
3 : Memaafkan
Ini namanya ketiban durian runtuh. Beruntungnya aku baru saja putus cinta sudah ada penghilang kegalauan. Hidup memanglah indah. Dio, lelaki itu punya tubuh pria idaman, kulit putih, dan lesung pipit disalah satu pipinya yang tirus. Bahkan tanpa tersenyum dan hanya bicara lesung pipit itu terlihat sangat jelas.
Aku menatap wajah sendiri di cermin, membayangkan betapa cocoknya bila dia ada disampingku. Tersenyum pada semua orang dan membuat rasa iri bertebaran dimana-mana. Kamu yang tampan sangat pas denganku yang cantik. Akhh, bahkan suaramu masih terngiang-ngiang dikupingku. Betapa aku berterimakasih kepada tuhan karena telah mengirimmu kepadaku saat itu. Membiarkanmu menabrakku hingga terjatuh. Satu hal yang kusesali, seharusnya karaih tanganmu saat itu. Kugenggam erat-erat dan mencoba menyalurkan energi kepadamu. Mungkin dengan begitu kamu juga akan menyukaiku.
"titt.. tiittt..titt" ponselku berbunyi. Dari Nadin. baru saja aku ingin menelponnya, bertanya tentang pemuda pemilik nama singkat itu. Sebuah pesan singkat dari Nadin, pesan yang membuat pikiranku berhenti, dadaku sesak, dan saraf ku tak berfungsi. Ponsel yang kugengam jatuh.
Dari : Nadin
Untuk : Arya
"Ar, gima tadi pacar gue? cakep kan?..."
Kemudian hening.
* Pagi yang suram. Matahari bersinar kelam. Hanya ada aku yang tak berdaya. Mengapa harus Nadin?. Jalanan terasa sangat menyebalkan. Apalagi sekolah. Buat waktu lama berjalan, bagaimana caranya?. Dari tadi bahkan terus kupikirkan bagaimana cara tampil biasa saja dihadapan Nadin.
Apa aku bolos saja? tidak mungkin. Jika aku ingin pun, setidaknya Nadin dan Sheryl harus tahu aku bolos. Mereka pasti akan merasa khawatir jika aku tanpa kabar.
Sambil berjalan aku berpikir. Entah apa yang kupikirkan, aku hanya merasa sedih berurusan dengannya. Berurusan dengan perasaan antara aku dengannya. Padahal sebelumnya aku tak pernah sesedih ini. Apalagi aku baru bertemu dengannya, melihatnya, bahkan tak ada 5 menit lebih untuk berbasa-basi dengannya.
"Ar, sendirian?" seseorang bertanya dari arah sampingku. Motor yang kukenali. Rehan. Suara itu belum berhasil mengusik kegundahanku.
"Ar, kamu denger saya?" dia menepuk pundakku. Mengetahui ada yang menyentuhku tubuhku spontan mundur tiba-tiba. Tanpa sadar dia terjatuh sebab menggemgam tanganku, menahanku yang hampir terjatuh. Aku terkejut.
"Gapapa?" khawatirku. Kulihat dia hanya tersenyum dan berdiri setelah itu. Kaki nya berdarah tapi Rehan berusaha menyembunyikan.
"Saya terlihat lucu buat kamu?" tanyaku kesal melihatnya malah tertawa. Kakinya membuatku khawatir, tapi dia pasti bilang 'baik-baik saja'. Selalu.
"Kamu terlihat cantik bagiku!" tegasnya sambil sedikit tertawa. Dia sungguh menyebalkan. Kalau tak kutahu dia terluka sudah ketendang wajahnya itu.
Akhirnya aku menelepon supirku, niat ingin berjalan kaki memperlambat waktu gagal total karenanya. Memarahinya hanya membuang-buang waktuku saja. Mulai dari sekarang aku harus sanggup mendengar suaranya sampai setibanya disekolah.
"Saya ga peduli alasan kamu mutusin hubungan ini karena apa. Ketika kamu bilang semua ini karena saya, rasanya sangat aneh" kedengarkan saja apa yang dia ucapkan seperti yang sudah-sudah.
"Kemarin saya melihatmu ditempat itu, tempat dimana kamu mengenalkan saya pada keheningan. Kita memang berbeda, tapi setidaknya kamu harus memberi saya waktu untuk lebih mengenalmu".
"Maaf" hanya itu yang bisa aku ucapkan.
* Rehan masih terlihat baik-baik saja. Dia selalu berhasil menyembunyikan luka, entah luka fisik maupun luka dihati. Seperti apa yang dirasakannya, tak pernah ada yang tahu. Mengkhawatirkan orang lain adalah kebiasaannya. Apa yang kubenci darinya adalah karena dia adalah Rehan yang tak kukenali.
Rehan selalu menjadi orang lain dihadapanku. Siapapun itu, memastikan mana dirinya yang asli membuatku malah membencinya. Seharusnya dia mengerti bahwa yang aku ingin bukan hanya sekedar bahagia. Ketika melihatnya tertawa, hatiku sangat sakit. Ada sesuatu yang dia sembunyikan. Seperti luka, penuh dengan luka.
Kamu menginginkanku, bertanya bagaiman supaya aku bahagia? Bertanya apa hal yang membuat diriku tertawa? Bertanya apapun yang membuatku tersenyum?. Tanpa sadar sepi adalah tempat asalku. Dan aku sudah terbiasa dengan itu. Tapi bagaimana denganmu? melihatmu berpura-pura tersenyum karena aku juga tersenyum, sangat melukaiku.
Sekali saja dalam hidupku, melihatmu menangis adalah sebuah keharusan. Menginginkanmu itu juga keinginanku. Tapi aku harus melihatmu benar-benar bahagia. Bukan berpura-pura lagi.
Aku tak menginginkan seseorang yang palsu.
"Re, bangun!" aku sedikit mengguncang tubuhnya karena dia begitu nyenyak dalam tidurnya. Dia tampak lebih bahagia ketika tidur. Aku jadi tak tega membangunkannya. Tapi dia langsung terbangun hanya dengan sedikit guncangan.
Aku duluan turun, didepan ada Nadin, Sheryl, dan lelaki bernama Dio itu. Mereka menghampiriku seketika. Bertanya bagaimana keadaanku? Kenapa aku tidak menjawab telponnya? Kenapa aku tidak membalas sms nya?. Aku menjawa 'Baik-baik saja, hpku mati", Jawaban yang sungguh klise.
Rehan kemudian turun. Semua mata memandang heran, bukan hanya sahabatku tapi lelaki itupun menatap heran.
"Lo balikan sama Rehan?" bisik Sheryl padaku . Dia terlalu keras bicara untuk sebuah bisikan. Aku hanya menggeleng. Tapi Rehan mengiyakan.
Aku langsung menatapnya kesal, tapi lagi-lagi hanya senyum yang berhasil dia tunjukkan. Ya, sudahlah apa salahnya menerimanya kembali. Hatiku terlanjur bingung antara mana yang lebih aku sukai. Rehan yang selalu membuatku tersenyum dan bahagia atau Dio yang tiba-tiba mengisi tempat dihatiku.
* Sedari tadi kuperhatikan Nadin terlalu banyak tertawa, padahal yang kulihat dari Dio tak lebih dari rasa bosan. Sheryl dan aku seperti hantu diantara mereka, ada tapi tak terlihat.
"Dikacangin nih kita!" teriak Sheryl kesal. Berhubung kita sedang ada di kantin. Banyak orang berbisik 'Siapa lelaki tampan yang ada disebelah Nadin?'.
"Apaan sih" ledek Nadin. Dia jadi menjijikan, berubah lucu hanya agar Dio tidak tahu jati dirinya.
" Kenalin kek pacar lo yang ganteng itu" celetuk Sheryl yang diiringi dengan kedatangan Rehan. Dia menggeser posisi Sheryl disebelahku, Sheryl yang sedari tadi sudah kesal makin tambah dibuat Rehan.
"Iya dong kenalin, kan jarang-jarang tuh bocah tengil kayak Nadin punya pacar" sindir Rehan yang membuatku senang dan tertawa.
"Oke deh gue kenalin. Ini pacar gue Dio, gue ketemu dia ditoko buku tempat si Arya nongkrong, ga nyangka banget niat mau nemuin si Arya jadi nemu dia, hahaha... Nah Dio, kenalin ini sahabat gue Arya anaknya pendiem banget jadi kalo lo ngomong dia ga nge bales kalem aja dia denger kok apa yang omongin. Ya ga Ar?" dia tampak benar mendeskripsikan diriku. Sejak awal berteman dengan mereka aku memang lebih sering mendengar, mengangguk, dan menggeleng ketimbang bicara.
"Dia paling populer disekolah, cowok-cowok pada ngantri buat dapetin dia. Sayangnya yang beruntung malah ni bocah yang hobbynya nyerocos kayak bajaj." tambah Nadin. semua tertawa, kecuali aku dan Dio.
"Arya?" suara Dio memecah tawa. Dio tampak bertanya tapi dengan nada kebingungan. Dia bertanya padaku, tapi lebih seperti kaget dengan namaku. Apa dia mengenalku?.
"Iya, nama dia Arya. Arya Dewi lengkapnya, kamu kenal?" tanya Nadin pada Dio.
Mataku memperhatikan setiap detik pergerakannya. Sambil mengingat apa aku pernah mengenalnya. Mengingat wajah seseorang adalah kelemahanku. Semenjak kecelakaan yang menimpa keluargaku, penglihatanku sedikit agak kabur. Entahlah, kadang semua wajah tiba-tiba terasa jelas, tapi tiba-tiba juga semua jadi berbeda.
Kalau aku pernah mengenalnya. Dia pasti akan mengenalku.
Kulihat Dio hanya menggeleng ragu. Meski aku ingin dia pernah mengenalku sebelumnya. Berbagi cerita mungkin tentang masa lalu yang sudah kulupakan atau yang tidak sengaja terlupakan. Menjadi dekat dengannya.
"Rehan itu mantannya Arya, dia bukan pacarnya lagi" tegas Sheryl.
"Arya denganku udah balikan, iya kan, Ar?" Rehan berusaha meyakinkanku kalau dia sudah berubah. Dia memang sedikit berbeda. Mungkin aku memang harus memberinya kesempatan.
Aku tersenyum membalas apa yang dia katakan. Mengiyakannya
Dia tersenyum balik padaku. Seingatku kakinya berdarah. Dia pasti kesakitan saat ini. Pagi tadi kami langsung masuk kelas karena sudah terlambat. Rehan belum sempat mengobati lukanya.
"Kaki kamu?" tanyaku sambil menunjuk kearah luka yang ia dapat.
"Kenapa?" dia malah bertanya balik.
"Kaki kamu berdarah kan?" aku berusaha mengingatkan.
"Oh ya?" dia melihat kakinya sendiri seperti memang tidak tahu apa-apa, setelah dia angkat celananya sedikit, kakinya berdarah banyak "Oh, iya berdarah. Kok ga kerasa ya?".
"Jangan bercanda, ayo ke UKS" aku membatunya berdiri. Tapi sebelum dia sempurna berdiri, badannya sudah jatuh tergeletak. Rehan pingsan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro