3. The Orange Cat & His Fairy Tale
Ketukan dari luar pintu membuatku terlonjak kaget. Gara-gara kejadian sebelumnya, aku jadi paranoid, rasanya akan ada orang yang menyerbu dan menyeretku untuk dibunuh.
"Nona, kami sudah menyiapkan teh hangat dan camilan," ujar seseorang dari luar.
Aku melirik Foxy untuk menanyakan apakah mereka dibiarkan masuk begitu saja atau tidak dan lelaki berambut pirang itu mengangguk santai.
Baru saja hendak membuka bibir untuk menyuruh mereka masuk, sudut mataku menangkap sosok Foxy yang berubah menjadi kucing oranye bermata biru hanya dalam sekejap mata.
Aku berjengit, refleks mundur menjaga jarak dari kucing itu. "Foxy?"
"Suruh mereka masuk!" ujar sang kucing seraya menjilati cakarnya. Aku hanya mengangguk dengan wajah linglung, menyuruh pelayan masuk.
Satu troli didorong oleh pelayan wanita berpakaian hitam putih berenda. Mereka menata beberapa piring camilan di atas meja di tengah ruangan. Aku mengikuti, duduk di sofa, di samping kucing oranye—atau bisa disebut sebagai jelmaan Foxy.
Aroma teh jasmine menyeruak, ditambah kukis yang wangi membuatku tergiur. Usai pelayan meninggalkan ruangan, aku melirik kucing di hadapanku.
"Tenangkan dulu dirimu!" serunya, seolah paham tatapan anehku.
Menarik napas sejenak, aku mengendorkan sedikit bahu dan meraih secangkir teh, menghirup aromanya sejenak, lalu menyesapnya. Ini menenangkan. Untuk sesaat sakit kepalaku sembuh.
Kucing oranye yang semula duduk manis seraya menjilat bulu itu berubah kembali menjadi manusia. Aku nyaris tersedak melihat penampakan itu.
"Kau sebenarnya apa? Siluman?"
"Kau belum mengingatku juga? Jahat sekali." Dia kkut menyesap tehnya dengan wajah yang jelas sekali sedang merajuk.
Aku jadi kepikiran, kucing oranye bermata biru itu memang terasa tidak asing tapi .... "Foxy?" Aku berdiri, membuatnya terbatuk, hampir menumpahkan cangkir teh di tangannya. "Kau Foxy?"
"Akhirnya. Lama tidak berjumpa, Lunara."
"Tapi mana mungkin, Foxy sudah mati saat aku masih SMA!" tukasku. "Dan lagi, Foxy itu kucing--maksudku, kucing biasa."
Aku jadi teringat tentang kucing oranye yang kuberi nama Foxy. Pertama kali menemukannya, dia masih berusia sekitar dua bulan, meringkuk di dekat got dengan bulu basah dan kakinya terluka sayatan. Untung saja setelah dibawa ke dokter hewan, dia dapat sembuh tanpa cacat. Sejak saat itu pula aku memeliharanya.
Namun, setelah enam tahun kami bersama, aku yang saat itu sibuk belajar untuk ujian masuk universitas terlambat menyadari kalau Foxy sakit dan tidak tertolong. Saat itu aku menangis semalaman, membuat semua orang khawatir. Bahkan kakek yang biasanya kaku, ikut menawarkan untuk membeli kucing lain, walau kutolak dengan tegas.
Foxy mati karena keteledoranku. Andai aku lebih memperhatikannya dan tidak sibuk sendirian. Begitu pula dengan Mama meninggal karena aku suka berulah saat beliau mengandung Auri. Semua karena aku, maka daripada mengulangi kesalahan yang sama dan kehilangan lagi, lebih baik aku tidak memiliki apa-apa dan tidak bertingkah.
"Kau pikir aku akan percaya? Semua ini sudah terasa aneh, jadi tolong berikan penjelasan yang sedikit lebih logis!"
"Kau ingat, kita pernah memergoki papamu tengah malam sedang berdandan seperti wanita?"
Tunggu. Bukankah aku tidak pernah mengatakan hal itu pada siapa pun?
"Dan itu terjadi dua kali hingga kau menangis karena tidak terima jika itu benar-benar papamu!" lanjutnya. Seharusnya tidak ada yang tahu kejadian itu selain aku dan ... Foxy. Kucing itu ada bersamaku.
Benar. Malam itu aku sedang mencari Foxy dan menemukannya tidak jauh dari ruangan Papa. Ketika hendak kembali seraya menggendong kucing jantan itu, aku melihat seseorang dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Awalnya kupikir ada wanita asing yang dibawa ke rumah, tapi setelah melihat lebih lama ternyata itu Papa yang berdandan seperti wanita. Saat itu hanya ada aku dan Foxy. Aku juga tidak pernah mengatakan atau membahasnya dengan siapa pun. Jadi, bisa dikatakan itu adalah rahasia kami berdua.
"Kau ... benar-benar Foxy?"
Dia mengangguk dan kembali berkata, "Setelah mati sebagai hewan, kami akan menghilang atau reinkarnasi," ujarnya seraya melipat kedua tangan di dada. "Aku tidak mau lenyap atau melupakanmu, jadi aku kabur dan kembali."
"Kembali?"
Foxy menatapku dengan mata birunya yang cerah. Rambut pirang itu membuatnya semakin mirip dengan si kucing. Ia tersenyum, melanjutkan perkataannya, "Aku kembali sebagai roh dan mengikutimu selama beberapa tahun hingga akhirnya tertangkap dan dibawa kembali ke akhirat. Sebagai hukumannya, aku harus reinkarnasi dan menebus dosaku."
Dia berdiri tiba-tiba dan mendekat, membuatku mengernyit. Kalung kerincing bulat berwarna emas yang tergantung di lehernya berbunyi, sebuah suara yang tidak asing. "Lalu aku memohon untuk reinkarnasi sebagai penjaga dimensi."
"Ah, begitu ...." Aku tidak tahu harus merespon seperti apa, yang dia ceritakan barusan seperti dongeng untuk anak sekolah dasar, tapi juga rasanya tak pantas jika aku mengejeknya.
"Kau tidak tanya kenapa aku memilih jadi penjaga dimensi?"
"Memangnya kenapa?"
"Agar aku bisa menemuimu kapan pun aku mau."
Tanpa sadar aku terenyuh. Foxy ingin terus bersamaku. Apakah itu artinya kami sama-sama merasa kehilangan. "Kupikir ... kau membenciku karena terlambat mengetahui kondisimu saat itu."
"Mana mungkin," tangannya terulur, mengelus pipiku seraya tersenyum lembut. "Aku sangat senang selama bersama denganmu dan tidak ingin kita berpisah."
"Apa itu juga alasan kenapa kau membawaku ke sini?"
Dia mengambil jarak dan menatap ke meja yang tersaji dua cangkir teh yang sudah dingin serta berpiring kukis yang belum tersentuh. Raut wajahnya berubah sendu. "Bisa dibilang itu salah satu alasannya. Sebenarnya aku masih dalam masa magang, tapi saat kecelakaan terjadi, kau memohon untuk tidak mati secepat itu, makanya aku langsung membawamu masuk ke dunia ini."
"Jika berhasil mengabulkan permintaan terakhir Quinn tepat waktu, kau dapat kembali ke duniamu dan melanjutkan hidup!" lanjutnya.
"Alasan lainnya?"
"Nanti kau akan tahu!" Dia menatapku sejenak lalu berkata, "yang terpenting untuk saat ini adalah ... tolong usap kepalaku!"
"Hah?" Walau dulunya dia adalah kucingku, tetap saja jika kalimat itu dikatakan oleh lelaki dewasa, jadinya lebih seperti orang mesum.
"Sudah lama kau tak mengelusku. Aku rindu." Ia merengek.
Tatapannya yang memelas itu benar-benar mengingatkanku pada Foxy. "Tapi sekarang kau bukan kucing. Berlakulah selayaknya manusia!"
"Kalau begini?"
Aku kembali terkejut karena sepasang kuping kucing sewarna rambutnya mencuat. Dia menggemaskan dalam artian yang sebenarnya. Seperti tokoh fiksi fantasi yang pernah kutonton. Apa saat ini aku sedang bermimpi?
"Luna?" rengeknya.
Pada akhirnya aku mengalah, toh hanya mengelus rambut. Lagi pula aku juga penasaran ingin menyentuh kuping itu. Sepertinya lembut. Tanganku terulur, sementara dia menunduk untuk mempermudah. Ketika tanganku berhasil menyentuh rambutnya, rasa memang sangat lembut. Apalagi bagian kupingnya. Menggemaskan sekali.
"Luna!" Tanpa diduga ia memeluk pinggangku dan membenamkan wajah di pangkuanku. "Akhirnya setelah sekian lama," gumamnya. Sekarang dia semakin mirip kucingku. Foxy juga suka bermanja seperti ini, setiap kali mengelusnya, dia akan naik ke pangkuanku dan tidur.
"Sekarang jelaskan ini di mana dan apa yang harus aku lakukan?"
Foxy menegakkan tubuhnya dan duduk di sebelahku. "Sebenarnya aku hanya tahu garis besarnya saja," ucapnya. "Negeri ini bernama Alternia. Sangat berbeda dengan dunia asalmu, tapi masih berada di bumi."
Aku mengernyit. Sejak awal memang tidak ada yang masuk akal. Tatapanku agaknya memperlihatkan ketidak-mengertian, sehingga Foxy melanjutkan penjelasannya.
"Apa kau percaya kalau ada banyak dimensi di dunia ini? Bahwa bukan hanya duniamu saja, tapi juga ada dunia lain yang kehidupannya berbeda dengan apa yang kamu tahu tapi saling beriringan?"
Aku masih diam. Rasanya seperti mendengar celotehan Auriga tentang dunia khayalannya. Menarik napas sekali, aku berdecak dan berkata, "Anggap saja aku percaya. Lalu?"
"Di sini, kau memasuki tubuh Quinn Eleonara Ludwig. Bertepatan dengan saat kau kecelakaan kapal, Quinn juga di ambang kematian, dibunuh putra mahkota."
"Kenapa dia dibunuh?"
"Aku hanya tahu garis besarnya," Foxy bersedekap dada. "Keluarga Ludwig menolak lamaran putra mahkota sehingga pihak kerajaan merasa terhina. Hal tersebut tidak hanya berdampak terhadap orang tuanya, tapi juga pada keluarga cabang. Hingga, bagian yang terburuk, berkat istana dicabut dari seluruh keluarga Ludwig."
"Berkat istana?"
"Setiap bangsawan yang ada di Alternia diberkati oleh istana sehingga mereka memiliki kekuatan sihir. Jika berkat itu diambil, sihirnya akan dicabut dan bangsawan tersebut akan jatuh menjadi rakyat jelata bahkan setara budak."
Dimensi lain, kerajaan, istana, dan sihir. Aku sungguh tidak dapat mengolah satu pun informasi itu ke dalam otak. Seolah semuanya terpental sebelum berhasil masuk.
Foxy menatapku dengan matanya yang jernih dan tajam seperti permata, kemudian melanjutkan penjelasan. "Tidak hanya berdampak pada keluarga utama, tapi juga keluarga cabang yang berada di bawah kepemimpinan Marquess Ludwig. Mereka dikucilkan dan menjadi perbincangan semua kalangan, dianggap melakukan penghinaan."
Aku duduk bersandar, menyamankan diri agar lebih fokus mencerna dongeng yang diceritakan Foxy. Rupanya, penderitaan Quinn dan keluarganya seperti tragedi. Marquess Ludwig meninggal karena serangan bandit dan marchioness terpaksa menggantikan suaminya memimpin keluarga, tapi beliau yang masih terguncang dan tidak sanggup dengan segala serangan akhirnya ikut meninggal dunia karena sakit satu tahun kemudian.
Mau tidak mau, Quinn menggantikan orangtuanya untuk menjadi pemimpin, tapi gadis yang terbiasa dimanja itu tidak tahu bagaimana caranya. Bermacam fitnah datang bertubi-tubi, pengkhianatan dari keluarga di bawahnya ikut berbondong, dan puncaknya Quinn dihukum mati oleh Putra Mahkota Heros atas tuduhan yang tidak dilakukannya.
Membayangkan kalau aku akan menggantikan Quinn untuk merasakan penderitaan itu saja membuatku merinding. "Jadi, semua hal buruk itu terjadi karena menolak lamaran? Baiklah, ini mudah. Aku akan menerimanya dan semua menjadi happily ever after."
"Andai semudah itu," gumam Foxy. "Tapi patut dicoba. Kita hanya perlu meyakinkan Tuan Ludwig."
"Oke, berarti aku hanya perlu bertahan enam bulan ini dan memberikan akhir yang bahagia untuk Quinn dan keluarganya. Terdengar menyusahkan tapi aku akan melakukannya. Sebab aku belum ingin mati dan tidak mau mati karena fitnah."
Foxy terkekeh di sampingku, "Inilah alasan lainnya aku memilihmu untuk ke sini," ujarnya. "Aku tahu kau adalah orang yang cocok."
"Cocok?"
"Selama di keluarga von Dille kau selalu mengalah dan tidak pernah berulah. Menjadi anak baik yang patuh, jauh dari masalah. Tapi mereka tidak tahu kalau kau adalah gadis yang dapat berbahaya untuk dijadikan musuh."
"Berbahaya?" Aku hanya dapat tertawa getir. "Apa maksudmu?"
"Lunara. Kau punya potensi untuk menjadi seorang penguasa."
Kalimat yang keren jika kudengar dari film, tapi kalau secara langsung seperti ini, jadinya sangat menggelikan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro