마흔둘 - I Don't Want to Know You Again
Hari kemarin adalah kesalahpahaman. Aku harus memperbaiki hubunganku dengan Soyeon. Aku tidak ingin laki-laki itu merebutnya begitu saja.
Mulai hari itu, Seongwoo sudah bertekad dalam dirinya sendiri. Menetapkan Park Jihoon sebagai lawannya. Namun, persaingan itu tidak akan setimpal kalau ia tidak melihat apa saja yang Jihoon lakukan untuk Soyeon.
Laki-laki itu seringkali mengikuti ke mana Soyeon pergi, terlebih ketika Jihoon sedang bersamanya. Ia tahu kalau Jihoon sempat bertemu seseorang---yang juga sepertinya Soyeon kenal---untuk membeli sebuah gedung. Seongwoo mengikuti ketiganya sampai akhirnya ia tahu di mana lokasi Jihoon ingin membangun sebuah studio foto.
Seongwoo tidak pernah suka jika Soyeon dekat dengan laki-laki mana pun selain dirinya. Soyeon juga tahu akan hal itu semenjak mereka berpacaran. Namun, usai mereka memutus hubungan, sepertinya Soyeon sudah menghiraukan perkataan Seongwoo itu.
Semakin hari, gadis itu terlihat semakin dekat dengan Jihoon. Mereka punya banyak waktu berdua dan Seongwoo iri akan hal itu. Seharusnya dia yang ada bersama Soyeon, bukan Jihoon.
Satu waktu, ketika laki-laki itu sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya saat melihat kedekatan mereka, Seongwoo pikir bahwa ia harus berbuat sesuatu yang bisa menjauhkan Jihoon dari Soyeon. Ia sempat memikirkan beberapa rencana sebelum akhirnya bergelut dengan surat-suratan yang sengaja ia kirimkan untuk Jihoon, sebagai sebuah peringatan.
Sekali mendapat hal semacam itu, Seongwoo merasa bahwa ancaman itu tidak berefek dengan kedekatan Jihoon dan Soyeon. Namun, ia tetap mengirimkan beberapa surat yang isinya tidak lain adalah larangan untuk mendekati Soyeon. Memang nama Soyeon tidak tertulis jelas, tapi Seongwoo rasa Jihoon dapat mengetahuinya dengan pasti siapa yang dimaksud.
Sayangnya, dugaan Seongwoo salah. Kenyataannya adalah Jihoon menganggap bahwa ia harus menjauhi Hana, bukan Soyeon. Hal itu diketahuinya ketika ia dengan sengaja melewati studio foto Jihoon dan masuk ke dalam karena melihat ada Soyeon di sana.
Laki-laki itu sudah merencanakan untuk memberi satu lagi surat ancaman yang ia letakkan di dekat jendela---sebelum masuk ke dalam ruangan secara diam-diam. Tidak mungkin kalau seseorang tidak akan melihat kertas itu ketika masuk. Sejujurnya, Seongwoo hanya ingin tahu apakah Jihoon akan masih bersikap cuek dan bagaimana tanggapannya tentang ancaman seperti itu.
Meski Seongwoo sempat kecewa karena Jihoon salah menafsirkan maksud dari surat ancamannya, tapi ia bisa bernapas lega ketika tahu bahwa bukan dirinyalah yang diduga sebagai pelaku, melainkan seseorang bernama Kang Daniel. Seongwoo boleh berbangga diri karena dengan begitu ia bisa melakukan rencana-rencananya dengan sempurna tanpa takut dicurigai.
Ketika peringatan sudah tidak mampu membuat seseorang mundur, maka harus ada perbuatan yang membuatnya merasa jera. Itu yang Seongwoo tanamkan di dalam dirinya. Jika ada yang bertanya-tanya mengapa surat ancaman itu berhenti muncul tepat ketika Jihoon menjauhkan diri dari Hana, maka itu adalah sebuah kebetulan yang membawa nama Seongwoo semakin jauh dari dugaan tersangka.
Tepatnya, laki-laki itu sedang mempersiapkan rencana untuk menghancurkan Jihoon dan mimpinya. Kekacauan yang terjadi semalam, tidak sepenuhnya berjalan sesuai yang dipikirkan oleh Seongwoo karena seseorang tiba-tiba datang dan mengusiknya.
"Jadi, itu benar kau?" tanya Soyeon, tepat ketika Seongwoo sudah membongkar semua yang pernah dilakukannya.
"Aku benar-benar minta maaf dan menyesal." Sekali pun Seongwoo tidak pernah melepaskan tatapannya dengan Soyeon. Sorotan matanya sayu.
"Kau benar-benar keterlaluan. Mengapa kau tidak bisa berpikir jernih dan membayangkan berapa banyak orang yang kecewa dan tersakiti karena ulahmu?"
"Maaf, aku tidak bisa mengontrol emosiku sendiri."
Soyeon menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Gadis itu menunduk. Ia memejamkan matanya sesaat, hanya untuk menahan segala rasa sedih, marah, dan kecewa yang sudah bercampur aduk saat ini.
Sementara itu, Seongwoo juga bergeming di tempatnya. Ia tidak bisa berkata banyak. Ia tahu kalau perbuatannya salah dan menyesali apa yang telah dilakukannya. Sungguh, lelaki itu tidak paham mengapa ia bisa sampai punya pemikiran yang jahat seperti itu. Apa yang sudah diperbuatnya seolah terjadi begitu saja tanpa bisa ia kendalikan.
Samar-samar terdengar isak tangis seseorang. Seongwoo menoleh dan mendapati seseorang di sebelahnya sedang menangis, tanpa ia tahu apa alasannya.
"Soyeon-ah?"
Gadis yang dipanggilnya cepat-cepat menyeka air mata yang mengalir kemudian menautkan jemari tangan dan meletakkannya di atas paha. Ia masih menunduk.
"Bodoh. Aku tidak tau kenapa aku harus menangis di hadapanmu."
"Aku marah, kecewa denganmu bukan semata-mata karena kau sudah mengganggu Jihoon ...." Soyeon menghentikan kalimatnya sejenak kemudian memaksa diri untuk melihat Seongwoo sekali lagi. "Tapi karena kau sudah merusak kepercayaan yang sudah kubangun sejak lama untukmu."
Laki-laki itu masih terdiam. Matanya berkaca-kaca. Sungguh, ia sama sekali tidak bisa tahan melihat Soyeon sedih. Namun, nyatanya dialah penyebab Soyeon menjadi seperti saat ini.
"Kau berubah. Kau bukan Seongwoo yang kukenal dulu."
Tepat ketika Soyeon melontarkan kalimat itu, laki-laki di depannya menitikkan air mata. Ada banyak kata yang ingin ia katakan, tapi semuanya seolah tertahan. Satu-satunya yang tidak bisa ia tahan adalah kesedihan akibat ulahnya sendiri.
Seongwoo bergeleng. "Soyeon, dengarkan aku."
Gadis yang diajaknya bicara itu sudah menggiggit bagian bawah bibirnya. Menahan diri supaya ia tidak lagi menangis seperti sebelumnya.
Hari sudah semakin sore. Angin berembus semakin dingin, disertai dengan beberapa daun yang jatuh berguguran. Namun, dua insan yang berada di sana masih enggan untuk menginggalkan tempat itu.
"Katakan apa pun yang bisa membuatmu memaafkanku. Aku akan lakukan," pinta Seongwoo sembari memegangi kedua bahu Soyeon.
Selama beberapa detik, manik cokelat Soyeon bertatapan dengan Seongwoo. Selama itu juga, air mata mengalir pelan dari pelupuk mata Seongwoo. Sesungguhnya, Soyeon juga tidak tega, tapi apa yang harus diperbuatnya?
"Menjauh." Suara Soyeon terdengar parau. Ia jelas-jelas sedang menahan tangisnya.
Pegangan tangan Seongwoo di bahu gadis itu semakin erat. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Terkejut mendengar satu kata yang terucap dari mulut Soyeon. Menutupi rasa tidak percayanya, Seongwoo justru tertawa getir.
"Kau yang benar saja."
Soyeon mendeham. "Sungguh."
"T-tapi?!"
Soyeon menurunkan tangan Seongwoo kemudian beranjak dari kursi. Segera pergi dari tempat itu adalah pilihan terbaik bagi Soyeon. Terlalu lama bersama Seongwoo itu tidak baik, takut-takut perasaannya akan terbawa suasana.
Baru menggerakkan kaki beberapa langkah, gadis itu sengaja berhenti dan menoleh ke belakang. Laki-laki itu tidak menahan atau mengejarnya. Yang ia lihat hanya mata Seongwoo berkaca-kaca.
"Kau boleh kembali lagi ketika kau sudah menjadi Seongwoo-ku yang dulu."
Soyeon menarik kedua ujung bibirnya ke atas. Lantas, ia berlalu dari hadapan Seongwoo, sementara lelaki itu masih diam tidak percaya bahwa takdirnya bersama Soyeon akan berakhir seperti ini.
Ia kembali meraih gelang perak miliknya yang baru diberikan oleh Soyeon. Mengamati benda itu bersama kenangannya di masa lalu. Seongwoo menghela napas dan mengembuskannya dengan berat. Ia mendongak kembali, melihat ke arah terakhir kali Soyeon pergi. Gadis itu sudah menjauh dan menghilang dari pandangannya.
"Aku bodoh dan kau benar, Soyeon."
Seongwoo si bucin Soyeon. Sini, Mas, sama aku aja, Mas :')
Kesian kamu digituin sama Soyeon.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro