서른넷 - Just Go Away!
Sebelum mulai, aku mau ajak kalian nih hai para Mays, bucin Park Jihoon, untuk ikut project kado ulang tahun yang akan dikasih langsung ke Jihoon. Jadi, aku udah kerja sama bareng masternim Jihoon di Korea sana, guys. Yang mau ikut project aku, coba komentar nanti aku DM kalian, ya^^
"Hana, kita pulang saja," pinta Jihoon. Raut wajahnya mengkhawatirkan dan jelas dari gerak-geriknya, ia tidak ingin membahas tentang hal itu sama sekali.
Jihoon sudah beranjak, tetapi Hana menahan lengannya. Membuat lelaki itu kembali merendahkan tubuhnya. Alhasil, Hana mendongakkan kepala. "Dulu di tempat ini ... kau pernah berjanji untuk menungguku, tapi aku menolaknya. Sekarang berbalik, ya?"
"Hana ...." Jihoon memegang pundak Hana dan menuntun gadis itu untuk berdiri. "Apa kau tau bagaimana aku saat mendengar kabarmu dengan Daniel? Itu cukup menyadarkanku kalau aku tidak seharusnya berharap kepadamu."
"Tapi sekarang semuanya kan...."
Lelaki itu menggeleng. "Sakit itu tidak untuk dirasakan dua kali, Hana."
"Begitu, ya?" Gadis itu tertunduk. Nada bicara terdengar melemah.
Jihoon membalikkan badan, sementara tangannya berpindah ke tangan milik Hana. Jemari mereka bertaut, diikuti dengan pandangan Hana yang mengikuti gerakan tangan Jihoon.
"Kita pulang sekarang, ya?" ajak Jihoon lagi.
Hana mengangguk. "Ne."
"Tapi Ji ... kalau kau menyukai Soyeon, aku mau membantumu untuk mendapatkannya. Siapa tau kau butuh pendapat sesama perempuan."
Gadis itu tersenyum, sementara Jihoon hanya terdiam—lebih tepatnya terkejut karena perkataan Hana. Namun, dengan segera ia menarik tangan laki-laki itu supaya ikut berjalan dengannya. Sesuai dengan apa yang diinginkan Jihoon sejak tadi, pulang.
🍁🍁
Matahari sudah kembali muncul dari peraduannya. Hari Senin kembali menyambut orang-orang yang sibuk di sekolah dan bekerja. Tak terkecuali untuk Jihoon yang sudah sampai di kantor lebih pagi dari biasanya. Lelaki itu duduk dan fokus di depan komputernya. Namun, Jihoon justru sedak sibuk dengan ponsel yang berada di tangan kanannya, sementara tangan kirinya menggeser beberapa kertas yang diletakkan di atas meja.
"Iya, pesan desain nomor dua. Untuk foto pendukungnya, nanti dikirimkan menyusul, ya."
"Ne, 100 lembar ... Ne, kamsahamnida."
"Jihoon-ah!" Panggilan itu membuat Jihoon menoleh. Laki-laki dengan tas selempang berbahan kulit itu melambaikan tangan dan berjalan mendekat.
Usai meletakkan tasnya di meja yang berada di seberang meja Jihoon, Woojin berjalan mendekati sahabatnya. Lelaki itu baru saja meletakkan ponsel di atas beberapa lembaran kertas.
"Tumben pagi-pagi kau sudah sampai," ucap Jihoon sambil kembali merapikan mejanya.
Woojin menyandarkan lengannya di atas bilik kerja Jihoon. Ia memiringkan kepala kemudian berdecak. "Ada pekerjaanku yang tertinggal. Jadi, aku harus datang cepat."
Melihat Jihoon sibuk sendiri, Woojin jadi penasaran dengan apa yang dikerjakannya begitu pagi. Dilihatnya beberapa contoh brosur dan undangan tengah tersusun rapi di atas tumpukan kertas lainnya. "Untuk apa semua kertas itu?"
"Mwo? Ini?" Jihoon menunjuk barang yang sejak tadi menyita perhatian Woojin. "Studio fotoku. Minggu depan akan ada grand opening."
"Wah! Wah! Sungguh? Cepat sekali, akhirnya yang kau tunggu datang juga. Aku benar-benar bangga padamu," ujar Woojin sembari tersenyum dan menepuk-nepuk pundak Jihoon.
Jihoon mengangguk. Sebuah senyuman juga terukir di wajahnya. Ia memangku dagu. Pikirannya melayang jauh, membayangkan hari yang ditunggunya akan segera tiba. Laki-laki itu tak berhenti tersenyum meski hanya berangan sesaat.
Konsep ruangan yang minimalis—didominasi oleh warna putih—akan menyambut siapa pun yang datang. Penduduk beramai-ramai menanti pelantikan dan pembukaan studio foto miliknya. Ruangan yang kini terasa sepi pun segera akan diramaikan dengan celotehan pengunjung yang mengantre untuk melakukan photoshoot.
"Aku pun masih merasa ini seperti mimpi." Jihoon tersadar dari khayalannya dan menoleh ke arah Woojin. "Kau akan kuundang dalam acara itu, juga Jisung hyung. Kalian orang-orang yang sangat berpengaruh untuk impianku ini."
"Kau ini ... aku ini sahabatmu, yang pasti akan membantumu dalam hal apa pun." Gigi gingsul Woojin jelas terlihat saat ia menunjukkan cengirannya.
Usai menepuk pundak Jihoon, Woojin pamit pergi untuk kembali ke mejanya. Tentu untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum sempat disentuhnya lantaran tertinggal. Namun, Jihoon yang belum selesai bicara itu memanggil nama sahabatnya kembali. Ada hal yang ingin disampaikannya.
Awalnya, ia tidak mau semakin banyak orang yang tau akan hal itu. Khawatir jika semua akan memikirkannya. Ia juga tidak ingin terlalu berpikir buruk tentang itu, tapi entah mengapa surat yang datang kepadanya belakangan ini mampu membuat Jihoon tidak fokus.
"Belakangan ini aku menerima semacam surat ancaman. Aku tidak tau itu bisa disebut ancaman atau tidak, tapi yang jelas orang itu tidak suka denganku."
Mata Woojin terbelalak. Lelaki itu meninggalkan niatnya untuk kembali melakukan pekerjaan dan meraih kursi di dekat Jihoon. Tatapan matanya serius dan seolah menanti lanjutan cerita yang akan disampaikan oleh sahabatnya.
"Siapa yang berani mengancammu? Rupanya dia belum pernah merasakan kekuatan pukulanku ini, ya?" Lelaki itu sudah siap meregangkan jemarinya dan sesekali melakukan gerakan memukul ringan.
"Ya! Ketimbang itu, aku lebih penasaran dengan siapa aku berbuat salah," cela Jihoon sembari menurunkan kedua tangan Woojin.
Woojin mengetukkan jemarinya di dagu. Matanya bergerak memandangi langit-langit. Lelaki itu berdeham sesaat. "Benar juga. Kau berbuat masalah dengan siapa, ya? Coba biar kuingat-ingat."
Keduanya hanya diam. Masing-masing sedang berpikir, mencoba mengurutkan nama-nama yang akhir-akhir ini dekat dengan Jihoon. Sebenarnya, belakangan ini Jihoon hanya berkutat dengan pekerjaan dan studio fotonya. Hanya itu saja.
Jentikan jari Woojin merusak keheningan di antara mereka. Sepertinya lelaki itu teringat sesuatu. "Mungkin ada hubungannya dengan Hana? Entah kebetulan atau tidak, kau baru menerima surat seperti itu saat Hana kembali ke Seoul. Sebelumnya kan tidak pernah."
Jihoon mengernyitkan dahi. "Maksudmu?"
"Musuhmu sejak SMA. Kau tau? Siapa lagi kalau bukan Daniel?" Woojin mengangguk-angguk yakin. Tebakannya kali ini bisa saja ada benarnya. Pasalnya, Jihoon dan Daniel tidak pernah akur karena Hana. Gadis yang sama-sama dicintainya.
Jihoon juga baru mengingat kalau surat itu datang memang ketika Hana sedang bersama dirinya. Seolah si pengirim surat itu selalu memperhatikan gerak-geriknya kapan dan di mana pun.
Woojin menjentikkan jarinya berulang kali lalu beranjak dari kursi. Terlihat keseriusan dari raut wajahnya. Lelaki itu juga tiada henti berjalan bolak-balik. "Anak itu memang tidak pernah mau kalah sejak dulu, 'kan? Lagi pula, dia terlahir dari keluarga kaya yang pasti selalu mengandalkan uangnya untuk mendapatkan apa yang dia mau."
"Huh, enak sekali, ya, orang seperti dia. Sejak dulu juga tidak pernah berubah. Apa perlu kuberi pelajaran?"
Sejak tadi, Woojin hanya sibuk berceloteh sendiri, sementara Jihoon masih kembali mengingat-ingat dan membenarkan dugaan sahabatnya.
"Setelah kupikir, kau mungkin ada benarnya juga. Surat itu datang tepat selalu saat aku bersama Hana," ujar Jihoon sembari melihat lawan bicaranya.
Akhirnya, Woojin menghentikan gerakan kakinya. "Tidak salah lagi. Mulai sekarang, kau coba berhenti dan menjauh dari Hana."
"Apa tidak ada jalan lain? Aku tidak mau menjauh dari seseorang karena kesalahan orang lain." Raut wajah Jihoon berubah.
Woojin merendahkan tubuhnya. Ia meletakkan lengan di atas bahu Jihoon, sementara Jihoon memilih untuk menghadap ke komputer di depannya yang masih belum menyala. Ia menghela napas.
"Coba dulu. Hana pasti akan memahami kalau dia juga tau alasan di balik kau menjauh darinya. Apa perlu aku yang bilang pada Hana?"
Lelaki yang diajaknya bicara itu menggeleng. "Tidak perlu. Biar aku yang mengatakannya sendiri."
"Terima kasih, Woojin. Aku tidak tau apa benar Daniel yang melakukan hal licik semacam itu, tapi setidaknya aku akan bisa lebih berhati-hati," ujar Jihoon.
Woojin menegakkantubuhnya kembali. "Tidak perlu khawatir. Sudah, aku akan kembali ke mejaku.Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, jangan sungkan untuk cerita kepadaku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro