여덟 - What's Wrong with Him?
"Gwenchana?" tanya Jihoon sambil memperhatikan Soyeon dari atas hingga bawah, memastikan bahwa tak ada satu pun yang terluka.
"Ne," jawabnya.
Soyeon masih tak berkutik, sedang Jihoon terlihat khawatir. Tangannya masih berada di bahu Soyeon. Pundak Jihoon naik-turun seirama dengan napasnya yang terembus. Lelaki itu menunduk, tapi Soyeon bisa merasakan getaran dari tangan Jihoon.
"Jihoon? Kau tidak apa-apa?" Gadis itu menunduk sedikit, ingin melihat wajah Jihoon yang tertunduk.
Jihoon tiba-tiba mengangkat kepalanya, membuat Soyeon sedikit tersentak. "Apa yang tidak apa-apa?! Kau gila, ya? Seenaknya berjalan seperti itu di jalan raya. Kalau aku telat sedikit saja, mau jadi apa kau?" bentaknya.
Gadis itu sama sekali tidak mengerti alasan di balik Jihoon membentak dirinya seperti sekarang ini. Jihoon memang selalu bersikap dingin padanya, tapi ia tak pernah berpikir kalau Jihoon bisa semarah ini.
"Yang penting sekarang aku tidak apa-apa, 'kan?" balas Soyeon santai, tapi masih menatap Jihoon.
Yang diajaknya bicara, menggertakkan gigi. Mungkin berbicara dengan Soyeon benar membutuhkan tenaga lebih bagi Jihoon. Gadis itu seperti seekor kucing yang memiliki sembilan nyawa sehingga kejadian tadi dianggapnya biasa saja.
"Tetap saja! Jangan pernah bermain di jalan raya! Kau tau, aku tidak mau kejadian dulu terulang lagi," pekik Jihoon.
"Dulu? Memang ada apa? Kita belum pernah bertemu sebelumnya," tanya Soyeon bingung. Ia mencoba mengingat kembali apa Jihoon pernah bertemunya atau tidak.
"Bukan tentang aku dan kau, tapi dulu memang pernah---Ah!"
Jihoon memegangi kepalanya. Rasa yang selalu ia rasakan setiap kali kejadian lalu itu menghampiri pikirannya. Orang bilang itu adalah trauma, yang bisa kapan saja muncul kala Jihoon mencoba mengingat kejadian beberapa bulan lalu.
Berbalik, raut wajah Soyeon lebih menunjukkan kekhawatiran. Ia mengalungkan lengan kiri Jihoon ke pundaknya. Ternyata kau lebih menyusahkan daripada aku.
Soyeon membantu Jihoon yang sekarang lebih terlihat susah berjalan karena sakit kepala yang menyerangnya. Lelaki itu terus-menerus merintih kesakitan. Mendengarnya, Soyeon berdecak heran.
"Sebenarnya apa yang terjadi denganmu? Kau sakit?" tanyanya.
Jihoon menggeleng pelan, tapi tetap menunduk. "Aniyo. Aku sudah biasa seperti ini, bukan apa-apa."
"Bukannya kau harus pergi ke rumah sakit untuk mengecek kondisimu? Bahkan kau bilang hal ini sering terjadi. Kau ini ... benar-benar tak peduli dengan kesehatanmu ya."
Lelaki yang diajaknya bicara itu menghela napas kemudian sedikit melirik. "Tolong, bantu aku saja kembali ke kantor."
"Ah? Ne."
🍁🍁
Jarak kantor dan tempat itu memang tidak begitu jauh. Namun, jelas terasa melelahkan bagi Soyeon karena harus membantu Jihoon berjalan di sebelahnya.
Melihat sebuah supermarket, Soyeon meminta Jihoon untuk menunggunya sebentar. Gadis itu menyandarkan tubuh Jihoon di dinding luar gedung. Rasa sakit kepalanya belum hilang. Itulah mengapa sampai sekarang badan Jihoon terasa lemas.
"Minumlah." Soyeon menyodorkan sebotol air mineral usai kembali dari supermarket. "Mungkin kau akan merasa baikan."
"Sebentar lagi sampai kantor, kau bisa istirahat di sana dulu sampai kondisimu membaik."
Jihoon menerima botol itu dan meminumnya. Ia harus pelan-pelan mengatur napasnya tiap kali merasa sakit di kepalanya.
"Apa kau masih sanggup untuk berjalan lagi? Atau sebaiknya aku pesan taksi saja?"
"Tidak!" jawab Jihoon langsung. "Aku tidak pernah mau naik taksi. Kau saja ... bantu aku lagi."
Ini namanya benar-benar menyusahkan diri dan orang lain. Soyeon meniup poninya malas dan membuang napasnya berat. "Kau ini berat tau, huh."
Meski mengeluh, gadis itu tetap saja meletakkan lengan Jihoon di bahunya. Satu hal yang membuat Soyeon semakin lelah berada di dekat seniornya, sekaligus terkejut. Lelaki itu seenaknya menyandarkan kepala ke pundak Soyeon.
Soyeon mengernyitkan dahi sambil meliriknya. "Ya! Kau semakin membuatnya menjadi berat."
Jihoon mendengar jelas keluhan Soyeon, tapi ia tidak peduli.
"Aish, jinjja."
Soyeon berjalan kembali perlahan, masih menuntun Jihoon. Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di depan kantor.
Seseorang yang Soyeon kenal keluar dari dalam gedung. Lelaki yang dilihatnya sedang sibuk membagi fokus antara jalan dan ponsel di tangannya.
"Woojin sunbaenim!" panggil Soyeon.
Ia menoleh kemudian segera berlari ke arah Soyeon. "Kau memanggilku?"
Soyeon mengangguk kemudian melirik ke arah Jihoon. Tanpa mendengar pernyataan dari Soyeon, Woojin tahu kalau sahabatnya baru saja membuat gadis itu kesulitan.
"Jihoon-ah, kau membiarkan seorang gadis kesusahan karenamu?" tanya Woojin sambil melipat tangannya di depan dada.
Jihoon mendesis kemudian membuang napasnya berat. "Ani."
Woojin menoleh ke Soyeon. Kedua alisnya diangkat, seolah meminta penjelasan dari gadis di hadapannya. Dengan tanggap, ia pun mengatakannya.
"Dia pusing, katanya sudah biasa begitu," jelas Soyeon.
"Ah," tanggap Woojin sambil mengangguk kemudian mengembalikan tatapannya ke Jihoon. "Kejadian itu muncul lagi di pikiranmu?"
"Ya, kau tau," balas Jihoon singkat.
"Soyeon, biarkan aku yang mengurus Jihoon. Kau bisa pulang sekarang." Woojin berjalan ke samping Jihoon.
Soyeon mengangguk. Dari kejauhan, seseorang memanggilnya. "Soyeon-ah!"
Gadis itu berbalik kemudian menepuk dahinya. Seseorang yang sedang bersandar di depan mobilnya itu pasti sudah lama menunggu. Soyeon bahkan lupa melihat jam ketika sibuk membantu Jihoon.
"Aku harus pergi sekarang," ucap Soyeon sambil membungkukkan badannya.
Kalimat itu dibalas dengan anggukan kepala Woojin dan senyum di wajah Soyeon. Ia pun pergi meninggalkan mereka berdua.
"Hwang Soyeon," panggil Jihoon, menghentikan langkah kakinya sesaat dan menoleh ke belakang.
"Gomawo," lanjutnya.
Soyeon membalasnya dengan mengangkat ibu jari kemudian benar-benar pergi dari mereka, sedang Woojin membawa Jihoon masuk ke dalam kantor.
"Kau dari mana? Bersama dengan seniormu?" tanya Seongwoo sesampainya Soyeon di hadapannya.
"Aku selesai lebih cepat dan keluar untuk survei harga peralatan foto."
Salah satu ujung bibir Seongwoo tertarik ke atas. "Harusnya kau bisa bilang padaku. Aku pasti menjemputmu."
"Tidak mau membuatmu susah. Kau juga punya kesibukan sendiri."
"Lebih baik membuatku susah daripada kau harus pergi berdua dengan dia." Seongwoo tak lagi bersandar pada bagian depan mobilnya. Ia melangkah menuju pintu mobil sebelah kanan. "Aku tidak suka, Soyeon."
"Masuklah," perintah Seongwoo sambil masih memegangi pintu kanan mobilnya yang terbuka.
Soyeon menghampirinya. Ia tersenyum. Sebelum masuk ke dalam mobil, langkah kakinya terhenti. Tepat di sebelah kanannya, ada Seongwoo yang berdiri menunggunya masuk.
"Kau tidak perlu khawatir. Hubunganku dan dia hanya sebatas senior-junior," ujar Soyeon.
Seongwoo sedikit mengalihkan pandangan matanya ke arah lain dan mengerucutkan bibirnya. Tanpa diketahuinya, sebuah cubitan mendarat di pipi Seongwoo.
"Kau lucu kalau cemburu," ledek Soyeon kemudian melepaskan cubitannya. Ia terkekeh dan masuk ke dalam mobil.
Yang baru saja dicubitnya justru semakin memonyongkan bibirnya sambil mengelus pipi. Soyeon yang melihat kekasihnya malah sibuk memegangi pipinya pun tertawa.
"Kau mau mengelus pipi itu sampai kapan? Katamu ingin pulang. Kaja!"
"Iya, kita pulang," balas Seongwoo kemudian menutup pintu mobil dan masuk ke dalam melalui pintu kiri.
"Jangan pergi dengan laki-laki lain selain aku," pintanya sambil menyalakan mesin mobil.
Soyeon menoleh dan mendekatkan tubuhnya sedikit. "Ne, Oppa."
Senyum di wajah Seongwoo terlihat jelas. Hanya satu kata yang selalu bisa meluluhkan hatinya kalau sedang marah dengan Soyeon. Dan gadis itu sangat mengetahuinya.
To be continued.
Don't forget to follow @vaniandona.story at Instagram to get the newest update of my stories /love/
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro