05 - Istri Kecilku
"Sukses, Capt!"
Candra hanya tersenyum kala Martin, First Officer yang mendampinginya berseru. Begitu pesawat parkir dengan benar, Candra menekan beberapa tombol di atas juga di depan, memastikan instrumen mesin kembali seperti semula sebelum meninggalkan kokpit. Setelah semua penumpang turun, Candra baru keluar dari ruang kemudi bersama sang FO.
Kakinya melangkah pelan menyelusuri gate sembari mendorong navbag miliknya. Matanya yang terbungkus kacamata hitam memindai area tersebut. Beberapa toko masih buka. Namun, ia belum berencana beli oleh-oleh. Tubuhnya masih lelah setelah berada di ketinggian 36.000 kaki selama hampir satu jam. Mungkin besok saja saat kembali ke Jogja.
"Makan dulu gimana, Capt? Mumpung belum tutup," tawar Martin.
Candra tidak langsung menjawab. Tadi di kabin sudah makan roti. Itu bisa mengganjal perutnya sampai besok pagi. Namun, tawaran dari Martin sepertinya menarik.
"Kamu mau traktir kita semua?" tanya Candra sembari menoleh ke arah lima pramugari berseragam kebaya batik ungu yang berjalan di belakang.
Martin menggaruk tengkuknya seraya tergelak. "Kalau Captain aja gimana?"
Simpul di kedua sudut bibir Candra terangkat. "Oke. Makan di Bebek Goreng Harisa, gimana?"
Mendengar itu, Martin membalikkan tubuhnya menghadap para pramugari. "Kita mau makan di Bebek Goreng Harisa, Captain yang traktir kita."
Ucapan itu lantas mendapatkan sambutan heboh dari para pramugari. Mereka berjalan beriringan menuju salah satu tempat makan di dalam bandara Juanda. Sebenarnya awak kabin akan mendapatkan jatah makan di hotel nanti. Tidak hanya makan, pelayanan seperti tempat istirahat yang layak, juga akan didapatkan. Mengingat pekerjaan mereka menguras pikiran, terutama bagi sang pilot. Tentu maskapai yang menaunginya melakukan yang terbaik agar para pekerjanya nyaman selama bekerja.
Setelah masuk dan mendapatkan tempat duduk, Candra memesan tiga nasi bebek, dua bebek lombok ijo, dua nasi ayam, dan teh tawar. Sembari menunggu pesanannya jadi, Candra mengeluarkan ponsel dari saku celana. Saat hendak menyalakan benda itu, tidak ada reaksi sama sekali, tetap gelap. Seketika ia baru teringat sebelum taxi, ponsel itu kehabisan daya.
"Ada yang bawa powerbank di sini? Saya mau pinjam." tanya Candra kepada seluruh anak buahnya. Namun, ternyata tidak ada yang membawa.
"Captain mau telepon siapa?" Salah satu pramugari bertanya, lalu mengulurkan ponsel miliknya. "Bisa pakai HP saya kalau mau."
Candra menggeleng. "Terima kasih. Saya bisa telepon nanti kalau sudah sampai hotel."
Pramugari bernama Syakira menarik tangannya kembali. Namun, mata bulatnya tidak lepas dari wajah sempurna sang Captain. Candra yang gagah ketika mengenakan seragam putihnya, Candra yang menawan saat memberikan announcement baik sebelum take off maupun sebelum landing, Candra yang terlihat baik pada semua orang, termasuk dengan awak kabin seperti yang ia lakukan sekarang ini. Candra sangat menarik di mata pramugari tersebut. Sayangnya, cincin yang melingkar di jari manis Candra menghalangi jalannya untuk mendapatkan hati sang pilot.
Kenyataan Candra sudah memiliki istri membuat hatinya hancur. Bagaimana bisa dirinya yang cantik, cerdas, menarik, kalah dengan perempuan yang baru saja lulus kuliah? Terkadang ia heran mengapa Candra bisa menyukai gadis bau kencur itu. Tidak ada menariknya sama sekali.
Candra mengucapkan terima kasih saat pramusaji datang membawakan semua pesanannya. Ia segera menyantap nasi ayam agar bisa tiba di hotel sebelum Melisa tertidur. Ia yakin di rumah, istri mungilnya sedang menunggu dengan memasang raut wajah kesal. Tanpa sadar sudut bibirnya melengkung ke atas saat membayangkan ekspresi istrinya. Di saat jauh seperti ini, hanya Melisa yang ia ingat, tidak ada yang lain. Melisa yang membuatnya semangat kala bertugas. Melisa yang menguatkannya ketika menghadapi bahaya.
Candra tidak ikut dalam obrolan para anak buahnya karena fokus dengan makanan. Lagi pula, selain urusan pekerjaan ia memang jarang ikut dalam perkumpulan. Ia memilih tidur setelah terbang daripada keliling seperti yang dilakukan Martin. Anehnya, diamnya Candra justru menarik di mata orang lain. Setidaknya ada seorang pilot yang lurus pikirannya.
Lagi pula, jadi pilot bukan keinginan Candra. Ini kemauan ibunya. Candra lebih senang bekerja di belakang layar, seperti menulis misalnya. Namun, hanya ini satu-satunya cara supaya Candra bebas dari jeratan Sarina. Dalam satu hari, ia bisa berpindah kota atau negara dan jarang pulang, sehingga ia tidak mendengar kecerewetan Sarina.
Tidak ada dirinya di rumah, Melisa yang kena dampaknya. Candra pikir setelah menikah, Sarina berhenti mengaturnya, justru makin menjadi. Sudah tidak terhitung Melisa mengeluhkan sikap ibunya, sudah berulang kali Melisa meminta pindah rumah. Akan tetapi, opsi itu tidak akan berhasil jika Sarina belum mau berubah. Candra khawatir kalau pindah rumah, Sarina akan datang setiap hati, mengatur sesuka hati, dan itu semakin membuat Melisa sakit hati. Kapan tenangnya?
Piring dan gelas Candra sudah kosong. Bersama para anak buahnya, Candra keluar dari tempat makan tersebut menuju hotel mengendarai mini bus. Satu jam kemudian, mereka sampai di tempat penginapan, melakukan check in, dan masuk ke kamar masing-masing.
Candra masuk ke kamar, meletakkan navbag di dekat lemari, membuka ritsletingnya, mengambil charger, kaus oblong, dan celana pendek. Sebelum beranjak ke kamar mandi, Candra menancapkan pengisi daya ke ponselnya. Barulah ia masuk dan langsung menyalakan shower.
Lima belas menit kemudian, Candra keluar dengan rambut basah. Ia kembali mengecek ponselnya. Sudah terisi 25%, Candra memilih mencabutnya sebentar, lalu duduk di pinggir ranjang. Begitu ponselnya menyala, Candra mencari nomor istrinya. Sekarang waktu menunjukkan pukul setengah sebelas, semoga saja Melisa belum tidur.
Panggilan videonya langsung diterima Melisa. Di sana, sang istri memasang wajah kecut, tapi anehnya Candra membalasnya dengan senyuman.
"Kok, belum tidur?"
"Pikir aja sendiri!"
Tawa Candra meledak saat itu juga. Lagi marah pun, Melisa tetap kelihatan cantik. "Maaf, ya, tadi aku makan dulu, terus HP-nya mati, baru bisa charger sekarang."
"Kebiasaan banget HP dibiarin lowbatt!"
"Kan, tadi buru-buru, Sayang. Mana tahu kalau ponselnya mati."
"Terserah!"
Candra mengulum bibirnya. "Ayo, dong, jangan marah-marah. Yang penting aku udah telepon, kan?"
"Bukan masalah itu, Mas! Kan, Mas yang bilang sendiri habis landing kita video call. Ini habis landing-nya dua jam kemudian. Nyebelin tahu nggak, sih!"
"Iya, maaf, ya. Udah, dong, jangan marah-marah lagi. Senyum."
Namun, Melisa masih enggan menampakkan senyumnya. Di sana, perempuan itu terlihat mengenakan gaun tidur berbahan satin dengan potongan leher rendah. Melisa benar-benar tahu cara menyenangkannya walaupun sedang berjauhan. Kalau melihat Melisa, segala kepenatan yang dirasakan Candra mendadak hilang.
"Aku mau ke Semarang," kata Melisa tiba-tiba.
"Ngapain?"
"Pulang. Bang Ryan katanya mau liburan, aku mau merampas oleh-oleh."
Candra menjatuhkan tubuhnya di kasur. Tangan kirinya ditekuk ke belakang, sebagai penyangga kepala. "Sampai kapan kami di sana?"
"Sampai Bang Ryan balik lagi ke Singapura."
"Emangnya berapa lama?"
"Seminggu. Boleh, kan?"
"Terus kerjaan kamu gimana?"
"Kan, bisa lewat HP. Boleh nggak, nih? Kalo boleh aku mau izin sekalian ke Inayah."
"Kapan berangkatnya?"
"Besok siang. Kalau Mas tanya aku naik apa, aku mau jawab naik kereta. Kalau Mas tanya dijemput siapa di stasiun, aku jawab dijemput Bang Fyan. Lama-lama Mas cerewet kayak Ibu."
Tidak bisa ditahan lagi, Candra tertawa kecil. Terlalu gemas dengan tingkah istri kecilnya itu. "Cuma seminggu, kan? Ya udah boleh. Nanti aku nyusul."
Mata perempuan itu berbinar. "Beneran Mas mau nyusul?"
"Iya."
"Oke, kalau gitu aku tunggu di rumah. Mas istirahat sekarang."
Layar berubah menjadi wallpaper foto dirinya mengenakan seragam pilot lengkap dan digandeng Melisa yang memakai kebaya putih. Foto terbaik yang pernah Candra abadikan. Tidak pernah menyangka ia bisa menikahi Melisa, gadis energik yang ia temui saat seminar tiga tahun yang lalu. Selama tiga tahun itu, Candra menyayangi Melisa, memperlakukannya dengan baik, memastikan istrinya aman dan nyaman, meski ia tahu ada satu permintaan Melisa yang tidak dapat ia turuti, entah sampai kapan.
05 September 2022
••••
Hmm ini aku kayaknya bakal ketularan kebiasaan di Mas Paijo, update siang 🤣
Sekilas tentang Candra, ya. Gimana menurut kalian?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro