Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

서른아홉 - A Man in Black

Akhirnya update! Huaa 😭😭
Karena kesibukan lain jadi nggak sempet buat up cerita ini huhu

Tapi tapi, Mays, kalian udah tau belum sih kalau Mays Indonesia mau kasih kado buat ulang tahun ke Jihoon?
Ini loh project dari ALTIOREM PJH. Kalian bisa cek Instagramnya @altiorem_pjh atau twitter @Altiorem99_pjh guys!
Kadonya dikasih langsung ke Jihoon loh yuk jangan lewati kesempatan langka ini ^^ Cara ikutannya juga gampang banget!

Nah kalau udah cek, yuk mari baca lagi Chapter 39.
Happy reading, Mays ❤

Cahaya lampu yang bersinar di sepanjang jalan membuat suasana malam tidak begitu menyeramkan. Seorang laki-laki dengan mantel tebal panjang berwarna hitam berjalan sembari mengusap-usap punggung tangannya. Ia terlihat pelan-pelan dalam melangkah. Mungkin lelaki itu takut?

Ia membuang napasnya asal. "Tidak, tidak. Mengapa aku berpikir yang aneh-aneh? Malam seperti ini pun juga tidak akan ada hal yang menyeramkan, 'kan?"

Lelaki itu adalah Woojin, seseorang yang takut akan gelap, tapi tidak pernah mau mengakuinya.

"Aku harus cepat sampai di studio. Siapa tau Jihoon belum jauh dari sana jadi aku bisa memintanya kembali lagi. Lagi pula kenapa barangku bisa tertinggal di sana," keluh Woojin.

Woojin semakin mempercepat langkahnya ketika melihat bangunan berwarna putih itu sudah dekat. Ada sedikit cahaya yang terlihat di sana dan itu membuat Woojin mengira-ngira apakah Jihoon tidak jadi pulang tadi padahal mereka sudah saling berpamitan.

Semakin dekat, Woojin malah semakin memelankan gerakan kakinya hingga akhirnya ia berhenti di tempat. Ada yang janggal dari penglihatannya. Ia meraih ponsel di sakunya kemudian menekan kontak Jihoon sambil sesekali membagi fokus untuk mengamati studio foto.

Mungkin Jihoon lupa mematikan lampunya? Bisa saja.

"Ya, Park Jihoon," ujar Woojin saat panggilannya sudah tersambung.

"Kau tidak lupa mematikan lampu ruangan, 'kan?"

"Sepertinya ada orang yang masuk ke sana."

Woojin penakut, tapi untuk kali ini ia tidak takut untuk terus berjalan dengan perlahan. Menghampiri studio foto itu tanpa bersuara sedikit pun, bahkan ia membiarkan Jihoon memanggil namanya berulang kali hanya untuk memastikan bahwa Woojin masih ada di sana. Ponsel itu masih diletakkan di dekat telinga Woojin, tapi ia tidak mau menanggapi Jihoon hanya karena takut seseorang di dalam sana akan menyadari keberadaannya.

Ini tidak benar. Pintu studio jelas-jelas sudah dikunci oleh Jihoon sebelum pergi meninggalkan tempat itu lalu bagaimana orang itu bisa masuk?

Raut wajah Woojin terlihat sangat serius. Keningnya mengerut, kedua matanya menatap tajam ke arah targetnya, mengikuti ke mana pun ia bergerak.

Sial.

"Ya! Kau jangan la---"

Keberadaan Woojin disadari oleh laki-laki dengan pakaian yang didominasi dengan warna hitam itu. Lantas, Woojin cepat-cepat menyimpan kembali ponselnya dan memutus sambungan telepon secara sepihak.

Ia berlari sampai depan studio dan memblokade jalan keluar lelaki itu. Dilihatnya, laki-laki itu mencari-cari benda keras yang terletak di dalam ruangan. Ia ingin melawan musuhnya dengan bantuan alat? Hah, cara payah.

Woojin tersenyum miring sesaat sambil ikut memiringkan kepala, pun meregangkan jemarinya. Ia mendorong pintu studio dengan kencang. Sementara itu, lelaki yang berdiri di sana sudah memegang kursi kayu. Keduanya berpandangan satu sama lain, tapi sayangnya Woojin tidak bisa melihat siapa wajah di balik masker itu.

"Kau siapa?! Sedang apa kau di sini?" tanya Woojin dengan nada tinggi. Kakinya melangkah maju, sedangkan laki-laki itu justru memundurkan gerakan kakinya. Berusaha menjaga jarak dengan Woojin.

Gigi gingsul Woojin terlihat jelas ketika ia menyeringai melihat seseorang yang ada di depannya justru terlihat takut. "Payah."

Bruk!

Bunyi itu terdengar sangat kencang. Kursi kayu yang sejak tadi dipegangnya sudah terjatuh di lantai. Woojin pelakunya. Ia menendang benda itu hingga lepas dari genggaman laki-laki berpakaian serba hitam yang sekarang menjadi tawanannya.

Dengan sigap, Woojin menahan kedua tangan lelaki itu di belakang. Memegangnya dengan erat supaya orang itu tidak bisa kabur sebelum Jihoon datang.

Woojin mengatur napasnya yang terengah-engah kemudian berbisik dari belakang. "Aku tidak mau mengotori tanganku dengan memukulmu. Kau bukan lawan yang pantas untukku."

Mulut lelaki itu masih enggan berbicara. Namun, ia berusaha untuk melepas genggaman tangan Woojin dengan sekuat tenaga. Semakin keras usahanya, semakin erat jemari Woojin menahan gerakan tangannya.

"Aku masih baik, membiarkanmu pulang dengan selamat, tapi sebelum itu ...." Woojin melepas salah satu genggaman tangannya dan beralih ke bahu laki-laki di depannya. "Aku harus tau kau siapa. Kau punya masalah dengan Jihoon, hah?"

Ia berdecak kemudian menggelengkan kepala. Hanya sesaat lagi Woojin dapat melihat wajah di balik masker hitam yang menutupi setengah muka laki-laki itu, tapi gerakannya kalah cepat.

"YA!" geram Woojin sembari meringis.

Berakhir dengan terjatuh di lantai usai laki-laki berpakaian hitam menendang kasar lutut Woojin. Lelaki itu berhasil lolos sebelum identitasnya terungkap.Woojin berusaha bangun untuk mengejarnya, tetapi tidak bisa. Tendangan orang itu tidak main-main dan Woojin hanya terus berdecak kesal sembari mengusap bagian kakinya.

Tidak lama, Jihoon datang bersama Soyeon. Matanya terbelalak melihat keadaan studionya. Kacau. Sementara itu, Soyeon dengan sigap membantu Woojin yang masih berada di lantai itu untuk berdiri.

Jihoon masih bergeming. Beberapa perlatan di sana sudah tidak tertata seperti yang semestinya. Propertinya rusak. Baru berjam-jam yang lalu ia bisa menebar senyum kebahagiaan di tempat itu, tapi sekarang ruangannya sudah seperti kapal pecah.

Soyeon dan Woojin sempat bertukar pandang dan berbisik. Mengkhawatirkan apa yang dirasakan oleh Jihoon setelah menyadari studio fotonya hancur berantakan. Soyeon memapah Woojin perlahan dan keduanya berjalan menghampiri Jihoon.

"Jihoon-ah, gwenchana?" tanya Soyeon sambil mengusap punggung laki-laki itu.

"Jihoon, mianhae. Aku sudah berusaha menahan orang itu, tapi aku kalah cepat. Sebelum aku sampai ke sini, ia sudah lebih dulu mengacak-acak ruangan ini," sesal Woojin.

Yang mereka ajak bicara masih enggan membuka mulutnya. Namun, sorotan matanya jelas menunjukkan kekesalan, juga kekecewaan. Ia perlahan mengamati kondisi barangnya satu per satu.

"Waeyo?!" pekik Jihoon kemudian meletakkan kedua tangannya di kepala, tapi sepersekian detik kemudian ia mengulangi kalimat yang sama dengan nada melemah. "Wae?"

Kedua orang di sampingnya hanya bisa berusaha menenangkan Jihoon meski mereka tahu kalau Jihoon pasti merasa sedih dan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Apa kau sempat melihat muka orang itu? Kau tau ciri-cirinya seperti apa?" tanya Soyeon kepada Woojin.

Lelaki itu menggeleng. "Dia kabur tepat saat aku ingin membuka maskernya. Pakaiannya serba hitam dan dia pintar dalam menutupi identitasnya."

"Aku jadi heran, apa salahmu dengan dia sampai tega-teganya mau menghancurkan tempat ini?" Woojin bertanya-tanya sendiri karena laki-laki yang ditanyanya hanya menggeleng.

"Kang Daniel? Hah, kupikir orang ini sama dengan dia yang beberapa hari lalu sering memberiku surat ancaman. Mungkin ini ... puncaknya? Berarti memang sudah direncanakan."

"Kau yakin itu dia? Atas dasar apa? Kekasihnya, Hana? Ada apa lagi padahal dia sudah mendapatkan gadis yang dia inginkan sejak SMA, tapi sekarang masih saja mencari masalah denganmu?"

Kali ini Jihoon berbicara sambil melihat wajah Woojin. "Tidak lagi, saat Hana bilang dia tidak ingin melanjutkan hubungannya dengan Daniel."

"Balas dendam karena sakit hati? Ya ... itu memang bisa saja," ujar Soyeon usai mengerti keadaan yang sedang terjadi.

"Lain kali kalau aku bertemu dengannya, tidak akan kubiarkan lolos lagi," timpal Woojin. "Tapi Jihoon, sebaiknya kau pulang saja. Tenangkan dirimu terlebih dulu."

"Ah, iya, benar. Lagi pula ini sudah terlalu malam. Kita pulang saja, ya?" Soyeon meraih tangan Jihoon supaya ia mau meninggalkan studionya dan tidak berlarut-larut di sana.

Namun, kaki Soyeon menyentuh sesuatu yang tertinggal di lantai. Ia merendahkan tubuhnya dan meraih benda itu. Gelang?

"Tunggu," ucap Soyeon, membuat Jihoon dan Woojin juga berhenti melangkah. "Ini milik kalian?"

Keduanya menggeleng, tapi Woojin segera mengangguk paham. "Itu pasti miliknya. Mungkin terlepas saat aku berusaha menahan tangannya tadi. Jadikan itu barang bukti."

Woojin meraih gelang berwarna perak dari tangan Soyeon dan memberikannya kepada Jihoon. Ia meminta Jihoon untuk menyimpan benda itu supaya suatu saat mereka bisa mencari pelakunya. Lantas, Woojin berpamitan terlebih dahulu setelah Jihoon sudah mengunci kembali ruangannya. Sementara itu, Soyeon masih bersama dengan Jihoon.

"Aku antar kau pulang. Maaf," ujar Jihoon tiba-tiba.

Netra Soyeon menatap milik Jihoon. Tanpa mengucapkan satu kata pun, Jihoon bisa menangkan sorot kebingungan dari mata Soyeon.

"Acara makanku denganmu tadi berantakan dan ... kau jadi ikut susah dengan ini."

"Masalah ini tidak perlu kau pikirkan, ya. Jangan beratkan pikiranmu dengan hal yang seharusnya tidak kau pikirkan. Biar ini menjadi masalah yang harus kuhadapi sendiri saja," lanjut Jihoon.

"Begitu? Tapi aku mau membantumu selagi aku bisa dan kau tidak perlu khawatir."

Soyeon menautkan jemarinya dengan milik Jihoon. Gadis itu mengarahkan pandangan ke tangannya kemudian selang beberapa detik tersenyum menatap Jihoon. "Aku ada bersamamu."

Namun, dalam hati Soyeon masih terus mengira-ngira. Benda itu tidak asing. Ia seperti pernah melihatnya. Gelang itu pernah dipakai oleh ....

Pas nulis Daniel kok aku sendiri yang nggak tega ya karena lagi banyak rumor beredar tentang dia tapi aku dan kita percaya kalau Daniel itu baik-baik aja!

Daniel, we trust you :')

Tapi aku juga senang karena hari ini JIHOON DEBUT SOLO! Yeps! Jangan lupa kita dukung Jihoon terus ya, Mays! Masih 3 jam lagi menuju debut!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro