하나 - Senior and Junior
Angin bertiup sejuk. Dedaunan berwarna oranye memenuhi seluruh pandangan. Nami Island. Pemandangannya indah, terlebih saat musim gugur seperti ini. Tempat yang selalu menjadi tujuan para wisatawan itu tidak pernah jauh dari kata ramai.
"Kita ambil gambar satu kali lagi, ya!" ucap Jihoon sambil mengangkat jari telunjuknya.
Seorang model di depannya membuang napas berat. Pasalnya, sudah berapa kali pengambilan gambar itu diulang. Jihoon ingin hasil potretnya terlihat sempurna. Semua orang tahu itu.
Sebelum pemotretan dilanjutkan kembali, seorang wanita mendekat ke arahnya dan memberi sentuhan pada make up di wajah model tersebut. Jihoon menunggunya sembari mengecek kembali gambar-gambar yang telah didapatkannya tadi.
Park Woojin---sahabat sekaligus rekan kerja Jihoon---mendekat sambil menggengam sebuah botol minum. Matanya berulang kali melirik ke arah model dan Jihoon secara bergantian kemudian menggeleng.
"Tidak bisakah kau membiarkan dia istirahat? Hanya setengah jam," ucap Woojin. "Lihat wajahnya sudah kelelahan. Kalau fisiknya sudah letih, berapa kali pun kau mengambil gambar akan sama saja hasilnya. Tidak akan bagus."
"Tidak akan seperti itu kalau dia mengaku sebagai model profesional," elak Jihoon. Pandangannya sengaja tidak dijauhkan dari kamera di tangannya.
"Ah, kau ini. Keras kepala." Woojin berdecak kemudian menyodorkan botol di tangannya. "Ini, aku bawakan minum untukmu."
Jihoon mengangguk sebagai tanda terima kasihnya pada Woojin kemudian duduk sejenak sambil menunggu modelnya selesai bersiap-siap.
"Ah!"
Suara tersebut mampu mengalihkan perhatian Jihoon. Ia beranjak dan menghampiri sumber suara. Dilihatnya gadis itu sedang memegangi kepalanya. Wajahnya terlihat sedikit pucat. Lantas, seseorang membantunya duduk di dekat sana.
"Ada apa?" tanya Jihoon.
"Sepertinya Yoorin kelelahan. Kepalanya pusing."
"Ck." Jihoon menepuk dahinya dan menggeleng. "Baiklah. Kau istirahat saja. Kita lanjutkan saat kau sudah membaik."
"Model kedua! Bersiap-siaplah!" teriak Jihoon sambil kembali ke tempatnya.
"Benar apa yang kubilang, 'kan?" bisik Woojin yang tiba-tiba mengagetkan Jihoon. "Kau itu seharusnya bisa peka dengan perempuan."
"Itu tidak ada urusannya dengan masalah peka atau tidak."
"Kau harus belajar banyak dariku, Hoon!" ujar Woojin, membanggakan dirinya. "Tapi sebelumnya, bagaimana kalau kita pergi ke PC Bang setelah ini? Sudah lama aku tidak bermain denganmu."
Jihoon menoleh. Keduanya memang senang mampir ke sana untuk melepaskan segala penat yang ada-sejak mereka masih sekolah. Namun, beberapa tahun belakangan ini, Jihoon meninggalkan kebiasaannya bersama Woojin.
"Ayolah, Hoon! Sudah hampir satu setengah tahun berlalu dan kau masih saja tidak mau ke tempat itu hanya karena Hana? Sekali ini, buat sahabatmu senang dengan bermain bersama," pinta Woojin sambil menyatukan kedua tangannya di depan dada.
Setelah Hana pergi dan hampir tidak memberi kabar apa pun pada Jihoon, lelaki itu jadi banyak berasumsi tentang menghilangnya Hana dari dirinya. Mungkin karena perhatian yang jarang diberikan olehnya. Selain karena keduanya sama-sama sibuk bekerja---Hana sebagai barista dan Jihoon sebagai fotografer---ia juga lebih sering menghabiskan waktunya bersama Woojin untuk memainkan games kesukaannya.
Tidak jarang Hana merasa perhatiannya direbut oleh permainan favorit kekasihnya. Itulah mengapa Jihoon memutuskan untuk meninggalkan hobinya sejenak. Meskipun Hana sedang tidak bersamanya, setidaknya saat gadis itu kembali, ia tidak merasa diabaikan lagi oleh Jihoon hanya karena permainannya dan Woojin.
"Tidak bisa, Jin. Aku masih harus memilih foto-foto yang harus diserahkan besok. Lain kali saja," tolak Jihoon meskipun bukan itu alasan utamanya dan Woojin pun tahu itu.
"Singkirkan dulu pekerjaanmu, aku bisa membantunya. Sejak berbulan-bulan lalu jawabanmu juga tetap sama. Sudah lain kali yang keberapa ini?"
"Mengapa kau bersikap seperti anak kecil manja yang selalu ingin dituruti keinginannya?"
Woojin tersenyum kemudian merangkul bahu sahabatnya dengan tangan kiri. "Mumpung Hana tidak ada, biar aku yang bermanja-manja." Lelaki itu menaik-naikkan alisnya.
Jihoon bergidik ngeri sambil menjauhkan tubuh Woojin darinya. "Ish! Hentikan sebelum orang lain berpikir yang aneh-aneh."
"Tidak ada yang berani berpikir macam-macam tentangmu," balas Woojin sambil tertawa.
"Maaf ganggu."
Jihoon dan Woojin menengadahkan kepalanya dan beranjak dari kursi. Woojin melepaskan rangkulan tangan itu kemudian menyembunyikan tangannya ke belakang.
"Jihoon-ah, kenalkan ada anak baru yang akan bekerja sebagai fotografer di sini," kata Kim Jennie---gadis berambut panjang yang juga bekerja sebagai model---sambil mempersilakan seseorang di sebelahnya untuk memperkenalkan diri.
Gadis itu membungkuk kemudian menyebutkan namanya. "Namaku Hwang Soyeon. Mohon bantuannya, sunbaenim."
Jihoon menaikkan salah satu alisnya. "Lalu untuk apa kau memperkenalkannya padaku?"
Woojin menyenggol siku Jihoon kemudian berbisik, "Kau ini ... bisa tidak bersikap manis saat bertemu orang baru? Ia bisa tidak betah bekerja di sini hanya karenamu."
"Tentu saja supaya kau bisa mengenal seluruh rekan kerjamu dengan baik. Selain itu, kau juga harus menjadi senior yang baik untuk sahabatku ini," balas Jennie sambil tersenyum.
"Senior? Maksudmu aku harus membimbing anak ini selama di sini?" tanya Jihoon. Ia memperhatikan Soyeon kemudian secepat mungkin membuang mukanya.
Jennie mengangguk. "Kenapa? Kau tidak mau? Atasanmu yang memintanya."
"Kalau Jihoon tidak mau, serahkan saja padaku. Aku yang akan membimbingnya," sela Woojin. Lelaki itu mengambil langkah lebih depan dari Jihoon dan tersenyum pada Soyeon. Gadis itu membalasnya dengan senyuman tipis.
"Yang diminta itu Jihoon, bukan kau. Jihoon masih lebih unggul dalam hal ini. Kau bukan apa-apa," sindir Jennie sambil memeletkan lidahnya.
Lelaki yang disindirnya itu mendeceh. "Kau ini bukannya menaikkan harga diriku di depan sahabatmu. Memang menyebalkan."
Sementara itu, Jihoon masih terdiam sambil memandangi Soyeon dengan tatapan tajamnya. Soyeon sempat salah tingkah dibuatnya karena ia juga merasa risih jika dilihat terlalu lama. Gadis itu memilih untuk menunduk dan membiarkan Jennie yang berbicara pada mereka.
"Jadi, bagaimana, Hoon?" tanya Jennie lagi.
Jihoon membuang napasnya berat. "Baiklah."
"Jennie, kau siap-siap di sana. Sebentar lagi aku akan mengambil gambarmu." Jihoon menunjuk tempat di antara pepohonan tinggi. "Dan kau ... arahkan pose yang terbaik untuk Jennie."
"Aku?" Soyeon menunjuk dirinya. "Tapi aku melamar kerja di sini sebagai fotografer, bukan pengarah gaya."
"Siapa yang ingin kubimbing, harus mengikuti permintaanku. Arasseo?" ujar Jihoon kemudian meninggalkan Jennie dan Soyeon untuk mengambil kamera miliknya.
Sabar, Soyeon. Baru hari pertama. Gadis itu mengelus dada dan meniup asal poninya.
🍁🍁
Akhirnya Soyeon bisa bernapas lega saat sesi pemotretan itu selesai. Hari pertama yang begitu melelahkan. Bukan sebagai fotografer, tetapi sebagai asisten seorang Park Jihoon.
Sejak kedatangannya sampai sesi itu berakhir, Soyeon tidak diizinkan memegang kamera sama sekali. Gadis itu hanya berjalan ke sana dan ke mari, membantu para model. Membawakan minuman untuk orang-orang yang sedang bekerja. Jelas-jelas ia bukan mendaftarkan diri untuk sekadar menjadi asisten.
"Kau pasti lelah. Kulihat kau sibuk bolak-balik," ucap Jennie sambil memberikan minuman dan sehelai tisu.
Soyeon menerima pemberian dari Jennie. "Meskipun udara yang bertiup sangat sejuk, rasa lelahku tidak dapat dibohongi."
"Sebenarnya aku bertanya-tanya, apa dia benar-benar orang yang dipilih oleh atasanmu? Lebih terlihat mahir untuk memerintah orang daripada membimbing," sambung Soyeon.
Jennie malah tertawa. "Kau jangan heran. Memang begitu sifatnya. Lama-lama kau juga akan terbiasa."
Gadis itu mengangguk. Memang ini masih hari pertamanya bekerja dan benar juga kalau butuh waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan kerja yang baru. Mengenal sifat-sifat rekannya dari awal lagi. Soyeon sudah berhasil melewati masa-masa itu di tempat bekerjanya yang dulu. Namun, ia terpaksa mengundurkan diri karena sudah tidak nyaman. Sekarang pun ia pasti bisa melewatinya lagi.
Menikmati angin yang berhembus sejuk di Nami Island diikuti dengan daun-daun yang berguguran menjadi salah satu momen yang menenangkan bagi Soyeon dan Jennie. Keduanya bersandar di batang pohon.
"Sebelum kita pulang, apa kau tidak mau berfoto-foto denganku di sini?" tanya Jennie.
Padahal ia tahu kalau sahabatnya sedang kelelahan, tapi ia juga tahu kalau Soyeon tidak mengenal kata lelah untuk bergaya di depan kamera.
"Ide bagus!"
Perkiraan Jennie tepat. Soyeon langsung berdiri dan merapikan rambutnya sambil berkaca di kamera depan ponselnya. Mereka mencari spot terbaik untuk mengambil gambar. Mulai dari gaya yang normal hingga aneh pun dilakukannya. Perempuan. Kalau tidak foto berulang kali, tidak sah namanya.
"Ah, aku selalu kalah cantik jika berada di sampingmu," keluh Soyeon sambil menggeser foto-foto yang ada di ponselnya.
"Jangan kau hapus fotonya. Biarkan saja kalau aku memang terlihat cantik," balas Jennie sambil tertawa.
"Kau curang! Siapa yang melihat foto ini bisa mengira kalau ini adalah si cantik dan si buruk rupa."
"Biarkan," Jennie merampas ponsel itu dari tangan Soyeon, "Aku mau lihat fotonya. Kalau fotoku jelek, baru aku akan menghapusnya." Gadis itu tertawa sambil mengangkat ponsel Soyeon tinggi-tinggi.
Memang Jennie curang. Ia adalah seorang model. Jelas saja tinggi adalah perbedaan yang paling besar antara Soyeon dan dirinya. Jadi, sekuat apa pun usaha Soyeon untuk berjinjit, tetap saja tangannya tidak bisa meraih benda miliknya.
"Jennie...," panggil Soyeon pelan sambil mengerucutkan bibirnya.
"Hei!" sapa seseorang yang berhasil menghentikan adegan rebut-merebut Soyeon dan Jennie. "Kalian sedang bermain apa? Aku ikut!"
Keduanya menoleh, tetapi wajah Soyeon jelas lebih memancarkan kebahagiaan saat mengetahui siapa yang datang dan menyapanya.
"Seongwoo-ya!"
***
Sunbaenim: Sebutan untuk senior
Arraseo: Mengerti
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro