Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09 - Kedatangan Kakak Ipar


Hari ini, Melisa dan Ratna disibukkan dengan memasak di dapur. Kira-kira nanti siang, Ahsan beserta istri dan anaknya tiba. Berhubung sebentar lagi semua anaknya berkumpul, Ratna ingin masak yang banyak.

"Mama seneng, deh, kamu udah bisa masak," ucap Ratna yang kagum melihat Melisa sedang menumis kangkung. Ia tahu anak bungsunya itu takut sekali dengan kompor. Bahkan, dulu untuk masak mi pun hanya diseduh dengan air panas dari dispenser. Entah siapa yang membuat Melisa berani, Ratna ingin mengucapkan terima kasih. "Mertua kamu suka ajarin kamu masak, ya?"

Melisa tak langsung menjawab. Jujur, yang mengajarinya masak adalah Inayah dan Mbak Lala. Sarina mana mau, inginnya si menantu harus bisa masak. Maklumlah, Sarina masih menganut ajaran perempuan itu harus pandai di dapur, sumur, dan kasur. "Belajarnya sama temen, Ma."

"Dulu nenek kamu pernah bilang, perempuan yang nggak bisa masak itu jadi bisa masak setelah menikah. Kamu setuju nggak?"

"Setuju, sih, Ma. Buktinya aku aja bisa masak setelah nikah."

"Mama juga. Dulu pas belum nikah sama papa kamu, Mama nggak bisa masak sama sekali. Jangankan masak, bedain lengkuas sama kunyit aja nggak bisa. Sebenarnya papa kamu nggak masalah, tapi waktu itu, kan, lagi sulit, terus Mama mikir kalau misalnya bisa masak mungkin bisa mengurangi pengeluaran. Ternyata bener, setelah itu, uang yang biasanya buat makan di luar jadi bisa buat kebutuhan lain."

Melisa sedikit terkejut dengan pengakuan mamanya itu. Bahkan, Ratna yang masakannya tiada duanya itu dahulu tidak bisa membedakan lengkuas dan kunyit. Melisa pikir hanya dirinya perempuan di dunia ini yang tidak bisa membedakan bumbu dapur itu.

Sebenarnya Candra tidak memaksa. Lagi pula, dirinya tidak kesulitan membeli makanan di rumah. Namun, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, Sarina terus menekan Melisa.

Tumis kangkung sudah jadi. Melisa memindahkan hasil masakannya ke piring saji. "Habis ini masak apa lagi, Ma?"

"Kayaknya udah cukup, Sayang. Kita udah masak tempat bacem, ayam goreng, tumis kangkung, jamur krispi. Oh, ya, kamu udah coba makan sayur belum?"

"Sesekali, Ma." Itupun karena dipaksa sama Ibu, lanjut Melisa dalam hati. Ya, mana berani dia mengumbar aib mertuanya di depan Ratna.

"Nah, kalau kamu mau cepat hamil, kamu harus, rajin makan sayuran. Kangkung termasuk sayuran yang wajib kamu makan."

"Mama pengen banget aku hamil, ya?"

Ratna tersenyum, kemudian menyentuh bahu putrinya. "Mama itu terserah kamu, Sayang. Kalau Mama egois, dari awal kamu nikah Mama udah paksa kamu program hamil. Tapi, kan, kalian yang menjalani, Mama cuma bisa ngikutin. Kalau dari kamu, mau nggak punya anak?"

"Mau, Ma."

"Nah, kalau mau berarti kamu harus usaha dengan ... berani makan sayuran."

Melisa meringis. Kalau dipikir-pikir benar juga. Ia mau punya anak, tapi tidak mempersiapkan diri dengan baik. Masih suka begadang, sering makan dan minum sembarangan. Walau kata dokter bisa cepat hamil, tapi kalau tubuhnya tidak dijaga dengan baik sama saja.

"Nanti Mama ajarin cara olah sayuran biar enak dimakan."

Mata Melisa berbinar. "Beneran, Ma?"

"Iya. Kamu di sini sampai Bang Ryan balik ke Singapura, kan?"

Melisa mengangguk mantap. Tentu saja ia tidak akan melewatkan kesempatan emas ini.

"Kamu tau nggak, sebenarnya dari dulu kamu udah makan sayur. Cuma mama olah sayur itu di makanan kesukaan kamu. Kayak kroket ayam kemarin, itu Mama campur kentang, wortel, sama irisan bayam. Mama selalu akalin biar kamu tetap ada gizi dari sayuran."

Melisa manggut-manggut. Wah, sepertinya patut dicoba, nih. Daripada beli instan di minimarket. "Ajarin aku, ya, Ma."

"Siap. Sekarang kita keluar dulu, yuk! Tunggu Mas Ahsan."

Di depan mamanya, Melisa tampak semangat menyambut kedatangan sang kakak. Namun, dalam hati, ia sedang berusaha untuk tidak overtinking. Tahu tidak, bertemu Mutia sama saja seperti bertemu dengan Sarina, panas dingin. Sepertinya dirinya memang tidak diizinkan untuk bebas.

Mutia itu beruntung mendapatkan mertua yang besar hatinya. Ratna dan Hartanto menyayangi Mutia walau kadang ada sikapnya yang kurang enak. Melisa masih ingat, dulu Hartanto sakit, tapi Ahsan tidak diizinkan pulang oleh Mutia dengan alasan sibuk kerja, padahal kakaknya itu bisa mengajukan cuti. Satu lagi yang Melisa ingat, Ahsan pernah menyumbang sebagian gajinya untuk peternakan Hartanto dan ketahuan Mutia, perempuan itu langsung nyinyir yang bukan-bukan. Ryan yang tidak terima langsung mengembalikan uang menggunakan hasil dari kafe.

Semua anggota keluarga sudah tahu kelakuan jahanam Mutia, tapi memilih diam saja. Mereka yakin Ahsan bisa menegur Mutia. Kalau Melisa jadi mamanya Ahsan, sudah disuruh cerai itu biar tidak sombong lagi.

Beberapa jam kemudian, Ahsan beserta istri dan anaknya tiba diantar taksi biru. Ratna yang menyambut lebih dulu, Ryan muncul belakangan untuk membantu mengangkat barang bawaan sang kakak, sementara Melisa menunggu di dalam, malas melihat wajah menor kakak ipar. Akan tetapi, ia bisa mendengar percakapan di luar.

"Apa kabar, Ma?" tanya Ahsan setelah mencium tangan Ratna.

"Alhamdulillah, baik. Kalian gimana? Sehat-sehat aja, kan, di sana."

"Iya, Ma. Kita semua sehat, kok." Kemudian, Ahsan beralih ke arah Ryan. "Ini Ryan, kan?"

Ryan memutar bola matanya. "Iya, Mas. Udah berapa tahun barengan, masa nggak ingat!"

"Lho, kamu di Singapura banyak perubahan. Salah satunya tinggi badan kamu. Mas aja kalah tinggi sekarang."

"Terima kasih pujiannya. Akhirnya aku nggak dikatain pendek lagi kayak Fyan."

"Adik kita mana? Katanya pulang."

"Ada di dalam." Ratna yang menjawab.

"Melisa ada di sini?" Wanita berambut pendek yang sedang menggendong anak perempuan itu bersuara. Siapa lagi kalau bukan Mutia, orang yang kata Melisa sebelas dua belas kelakuannya dengan Sarina.

"Iya. Kemarin datang." Lagi-lagi Ratna yang menjawab.

"Sama suaminya?"

"Nggak. Suaminya masih terbang."

Selanjutnya, Ratna mengajak anak serta menantunya masuk. Tiara sudah beralih ke tangan Ryan. Anak itu mengajak om-nya main. Melisa yang semula duduk sembari memantau penerbangan suaminya pun berdiri begitu kakaknya muncul.

"Mas! Aku kangen banget!" Tanpa malu-malu Melisa memeluk tubuh kakaknya. Tidak peduli dengan wajah Mutia yang berubah garang.

"Apa kabar, Dek? Kamu, kok, juga tambah tinggi, sih?"

Melisa mengurai pelukannya. "Masa? Perasaan nggak naik, tuh."

"Tapi, pipi kamu gembul banget. Pasti diperhatiin terus, ya, sama suami?" Ahsan mencubit kedua pipi adiknya.

"Iya, dong. Walau sering ditinggal pergi, transferan tetep jalan."

Melisa sengaja mengatakan itu supaya Mutia panas dan benar saja, wajah sang kakak ipar jadi semerah tomat.

"Kalian makan dulu, yuk. Mama sama Melisa tadi udah masak banyak."

"Eh, Melisa bisa masak?" seru Ahsan.

"Iya. Adik kamu udah gede sekarang."

"Wah, nggak sabar aku makan masakan Adek!"

"Makanya kita ke ruang makan dulu. Tiara ajak sekalian. Pasti dia lapar, kan."

Setelah itu, Ahsan menyusul anaknya yang masih bermain dengan Ryan, sedangkan Ratna menyingkir sebentar karena ingin menghubungi Hartanto. Tersisa Melisa dan Mutia di sana. Melisa memilih beranjak ke dapur daripada satu ruangan dengan kakak iparnya.

Dalam sekejap, ruang makan terisi. Hartanto pun sudah tiba dan langsung bergabung. Ahsan paling semangat mengambil makanan setelah tahu adiknya bisa masak. Ryan tidak mau kalah dari kakaknya. Sampai Melisa kebagian terakhir.

"Enak banget! Kamu kursus di mana, Dek?" Ahsan kembali berseru usai mencicipi tumis kangkung.

"Belajar sama temen, Mas," jawab Melisa.

Tidak disangka, respons Mutia berbeda dari yang lain. Ia mengeluarkan kembali kunyahannya ke piring. Melisa yang melihat itu langsung merasakan hawa panas, tetapi sebisa mungkin menahan diri agar tidak marah.

"Keasinan kalo menurut aku," kata perempuan itu.

"Masa, sih?" Ahsan tidak percaya.

"Lidahnya Mbak kali yang aneh. Wong Bang Ryan sama Mas Ahsan nggak ngerasa keasinan, tuh," balas Melisa dengan tatapan menusuk. Rasanya ingin mencolok mata Mutia menggunakan garpu.

"Maaf, ya, Dek, Mbakmu emang nggak suka makanan asin."

Mendengar Ahsan yang meminta maaf mewakili istrinya, Melisa kian mendidih. Namun, ia memilih tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mas. Selera orang beda-beda."

"Ayo, makan lagi." Hartanto menginterupsi. Semuanya menurut.

Tak lama, ponsel Melisa berdering. Melihat nama Candra yang melakukan panggilan video, Melisa menatap mama papanya. "Aku izin angkat telepon dulu, ya, Ma, Pa."

Ryan yang masih mengunyah daging ayam bertanya, "Telepon dari Mas Candra, kan? Angkat aja di sini. Abang mau lihat lagi di mana."

"Di Jakarta, Bang," jawab Melisa.

"Angkat aja di sini. Kalau ngeliat kita, dia jadi cepet-cepet pengen pulang." Ahsan menimpali ucapan Ryan.

Daripada Candra dibuat menunggu, akhirnya Melisa mengangkat telepon itu di hadapan keluarganya.

"Sayang, aku udah sampai di Jakarta."

Seketika Ryan bersiul, Ahsan pura-pura batuk. Wajah Melisa memanas. Sumpah, ini baru pertama kalinya teleponan di depan kakak-kakaknya.

"Kamu lagi di mana? Kok, ramai?"

"Lagi di ruang makan, Mas. Lagi makan siang bareng."

Kemudian, Melisa menyoroti kamera ke seluruh ruangan. Ryan dan Ahsan melambaikan tangannya.

"Mas, cepet pulang, dong. Melisa katanya kangen dipeluk."

"Bang Ryan!" Sungguh, Melisa malu. Ryan terkekeh.

"Barusan Melisa bilang kangen berat sama Mas Candra." Ahsan ikut-ikutan mengerjai adiknya.

"Boong. Kapan aku bilang gitu?"

"Udah, ngaku aja. Lagian, kangen sama suami nggak ada ruginya."

"Mas!"

"Kasian adikmu mukanya merah, tuh." Hartanto bersuara.

Ryan dan Ahsan puas menggoda adiknya. Ruangan tampak hangat. Interaksi inilah yang mempererat hubungan.

Namun, mereka tidak tahu saja ada yang tidak suka melihat interaksi itu.


09 September 2022

••••

Kalo ada tipo, bilang, ya. Ini ngetiknya buru-buru dikejar hujan 😔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro