서른셋 - Should We Go Back?
"Sejak kapan kau dapat hal semacam ini?" Mata Hana membulat. Ia terkejut melihat kebodohan si pengirim surat yang melakukan hal kuno.
"Sudah, tidak usah dipikirkan."
Jihoon sudah malas menanggapi itu. Ia sudah sempat dipusingkan dengan isi dari surat sebelumnya. Rasanya, ancaman itu tidak main-main. Sayangnya Jihoon belum mengerti di mana letak kesalahannya.
"Siapa sebenarnya yang sudah berani memberikan ancaman? Caranya terlalu kekanak-kanakan," cerca Soyeon geram.
Ia melangkah ke luar. Ditengoknya kanan dan kiri, mencari tau keberadaan pengirim surat. Kalau surat itu baru ditemukan, berarti orang yang membawanya belum berada terlalu jauh dari lokasi. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada tanda-tanda orang mencurigakan yang lewat di depan gedung itu.
"Cepat sekali menghilangnya. Apa dia bisa berlari secepat itu?"
Sejak tadi, Soyeon sibuk meracau dan berjalan bolak-balik di dalam ruangan itu, sementara Hana justru penasaran dengan isi tulisan yang tertera. Melihat Soyeon dan Jihoon yang tidak tertarik dengan barang di tangannya, perlahan gadis itu membukanya.
Hana membaca tiap kata yang tertulis. Singkat, hanya ada empat kata yang jelas menunjukkan sebuah larangan. Ia menutup mulutnya usai membaca pesan itu.
"Jangan dekati dia lagi," ujar Hana, mengulangi kalimat yang tadi hanya dibacanya dalam hati.
"Benar, kan!" Soyeon menghentikan langkah kakinya dan menunjuk tepat ke arah surat itu. "Pengirimnya sama dengan yang kemarin. Apa yang ditulisnya sama."
"Kalau begitu, bisa saja kalian berada dalam bahaya."
Laki-laki yang sejak tadi masih berdiri di dekat sofa ikut andil dalam berbicara. Seongwoo merampas surat tersebut dari tangan Hana. Ia mengamati tiap lekukan tulisan itu. Jari telunjuknya mengelus dagu, ada yang sedang dipikirkannya.
Seongwoo membentangkan kertas itu lebar-lebar dan menunjukkan pada ketiga orang di sana. Hana dan Soyeon mendekat sembari saling berpandangan karena bingung apa yang dimaksud dengan Seongwoo. Hanya Jihoon yang masih tidak acuh dengan benda itu, padahal jelas-jelas targetnya adalah dia.
"Bagaimana kalau diamati dulu tulisan siapa ini? Siapa tau kalian ada yang mengenalnya," usul Seongwoo.
Menanggapinya, Soyeon menjentikkan jari. "Kau ada benarnya juga. Aku bahkan tidak sampai berpikir sampai ke sana. Coba, biar aku lihat."
Kertas itu berpindah tangan. Sejauh Soyeon memandang, ia tidak mampu mengenali tulisan yang tersurat. Gadis itu hanya memiringkan kepala kemudian tertawa canggung. Ia mengembalikan benda itu kepada Seongwoo, sementara Seongwoo hanya menatap dan menanti pernyataan yang keluar dari mulut Soyeon.
"Aku ini pengingat yang payah. Jadi, aku tidak bisa mengenali bahkan mengingat tulisan siapa itu."
"Coba, berikan kepadaku," perintah Hana. Gadis itu mendekat dan mengintip isi suratnya. Lantas, ia menggeleng dan berdecak. "Aku juga tidak tau."
Seongwoo menggeleng pusing. Dilipatnya kertas itu kemudian meletakkannya di atas meja. Ia tiba-tiba meraih lengan Soyeon. Refleks, gadis itu tersentak dan menengok ke lelaki yang ada di sampingnya. Tatapannya bergantian antara lengannya dengan wajah Seongwoo.
"Kau harus berhati-hati, Soyeon. Kalian juga," ujar Seongwoo sembari menunjuk ke arah Hana dan Jihoon. "Jangan sampai karena masalah ini, kalian jadi ikut dalam bahaya. Bisa saja, orang itu mengganggu kalian supaya Jihoon menuruti keinginannya, 'kan?"
Laki-laki itu berdeham sesaat. "Ada baiknya kalau kalian tidak datang ke tempat ini dalam waktu dekat."
"Wae? Apa masalahnya?" Mata Jihoon terbelalak. Ia memandangi seluruh isi studionya. "Tidak ada masalah di sini, kenapa tidak boleh? Satu minggu lagi juga studio ini akan dibuka. Bagaimana aku bisa mempersiapkannya kalau tidak datang ke sini?"
Jihoon mendengkus kesal. Melipat kedua tangannya dan tidak mengindahkan ucapan Seongwoo. Laki-laki itu mendorong pintu gedung dan berniat untuk pulang saja karena tidak ada lagi yang perlu diurusnya. Ia pun meminta ketiga orang di sana untuk beranjak pergi.
"Terima kasih, Soyeon, sudah membantuku hari ini. Kau sebaiknya pulang bersama Seongwoo saja. Sepertinya sejak tadi dia sudah menunggumu."
"Ne, ini bukan masalah bagiku. Aku juga sudah berjanji untuk membantumu," balas Soyeon sambil tersenyum.
Beralih menatap Hana, Jihoon juga mengatakan hal yang sama. "Kau juga, terima kasih telah membantuku."
Namun, lelaki itu justru mengernyitkan dahi setelahnya. Gadis yang berada dengannya itu sedang menggigit ujung jarinya. Tatapan Hana lurus ke depan. Sepertinya, gadis itu juga tidak menanggapi perkataan Jihoon barusan. Lantas Jihoon meletakkan tangannya di pundak Hana, sementara Soyeon dan Seongwoo hanya memperhatikannya.
"Kau sedang khawatir?" Suara Jihoon terdengar lembut. Ia tau kalau Hana sudah bertingkah seperti tadi berarti ada yang disembunyikannya.
Tatapan Hana terusik. "Ne? Aniyo."
Ia langsung menoleh ke arah Jihoon. Raut wajahnya menunjukkan kalau ada satu hal serius yang ingin dibicarakan. "Aku hanya sedang memikirkan pengirim suratmu itu. Sepertinya aku tau siapa yang bisa berpikiran seperti itu."
"Nuguya?" Tidak ada seorang pun yang terlintas di dalam pikiran Jihoon, apalagi Soyeon dan Seongwoo. Memang juga pada dasarnya Jihoon tidak mau memusingkan hal itu.
Hana menggusarkan pikirannya. "Ah, ani ... ani." Gadis itu pun mengganti ekspresi wajahnya dengan senyuman. Bagi Hana, lebih baik tersenyum seolah tidak apa-apa ketimbang harus berprasangka buruk.
Ada baiknya kalau aku memastikannya terlebih dahulu. Sambil masih memandangi wajah Jihoon, gadis itu terus berbicara di dalam hati. "Pulang saja."
"Hmm ...." Soyeon mencela perbincangan mereka sesaat. "Aku pulang dulu, ya, bersama Seongwoo. Sampai bertemu besok dan jangan ragu untuk menghubungiku kalau kau butuh bantuan, Ji."
🍁🍁
Keduanya saling diam. Hanya bunyi langkah kaki yang beradu dengan jalan. Ditambah orang-orang yang sibuk berlalu-lalang, tapi tidak ada interaksi antara laki-laki dan perempuan itu.
Hana melirik sebentar lalu kembali menunduk, sementara Jihoon hanya fokus berjalan ke depan. "Ji-ya," panggilnya.
"Ne?"
"Seharusnya kau tidak perlu menemaniku sampai ke rumah seperti ini. Tidak apa-apa jika harus pulang sendiri saja."
Pandangan Jihoon masih lurus ke depan. Tidak sedikit pun ia mengalihkan tatapannya kepada Hana. Gadis itu bisa merasakan perbedaan yang ada di dalam diri Jihoon. Semenjak ia pergi ke Tokyo tentunya.
Lelaki itu benar-benar melupakan janjinya dan sekarang terlihat seperti hanya Hana yang berjuang dengan perasaannya di atas ketidakpastian. Jihoon sama sekali tidak mempedulikannya sekarang.
"Gwenchana. Aku hanya ingin mengantarmu. Tanggung jawabku karena aku juga yang sudah meminta kau untuk datang."
"Hmm ...." Hana menghentikan langkah kakinya. Begitu pula dengan Jihoon. Barulah saat ini ia berpaling ketika Hana terlihat aneh dengan tiba-tiba berhenti.
"Kalau tidak langsung pulang, apa tidak apa-apa? Aku ...." Untuk beberapa saat, keempat mata itu bertemu.
"Rindu ke suatu tempat."
Jihoon membulatkan matanya, seolah bertanya secara tidak langsung tempat apa yang dimaksud oleh Hana. Namun, beberapa saat kemudian ia mengangguk. Percakapan antara keduanya berakhir, kembali seperti semula.
Bunyi gemercik air menyambut kedatangan Jihoon dan Hana di tempat itu. Tempat yang ramai, baik di pagi maupun malam hari—terlebih ini adalah hari libur. Hana mengajaknya untuk duduk di tepi dan Jihoon hanya menurut dengan permintaan gadis itu.
"Selama aku kembali ke Seoul, aku belum pernah lagi datang ke sini," ujar Hana yang kini justru memainkan kakinya secara asal di dalam air.
Jihoon meletakkan kedua tangan di kanan dan kiri tubuhnya. Melihat keadaan sekitar kemudian memandangi langit untuk sejenak saja. "Aku juga tidak pernah ke sini lagi setelah kau berangkat ke Tokyo."
"Waeyo?"
Lelaki itu tidak langsung menjawab. Ia justru menunduk dan meletakkan jemarinya di air, menggoyangkan tangannya ke kanan dan kiri. Jihoon mengambil air itu kemudian mengangkatnya. Sesaat kemudian, ia menjatuhkannya kembali perlahan sambil berbicara.
"Kau pasti tau alasannya. Ada di tempat ini hanya bisa membuatku semakin tidak rela melepasmu kala itu."
Gerakan kaki Hana terhenti. Fokusnya ada pada Jihoon saat ini. Laki-laki itu masih enggan menatap mata Hana ketika berbicara. Terdengar suara kekehan dari samping Jihoon, tapi lebih terdengar seperti tawa yang dipaksakan.
"Kala itu? Kau sudah benar-benar jatuh cinta dengan dia, ya?"
Hana mengangkat kakinya dari dalam air dan memeluk kedua kaki itu dengan tangannya. Kepalanya sengaja ia letakkan di atas lututnya. Karena Jihoon tidak menanggapi apa-apa tentang pertanyaannya, lantas Hana memiringkan kepalanya dan berdeham.
"Dia siapa yang kau maksud?"
"Siapa lagi? Model fotomu hari ini."
Cepat-cepat Jihoon menoleh dan menggeleng. "Maksudmu Soyeon? Tidak, tidak."
Entah alasan apa, tapi laki-laki itu justru memalingkan wajah saat mengucap nama itu. Hana meraih dagu Jihoon dan mengiringnya untuk kembali melihat ke arahnya.
"Aku bukan orang yang baru mengenalmu. Aku sudah tau kau sejak bertahun-tahun lalu."
"Lalu aku harus menjawab bagaimana?" tanya Jihoon sambil menaikkan salah satu alisnya.
"Ya~ Park Jihoon, jangan bertingkah seolah kau anak kecil. Aku hanya mau meluruskan masalah ini saja."
Lelaki itu masih mendaratkan pandangannya kepada Hana. Gadis itu pun demikian sebaliknya.
"Daniel sudah bilang kalau dia akan membatalkan perjodohanku dengannya."
Hoon, Hana jangan kamu PHP, Hoon :'
Dia juga butuh kejelasan. Kan kamu tau sendiri rasanya nunggu yang nggak pasti itu gimana :'
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro