열하나 - For The First Time (1)
Suasana studio selalu sama setiap harinya. Dipenuhi cahaya yang terpancar ke satu sisi, beberapa background beraneka warna, serta properti yang diatur sedemikian rupa. Orang-orang sibuk berjalan di antara kabel-kabel yang tergeletak di lantai.
Kali ini ada dua model yang akan diurus oleh Jihoon dan Soyeon di studio yang sama. Tidak ada cara lain yang terbaik untuk melupakan masalah selain menyibukkan diri sendiri.
"Di mana Jennie dan Yoorin?" tanya Jihoon sambil sibuk mencari keberadaan mereka. "Padahal aku sudah bilang kalau pemotretan dimulai pukul sepuluh."
Soyeon yang sedang membawa clipboard berisi beberapa lembar catatannya pun menghampiri Jihoon. "Masih ada di ruang make up, sebentar lagi mereka selesai."
"Soyeon, kau bisa membantuku untuk memikirkan posisi properti yang cocok untuk pemotretan hari ini? Setelah dilihat, ada yang kurang tepat."
"Ne. Biasanya kau selalu punya ide-ide bagus. Ada apa denganmu?"
Jihoon mengangkat bahunya dan berdecak-decak. "Untuk punya ide yang bagus, mood juga harus bagus. Dan aku tidak punya itu sekarang," ucapnya sambil mengalihkan pandangan dari kumpulan properti di depannya.
Gadis yang diajaknya bicara itu mengangguk. "Baiklah."
"Ya ... setidaknya aku beruntung karena ada kau yang bisa membantuku."
Soyeon melirik Jihoon yang sedang tersenyum tipis padanya.
Sempat mengernyitkan dahi karena baru kali ini ia mendengar bahwa Jihoon tidak hanya bisa memarahinya, tetapi juga memuji. Akhirnya, ia ikut menaikkan salah satu ujung bibirnya.
"Memang," tanggapnya bangga. "Seharusnya dari awal bertemu pun kau tidak perlu bersikap sedingin itu padaku. Kau merasa bersalah, 'kan? Untung aku tidak pernah memasukkannya ke dalam hati. Jadi, aku memaafkanmu kok."
Ia menepuk-nepuk lengan Jihoon yang diikuti dengan tatapan tajam Jihoon. Senyumnya hilang, tidak ada lagi.
Sementara Soyeon masih tersenyum bangga, lelaki itu menegurnya. "Aniyo. Aku tidak merasa bersalah."
Berganti, kini senyum yang menghiasi wajah Soyeon ikut menghilang dan ia menunduk.
"Aku seniormu, sudah seharusnya memberi tau kalau memang ada yang salah."
"Ternyata dia benar-benar menyebalkan. Kalau dia bersikap baik, berarti itu hal langka," bisik Soyeon.
Jihoon sedikit memiringkan kepalanya, menangkap kalau Soyeon sedang berbicara sendiri pada dirinya. "Kita masih punya tugas, sebaiknya kau lakukan apa yang harus dilakukan daripada komat-kamit seperti itu."
Masih sedikit menunduk, Soyeon melirik Jihoon yang seenaknya sedang melipat tangan di depan dada. "Iya, baiklah."
Seperti apa yang diminta Jihoon sebelumnya, Soyeon mengatur letak properti sedemikian rupa supaya hasil fotonya menjadi sesuai tema yang ditentukan. Sementara itu, Jihoon duduk di kursi kayu sambil mengangkat salah satu kakinya. Ia mengangguk-angguk dan tersenyum usai melihat pekerjaan Soyeon. Ia puas dengan hasilnya.
"Chotha! Chotha!" teriaknya dari tempat duduk. "Kau sudah mengaturnya dengan baik. Terima kasih, Soyeon."
Bersamaan dengan itu, model yang ditunggunya pun datang. Jihoon beranjak dari kursi dan mendekat ke arah tripod kamera yang sengaja sudah ia siapkan sejak tadi.
"Jennie dulu ya, ayo!" ucapnya.
Gadis yang dipanggilnya itu mengacungkan ibu jari, sementara Soyeon menjauh dari tempatnya berdiri. Ia memilih untuk keluar studio sejenak untuk membeli minum di luar kantor. Hanya ke supermarket yang dibatasi oleh beberapa gedung dari kantornya.
Jihoon sudah berada di belakang kamera. Dimulai dari memberi arahan gaya untuk Jennie dan ia sudah siap mengambil gambar.
"Aku tidak mau pengambilan ini diulang berkali-kali karena mood-ku sedang buruk. Jadi, lakukanlah dengan baik, ya."
"Sunbaenim ... ah, maksudku Jihoon. Aku ingin keluar sebentar saja."
"Ka!" balasnya sambil mengibaskan tangan, sementara matanya masih fokus pada view finder kamera. "Cepat kembali karena kau masih punya tugas."
"Iya," jawab Soyeon, "cerewet." Ia melanjutkan kalimatnya, tapi dengan nada yang pelan, sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruangan.
🍁🍁
"Yay! Selesai." Soyeon melepas tali kamera DSLR yang terkalungkan di lehernya.
Ia meletakkannya di atas meja kemudian berjalan menghampiri sofa untuk istirahat sejenak. Di sana tidak kosong. Ada Jihoon yang dari tadi mengawasi pekerjaannya.
"Kau punya potensi juga," pujinya sambil tersenyum menyeringai.
Baru saja Soyeon menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, ia memalingkan tatapannya. "Jelas."
"Oh iya," ucap Soyeon sembari mengambil tas selempangnya, "aku belikan ini untukmu."
Gadis itu menyodorkan benda persegi panjang berbungkus cokelat, sementara Jihoon langsung menerimanya meski tidak tahu mengapa ia harus mengambilnya.
"Kau bingung?" tanya Soyeon yang berhasil menangkap sorot mata kebingungan Jihoon. "Katamu sedang punya mood yang tidak baik ... dan kudengar kau sedang ada masalah dengan seseorang bernama Hana."
Jihoon mengalihkan pandangan dari benda di tangannya. "Kau tau?"
Soyeon mengangguk. "Woojin sunbaenim memberi tau hal itu. Biasanya, kalau aku sedang ada masalah, cokelat itu bisa membantuku menenangkan pikiran. Siapa tau itu juga bisa buatmu merasa lebih baik."
"Begitu ya?" ujar Jihoon sembari membuka perlahan bungkus cokelat. Ia mematahkan bagian ujungnya.
"Aku tidak mau dipikir orang lain kalau hanya menikmati makanan ini sendiri. Untukmu, makanlah." Lelaki itu memberikan sepotong cokelat miliknya.
Soyeon bahkan tidak berpikir kalau orang lain akan memandangnya seperti itu. Apa Jihoon sepeduli itu dengan pendapat orang lain? Gadis itu pun mengambil dan menggigit cokelatnya sedikit-sedikit.
"Kalau ada masalah, kau bisa menceritakannya padaku. Anggap saja aku ini junior yang peduli dengan seniornya."
"Aku bahkan tidak yakin kalau orang sepertimu bisa dipercaya." Lelaki itu tertawa meremehkan Soyeon.
Soyeon mengerutkan dahinya. Sambil mengunyah makanannya, ia membantah, "Ya! Aku ini pemegang rahasia terbaik. Begitu yang dikatakan Jennie."
Jihoon tersenyum tipis kemudian tertawa. Dari setiap tawa yang keluar dari mulut lelaki itu, tak ada satu pun yang disukai oleh Soyeon. Semuanya seolah menganggap Soyeon remeh. Dan ia tidak menyukainya.
"Kenapa kau selalu menyebalkan? Ah iya, kalau kau sudah kembali seperti ini berarti tandanya kau sudah tidak memikirkan perempuan itu?"
"Ya ... sedikit."
"Aku akan membuatnya menjadi lebih banyak." Soyeon menatap Jihoon. "Setelah ini, ikut aku ke suatu tempat."
"Ke mana?"
"Lotte World. Kita bersenang-senang di sana. Banyak permainan, pemandangan yang indah, dan---"
"Aku tidak mau ke sana. Aku sibuk."
Gadis itu mengerucutkan bibirnya. Bukan karena Jihoon tak mau pergi ke tempat pilihannya, tapi karena pembicaraannya dipotong begitu saja.
"Aku bahkan belum selesai bicara," keluhnya. "Sibuk apa? Sibuk meratapi nasibmu karena Hana itu? Hidup jangan terlalu serius. Santailah sesekali."
"Aku prihatin melihatmu bersikap seperti ini hanya karena perempuan."
Soyeon mengalihkan tatapannya ke benda persegi panjang yang baru diambilnya dari dalam tas. Jemarinya bergerak lihai menggeser layar dan membuka sebuah aplikasi dengan warna dasar kuning. Jelas, ia mencari sebuah nama.
"Mwo?!" pekiknya. Matanya membulat melihat layar yang menampilkan isi pesannya dengan seseorang.
"Wae wae wae?" Jihoon yang kaget mendengar teriakan Soyeon itu melihat gadis di sampingnya sambil membulatkan mata.
"Aku menghubunginya sejak semalam, tapi sampai sekarang belum direspon sama sekali?" gerutu Soyeon.
Sempat menganga karena gadis itu berteriak atas alasan yang tidak logis, Jihoon mendengkus sambil menahan tawa. "Kau berlagak menasihati orang lain, tapi ternyata kisah cintamu lebih memprihatinkan."
"Ish! Awas saja kalau aku bertemu dengan Seongwoo nanti." Gadis itu mengunci layar ponselnya dan dengan kesal menyimpan benda itu di dalam tas.
"Ada kalanya dia tidak tahan dengan kau yang bawel seperti itu," sambung Jihoon sambil melirik ke arah Soyeon sejenak kemudian beralih ke lain arah, tak acuh.
"Enak saja!" tolak Soyeon. "Sudahlah, kau harus menemaniku pergi ke Lotte World. Kau sedang patah hati, aku sedang kesal. Sama-sama butuh hiburan. Pilihan yang tepat, 'kan?"
"Masih bersikeras? Sudah kubilang aku tidak bisa."
"Anggap ini balasan karena kau sudah menraktirku makan tempo hari. Aku yang akan bayar biaya tiket masuknya."
Jihoon melirik jam tangannya kemudian mengangguk. "Okelah kalau begitu. Sepulang kerja."
"Begitu kan lebih enak didengar." Soyeon menyampirkan tasnya dan beranjak dari sofa. "Aku mau makan siang dengan Jennie. Sampai nanti!"
Gadis itu melambaikan tangan sambil berjalan mundur. Ia melakukannya sampai Jihoon menanggapi lambaiannya. Namun, melihatnya terlalu membuat Jihoon merasa ngeri.
"Punggungmu tidak punya mata! Berjalanlah seperti biasa saja, tidak usah banyak tingkah," teriaknya.
Jangan lupa untuk follow instagram @vaniandona.story untuk info ter-update seputar cerita ya /love/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro