스물 여섯 - All is Clear?
"Jennie, sekarang ceritakan padaku!" Soyeon mengambil bantal dari tempat tidurnya kemudian meletakkannya di atas paha.
Ia duduk bersila di atas kasur. Tangannya memangku dagu, sementara pandangannya terus mengintimidasi Jennie. Memaksa sahabatnya itu untuk bercerita.
Sudah beberapa kali Soyeon memergoki Minhyun sedang berbicara dengan Jennie melalui media sosial. Semenjak disebut-sebut dengan Jennie, gaya tampilannya juga berubah. Itu jelas terlihat oleh Soyeon.
Ia tau kalau ini sama sekali bukan urusannya. Minhyun juga tidak pernah ambil pusing dengan kisah cinta yang selama ini Soyeon alami. Hanya karena yang dekat dengan kakaknya itu adalah Jennie, Soyeon tidak mau kalau kakaknya hanya main-main.
Jennie mendekat kemudian menengok ke arah pintu yang memang sedikit terbuka. "Minhyun menyatakan cinta padaku."
Nyaris Seoyeon mendaratkan bantalnya ke tubuh Jennie kalau-kalau gadis itu tidak menghindar. Mulutnya menganga dan matanya membulat.
"Lalu apa yang kau jawab?" Soyeon rasanya tidak sabar, tapi juga kesal karena Jennie sengaja menggantung ceritanya. "Ini gila! Sungguh!" lanjutnya dengan tawa.
"Kau pikir aku akan menyia-nyiakan kesempatan? Ya, tentu saja aku menerimanya," balas Jennie yang kemudian menunduk malu.
"Selamat, Jen! Kau perempuan pertama dalam kisah cinta Minhyun oppa. Ah, aku terharu karena anak itu sudah dewasa."
Kamar Soyeon saat ini hanya dipenuhi tawa. Tidak sampai di sana, gadis itu masih memaksa Jennie untuk bercerita mengenai awal mula kisah mereka dimulai.
Namun, seseorang mengusik keduanya dari luar ruangan. Lelaki itu melongok kemudian membuka pintu.
"Soyeon, ada yang mencarimu di luar—Eh? Jennie, kau ada di sini?" tanya Minhyun yang masih mengenakan pakaian rapi.
Soyeon berlari kecil ke arah pintu. "Oh, kau sudah pulang? Kami baru saja membicarakanmu," kata Soyeon sambil menatap kakaknya dengan tatapan meledek.
Minhyun tidak menjawab, hanya menanggapi dengan gerakan mata yang seolah-olah bertanya apa yang mereka bicarakan tentang dirinya.
"Kau bilang tadi ada yang mencariku, ya? Siapa? Aku akan keluar sebentar." Soyeon memegang knop pintu dan mengusir tangan Minhyun dari benda itu secara tidak langsung. "Jennie, kau tunggu sini saja tidak apa-apa."
"Tunggu! Aku mau ikut," tanggap Jennie segera. Melewati Minhyun yang masih berdiri di depan pintu, ia hanya menggerakan jari ke arah pintu masuk rumah. Lelaki itu pun mengangguk dan tersenyum.
Soyeon membuka pintu rumahnya, tapi tidak lama langsung ingin ditutupnya setelah melihat siapa yang datang. Wajah yang mungkin belum mau dilihatnya saat ini.
"Andwae!" pekik seseorang yang berdiri di luar pintu sembari menahan benda persegi panjang yang menjadi penghalang antara dirinya dan Soyeon.
"Kau tidak perlu menanggapi kalau tidak mau, tapi biarkan aku mengenalkan dia padamu," ucap Seongwoo sambil melirik ke gadis di sampingnya. Gadis itu membungkukkan badan.
"Yoon Naeri," kata gadis yang sama seperti saat dilihatnya di taman bermain kala itu.
Soyeon menaikkan salah satu alisnya. "Pacarmu? Kita sudah pernah bertemu di taman, 'kan? Kalau kau ke sini hanya untuk memperjelas siapa gadis ini, aku tidak ada waktu."
Lantas ia membalikkan tubuh. Namun, gerakan kaki Soyeon terhenti saat Jennie muncul di hadapannya dan justru menarik Soyeon kembali ke depan pintu.
"Siapa sih yang mau menemuimu? Kenapa kau kembali la—Oh, Ong Seongwoo?"
Seongwoo tersenyum, sementara Jennie hanya membalas senyumnya sekilas kemudian menoleh ke arah sahabatnya.
"Tumben datang ke sini tidak sendiri," lanjut Jennie ketika menyadari kehadiran seorang gadis di samping Seongwoo. "Pacar barumu?"
"Apa? Pacar? Kenapa kalian menganggapku seperti itu?" tanya Naeri sambil tertawa. Ia memperkenalkan namanya sekali lagi.
"Pertama, aku datang ke sini karena anak satu ini terus merengek. Memintaku untuk ikut bersamanya. Kedua, aku hanya sahabat Seongwoo sejak kecil. Bahkan aku juga sudah punya kekasih yang lebih tampan dari dia."
"Dan kau...." Jari telunjuk Naeri jelas mengarah ke tempat Soyeon berdiri.
"Dia pacarmu, 'kan?" Naeri melirik Seongwoo terlebih dulu untuk memastikan sebelum berbicara kembali pada Soyeon. "Seongwoo banyak cerita tentangmu. Tentang kejadian waktu itu, kau tidak perlu khawatir. Seongwoo sudah kuanggap seperti kakak sendiri dan tanpa sadar aku memang suka merangkul lengannya."
Naeri tertawa sembari menggaruk-garuk pelipisnya. Mencoba mencairkan suasana yang sejak tadi terasa kaku.
"Sekarang kau percaya denganku, 'kan?" tanya Seongwoo yang dibalas dengan dehaman Soyeon. Nadanya terdengar dipaksakan.
"Iya, baiklah. Masih ada lagi yang mau kau bicarakan?" Soyeon sudah malas rasanya membicarakan hal ini dengan Seongwoo. Ia hanya melirik Jennie dan gadis itu sudah bisa mengetahui isyaratnya.
"Astaga, Soyeon!" pekik Jennie tiba-tiba. "Ovennya. Kita lupa mengangkat makanan dari sana!"
Sebuah kedipan mata ditunjukkan oleh Jennie. Matanya melirik ke ruangan dalam rumah. Mengarahkan Soyeon supaya ia untuk masuk saja.
Gadis yang diajaknya bicara itu langsung menepuk dahi dan terlihat panik. "Maaf, Seongwoo, aku harus masuk. Kau bisa pulang sekarang. Aku juga sudah mendengar penjelasanmu. Semuanya sudah jelas."
"Tunggu, Soyeon," ucapnya sembari menahan langkah kaki gadis itu, "kau sudah memaafkanku, 'kan? Bisakah kita kembali?"
Soyeon menghela napas. Tangannya menepuk pundak Seongwoo. "Beri aku waktu."
🍁🍁
"Ruangannya cukup luas juga. Kau pintar memilih," puji Hana saat memasuki ruangan yang didominasi warna putih itu.
Jihoon dan Woojin menurunkan beberapa peralatan dari dalam mobil. Ketika melihat itu, Hana berjalan mendekatinya dan meraih sebuah tas berukuran sedang.
"Biarkan aku yang membawa ini ke dalam," ucapnya.
Jihoon mengangguk. Barang-barangnya diletakkan di sisi ruangan kemudian ia meraih sapu yang tersedia di sana.
"Aku yang akan melakukan ini," kata Hana sambil mengambil alih sapu yang sudah digenggam Jihoon.
"Kalau begitu, aku akan mengelap bagian di sana."
Woojin hanya berdiri di dekat pintu. "Aku? Aku harus melakukan apa? Bagaimana kalau aku keluar sebentar untuk beli minum?"
"Tidak usah, kau di sini saja. Bantu aku," balas Jihoon cepat.
Woojin menggeleng. "Sebentar saja, aku haus." Lantas lelaki itu langsung melenggang dan menyisakan decakan Jihoon di dalam ruangan.
Selepas ditinggal oleh Woojin, ruangan itu menjadi semakin sepi. Hanya terdengar bunyi sapu yang beradu dengan lantai. Suasana menjadi terasa canggung.
"Jihoon," panggil Hana sambil masih memfokuskan pandangannya pada gagang sapu di tangan, "aku tidak benar-benar menyukai Daniel."
Lelaki yang sedang mengusap jendela ruangan itu pun menghentikan gerakan tangannya. Menoleh dengan tatapan bingung. Dahinya mengerut.
"Maksudmu? Kau mempermainkannya? Hana ... sejak kapan kau bisa berpikir untuk melakukan hal semacam itu?" tebak Jihoon. Matanya membulat.
"Sepertinya kau salah paham," tanggap Hana sembari tertawa kecil. Ia membalikkan tubuh dan melihat jelas wajah Jihoon. "Aku dan Daniel itu dijodohkan. Abeoji bilang mau membantuku dalam mewujudkan studio foto, makanya aku masih bertahan sampai sekarang."
"Dan uang yang kemarin itu?"
Hana tersenyum dan mengangguk. "Darinya."
"Dan kau tau alasan aku kembali ke sini?" Hana masih menatap Jihoon, menyelami bola mata cokelatnya yang indah. "Aku ingin bertemu denganmu."
"Aku rindu ... seperti dulu." Hana menyandarkan benda panjang itu di dinding kemudian menghampiri Jihoon yang berdiri di dekat jendela.
"Apa aku egois kalau dulu memintamu untuk pergi, tapi sekarang aku ingin kau kembali?" lanjutnya.
Jihoon mengalihkan pandangannya. Ia menghadap ke jendela ruangan dan membelakangi Hana. Sebisa mungkin ia mau menyibukkan diri.
Namun, Hana justru mendekat dan berusaha melihat wajah Jihoon meski lelaki itu terus menengok ke arah berbeda.
"Kau berusaha menghindar? Waeyo?"
Jihoon menghela napas kemudian memejamkan matanya sejenak. Sesudahnya, lelaki itu tersenyum ke arah Hana. "Gwenchana."
"Aku hanya terkejut mendengar ucapan itu dari mulutmu."
Hana terkekeh kemudian berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. Ia menunduk. "Mungkin lebih tepatnya kau tidak berharap bisa mendengar kalimat itu."
"Lama tidak ada kabar dariku, pasti kau sudah punya gadis lain di dalam hatimu, 'kan?" lanjut Hana.
"Aniyo." Jihoon mengelak dengan cepat. Ia melirik jam di pergelangan tangannya. "Sebelum semakin malam, lebih baik kita segera merapikan tempat ini."
"Kau benar menghindar, tapi kau bisa mencariku kalau butuh apa pun. Ingat itu, Ji-ya," ujar Hana sembari tersenyum.
Tidak lama, Woojin masuk dan meletakkan plastik yang dibawanya di atas meja. Lelaki itu hanya memandang Jihoon dan Hana bergantian dari depan pintu.
"Kalian sudah bicara apa saja sejak tadi? Kenapa suasananya sekarang ini terasa canggung?"
Drrt! Drrt!
"Jihoon, ponselmu berdering." Woojin yang sedang berdiri di dekat meja itu langsung mengambil dan menyodorkannya pada Jihoon.
Lelaki itu menerima pemberian Woojin dan keluar sebentar untuk mengangkat telepon. Dari layarnya, tertera nomor telepon yang sangat dikenalinya. Milik rumah sakit. Mungkin ada kabar baik dari Euna?
"MWO?!"
Hanya satu kata itu yang terdengar sampai ke dalam ruangan lantaran Jihoon meneriakkan kata itu cukup kencang. Kepala lelaki itu terus menggeleng. Ia menjauhkan ponsel dari telinganya segera usai pembicaraan di telepon selesai. Kakinya melangkah masuk, tapi raut wajahnya telah berubah.
"Kita ke rumah sakit sekarang! Sesuatu terjadi pada Euna!"
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro