아홉 - Kim Hana?
"Aku bertanya-tanya bagaimana Soyeon bisa membawamu kembali ke kantor. Rasanya punggungku mau patah hanya karena membopongmu." Woojin meregangkan tangan dan punggungnya usai membantu Jihoon duduk di sofa lobi.
Jihoon menyandarkan kepala supaya rasa pusingnya bisa cepat menghilang. "Mengapa kau menawarkan diri di depan Soyeon untuk membantuku kalau begini saja kau mengeluh?"
"Aku ini sahabatmu." Woojin duduk di sampingnya. "Atau kau lebih memilih untuk dibantu Soyeon?"
Jihoon menegakkan badannya. "Maksudmu?"
"Soyeon baik ya," ucap Woojin tiba-tiba. "Kau tidak seharusnya bersikap dingin padanya."
Sambil sedikit memijit kepalanya, Jihoon berkata, "Iya, aku tau."
"Sayangnya dia sudah punya pacar. Padahal aku mau menaruh hati padanya." Woojin tertawa, tapi pandangan Jihoon padanya justru tidak enak.
Mata lelaki itu memicing tajam. Dahinya mengernyit. Terdiam beberapa saat kemudian tawanya meluap.
Ia menaikkan alisnya berulang kali. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Ada yang salah dengan ucapanku?"
"Ani," balasnya sambil masih tertawa, "sekarang aku tau alasan kau bersikap seperti tadi di depan Soyeon. Cari perhatian, 'kan? Ketebak! Kau itu genit dengan semua perempuan."
Mata Woojin membulat. Ia menolak mentah-mentah perkataan Jihoon. "Bukan genit, hanya memberi perhatian ke mereka."
"Kau mengelak," ujar Jihoon sambil tertawa dan menjentikkan jari kemudian menunjuk sahabatnya.
Woojin beranjak. Sahabatnya itu semakin menyebalkan, pikirnya. "Kau ini kalau sedang sakit ternyata semakin menyebalkan."
Lelaki itu berjalan menuju pintu keluar. Sebelumnya, ia menengok ke belakang untuk memastikan kondisi Jihoon. Tepat, Jihoon juga melihat ke arahnya sambil masih menyandarkan kepalanya dan menaikkan alis.
"Aih, Woojinie. Jangan marah seperti itu, aku hanya bercanda," ledeknya.
"Siapa yang marah? Aku sudah paham sifatmu, Park Jihoon. Lagi pula aku hanya ingin membuatkanmu teh panas supaya rasa pusingmu segera hilang." Woojin kembali membalikkan tubuhnya dan meninggalkan Jihoon.
"Gomawo, Woojin-ah!" pekiknya sambil tersenyum tipis. Sahabatnya itu memang yang terbaik.
🍁🍁
"Tembak! Cepat!"
"Kau berisik sekali. Harusnya kau membantuku!"
Suara-suara itu memenuhi ruangan bercat krem yang kini hanya diterangi oleh satu lampu tidur berwarna kuning. Dua orang itu adalah yang paling berisik jika sudah bertemu dengan permainan. Ada beberapa alasan kenapa tempat itu masih saja ramai walaupun dalam kondisi kurang cahaya.
Pertama, hari memang sudah malam. Jarum jam menunjukkan pukul sembilan. Wajar saja kalau lampu sudah dimatikan.
Kedua, lelaki yang sedang sibuk dengan benda persegi panjang di depannya masing-masing itu lebih senang bermain di kondisi gelap. Entah apa yang dipikirkannya padahal cahaya yang dilihatnya bisa saja merusak mata.
"Musuh, itu musuh! Di sebelah barat!" ujar Woojin sambil tidak mengalihkan pandangannya dari layar laptop.
Dengan headphone yang sengaja ia buka salah satunya, lelaki itu menjawab, "Kau saja yang urus dia. Apa kau tidak lihat darahku tinggal sedikit? Aku harus mencari tempat sepi untuk memberikan pertolongan pertama."
Woojin mendesis. Diliriknya Jihoon yang ada di sampingnya itu sesaat kemudian kembali fokus pada layar di depannya.
"Jadi ini yang menyebut dirinya pemain games profesional? Berapa tahun kau tidak bermain saja langsung menurun kemampuanmu," ledeknya sambil tersenyum menyeringai.
"Wah! Yang benar saja kau! Akan kubuktikan kalau Park Jihoon sudah kembali." Jihoon menyibukkan jari-jarinya di atas keyboard.
Woojin tertawa, membuat gigi gingsulnya terlihat jelas. "Memang begini seharusnya Park Jihoon yang kukenal. Bukan bersedih tiap saat hanya karena perempuan."
Katalk!
"Siapa yang menghubungiku malam-malam begini?" tanya Woojin pelan.
"Lihat saja dulu. Kalau sekarang, aku pasti bisa memenangkan permainan ini," ucap Jihoon.
"Wah, tidak bisa. Aku ingin menjadi MVP, tidak boleh kalah terus darimu."
"Hei, kita ini satu tim," protes Jihoon.
"Tetap saja. Aku ma---"
Katalk! Katalk! Katalk!
Fokus Woojin terusik. Maksud hati ingin mengabaikannya, tapi notifikasi itu tiada henti mengganggunya. Lantas ia mengesampingkan laptopnya dan meraih ponsel yang terus-menerus berbunyi. Dilihatnya layar itu.
"Oh, hanya grup kelas waktu SMA dulu."
Samar-samar ia melihatnya. Ada nama Hana tertulis di sana. Tidak biasanya. Hana dan Woojin berada di kelas yang terpisah, begitu juga Jihoon yang satu kelas dengan Hana. Jadi, bukan hal yang biasa kalau mereka tiba-tiba membahas gadis itu.
Choi Yojoung mengirimkan sebuah foto.
"Apa-apaan mereka?"
"Mereka siapa?" Jihoon yang sedang mengejar satu musuh terakhirnya itu pun akhirnya ikut penasaran.
"Eh?" Woojin baru ingat kalau lelaki itu sedang ada di rumahnya, tepatnya di sebelahnya. "Tidak penting. Hanya anak-anak kelasku dulu."
"Tidak biasanya kau serius menanggapi anak kelasmu." Jihoon melirik sebentar. "Kau tidak akan bisa jadi MVP kalau terus di sana."
Lelaki itu tertawa, sementara Woojin langsung meletakkan ponselnya. Melupakan apa yang baru saja dilihatnya dan memasang kembali headphone-nya dengan cepat.
"Yes! Kau terlambat! Aku mendapatkannya," ujar Jihoon puas saat berhasil menembak lawan terakhir mereka. "Chicken dinner!"
Ia meregangkan jemari tangan dan pundaknya. Jihoon menepuk pundak Woojin dengan senyuman bangganya. Ia memainkan alisnya. "Aku masih tetap jago, 'kan?"
"Oke, harus kuakui." Woojin membalas balik tepukan pundaknya.
"Sekarang aku lapar. Apa kau tidak punya makanan?" tanya Jihoon.
"Tadi sore Eomma membuat tteokbokki. Coba kau lihat di dapur."
"Berangkat!" Jihoon meletakkan headphone dan segera beranjak.
Namun, tidak. Ia tidak langsung pergi dari tempat itu ketika menemukan sebuah foto yang masih terbuka di ponsel Woojin.
Aku pernah tau wajah itu.
"Mereka yang buatmu sejak tadi membuatmu memperhatikan handphone?" Tangan Jihoon meraih benda yang tergeletak di atas kasur.
"Hoon, jangan diambil!" Sahabatnya dengan segera beranjak dari kursi dan mencoba merebut benda miliknya dari tangan Jihoon.
Tapi percuma. Jihoon sudah melihatnya. Cahaya yang terpancarkan dari ponsel sangat jelas menyorot mata Jihoon yang dipenuhi kebingungan. Lelaki itu terdiam dalam waktu yang cukup lama, sambil masih memegangi dan memandangi foto itu.
"Kan sudah kubilang, kau tak perlu lihat," ucap Woojin seraya meraih kembali ponselnya dengan paksa, sementara Jihoon masih melamun.
"Foto dari mana itu?" tanya Jihoon.
"Yojoung yang mengirimnya. Kau tidak perlu terlalu memikirkannya."
Jihoon tertawa getir usai berdiam diri begitu lama. "Hah, ternyata dia benar. Dia memang tidak pernah berjanji untuk kembali."
"Perempuan di dunia ini bukan hanya Hana. Sudahlah."
"Aku tau dan kau benar."
"Sekarang, lupakan Hana dan mari kita makan tteokbokki!" ajak Woojin sambil menarik tangan Jihoon.
Biasanya mood lelaki itu akan membaik jika sudah makan. Namun, Woojin juga tahu kalau masalah kali ini berbeda. Seseorang yang selalu ditunggunya, bahkan sampai bertahun-tahun, memberikan ujung penantian yang perih.
Jihoon menerima ajakan Woojin dengan semangat, tapi hanya melihat raut wajahnya saja sudah dapat tertebak. Ia menyembunyikan rasa kecewa. Semangatnya hanya topeng.
"Kau tunggu apa? Jangan sampai nanti merengek karena jatah makananmu kuhabiskan, ya!" pekik Jihoon yang sudah lebih dulu berjalan ke luar kamar.
Lelaki itu tertawa, berniat untuk meledek sahabatnya, tapi justru lebih terlihat dipaksakan.
Woojin menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis. "Dasar, dia memang payah kalau soal cinta."
To be continued.
Jangan lupa follow @vaniandona.story di Instagram untul dapat info paling update dari cerita ini ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro