11 - Oleh-Oleh Melisa
Dahulu Candra pikir menjadi anak tunggal merupakan hal yang menyenangkan. Apa yang diinginkan selalu dituruti karena tidak terbagi dengan saudara. Namun, semua itu tidak sepenuhnya benar. Candra memang tidak berbagi dengan siapa pun, tetapi ia hidup di bawah tekanan ibunya. Apalagi, setelah kedua orang tuanya berpisah, makin berat perjuangan hidupnya.
Apa saja sudah diatur oleh Sarina. Mulai dari hal yang paling kecil seperti memakai pakaian. Jika Sarina sudah menentukan harus mengenakan pakaian ini, maka Candra harus menurutinya, tidak boleh membantah. Lalu, setiap hari Candra mengikuti serangkaian les sampai waktu bermain pun tidak ada. Pernah sekali melanggar dan ketahuan ibunya, Candra tidak mendapatkan uang saku keesokan harinya. Saat memasuki SMP dan SMA pun, Candra tidak bisa memilih sekolahnya sendiri. Semua dikendalikan oleh ibunya.
Diatur sedemikian rupa oleh Sarina membuat Candra tidak memiliki banyak teman. Kepercayaan diri laki-laki itu perlahan terkikis. Kebebasannya telah direnggut paksa. Terkadang ia iri dengan teman-temannya yang bisa bebas bermain tanpa memikirkan akan diomeli oleh orang tua. Candra iri dengan mereka yang bisa menikmati jajanan di luar. Candra iri dengan anak-anak yang bisa menikmati liburan bersama keluarga.
Setelah menikah dengan Melisa, Candra cukup terkejut dengan cara didik mertuanya. Melisa dibiarkan bebas sekolah dan memilih jurusan apa pun, Melisa boleh main dengan siapa pun, Melisa boleh mengikuti kegiatan tanpa khawatir kemalaman atau ketinggalan jam makan, Melisa bisa membuat keputusan tanpa khawatir mama papanya marah, termasuk keputusannya menikah saat masih kuliah, orang tuanya sama sekali tidak keberatan.
Candra pun disambut hangat. Hartanto dan Ratna begitu terbuka, ketiga kakak Melisa juga langsung menerimanya walaupun ada sedikit drama di awal. Bertemu dengan Melisa merupakan suatu anugerah yang tidak pernah Candra bayangkan sebelumnya. Berkat Melisa, ia jadi tahu bahwa masih ada orang tua yang memberi kebebasan tapi tidak kebablasan, bukan diatur seperti robot.
Bahkan, kini mereka membiarkan Candra menikmati masakan istrinya. Berdua dengan Melisa. Itupun Melisa tidak ikut makan. Di rumah, Sarina tentu akan marah kalau makan masing-masing.
Namun, wajah Melisa keluar dari dapur berbeda. Istrinya itu tampak seperti sedang menahan kesal. Apalagi, Mutia, tidak muncul setelah itu. Apa mungkin barusan terjadi sesuatu antara Melisa dengan kakak iparnya? Candra belum berani bertanya karena tidak mau mengganggu Melisa yang masih menyiapkan makanannya.
Candra duduk, lalu meraih sendok dan garpu. Ia mulai mengaduk nasi dengan sambal goreng ati. "Kamu kenapa? Kok, mukanya gitu."
"Biasa, ada setan tadi," jawab Melisa singkat. "Besok-besok Mas nggak usah beliin oleh-oleh buat Tiara."
"Lho, kenapa?"
"Ibunya nggak suka. Katanya murahan."
Aneh. Padahal, tadi jelas-jelas Mutia bilang suka. Oh, mungkin ini pemicunya. Di depan bicara yang baik-baik, di belakang berani gibah. "Kan, yang nggak suka ibunya. Kalau anaknya, udah habis dua, tuh."
Melisa kian cemberut. Candra jadi gemas. Sayangnya, jarak duduknya cukup jauh.
"Kan, aku juga yang salah karena nggak tahu kesukaan Tiara. Makanya---"
"Bukan salah Mas. Mbak Mutia-nya aja yang nggak tahu terima kasih."
"Ya udah, nggak usah dipikirin lagi, ya."
Candra kembali menyuap nasi ke dalam mulutnya. Ia memang sudah tahu hubungan Melisa dengan kakak iparnya tidak terlalu akrab. Ya, untungnya mereka tinggalnya berjauhan.
"Gimana rasanya, Mas?" Melisa menangkup wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Mata bulatnya menatap lurus ke arah Candra yang masih menyantap makanannya. Sepasang suami istri itu duduk saling berhadapan.
"Enak."
Sebelum menikah, Melisa mengaku tidak bisa memasak dan Candra tetap menerimanya. Namun, gara-gara sering dikomentari Sarina, Melisa jadi tergerak belajar masak dengan temannya. Masakan Melisa masih sederhana, tapi rasanya tidak mengecewakan, dan lagi-lagi, Candra tidak mempermasalahkannya. Toh, dirinya saja bisa sarapan di Jogja, makan siang di Jakarta, dan makan malam di Bali. Dalam seminggu, masakan Melisa yang masuk ke perutnya bisa dihitung pakai jari.
"Mas beneran nggak bilang sama Ibu, kan, kalau ke sini?"
Candra menelan makanannya lebih dulu. "Nggak, Sayang. Aku langsung ke sini dan nggak bilang sama Ibu."
"Nah, bagus. Ibu taunya Mas masih terbang. Semoga aja bakal kayak gitu sampai kita pulang nanti."
Pria itu tidak menanggapi. Sebenarnya ia tidak biasa berbohong pada ibunya. Karena sudah diatur sejak kecil, Sarina tahu segala yang menyangkut hidupnya. Jadi, Candra sangsi jika ibunya tidak tahu keberadaannya sekarang.
"Habis ini Mas mau ngapain?" Melisa bertanya.
"Mau istirahat. Nggak apa-apa, kan, kalau aku ... di kamar hari ini?"
"Ya, nggak apa-apa, Mas. Kan, Mas juga butuh istirahat. Mas boleh tidur sepuasnya."
Mungkin tidak masalah bagi Melisa, tapi bagaimana dengan .... "Keluarga kamu gimana?"
"Ya, nggak gimana-gimana. Itu Mbak Mutia tadi pagi nggak gabung sarapan aja, mama papa nggak masalah. Mas rileks aja di sini. Kalau mau tidur, tidur aja."
Candra mengerjap. Baiklah jika tidak ada masalah.
"Mau istirahat sekarang, Mas?" tanya Melisa begitu piring makan suaminya sudah kosong.
"Iya."
"Ya udah, kalau gitu aku ambilin tasnya di depan."
"Bareng aja. Aku sekalian mau pamit ke mama sama papa."
"Ya udah, ayo."
Keduanya beranjak menuju ruang tamu. Tentu sebelumnya Melisa membereskan meja makan. Di ruang tamu, hanya tersisa Ratna dan Hartanto.
"Abang mana?" tanya Melisa.
"Bang Fyan udah berangkat ke firma, terus Bang Ryan lagi antar Mas Ahsan sama Tiara jalan-jalan," jawab Ratna. "Candra sudah selesai makan?"
"Udah, Ma. Sekarang Mas Candra mau istirahat dulu."
"Oh, silakan. Mama sama Papa ngerti, kok."
Mendengar itu, Candra sedikit lega. Lingkungan seperti inilah yang ia inginkan sejak dulu. Mereka tahu kondisi masing-masing. Tidak memaksakan kehendak seperti ibunya.
Mereka berdua kemudian menaiki tangga menuju lantai dua, tempat kamar Melisa. Dinding kamar tersebut didominasi warna pink. Terdapat banyak koleksi boneka baik di lemari kaca maupun ranjang. Kasur berukuran besar, cukup ditempati dua orang.
Melisa melepaskan ikatan dasi di lipatan kerah seragam suaminya. Ia juga yang membuka kancing-kancing baju tersebut dan mencopot beberapa atributnya, seperti pin wings, id card, bar kapten di kedua bahu, dan mengeluarkan pulpen dari dalam saku. Selanjutnya baju putih itu dimasukkan ke keranjang baju kotor.
"Berendam air hangat mau nggak, Mas?" tawar Melisa.
Candra mengangkat sebelah alisnya. "Sama kamu?"
Melisa terbelalak. "Nggak jadi mandi nanti!"
"Itu oleh-olehnya belum kamu buka." Candra menunjuk navbag di lantai.
"Aku udah hafal, oleh-oleh istimewa buat aku itu kalo nggak baju kotor, ya, baju cantik."
Candra tergelak. "Keluarin, dong."
Melisa menurut. Tangannya menarik ritsleting tas itu. Begitu sudah terbuka, ia menemukan dua kantung plastik dengan warna berbeda, satu hitam dan satu lagi putih. Kalau yang hitam, Melisa tahu isinya. Yang putih pun bisa ditebak isinya.
"Tuh, kan, bener. Emang Mas nggak malu masuk ke toko lingerie?"
"Nggak. Ngeliat kamu pakai aja aku nggak malu, kok. Nanti malam dipakai, ya."
Melisa geleng-geleng, tapi dalam hati sangat bersyukur. Setidaknya, rumor seorang pilot yang senang berselingkuh itu terpatahkan. Setidaknya, Candra masih membutuhkan Melisa untuk menuntaskan hasratnya.
Hingga akhirnya, Melisa merasakan tubuhnya dipeluk dari belakang. Aroma parfum yang dikenakan laki-laki itu tercium. Melisa tidak bisa berkutik saat Candra mulai mengecup lehernya.
"Jadi berendam air hangat nggak?"
"Kan, aku nawarin, bukan ngajakin. Menawarkan sama mengajak udah beda maknanya, Mas," jawab Melisa terbata-bata.
"Kamu benar, kok. Kamu menawarkan, aku mengajak."
Dengan sigap, tubuh Melisa diangkat sampai si empunya terkejut. Perasaan Melisa mulai tidak enak saat Candra melangkah menuju kamar mandi.
"Eh, lho, aku udah mandi, Mas. Ih, katanya mau istirahat! Mas Candra, lepasin!"
11 September 2022
••••
Semangat, Bestie. Perjalanan kita masih panjang 💋💋💋
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro