Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

스물 여덟 - Hello, You Fine?

Soyeon melangkah masuk ke ruangannya. Tempat yang masih sepi itu membuat derit pintu terdengar jelas. Lantas gadis itu menyampirkan tali tas di kursinya dan meletakkan sebungkus roti yang tadi ia beli saat perjalanan menuju ke kantor.

Di ruangan itu hanya ada beberapa orang saja. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Salah satu rekan kerjanya melintas di hadapan Soyeon sambil terburu-buru. Gadis itu menghentikan langkah kakinya saat Soyeon memanggil namanya.

"Ke mana semua orang?" tanya Soyeon sambil kembali memperhatikan seisi ruangan.

"Kau tidak tau? Adiknya Jihoon meninggal dan yang lain sedang berangkat ke rumahnya."

Adiknya? Euna?

Soyeon kemudian beranjak dan meraih tasnya. "Aku ikut!"

🍁🍁

Rumah yang berdiri kokoh di depannya terlihat ramai. Pagar hitam itu terbuka lebar, pun pintu rumahnya. Beberapa orang sibuk berlalu-lalang. Tak sedikit pula yang baru ingin masuk seperti Soyeon.

Lantas, gadis itu melangkahkan kaki mengikuti orang lain yang juga memasuki halaman rumah Jihoon. Kakinya bergerak pelan. Sedikit mengintip dan mencari keberadaan Jihoon dari balik pintu.

Netranya menangkap sosok laki-laki yang rambutnya sedikit berantakan. Ia yakin Jihoon terlalu larut dalam kesedihan sampai-sampai tidak mengurus dirinya. Mata dan hidungnya juga memerah.

Jihoon berdiri di samping peti sambil memegang sebuah boneka berukuran kecil yang Soyeon ingat di mana ia selalu melihatnya. Boneka gajah kesukaan Euna, yang sempat menjadi perebutan antara dirinya dan Jihoon. Mungkin benda itu begitu berarti bagi Euna. Namun, saat sekarang Euna tidak ada lagi untuk Jihoon, boneka itu yang akan selalu Jihoon bawa untuk mengingat adiknya.

Soyeon mengatur napasnya. Ia baru bertemu Euna sebentar, tapi sudah merasa sedih. Tidak bisa dibayangkan bagaimana Jihoon sebagai sosok seorang kakak yaang sangat sayang kepada adiknya.

Ia pun melangkah masuk dan berniat menghampiri Jihoon. Namun, seseorang yang di samping Jihoon berhasil mengurungkan niatnya.

"Jihoon sudah bersama Hana?" ucapnya pada diri sendiri.

"Apa aku pulang saja?" Soyeon melihat ke arah pintu. "Aku ke sini untuk menenangkan Jihoon karena hal ini pasti membuatnya sedih, tapi jika sudah ada Hana ... sepertinya aku tidak lagi dibutuhkan."

Gadis itu membalikkan tubuhnya, tapi suara lain menahannya.

"Kau datang?" tanyanya. "Lalu kenapa kau mau pergi lagi?"

"Jihoon?"

Yang dilihatnya kini ia sudah menjadi pusat perhatian akibat lelaki itu memanggil namanya tadi. Pun Hana yang berada di sampingnya.

"Ah, a-aku...."

Sembari berjalan ke tempat Jihoon berdiri, Soyeon memikirkan alasan apa yang harus dikatakannya. Tidak mungkin ia membawa nama Hana saat ini.

"Aku ... turut berduka cita atas kepergian Euna."

Alhasil, hanya kalimat itu yang berhasil terlontarkan dari mulut Soyeon. Setelah mengucapkannya, Soyeon memilih untuk menunduk dan sesekali melihat Euna yang terbujur kaku. Ada rasa sedih yang menyelimuti hatinya meski mereka belum saling kenal. Ia memikirkan Jihoon yang pasti sedih, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selama Hana masih ada di sana.

"Terima kasih," balas Jihoon sambil memaksakan senyumnya. "Bukankah seharusnya kau ada di kantor jam segini?"

Soyeon mengangguk kemudian mengangkat kepalanya dan melihat laki-laki yang sedang mengajaknya bicara itu. "Setelah ini, aku akan kembali ke kantor. Kau tidak perlu khawatir. Aku juga yang akan mengurus tugasmu."

"Terima kasih lagi, Soyeon." Kali ini Jihoon benar-benar tersenyum. Sedikit membuat Soyeon merasa lega karena itu artinya Jihoon tidak terlarut-larut dalam kesedihan.

"Hana," panggil seseorang yang mengusik perbincangan Jihoon dan Soyeon. Lantas, keduanya menoleh dan mencari siapa yang berbicara.

Lelaki dengan tinggi sekitar 180 cm yang berdiri di belakang Hana itu berulang kali memanggil namanya. Tidak mau berhenti sampai gadis yang dipanggilnya itu menengok.

"Apa? Sebaiknya kau jangan berisik, Daniel."

"Bisa tidak aku dan kau bertukar posisi saja? Aku tidak suka melihat kau bersama mantanmu itu."

Mata Hana membulat. "Tolong, Daniel. Ini bukan waktu yang tepat untuk cemburu. Jihoon membutuhkanku di saat dia sedih. Mengertilah sebentar."

Dengan sedikit berbisik, Daniel menampik. "Sejak tadi aku sudah berusaha diam, tapi tidak suka. Jihoon bisa saja memanfaatkan hal ini untuk dekat denganmu lagi."

"Kau masih berutang janji membantunya membangun foto studio, 'kan? Akan kuberikan berapa pun uang yang dia butuhkan asal kau tidak perlu lagi dekat dengannya."

Jihoon mendengar kekesalan Daniel yang ditujukan kepada dirinya. Ia memang tidak suka diperlakukan seperti itu, tapi memilih untuk diam saja. Kondisi sedang tidak memungkinkannya untuk meluapkan emosi saat ini.

Lelaki itu menggertakkan gigi dan mengatur napasnya. Soyeon melihat jelas semua itu dan ia takut kalau Jihoon akan marah karena merasa tersinggung. Namun, dengan cepat Hana meraih tangan Daniel.

"Ikut aku, Daniel. Kau ini keterlaluan." Hana membawa Daniel ke luar ruangan dan membiarkan seluruh pandangan orang yang datang mengiringi kepergiannya.

Soyeon maju beberapa langkah dan kini gadis itu sudah berada di samping Jihoon. Ia mengecilkan volume suaranya saat bicara. "Kau jangan tersinggung dengan omongan laki-laki tadi, ya. Jangan marah."

Jihoon menghela napas. "Ani. Aku dan Daniel memang tidak pernah akur sejak dulu dan masalah yang membuatku dan dia berkelahi masih sama. Hana. Dia menyukainya sejak SMA."

"Oh ... pantas." Soyeon mengangguk kemudian mengalihkan pembicaraannya. "Oh, iya. Tentang Euna, kuharap kau bisa menerima kenyataan ini dengan baik karena Euna akan tersenyum di sana kalau kau juga tersenyum."

"Iya, aku mengerti. Terima kasih, Soyeon."

"Ne. Kau bisa bercerita apa pun kepadaku. Meski aku belum lama mengenalmu, tapi aku akan menjaga rahasiamu dengan baik."

Gadis itu tersenyum yang dibalas dengan senyum tipis yang terukir di wajah Jihoon.

"Eoh? Sudah mau jam 8 ya? Sepertinya aku harus kembali sekarang karena ada jadwal jam 9 nanti," ujar Soyeon sembari bersiap untuk pergi.

Jihoon menoleh, tangannya menahan lengan Soyeon. "Begitu, ya? Akan kuantar kau ke sana."

"Ah, tidak perlu. Kau di sini saja. Temani Euna sampai nanti." Gadis itu menurunkan tangan Jihoon kemudian tersenyum lagi.

"Tunggu sebentar lagi. Woojin bilang dia sedang dalam perjalanan menuju rumahku. Aku bisa memintanya untuk mengantarmu dulu."

Sekali lagi, Soyeon menggeleng. "Aku hanya akan membuatnya repot kalau begitu. Aku bisa pulang sendiri. Sungguh, tidak apa-apa."

"Aku pamit dulu. Kau yang kuat, ya, Jihoon." Soyeon mengelus bahu lelaki itu sebelum pergi dari sana.

"Ne, gomawo."

🍁🍁

"Kenapa bisnya datang lama sekali? Kalau terus menunggu seperti ini, aku bisa terlambat," keluh Soyeon yang masih berdiri di halte sambil terus mengamati jam yang tertera di layar ponselnya.

"Kalau aku jalan kaki sampai ke kantor juga cukup jauh." Gadis itu melihat jauh ke ujung jalanan. "Tapi biarlah, daripada aku terus di sini sampai waktu yang tidak tentu."

Soyeon pun memutuskan untuk berjalan kaki, menyusuri tiap jalan untuk sampai di kantornya. Setengah perjalanan, langkahnya terhenti. Bukan karena ia kelelahan, tapi ada mobil yang baru saja membunyikan klakson tepat di belakangnya. Gadis itu tersentak kemudian memepetkan tubuhnya ke dinding yang ada di samping jalan.

Mobil itu pun berhenti. Seseorang keluar dari dalam sana, sementara Soyeon hanya menengok siapa dan mau apa orang itu sebenarnya.

"Seongwoo? Kau lagi?" Soyeon bertanya-tanya. "Ini kebetulan atau kau memang sengaja mengikutiku?"

Laki-laki dengan pakaian bergaya kasual itu mendekat dan menyapanya. "Aku kebetulan lewat sini dan melihat kau sedang sendirian. Kau mau ke mana?"

"Mau ke kantor, baru saja dari rumah Jihoon. Wae?"

"Oh, seniormu itu? Aku dengar dia baru saja beli gedung untuk studio fotonya, ya?"

Soyeon mengernyitkan dahi dan memiringkan kepalanya. "Kau ... tau dari mana? Info ini hanya orang kantor yang tau, itu pun hanya beberapa saja."

"A-ah, itu...." Lelaki itu menggaruk pelipisnya. "Jennie yang bilang."

"Rasanya Jennie bukan tipe orang yang suka mengumbar informasi ke orang lain yang tidak dekat dengannya. Hmm, tapi ya sudah tidak masalah."

"Aku harus segera sampai di kantor, aku pamit duluan, ya. Annyeong, Seongwoo-ya!" sambung Soyeon.

"Ah, jamkkanman! Aku akan mengantarmu, sepertinya kau sudah kelelahan. Kantormu juga masih cukup jauh." Lengan kanan Seongwoo direntangkannya di depan tubuh Soyeon, menghalangi langkah gadis itu. Menahannya.

"Tidak perlu, aku bisa sendiri," tolak Soyeon.

"Kau ini jangan seperti dengan orang lain. Aku sudah mengenalmu lama. Sebaiknya kau ikut aku. Kita makan dulu sebentar. Aku tau kau belum makan, wajahmu pucat."

"Ya ... sayangnya roti yang sudah kubeli tadi pagi tertinggal di kantor saat aku buru-buru pergi ke rumah Jihoon."

"Kalau begitu...," Seongwoo berjalan melewati Soyeon. Pintu mobil sebelah kanan sudah dibukakan olehnya. "Silakan naik, Tuan Putri. Aku akan mengantarmu ke mana pun."

Seongwoo menunduk sejenak kemudian tersenyum. Melihat itu, Soyeon tidak bisa menyembunyikan senyumnya. Gadis itu sedikit memalingkan wajah dan tersenyum tipis melihat tingkah Seongwoo yang sebenarnya sudah biasa dilihatnya saat mereka masih bersama.

"Kau tidak perlu berlebihan seperti itu. Kau dan aku sudah tidak ada hubungan apa-apa," ucap Soyeon sembari berjalan mendekati Seongwoo.

"Tidak perlu ada hubungan spesial untuk memperlakukanmu seperti ini, 'kan? Sebagai teman juga berhak."

"Baiklah, aku ikut. Terima kasih, Seongwoo." Soyeon masuk ke dalam mobil. Namun, sebelum pintu itu tertutup, ia terlebih dulu menahan lelaki itu dengan kalimat yang terlontar dari mulutnya.

"Maaf kalau aku terlalu bersikap buruk padamu kemarin-kemarin."

🍒🍒

Untuk para pembaca, cerita ini menurut kalian terlalu lambat nggak ya alurnya?

Kalau ada saran atau apa, boleh kasih tau aku ya. Gomawo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro