Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

07 - Aroma Kebebasan


Aroma kebebasan makin menguar ketika kaki Melisa menginjak stasiun Tawang. Keluar dari stasiun, ia memilih singgah sebentar di CFC untuk mengisi perut sekaligus menunggu jemputan. Di sana ia memesan cheese burger serta air mineral.

Begitu sudah mendapatkan meja, Melisa duduk, kemudian mengeluarkan ponselnya. Candra masih aktif karena menunggu penerbangan selanjutnya. Hal itu membuat Melisa ingin sekali menghubungi sang suami. Kali ini, Melisa memilih panggilan video.

"Mas, aku udah sampai!" Melisa menyoroti kamera ke segala arah. "Sekarang lagi mau makan di CFC."

"Alhamdulillah. Nggak mabuk, kan?"

"Ya, nggak, lah."

Di layar, Candra yang mengenakan seragam pilotnya tersenyum cerah.

Melisa mengalihkan pandangannya ke arah pramusaji yang datang membawakan menu pesanannya. Perempuan itu mengucapkan terima kasih. Selanjutnya, kembali menghadap kamera. "Mas lagi di mana?"

"Di bandara. Pesawatnya delay karena harus ada yang diperbaiki."

Kening Melisa berkerut usai mendengar itu. "Pesawat yang mau dibawa Mas rusak?"

"Sedikit, lagi dibenerin, kok."

"Ih, kok, Mas mau-maunya bawa pesawat rusak. Entar kalo ada apa-apa gimana?"

"Huss, nggak boleh ngomong kayak gitu. Lagian, aku nggak sekali ini bawa pesawat rusak, tapi penerbangan tetap lancar, kan?"

"Ya, tetep aja aku khawatir, Mas."

"Sayang, aku tahu kamu begini karena nggak mau aku kenapa-napa, tapi jangan terlalu dipikirin, ya. Aku udah sering menghadapi turbulensi, udah sering menghadapi autopilot mati sehingga harus manual. Tugas kamu, cukup doakan aku aja. Semoga kita bisa bareng-bareng sampai tua."

"Sama anak-anak, kan?"

"Mel, jangan bahas itu pas aku jauh, deh. Makan dulu itu burgernya."

Melisa tertawa kecil. Menuruti ucapan suaminya dengan meraih burger dari atas piring. Ia menggigit sedikit roti berbentuk bundar itu.

Sementara itu, terlihat Candra meletakkan ponselnya di meja, lalu kedua tangannya digunakan untuk membetulkan dasi. Andai Melisa boleh ikut serta, suaminya itu tidak perlu repot-repot mengurusi diri. "Kamu belum dijemput?"

"Belum. Bang Fyan kayaknya masih di jalan dari bandara."

"Lho, berarti Fyan jemput Ryan dulu, habis itu jemput kamu?"

Melisa mengangguk.

"Kamu kenapa nggak berangkat besok aja? Kasian kakak kamu bolak-balik."

"Kalo nggak berangkat sekarang, nanti oleh-olehnya habis dimakan Bang Fyan. Lagian, Bang Fyan udah ngajuin cuti khusus hari ini. Biar sekalian capeknya. Terus, aku juga kangen rumah, Mas. Terakhir aku ke sana pas tahun baru, kan. Itu pun nggak sama Mas."

Melisa ingat, Candra nyaris tidak bisa libur ketika lebaran atau tahun baru. Pada hari penting itu, Candra justru sedang sibuknya terbang. Ya, beginilah jadi istri pilot. Harus rela jika suaminya tidak bisa berkumpul saat peristiwa penting, tidak bisa langsung pulang jika ada yang sakit, bahkan saat ulang tahun istrinya pun, Candra hanya bisa mengucapkan di telepon, lalu hadiahnya diberikan ketika selesai bertugas.

Tentu saja Melisa tidak bisa marah, apalagi setiap pulang Candra membawakan barang branded jika singgah di luar negeri. Wanita mana yang tidak suka menerima oleh-oleh dari suami?

"Maaf, ya. Lusa aku udah selesai, kok. Aku bakal nyusul kamu ke Semarang."

"Nanti pokoknya Mas jangan bilang sama Ibu, ya. Biarin aja Ibu nggak tau. Kalo tanya, bilang aja Mas nggak jadi pulang lusa."

Candra geleng-geleng. "Masa bohong sama Ibu."

"Ya, nggak apa-apa. Bohong demi kebaikan. Mas, aku mau kita bebas sebentaaar aja." Melisa kembali menggigit burgernya untuk kesekian, mengunyah sebentar. "Kita pokoknya harus bisa pindah rumah."

"Ya, kamu doakan aja semoga Ibu hatinya luluh."

"Kayaknya hatinya Ibu udah keras, susah dikasih taunya. Aku tiap hari ngalah mulu."

"Maaf, ya, kalau kamu nggak betah. Nanti kita bahas lagi, ya. Sekarang aku harus briefing dulu, pesawatnya udah beres."

Meski berat, Melisa tetap mengangguk. "Ke mana kali ini, Mas?"

"Ke Makassar, terus nanti balik lagi ke Samarinda, habis itu ke Jakarta, dari sana balik ke Jogja. Nanti kalau udah sampai Jogja, aku bakal jadi penumpang ke Semarang."

"Apa nggak ribet? Mendingan Mas langsung pulang aja. Istirahat di rumah."

"Rumahku, kan, lagi di Semarang, berarti aku harus ke sana, dong."

Melisa kembali tertawa kecil. "Dasar. Ya, udah, hati-hati, Mas. Jangan lupa berdoa sebelum take off."

"Nomor penerbangannya udah aku kirim, ya. Kamu bisa cek."

"Oke, Mas."

Telepon lalu terputus. Masih edisi menunggu jemputan, Melisa mengeluarkan laptopnya. Begitu nyala dan sudah terkoneksi dengan WiFi, Melisa kembali membaca lanjutan editan naskahnya. Jemarinya mulai mencoret dan membubuhkan komentar. Perempuan hidung mancung itu hanyut dalam cerita yang dirancang oleh penulis pilihannya.

Tadi sewaktu masih di kereta, Inayah mengingatkan nanti malam ada sharing materi melalui grup chat. Ya, walaupun sedang pergi, Melisa tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai mentor. Beruntungnya Melisa sudah menyusun materi jauh-jauh hari berdasarkan hasil pengamatannya dari lima orang penulis yang ia ampu. Perempuan yang saat ini mengenakan lipstik nude berharap semoga materi nanti malam bisa sedikit memperbaiki tulisan mereka.

Getar dari ponselnya mengalihkan perhatian Melisa. Nama Fyan terpampang jelas dari layar. Tanpa menunggu, jemarinya menggeser ikon warna hijau.

"Di mana, Nok?" Suara Fyan terdengar.

"CFC."

"Ya udah, tunggu di situ, Abang yang ke sana."

"Oke, Abang."

Setelah telepon ditutup, Melisa segera mengemasi laptopnya, membereskan meja, kemudian melangkah keluar. Tidak lama, mobil Avanza merah berhenti tepat di depan Melisa. Kaca di kursi sebelah kiri turun sedikit demi sedikit. Laki-laki mengenakan kacamata minus menyembul keluar.

"Cabe Rawit, kenapa ikut-ikutan pulang?"

Untuk sejenak, Melisa melihat belahan rambut laki-laki itu. Kalau di sebelah kanan, berarti Ryan. Eh, tapi, tanpa itu sebenarnya Fyan dan Ryan mudah dikenali dari cara memanggil Melisa. Ryan kerap memanggilnya Cabe Rawit atau Adek kalau di depan orang tua, sedangkan Fyan memanggilnya Denok.

"Aku, kan, nggak mau ketinggalan dapetin oleh-oleh dari Abang."

"Ih, Abang nggak bawa apa-apa, lho."

"Bohong. Aku tau Abang bawa cokelat yang banyak."

"Ngomongnya pending dulu, biarin Mel naik." Fyan di bangku kemudi menginterupsi.

Dengan senang hati, Melisa membuka pintu mobil bagian belakang sebelah kiri. Duduk dengan tenang di sana. Sementara itu, Ryan menaikkan kacanya, kembali duduk dengan benar sebelum mobil melaju.

"Nggak ada kendala, kan, pas naik kereta tadi?" tanya Fyan dengan mata ke depan tentunya.

"Nggak ada, Bang. Aman dan lancar."

Ryan memutar tubuhnya menghadap Melisa. "Kok, Mas Candra nggak ikut, Dek?"

"Ih, udah dibilangin Mas Candra lagi terbang."

"Domestik apa keluar negeri?"

"Bulan ini masih sekitaran Indonesia, sih. Kenapa emangnya, Bang?"

"Kalo ke Inggris, aku mau titip jersey Liverpool."

"Ih, kenapa nggak beli sendiri?"

"Kapan aku ke Inggris-nya coba?"

"Kan, bisa online, Bang."

"Nggak asik, Cabe Rawit. Enakan beli langsung. Atau Kapan-kapan minta antar Mas Candra aja, ya. Kan, enak diantar pilot langsung."

"Dikira maskapai punya nenek moyang Abang." Melisa geleng-geleng dengan pola pikir kakak kembarnya ini.

"Lha, tapi, bukannya pilot dapet tiket keluarga, ya?"

"Yang dapet tiketnya aku, bukan Abang."

"Ya, sama aja, nanti kamu kasih tiketnya ke aku."

"Mana bisa gitu. Abang kalo mau ke Inggris, minta ongkosnya sama Bang Fyan, tuh."

"Eh, jangan! Itu gaji Abang buat modal nikah."

Ryan menoleh ke arah saudara kembarnya. "Emang kamu udah punya pacar? Kok, nggak cerita sama aku?"

"Ya, belum ada, sih." Fyan menggaruk kepalanya, lalu dihadiahi toyoran oleh Ryan.

"Abang-abang ini harus cari pasangan, dong. Masa kalah sama adeknya," sahut Melisa.

"Tunggu kamu punya anak lima dulu, baru Abang nikah," balas Fyan dengan wajah tanpa dosa. Tidak tahu saja jika ucapannya berefek dahsyat di hati adiknya.

Tidak di depan saudaranya, tidak di depan Sarina, sama saja. Anak lagi yang dibahas. Ya Allah, semoga hati Candra terketuk supaya rela memberikan Melisa seorang anak.

Lupakan soal anak. Bukannya sekarang Melisa ingin menghirup udara bebas? Kalau begitu jangan ingat-ingat Candra dengan childfree-nya lagi. Cukup ingat Candra yang dompetnya tebal.

Aroma kebebasan kembali tercium kala mobil belok ke sebuah rumah, tempat Melisa lahir dan tumbuh. Akhirnya, Melisa pulang.


07 September 2022

••••

Day tujuuhhhh

Aduh makin sore aja saya updatenya. Dua hari ini nulisnya siang wkwkwk, mana kepotong hujan mulu. Kayaknya nggak ada musim kemarau tahun ini huhu.

Selamat menikmati hidangan ini, Sayang! Besok aku update lagi :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro