Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

열여덟 - Now, I Know

Bunyi derit pintu membuat Minhyun menoleh ke arah sumber suara. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala ketika melihat orang yang dikenalnya masuk ke dalam ruangan.

"Sudah selesai?"

Gadis itu berdeham. "Oppa, kau tau seseorang yang ada di kamar ketiga arah kiri ruanganmu ini?"

Minhyun meletakkan bolpoinnya kemudian melihat ke arah atas sambil mengetukkan jemarinya di dagu. Sesudahnya, ia menatap adiknya lagi.

"Anak kecil itu? Iya, aku tau. Aku yang menanganinya. Wae?" Ia berbicara pada Soyeon sambil melanjutkan tugasnya. Mengalihkan pandangan antara layar komputer dan kertas secara bergantian.

"Iya iya itu. Dia sakit apa?"

"Kau kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"

"Hmm ... hanya ingin tau."

"Anak itu sedang koma setelah kecelakaannya beberapa bulan lalu," jelas Minhyun, tapi pandangannya tidak terusik.

"Beberapa bulan lalu? Lama juga. Kondisinya bagaimana?"

"Belum ada perubahan. Aku juga sudah bilang pada keluarganya untuk berhenti berharap dengan alat-alat rumah sakit yang hanya membantunya hidup sementara, tapi mereka tidak mau. Terlebih kakaknya itu."

Soyeon mengernyitkan dahi. "Kakak?"

Kali ini, Minhyun beranjak dan mengambil snelli. Diletakkannya benda itu di lengan kirinya. "Iya, laki-laki yang selalu rutin datang ke sini."

"Ah...," ucap Soyeon sambil mengangguk. "Jihoon?"

"Iya, kau mengenalnya?"

Adiknya itu berdeham. "Senior di tempat kerjaku yang baru."

"Pantas." Minhyun melangkah mendekati pintu ruangannya. Ia mengganti topik pembicaraannya. "Kau mau di sini atau bagaimana? Aku ada janji dengan pasien."

"Eh?" Soyeon segera beranjak usai mendengar pernyataan Minhyun. "Aku akan pulang."

Gadis itu segera berlari menghampiri kakaknya. Memandang laki-laki itu sebentar kemudian berjinjit. Sebuah kecupan mendarat di pipi Minhyun. Sesudahnya, Soyeon tersenyum.

Ia mengambil alih knop pintu yang sejak tadi dipegang oleh Minhyun dan memutarnya. Soyeon berjalan mundur sambil terus melambaikan tangan.

"Bye, Minhyun Oppa! Semangat kerjanya! Akan kusampaikan pada Eomma kalau makanannya sudah sampai dengan selamat."

"Ya! Soyeon-ah, berjalan yang benar. Jangan seperti itu di rumah sakit." Minhyun selalu khawatir kalau adiknya bertingkah aneh, tapi Soyeon memang biasa melakukan itu.

"Hubungi aku kalau kau sudah sampai rumah, ya!" pekiknya yang hanya dibalas dengan acungan jempol dari Soyeon.

Sudah cukup jauh dari rumah sakit, Soyeon sempat teringat dengan kejadian beberapa hari lalu. Jihoon yang begitu ketakutan hanya karena melihatnya nyaris tertabrak mobil.

Memang begitu atau hanya kebetulan?

"Dan sekarang aku tau kenapa dia bersikap kayak gitu. Bayang-bayang kecelakaan adiknya pasti masih teringat."

Gadis itu mengambil kesimpulan sendiri. "Rasanya pasti sedih sekali, ya."

Soyeon terus berbicara sendiri selama ia berjalan. "Haruskah aku menghiburnya? Di balik sifatnya yang galak, dia menyimpan banyak masalah sendiri."

🍁🍁

Esok harinya, Soyeon datang cukup pagi ke kantor. Namun, bukan berarti kantor itu masih sepi. Tidak. Ada Jennie, sahabatnya, yang juga sudah sampai lebih dulu. Kalau masalah rajin, Jennie memang juaranya.

Soyeon langsung mengambil kursi dan mendorongnya ke dekat tempat duduk Jennie. Tangannya menyodorkan benda yang didapatkannya kemarin. Tentu saja, dari Minhyun.

"Sebuah hadiah dari pangeranmu," ujar Soyeon sambil tersenyum dengan penuh arti.

Jennie memiringkan kepalanya. Setelah bertatapan bingung dengan Soyeon, ia mengambilnya. "Nugu?"

Soyeon menyenggol siku sahabatnya. Senyumnya semakin lebar, tapi justru terlihat mengintimidasi bagi Jennie. Tak heran, gadis itu sekarang memundurkan tubuhnya dari Soyeon.

"Minhyun Oppa. Hei, kau benar-benar akan jadi kakak iparku." Soyeon tertawa, terlebih saat melihat rona merah di wajah Jennie.

"Doakan saja," jawab Jennie malu sambil menutup wajahnya dengan benda pemberian Minhyun.

"Seru sekali pembicaraan kalian." Seseorang datang membuat keduanya menoleh. Lelaki itu meletakkan tasnya di atas meja dan duduk di biliknya.

Soyeon memandang lelaki itu kemudian melihat ke arah berlawanan, pintu masuk yang dibelakanginya. "Woojin sunbaenim, kau tidak datang bersama Jihoon?"

Woojin menggeleng. "Dia bilang sedang tidak enak badan. Tumben. Biasanya dia selalu memaksakan diri untuk kerja walau sakit."

"Kalau begitu dia tidak masuk hari ini?"

"Begitulah," balas Woojin yang kini melihat lawan bicaranya. "Kenapa? Sehari saja tidak mendengar omelan Jihoon membuatmu kangen, ya?"

Soyeon memutar bola matanya. Ia baru ingat dengan siapa ia sedang berbicara. Woojin yang tak pernah lepas dari ledekan. Namun, Soyeon justru menanggapi ledekannya dengan senang.

"Iya, aku merindukannya. Kau tau di mana rumahnya, 'kan? Antar aku sepulang kerja, ya."

"Bahkan kita belum mulai kerja, tapi kau sudah bahas saat pulang," ujar Woojin sambil tertawa kecil, memperlihatkan gigi gingsulnya dengan jelas.

Soyeon menggaruk tengkuk kepalanya sambil tersenyum malu. Namun, apa yang dirasanya saat ini memang berbeda. Berubah karena sosok yang selalu menegasinya itu tidak ada.

Gadis itu jadi berpikir apa yang mengganggu pikiran Jihoon hari ini. Seingatnya, dia tidak melakukan kesalahan. Dan bukan berarti Jihoon tidak masuk karena malas bertemu dengannya. Jika yang dikatakan Woojin adalah benar, kemarin Jihoon terlihat baik-baik saja. Bahkan mengantar Soyeon sampai ke rumahnya hingga malam.

"Ah," ujar gadis itu, menyudahi pemikirannya, "jangan-jangan dia kelelahan karena mengantarku?"

"Berarti ini karenaku dan aku harus meminta maaf padanya karena kemarin sudah sangat merepotkan."

Seperti yang ia ucapkan pada Woojin. Soyeon ingin menghampiri Jihoon di rumahnya. Setidaknya sebagai tamu yang peduli karena rekan kerjanya sedang sakit.

🍁🍁

"Ji, apa tidak sebaiknya kita ikuti saran dari dokter saja?" tanya ibunya sambil memasukkan beberapa potong daging ke dalam panci.

Sesekali wanita itu menoleh ke belakang, tempat di mana Jihoon sedang sibuk memakan gyeran jjim. Kunyahannya terhenti. Jihoon juga menurunkan sendok makannya. Ia menatap punggung wanita yang tadi mengajaknya berbicara.

Masih diam. Menunggu lanjutan kalimat yang terlontarkan dari mulutnya.

"Mereka pasti mengerti cara yang terbaik," lanjutnya.

Jihoon menaikkan salah satu alisnya. Ia menopang dagu. "Dengan membiarkan satu nyawa menghilang. Itu yang Eomma sebut baik?"

"Kadang ... Eomma juga merasa serba salah. Seperti itu, Euna terlihat menderita, tapi Eomma juga tidak mau kehilangan."

"Dan salah satu alasan terkuat adalah keinginanmu, Ji. Kau yang terus memperjuangkan Euna di saat Eomma dan Appa sudah ada di puncak menyerah."

Jihoon mengambil gelas air yang ada di meja dan meminumnya. Ia memundurkan mangkoknya kemudian fokus menatap mata ibunya. Lelaki itu beranjak kemudian memeluk ibunya dari belakang. Bersandar di punggungnya.

"Aku sayang Euna. Eomma Appa juga pasti begitu. Jadi, biarlah kita pertahankan ini bersama-sama." Jihoon tersenyum tipis sambil melihat wajah ibunya.

Ibunya berbalik badan kemudian memegang kedua pundak Jihoon erat, sementara lelaki itu hanya membalas tatapannya. "Kami sudah memutuskan...."

"Kami sudah merelakannya."

Jihoon mengerutkan dahi. Apa yang dimaksud dengan kata 'merelakan'? Ia belum menanggapi pernyataan ibunya. Membaca raut wajah Jihoon yang bertanya-tanya, ibunya mengajak putranya itu duduk kembali.

"Tentang Euna ... Eomma Appa mau dia tidak tersiksa. Merelakannya adalah yang terbaik."

Jihoon menoleh dengan tatapan tajamnya. "ANDWAEE!" tolak lelaki itu dengan tegas.

"Aku sudah berjanji untuk selalu menjaga Euna, termasuk pada saat seperti ini." Jihoon beranjak dan melepas rangkulan ibunya.

Ibunya tahu kalau akhirnya akan seperti ini. Jihoon sangat sayang pada adiknya. Seorang kakak yang tidak pernah mau adiknya terluka, sekecil apa pun itu. Ia tahu kalau Jihoon pasti menolak keputusannya. Namun, memutuskan itu juga bukan semata-mata ingin menjauhkan kedua anaknya. Ada pertimbangan lain, yang juga sudah susah payah dipikirkan.

Tuhan akan menjaganya lebih baik.

Jihoon mengambil jaketnya dan terlihat pergi dengan terburu-buru. Sementara itu, pandangan ibunya mengikuti tiap gerak-gerik Jihoon.

"Kau mau ke mana? Habiskan dulu sarapanmu!" teriaknya karena anak lelakinya itu kini sudah menjauh.

"Aniyo, Eomma. Aku buru-buru."

"Kau melupakan tas kerjamu," ucapnya sambil mengangkat tas berwarna cokelat tua itu tinggi-tinggi.

"Aku tidak akan berangkat kerja hari ini. Ada hal lain yang lebih penting. Aku pamit, Eomma."

To be continued....

🍒🍒

Membayangkan betapa sayangnya Jihoon sama Euna ini bikin iri. Dia pasti bisa sadar ya, Hoon 😔😔

Terlepas dari itu, kalau kalian suka sama cerita ini. Dukung terus ya dengan beri vote, comment, dan rekomensasikan ke teman kalian ❤

Dan sebelum beralih ke part selanjutnya, ada salam dari dr. Minhyun

Minhyun kalau jadi dokter itu.... (isi sendiri) 😂😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro