08 - Nasihat Orang Tua
Begitu mobil berhenti, Melisa membuka pintu dan berlarian masuk mencari mamanya. Dari arah dapur, seorang wanita tergopoh-gopoh usai mendengar panggilan putri bungsunya.
"Mama!"
"Ya, ampun, Sayang."
Dua perempuan beda generasi itu saling berpelukan. Tentu saja Melisa sangat merindukan Ratna. Setelah menikah, ia sudah tidak mendapatkan pelukan dari mamanya. Entah kekuatan dari mana sampai kedua orang tuanya ini benar-benar rela melepaskan Melisa ke tangan suami, padahal selama ini mereka sangat dekat.
Fyan dan Ryan menyusul beberapa menit kemudian. Fyan meletakkan ransel milik Melisa di lantai.
"Mama, aku juga mau dipeluk." Ryan mulai melancarkan aksi dengan menarik-narik lengan Ratna.
Melisa menggeplak tangan abangnya. "Gantian!"
"Harusnya yang bilang begitu aku, Dek. Gantian!"
"Sabar, dong! Aku masih kangen sama Mama!"
"Sini, Mama peluk kalian berdua."
"Ah, asik!" Tanpa menunggu waktu lama, Ryan segera menghambur ke pelukan sang mama.
Ratna melirik putranya satu lagi. "Fyan nggak mau ikut pelukan?"
"Nggak. Aku, kan, setiap hari ketemu Mama."
Wanita berambut pendek itu tersenyum.
Adegan peluk-pelukan itu selesai. Ratna menggiring anak-anaknya duduk di sofa. Rasanya senang melihat ketiga anaknya berkumpul seperti saat mereka masih kecil dulu. Dulu, ia pikir dengan punya banyak anak akan kerepotan, justru sebaliknya, Ratna sangat bahagia. Apalagi keempat anaknya berhasil mengenyam pendidikan yang tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Ahsan menjadi dokter, Fyan menjadi arsitek, Ryan walau masih kuliah dia memiliki bisnis kafe di sini, dan Melisa yang baru saja lulus kuliah sedang meniti karier menjadi seorang editor profesional serta memiliki suami berprofesi sebagai pilot. Tentu saja Ratna bangga dengan pencapaian anak-anaknya. Tidak masalah mau kerja apa pun asal masih di jalur yang benar.
"Papa ke mana, Ma?" tanya Melisa yang masih bergelayut di lengan Ratna.
"Masih di peternakan. Katanya ada calon pembeli yang mau lihat kambing buat akikah."
"Wah, Papa masih rajin bekerja," celetuk Ryan. "Padahal Papa tinggal duduk manis di rumah, uang tetap mengalir dari anak-anaknya."
Ratna tersenyum. "Kayak nggak tau Papa aja. Papa kamu nggak betah di rumah."
"Mas Ahsan jadi pulang besok, Ma?" Fyan bertanya pada Ratna.
Melisa terbelalak. "Lho, Mas Ahsan juga mau ke sini?"
"Iya, tapi cuma sehari," jawab Ratna.
"Sama Mbak Mutia juga?"
"Iya, dong, masa sendirian."
Melisa mulai cemberut. Jujur ia senang mendengar kabar kakak pertamanya akan ke sini juga, tapi untuk bertemu dengan istri kakaknya itu yang bikin malas. Mulut Mutia sebelas dua belas dengan Sarina, suka nyinyir. Apalagi ketika Ahsan masih sering mengirim uang untuknya, berkali-kali Mutia menyindir Melisa dengan sebutan benalu. Melisa benar-benar tidak mengerti dari sudut mana kakaknya itu menyukai Mutia.
"Untung aku beliin boneka buat Tiara," sahut Ryan. Tiara adalah anak Ahsan, berusia enam tahun.
"Buat aku nggak ada, Bang?" Melisa menengadah tangannya.
"Kamu udah gede. Kalau udah punya anak, baru, deh, Abang beliin."
Melisa mencebik. Anak lagi. Lama-lama Melisa jadi terobsesi memiliki anak.
"Ryan, mending kita masuk ke kamar!" Fyan langsung menyeret saudara kembarnya ke kamar. Ya, mereka memang masih satu kamar, tapi beda kasur. Ryan tidur di atas, sementara Fyan di bawah. Kata Papa mereka akan mendapatkan kamar baru jika salah satu ada yang menikah.
"Jangan dipikirin omongan abang kamu, ya, Mel," ucap Ratna setelah kedua putranya pergi. "Anak itu titipan, amanah, tidak sembarangan Allah ngasih amanah itu. Kalau kamu belum dikasih sekarang, nggak apa-apa, Dulu Mama butuh empat tahun nungguin Mas kamu datang."
"Iya, Ma." Melisa mencoba menabahkan hati. Sebenarnya kalau tidak ada IUD ini, Melisa bisa cepat hamil, kata dokter seperti itu saat memeriksanya. Andai tidak ada halangan, pasti sekarang Melisa sudah menggendong seorang anak.
"Kamu sama Candra udah coba program hamil?"
Gerakan kepala ke kanan-kiri menjadi jawaban Melisa.
"Coba, deh, kamu ikut program hamil, terus kamu mulai juga biasakan makan buah dan sayur."
"Ma, sebelum hamil aku, Mama KB apa?"
"IUD."
"Eh." Melisa mengerjap. Seingatnya, IUD kemungkinan gagalnya kecil. "Kok, bisa, Ma?"
"Ya, waktu itu kata dokter IUD Mama geser, katanya, sih, gara-gara kontraksi rahim yang kuat saat menstruasi. Mama juga kaget waktu itu. Ya, tapi Mama tetap bersyukur masih diberi kesempatan melahirkan kamu."
Hening. Melisa rajin mengecek posisi alat kontrasepsi itu dan tidak ada masalah. Kalau ia berharap besok IUD itu berubah posisi tidak apa-apa, kan?
Malam ini, Ratna memasak kroket ayam untuk Melisa dan mi gulung sosis untuk Ryan. Sementara itu, untuk Fyan dan Hartanto mengikuti menu makanan yang ada. Tidak akan mengganggu gugat milik Melisa dan Ryan.
Selesai makan, Melisa pamit sebentar ke kamar karena masih ada tanggungan tugas dari Inayah. Ia segera menyapa penulis-penulis asuhannya di ruang pesan grup. Dilanjutkan dengan penyampaian materi melalui pesan suara.
"Dari naskah kalian, aku menemukan beberapa kesalahan. Yang paling sering adalah penggunaan di untuk kata depan dan di untuk awalan. Untuk kata depan, jika kata selanjutnya menunjukkan tempat, penulisannya dipisah. Buat ngetesnya, coba di-nya diganti jadi ke atau dari. Contohnya, di sana, kata sana menunjukkan tempat, jadi penulisannya dipisah. Kecuali, kata kemari, ini digabung karena tidak lazim jika diganti di atau dari. Nah, kalau kata selanjutnya merupakan kata kerja---kita udah pernah bahas sebelumnya---baru digabung. Cara mengetesnya, coba ganti dengan awalan me-. Contohnya, kata makan, termasuk kata kerja, kalau awalannya me-, jadi memakan. Berarti digabung jadi dimakan. Untuk lebih jelasnya kalian lihat gambar yang aku kirim, ya."
Begitu terkirim, Melisa lanjut ke materi selanjutnya. Ia lebih senang menggunakan pesan suara daripada mengetik panjang lebar, juga lebih suka grupnya dikunci dulu agar tenang saat menyampaikan materi dan memberikan kesempatan bagi penulis untuk membaca materinya.
Selesai menyampaikan materi, Melisa memberikan waktu lima menit untuk penulis bertanya. Setelah itu, Melisa menjawab beberapa pertanyaan yang sudah terkumpul. Dirasa sudah cukup, acara malam ini ditutup. Melisa meletakkan ponsel di meja dengan kabel charger yang tertancap. Candra masih di udara sehingga belum bisa dihubungi.
Melisa merapatkan kardigannya, lalu membuka pintu kamar dan keluar. Kakinya belok ke dapur karena ingin mengambil air minum. Namun, di sana, ia melihat Hartanto sedang menyeduh kopi sendiri. Tanpa sadar Melisa tersenyum. Dari dulu, Hartanto itu tidak pernah merepotkan istrinya.
"Mel lanjutin, Pa."
Hartanto sempat terkejut dengan kedatangan sang putri. "Nggak usah, ini udah jadi."
Melisa mengalah. Ia memilih mengambil gelas, lalu meletakkannya di bawah keran dispenser. Begitu sudah penuh, ia duduk di bangku bundar, di samping papanya.
"Suamimu lagi apa sekarang?" Hartanto membuka percakapan.
"Masih terbang, Pa, pas aku lihat di flight radar."
Hartanto menyesap kopinya. Melisa menirunya. Mata perempuan itu menyapu seluruh area dapur. Tampak bersih dan rapi. Ratna sangat rajin merawat tempat favoritnya.
"Mel boleh tanya nggak, Pa?" Melisa bersuara setelah beberapa menit terdiam.
"Mau tanya apa? Kok, pakai izin segala."
"Mel mau tahu kenapa dulu Papa izinin Mel nikah, padahal masih kuliah. Kenapa, Pa?"
"Oh, itu." Pandangan Hartanto menerawang. "Papa lihat Candra cukup dewasa, dia bisa mengimbangi kamu. Papa ngerasa tenang waktu menyerahkan kamu ke dia."
"Tapi, Pa ... aku ngerasa dijebak sama takdir. Awalnya, aku ngerasa bahagia, tapi lama-lama aku ngerasa gini-gini aja, apalagi aku belum punya anak."
Hartanto mengelus kepala anaknya itu. "Mel, lima tahun pertama itu memang banyak cobaannya. Banyak perceraian di fase awal. Sejatinya, pernikahan itu PR seumur hidup. Kamu akan selalu dapet masalah dan harus dicari solusinya. Setiap manusia sudah diberi ujian masing-masing, nggak mungkin bahagia terus. Makanya, Sayang, jangan lupa libatkan Allah. Serahkan semuanya. Papa yakin, kamu bisa menghadapi masalah kamu. Papa cuma bisa bantu sampai sini."
Benar, orang tuanya tidak mungkin ikut campur urusan rumah tangga anak. Melisa harus mencari solusinya sendiri dan ini belum seberapa. Di luar sana masih ada rumah tangga yang lebih rumit masalahnya.
08 September 2022
••••
Day 8, mulai mleyot wkwkwk
Kalo nemu tipo, tolong kasih tau ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro