gimana pesawat tetap stabil biar nggak mengecewakan penumpang, terus pulang dia masih sempat beliin oleh-oleh buat keponakannya, tapi begitu udah dibeliin, ada orang yang bilang kemurahan. Aku nggak ngerti, bener-bener nggak ngerti sama jalan pikiran Mbak Mutia.
Melisa beralih menatap Mutia. Kali ini, pandangannya berkabut. "Selamat, ya, Mbak. Udah berhasil bikin drama yang keren."
Akhirnya Melisa berlari menaiki tangga, kemudian membuka pintu kamar, dan mengambil posisi tengkurap di kasur. Ia menenggelamkan wajahnya di bantal, membiarkannya basah. Ia pikir pulang ke Semarang adalah keputusan yang baik. Sayangnya itu hanya mimpi. Tidak ada kedamaian di mana pun.
Kepala Melisa semakin tenggelam ketika mendengar derap langkah seseorang mendekat. Tak lama, ia merasakan rambutnya diusap pelan-pelan.
"Hei, ayo, duduk."
Tanpa disuruh dua kali, Melisa mengubah posisi tubuhnya. Candra menangkup pipi istrinya yang basah. Ia usap air mata yang baru saja mengalir.
"Kamu pasti kaget, ya, dengar Mas Ahsan ngomong begitu?"
Melisa mengangguk.
"Dengerin aku, bisa jadi Mas Ahsan udah tau, cuma dia nggak mau membuka aib istrinya di depan kamu, apalagi di luar ada anaknya. Kamu juga nggak bisa bilang begini dan begitu karena itu bukan urusan kamu. Aku tahu kamu belain aku, tapi kita juga nggak bisa menjelaskan diri kita ke orang yang nggak mau tahu. Kamu ngerti, kan?"
Perempuan itu menghela napas, kemudian mengangguk lagi. Ia sadar tadi sudah keterlaluan, mana posisi Tiara dekat dengan dapur pula. Ia jadi merasa bersalah pada anak itu. Semoga saja Ahsan bisa mengatasi istrinya walau Melisa yakin akan sulit. Lebih baik bertemu dengan wanita yang sudah 'selesai' dengan masalah hidupnya daripada harus membimbing. Mungkin ini salah satu ujian dari Allah untuk Ahsan.
Kalau ingat itu, Melisa sedikit tidak rela. Sungguh, kakaknya itu laki-laki terbaik kedua setelah Hartanto. Ahsan yang lebih dulu makan asam garam kehidupan, Ahsan yang lebih dulu merasakan perjuangan mama papanya, lalu ketika sudah sukses malah bersatu dengan wanita ular macam Mutia.
"Maafin aku, Mas," ucap Melisa lirih.
"Kamu nggak punya salah sama aku. Kamu minta maaf sama Mas Ahsan, ya. Nggak usah mikirin siapa yang salah, justru aku bangga kalau kamu minta maaf duluan."
Melisa tersenyum. Tangannya memeluk tubuh Candra dengan erat. Menghirup aroma parfum yang dikenakan laki-laki itu. Begitu menenangkan.
"Mau lanjut ke ronde selanjutnya?"
Bola mata Melisa membulat sempurna. Ia lantas mengurai pelukannya. "Nggak. Kalau di sini terus kapan jalan-jalannya, Mas? Nanti keburu ketahuan Ibu!"
"Sama kamu nggak usah jalan-jalan udah cukup, kok."
"Ih, aku yang capek!"
Kali ini Candra yang merengkuh Melisa dengan sangat erat, bahkan mulai melancarkan serangan di wajah istrinya. Melisa berontak, tetapi hanya sebentar. Sampai akhirnya ponsel di dalam saku celana Candra berdering panjang. Terpaksa Candra menghentikan aktivitasnya.
"Mas nggak posisi stand by, kan?"
"Nggak, kok." Candra mengeluarkan benda pipih itu dari sakunya. Begitu melihat siapa yang menghubunginya, Candra tertegun.
Yang meneleponnya sekarang adalah Sarina.
12 September 2022
••••
Hayoloh itu Sarina kenapa tiba-tiba telepon?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro