서른둘 - It Comes Again
Laki-laki dengan model rambut koma khasnya berwarna hitam itu berdiri di depan pintu. Menyandarkan salah satu lengannya di daun pintu, sedang tangan yang satunya melambai kepada satu orang yang dituju matanya.
Belum ada yang menanggapi kalimatnya saat memasuki ruangan itu tadi. Semuanya hanya terkejut melihat siapa yang datang, terlebih Soyeon. Gadis itu langsung membuang mukanya ke arah berlawanan. Bukan tidak ingin bertemu dengannya, Soyeon hanya khawatir dengan penampilannya hari ini—yang menurutnya justru cukup aneh dan tidak biasa.
"Aku melihat seseorang yang kukenal dari luar gedung ini...." Lelaki yang membawa satu kantong belanjaan itu berjalan mendekati Soyeon. Ia tersenyum. "Dan ternyata itu benar kau, Soyeon."
"Ah? Ne. Kenapa kau bisa ada di sini, Seongwoo?" tanya Soyeon, tapi ia tidak benar-benar menatap mata lelaki itu saat berbicara.
Mata Seongwoo beralih ke benda yang sejak tadi ada di genggaman tangannya. Lantas, mengangkat benda itu supaya Soyeon juga dapat melihatnya dengan jelas. Kantong itu bertuliskan nama sebuah toko yang memang terletak tidak jauh dari studio foto milik Jihoon.
"Membeli ini untuk eomma," balasnya singkat.
"Kau ... kenapa tidak mau menghadapku saat bicara?" Seongwoo memiringkan kepalanya dan berusaha meraih wajah Soyeon dengan jemarinya.
Akhirnya gadis yang setengah menutupi wajah dengan tangannya itu menghadap ke arah Seongwoo. Laki-laki itu dengan perlahan menurunkan tangannya.
"Kulihat kau dari luar tadi begitu percaya diri bergaya di depan kamera. Sekarang di depanku kau malah malu-malu," kata Seongwoo diiringi dengan nada yang meledek. "Kau itu cantik, tidak perlu merasa minder."
"Jinjjayo?" Soyeon pelan-pelan mengucapkan kata itu, hanya ingin memastikan kalau yang baru saja didengarnya dari Seongwoo itu tidak salah. "Gomapta."
Melihat Soyeon tersenyum malu justru membuat Seongwoo semakin gemas dengan gadis yang pernah mengisi ruang di hatinya itu, sepertinya bukan 'pernah', tetapi 'masih'. Matanya mendapati foto Soyeon di kamera yang masih menyala. Tanpa basa-basi, Seongwoo pun langsung duduk di sampingnya dan ikut melihat-lihat betapa cantiknya gadis itu di balutan pakaian dan make up.
"Aku penasaran bagaimana kau bisa menjadi foto model dadakan dan terlihat berkali-kali lipat lebih cantik."
"Eoh?" Soyeon menoleh. "Itu karena—"
"Aku yang mengajaknya. Wae?"
Keduanya mengangkat kepala dan melihat seorang laki-laki berdiri di depannya sambil melipat kedua tangannya. Siapa lagi kalau bukan Park Jihoon yang melayangkan pandangan menantang. Baru kali ini Soyeon melihat ekspresi Jihoon itu—seperti yang diketahuinya saat pertama kali bertemu, Jihoon yang dingin dan cuek—dan ia juga tau pasti ada hal yang membuat laki-laki itu begitu kesal.
Refleks, Soyeon langsung menggeser tubuhnya supaya tidak berdekatan dengan Seongwoo. Tingkahnya sudah mirip seperti seorang gadis yang ketauan selingkuh karena ia benar-benar terkejut dan lupa bahwa ada Jihoon yang bisa saja sejak tadi memperhatikan sikapnya dengan Seongwoo.
Jujur saja, jauh di dalam lubuk hati Soyeon, ia masih senang kalau mendapat perhatian dari Seongwoo. Jadi, begitu lelaki itu ada bersamanya dan memuji segala kecantikan yang dimilikinya, wajar saja jika Soyeon terbawa suasana bahagia itu.
"Ah, Jihoon, maaf," ujar Soyeon yang kemudian berdiri.
"Kau ... tamu tidak diundang. Aku ada di sini bukan untuk melihat sepasang insan yang sedang berpacaran seperti kalian." Jihoon mendelik tajam pada Seongwoo.
Seongwoo tidak bodoh dan mengerti kalau lelaki di hadapannya itu pasti sudah menganggap Soyeon lebih dari junior di tempat kerjanya. Kalau tidak, Jihoon tidak mungkin bersikap iri seperti tadi.
Dengan secepat kilat, Soyeon menyela pembicaraan mereka. "Aniyo! Aku tidak berpacaran dengan Seongwoo lagi. Hmm...."
Soyeon mencari alasan supaya Jihoon juga tidak kesal dengannya. Anehnya, ia tau kalau Jihoon dan dirinya tidak ada hubungan apa-apa, tapi mengapa harus repot-repot menjelaskan supaya tidak ada kesalahpahaman masing-masing?
"Seongwoo hanya kebetulan lewat sini dan ingin bertemu denganku saja."
Gadis itu tersenyum canggung. "Oh, iya, kau memintaku untuk memilih foto, 'kan? Aku sudah dapat. Sekarang apa yang harus aku lakukan?"
Niat Soyeon untuk mengubah topik pembicaraan dan fokus mereka ternyata berhasil. Jihoon langsung menoleh ke arahnya dan mengajak gadis itu untuk menuju ke mejanya. Laki-laki itu mengambil alih kamera dari tangan Soyeon. "Ikuti saja aku."
Sebelum melangkah, Jihoon memperingati Seongwoo sekali lagi. "Kalau kau ingin menunggu Soyeon, duduk saja di sana. Tidak perlu mengikuti ke mana pun Soyeon pergi."
"Ne," jawab Seongwoo malas, sementara Soyeon mengisyaratkan dirinya untuk tetap menunggu di sana saja seperti apa yang diminta oleh Jihoon.
Usai keduanya pergi dari hadapan Seongwoo, ia menyandarkan tubuhnya dan tersadar kalau ia tidak seorang diri di sana. Hana masih ada di sofa yang sama dengan yang ia duduki, tapi ia memilih untuk diam saja sejak tadi.
"Annyeong haseyo, kau temannya Jihoon? Atau?" Seongwoo membuka pembicaraan di antara keduanya.
Hana melirik ketika merasa dirinya diajak bicara oleh Seongwoo. "Na? Pacarnya ... dulu."
"Ah, maaf, kenapa aku bisa berkata seperti itu, ya?" Hana menggeleng dan menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal.
"Jangan bilang kau tidak merasa cemburu saat Jihoon bersikap lebih kepada Soyeon tadi...." Seongwoo hanya menebak dari pancaran mata Hana yang jelas menunjukkan kekecewaan, tapi tidak bisa ditunjukkannya secara langsung.
"Maksudmu tentang kau dan Jihoon yang berebut perhatian dengan Soyeon?" Gadis itu tertawa hambar. "Sedikit."
"Kalau begitu kenapa tadi kau hanya diam saja?"
Hana menyunggingkan senyum. Netranya terpaku pada sosok yang berdiri membelakanginya. Lelaki dengan kemeja berwarna cokelat tua itu selalu bisa membuatnya tersenyum. Hanya dengan sesederhana memutar kembali ingatannya kala ia bersama Jihoon, dulu.
"Memangnya aku harus apa?" Kini, pandangannya sudah terlepas dari Jihoon dan menatap lawan bicaranya. "Kau tau pepatah yang mengatakan bahwa akan lebih menyenangkan ketika melihat orang yang kita cintai itu bahagia, meski dengan perempuan lain? Kurasa sekarang itu juga yang kurasakan."
"Wah!" Seongwoo bergeleng kemudian menepukkan kedua tangannya. Tubuhnya mendekat, tatapannya terlihat lebih serius. "Masih ada, ya, orang yang berpikiran sepertimu?"
Gadis itu menggeleng tak mengerti lalu bersandar dan menghadap ke langit-langit. "Ikuti saja ke mana hati ini akan berlabuh nantinya."
"Ah, klise. Kalau aku, jelas akan memperjuangkan dia yang kuinginkan sampai dapat."
Hana mengarahkan jari telunjukknya ke satu titik. "Gadis itu? Hwang...."
"Soyeon," lanjut Seongwoo cepat. "Iya, yang kumaksud adalah dia."
Seongwoo memangku dagunya. Tanpa sadar, lelaki itu juga tersenyum saat memandangi Soyeon. Sama seperti apa yang telah dilakukan oleh Hana. Saat jatuh cinta, sudah pasti reaksi seperti itu yang muncul, bukan?
"Kami berpisah dengan alasan yang tidak masuk akal." Ia terkekeh. "Salah paham."
"Seharusnya kau dan ... mungkin juga aku tidak perlu khawatir. Tenang saja, dia akan kembali padamu kalau memang kalian ditakdirkan bersama." Hana menepuk-nepuk pundak Seongwoo dan tersenyum begitu lebar. Seolah ia adalah gadis yang sangat pintar menyembunyikan perasaannya.
"Eh? Sepertinya aku harus pulang sekarang," ujar gadis itu tiba-tiba. Ia beranjak dan menghampiri Jihoon juga Soyeon.
Hana pamit, diiringi oleh Jihoon dan Soyeon yang mengantarnya meski hanya sampai di depan pintu saja. Keduanya sama-sama mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Hana karena sudah mau membantu dalam pemotretan hari ini. Gadis itu pun berlalu di balik pintu.
Sekarang di ruangan itu hanya tersisa Jihoon, Soyeon, dan Seongwoo. Semua urusannya di sana sudah selesai, Jihoon memutuskan untuk merapikan alat-alatnya dan bergegas pulang.
"Soyeon, kau mau pulang?" tanya Seongwoo. Jihoon yang sedang berberes itu hanya menghentikan aktivitasnya sejenak kemudian berlagak tidak peduli.
"Ne."
"Biar kuantar, ya?" tawar lelaki itu pada Soyeon. Namun, responnya hanya menggeleng.
"Kau harus cepat-cepat pulang karena eomma-mu pasti sudah menunggu sejak tadi."
"Ani. Rumah kita searah, tidak apa-apa."
Suara dehaman mengalihkan pandangan mereka. Jihoon sudah menenteng tasnya dan membuat gaduh dengan beberapa kunci yang terpasang di gantungan kuncinya. Ia lebih dulu berjalan menuju pintu yang berwarna senada dengan dindingnya.
"Aku bisa tinggalkan kalian berdua jika masih terus berdebat masalah pulang."
Ceklek!
Seseorang yang sekarang ada di hadapan Jihoon itu berhasil mengejutkannya. Dia kembali lagi.
"Untung gedung ini belum kosong. Kurasa aku meninggalkan sesuatu di sini."
Mata Hana menyusuri tiap sudut ruangan itu. Gerakan matanya terhenti pada sofa, tempatnya duduk sejak tadi. "Buku catatanku."
Benda yang menyimpan seluruh informasi tentang desain dan hal yang berkaitan dengan itu sangat penting bagi Hana. Ia menuangkan ide dalam hal fashion-nya di sana. Tidak boleh sampai tertinggal atau bahkan hilang.
"Dan satu lagi ... Jihoon, aku melihat kertas ini diletakkan di depan jendela. Mungkin untukmu?"
Dilihatnya amplop putih yang ada di tangan Hana. Jihoon rasa ia pernah melihat yang semacam itu sebelumnya. Bentuknya juga tulisan yang tertera di bagian belakang benda itu. Soyeon ikut maju karena penasaran dan gadis itu langsung menyadarinya hanya dengan sekali lihat.
"Kau ingat tentang surat ancaman yang tempo hari kita temukan? Sepertinya ini juga sama."
Hana mengangkat kepalanyakemudian menggerak-gerakkan benda berbentuk persegi tersebut. "Apa? Surat ancaman?"
Hayo, mari tebak-tebak berhadiah kira-kira siapa pengirim ancaman itu?
Oh, iya, aku lagi mempersiapkan satu video trailer/cuplikan adegan di cerita ini. Semoga bisa segera selesai. Semoga kalian juga excited menantinya! ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro