여섯 - His Dream (1)
Soyeon masih mengusap kepalanya. Lampu studio itu tidak main-main dalam membuatnya kesakitan. Salahnya juga mengapa harus duduk di bawahnya padahal banyak kursi di dalam ruangan itu. Lebih salah lagi karena Jihoon tiba-tiba membuatnya kaget.
"Jam makan siang sudah mau habis dan aku belum sempat mengisi perut," ujarnya sambil melirik jarum yang terus bergerak di jam dinding dan berganti mengelus perutnya.
Usai pemotretan, ia terlalu senang dan penasaran dengan hasil pengambilan gambarnya. Kalau Jihoon tidak datang, mungkin Soyeon akan lebih lama menghabiskan waktu hanya untuk menatapi kamera.
"Oh iya! Aku harus menceritakan kegiatan hari ini pada Seongwoo. Hari yang kutunggu ini akhirnya datang."
Rasa sakit yang tadi dirasakan oleh Soyeon seakan menghilang dan sekarang ia lebih semangat untuk meraih ponselnya. Gadis itu asyik mengetik di atas keyboard-nya. Nyatanya, hanya momen pertamanya kerja sebagai fotografer bisa semudah itu membuatnya bahagia.
Namun, tidak seutuhnya bahagia kalau masih harus bekerja bersama orang yang terlalu cuek. Seperti ....
"Ini."
Sebuah wadah berwarna bening yang sudah terisi air tersodorkan di depan wajah Soyeon. Gadis itu melihat benda di hadapannya kemudian mendongak, melihat siapa yang membawanya. Jelas. Jihoon menyodorkannya lengkap dengan handuk berukuran kecil yang diperolehnya dari cleaning service di sana.
Soyeon mengamati benda itu, sesekali melirik ke arah Jihoon, tetapi tidak segera menerima pemberiannya. Ia meletakkan ponsel di atas pahanya. Menunggu cukup lama, akhirnya lelaki itu menyerah.
"Kau membiarkanku membawa benda ini semakin lama? Padahal aku sudah jauh-jauh mengambilnya," protesnya.
Jihoon berdecak dan menggelengkan kepalanya. "Sudahlah."
Ia menempatkan dirinya di samping Soyeon. Dicelupkannya sebagian handuk itu ke dalam air dingin dan memerasnya pelan hanya untuk memastikan bahwa tidak ada air yang menetes lagi.
"Kau bisa melakukannya sendiri, 'kan?" tanya Jihoon cuek sambil menyodorkan handuk yang setengah basah.
"Eh? I-iya." Gadis itu melamun---entah apa yang mengusik pikirannya---kemudian mengambil handuk tersebut dari tangan Jihoon. Diletakannya benda itu di atas kepalanya yang terasa sakit.
Jihoon meletakkan wadah tersebut di atas meja yang berada di samping sofa kemudian beranjak. Ia meletakkan kedua tangannya di dalam saku celana dan melihat Soyeon yang masih menepuk-nepukkan handuk ke atas kepalanya.
"Aku akan pulang. Kalau sudah merasa baikan, tolong kembalikan itu ke pantry."
Pulang katanya? Ia bahkan tidak melakukan pekerjaan apa pun karena aku ambil alih.
"Pulang? Bahkan ini baru setengah hari. Apa boleh?" tanya Soyeon yang ikut berdiri di samping Jihoon.
Lelaki itu membalas dengan anggukan. "Jadwalku hari ini hanya memotret Jisung hyung dan untungnya sudah kau ambil alih. Lalu apa yang bisa kulakukan lagi di sini? Lebih enak bersantai di rumah, 'kan?"
"Oh ... boleh pulang lebih cepat, ya? Sayangnya aku memberitahu Seongwoo untuk menjemput jam 4 sore." Soyeon melirik layar ponselnya. "Kalau jam segini, ia pasti sedang sibuk."
Jihoon berdeham kemudian melenggang di depan Soyeon. Gadis yang tadi memperhatikan ponselnya itu dengan cepat mengubah arah penglihatannya.
Melihat Jihoon yang sudah keluar dari studio dan kini hanya ia sendiri di dalam ruangan itu, ia segera berlari dan menghampiri Jihoon. Tidak untuk berjalan bersamanya, melainkan mengikutinya dari belakang.
🍁🍁
Beberapa orang sudah kembali ke meja kerjanya masing-masing, berhubung waktu jam makan siang sudah berakhir. Ada yang menyibukkan diri di depan komputernya dan ada yang saling berbincang satu sama lain untuk mengisi waktu luang.
Soyeon hanya berdiam diri, duduk manis di depan mejanya. Jemarinya hanya bergerak di atas layar datar ponselnya tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Jemari lainnya ia ketuk-ketukkan di atas meja.
Setelah sampai di ruangannya, lelaki yang sempat izin kepada Soyeon untuk pulang terlebih dahulu itu kenyataannya justru ikut duduk di kursi samping Soyeon. Jarak mereka hanya terpisahkan oleh bilik.
"Bukannya kau ingin pulang?" tanya Soyeon, sementara Jihoon tidak menolehkan kepalanya sedikit pun.
"Tidak jadi," balasnya singkat.
Gadis itu hanya menatap Jihoon bingung kemudian kembali melihat ponselnya. Sebuah musik intro terdengar pelan. Soyeon membuka sebuah permainan di ponsel yang menjadi favoritnya beberapa hari belakangan ini.
Suara yang berhasil membuat Jihoon melirik sedikit dan menaikkan salah satu ujung bibirnya. Terlihat seperti senyum yang meremehkan. Sementara itu, jemari Soyeon sibuk bermain di atas layar ponselnya sembari bersenandung mengikuti nada lagu.
Beberapa tombol yang tepat ditekan oleh Soyeon memunculkan suara yang pas dengan musiknya, selebihnya melenceng. Gadis itu sempat menggeleng dan berdecak kesal. Permainan musik itu selalu berhasil membuatnya geregetan hanya untuk mendapat nilai sempurna.
"Payah," ujar Jihoon pelan, tapi tetap dapat didengar oleh Soyeon.
Ia menghentikan permainannya sementara kemudian melihat ke arah Jihoon yang sepertinya berpura-pura kalau bukan lelaki itu yang baru saja menyebutnya dengan kata 'payah'.
"Payah? Memangnya kau bisa memainkan ini dengan perfect?" tanya Soyeon yang lebih terdengar seperti menantang Jihoon.
Akhirnya, lelaki itu menoleh dan melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku bertaruh bisa menyelesaikan permainan itu dengan sempurna hanya dalam satu kali percobaan."
Soyeon memajukan kursinya dan berkacak pinggang sambil masih menggenggam ponsel. "Kalau gagal, apa yang mau kau berikan padaku?"
Jihoon mengernyitkan dahinya. Matanya memicing tajam pada Soyeon. Gadis itu perlahan memundurkan tubuhnya dan sadar dengan siapa ia berbicara.
"Kau menantangku? Berikan ponselnya."
Jihoon menggerakkan tangannya seperti orang yang meminta paksa benda tersebut. Soyeon pun menyodorkannya. Ia masih di tempat duduknya, tetapi matanya jelas melirik ke permainan itu.
Musik lagu "Burn It Up" milik sebuah boyband yang sedang naik daun di Korea itu terdengar usai Jihoon menekan tombol start. Jemarinya dengan lihai bergerak di atas layar tersebut. Mata Soyeon membulat melihatnya.
"Kalau main games seperti ini tidak perlu panik karena banyak tombol yang harus ditekan. Santai dan ikuti tempo lagunya," ucap Jihoon tiba-tiba. Fokusnya masih berada pada permainan itu. "Masa begini saja kau tidak bisa? Hah!"
Soyeon memanyunkan bibirnya, sementara Jihoon dengan bangga menunjukkan hasil dari permainannya. Benar, nilai sempurna.
Gadis itu meraih ponselnya dan bergantian memandang layar ponsel dan Jihoon. "Wah, hebat! Aku pasti butuh beberapa kali percobaan untuk mendapatkan score setinggi ini."
"Sudah kubilang." Lelaki itu kembali menghadap ke meja kerjanya.
Soyeon mengangguk karena ia benar mengakui kemampuan seniornya itu. Namun, ada hal yang lebih menarik perhatiannya. Beberapa lembar kertas yang tersebar di atas meja Jihoon. Semuanya terlihat mirip.
Diliriknya perlahan supaya Jihoon tidak tahu apa yang dilakukannya. Selebaran dari berbagai toko yang menjual perlengkapan foto studio. Apa dia mau menambah peralatan foto untuk studio di sini? Perasaan, semua sudah tersedia lengkap.
"Tidak baik kalau diam-diam mengintip kegiatan orang lain."
Gadis itu nyaris jatuh mengenai Jihoon kalau saja ia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya yang terkejut mendengar ucapan lelaki itu. Soyeon mengatur napasnya dan mengelus dadanya berulang kali. Hampir saja.
"Sunbaenim, apa kau mau membeli alat-alat itu untuk di studio kita?" tanya Soyeon.
Jihoon menggeleng. Ia memutar badannya menghadap Soyeon. "Agensi model ini sudah punya banyak uang berlebih untuk melengkapi peralatannya. Untuk apa aku memberikannya dengan cuma-cuma?"
"Lalu itu?" Telunjuk Soyeon jelas mengarah pada selebaran yang sejak tadi menyita waktu Jihoon.
"Ini untuk menyempurnakan mimpi," balasnya.
"Maksudnya kau mau punya studio foto sendiri?"
"Jelas. Setiap fotografer pasti mengharapkan hal yang sama."
"Benar juga. Aku juga sempat menginginkan itu. Ah! Bagaimana kalau kita pergi ke sana bersama? Aku juga mau mencuci mata di sana."
Salah satu alis Jihoon tertarik ke atas. "Memangnya kau siapa? Seenaknya mau pergi denganku."
"Aku ...." Soyeon memutar bola matanya, berusaha mencari alasan yang tidak mengecewakan. "Anak bimbingmu yang butuh banyak belajar."
Gadis itu puas dengan alasannya. Sebuah senyum lebar terukir di wajahnya. Ia menatap mata Jihoon dan menanti jawaban yang keluar dari mulutnya.
"Nanti kau akan menyulitkanku seperti tadi. Sudahlah, tidak usah," tolak Jihoon.
Jihoon mulai merapikan kertas-kertas itu dan menyimpannya di dalam tas. Setelah mengecek tidak ada lagi barang yang tertinggal. Ia pun beranjak dari kursinya. Gerakan itu diikuti oleh Soyeon.
"Biarkan aku ikut. Aku tidak tahu berapa lama lagi harus menunggu Seongwoo di sini dan itu membosankan," rengeknya sambil menyatukan kedua tangannya di depan dada. Ia sedikit mendongak dan menunjukkan puppy eyes miliknya.
Jihoon membenci itu. Sebuah tatapan yang membuatnya tak bisa berkutik. Sulit untuk menolaknya karena merasa tidak tega.
"Berhenti menatapku seperti itu," ujarnya sambil membuang muka ke arah lain. "Oke, kau boleh ikut."
"Yes! Kau ternyata punya hati yang baik, sunbaenim." Soyeon meloncat kegirangan sambil memegangi kedua tangan Jihoon. Berterima kasih karena sudah diizinkan untuk pergi ke toko.
Namun, gadis itu berhenti bertingkah saat ada suara yang terdengar dari perutnya. Pasti karena ia belum makan siang. Soyeon menggaruk pelipis kepalanya dan berusaha menghilangkan kejadian itu dengan membereskan benda-benda miliknya yang masih ada di atas meja.
"Apa-apaan bunyi perutmu itu? Aigoo ... belum-belum kau sudah menyusahkanku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro