마흔 - I Think I Know Him
Malam sudah berganti menjadi pagi. Jihoon duduk manis di depan komputernya yang menampilkan layar berwarna hitam. Tidak lama itu, Soyeon datang dan laki-laki itu tersenyum kepadanya. Bukan hanya itu, Jihoon juga menarik kursi Soyeon yang tersimpan di bawah meja supaya gadis itu bisa duduk di sana.
Soyeon membalas senyuman Jihoon. Ia sudah tidak memikirkan hal yang kemarin? Sepertinya sudah lebih baik.
"Hwang Soyeon," panggil laki-laki itu, sedang Soyeon hanya berdeham.
Jihoon memunggungi Soyeon sejenak karena laki-laki itu sepertinya sedang mencari sesuatu di dalam tasnya. Ternyata itu memakan waktu yang cukup lama, tapi Soyeon masih memperhatikan gerak-gerik Jihoon.
"Untukmu."
Gadis yang diberikannya itu mengerjapkan mata kemudian menatap wajah Jihoon setelah melihat benda yang ada di tangan Jihoon. Ukurannya tidak besar dan berwarna cokelat. Ada tas kecil yang tersampir di punggungnya. Dengan melihatnya saja, Soyeon bisa tersenyum lebar.
"Aku? Ada apa ini?" tanya Soyeon sembari terkekeh kemudian mengambil gantungan boneka berbentuk beruang pemberian kekasihnya.
"Karena kau pacarku dan aku mau memberikan apa yang pacarku suka."
Rona merah menyebar di wajah Soyeon. Ia menunduk sambil sesekali tertawa kecil. "Sejak kemarin aku sudah mengkhawatirkanmu karena kejadian semalam. Kupikir kau akan memikirkannya berlarut-larut."
Ia mengelus bagian kepala boneka itu perlahan kemudian mendekapnya. "Tapi kau malah bertingkah seperti ini sekarang," ujar Soyeon kemudian kedua ujung bibirnya terangkat. "Terima kasih, Jihoon."
Jihoon tertawa canggung. "Masih sedikit terkejut, tapi tidak apa-apa. Aku akan mengurusnya sendiri."
Laki-laki itu tersenyum, tapi Soyeon masih paham kalau senyuman yang tergambar itu hanya tipuan. Pasti di dalam hatinya berbeda. Ia tidak pintar menyembunyikan kekecewaan.
Soyeon menundukkan wajah sambil sedikit mengerucutkan bibirnya. Jemarinya terus-menerus mengusap kepala dan punggung boneka kecil yang ada di tangannya. Ia hanya diam, mungkin juga pikirannya sedang melayang ke tempat lain.
Melihatnya, Jihoon sedikit menggeser kursi dan menjadi lebih dekat dengan Soyeon. Memandangi wajah gadis itu dan gantungan boneka secara bergantian.
"Yang kutau kau suka sekali dengan boneka, tapi kenapa sekarang kau malah kelihatan tidak senang? Bonekanya jelek, ya?" tanya Jihoon.
"Eoh?" Soyeon mendongak. "Aku suka kok. Sangat menyukainya. Akan kusimpan dengan baik, ya."
Antusias Soyeon disambut dengan anggukan dan senyuman Jihoon. Lelaki itu puas mendengar jawaban dari mulut orang yang sejak kemarin berstatus sebagai kekasihnya. Ia pun mengembalikan kursinya ke posisi semula dan hendak mengambil beberapa lembar foto. Kembali dengan rutinitasnya sebagai seorang fotografer.
"Tapi dari mana kau tau kalau aku suka boneka? Kau banyak mencari tau tentangku, ya?" ledek Soyeon sembari mengeluarkan beberapa barang miliknya dari dalam tas.
"Begitulah. Aku pencari informasi yang hebat, bukan?" ujar Jihoon membanggakan dirinya sendiri.
Soyeon hanya mendeham. "Boleh juga."
"Tapi ...." Gadis itu menghentikan gerakan tangannya kemudian menoleh. "Tentang laki-laki yang semalam membuat kekacauan di studiomu, apa kau tidak mau mencari tau lagi?"
"Tentu saja akan kutemukan dia, tapi bukankah kalau aku sudah bilang padamu kalau kau tidak perlu repot-repot memikirkan ini?"
"Hmm ... iya, memang, tapi sepertinya aku tau dia siapa." Mata Soyeon meneliti setiap benda yang ada di atas meja. Namun, yang dicarinya tidak berada di sana.
"Kau bawa gelang itu? Aku mau melihatnya sekali lagi."
🍁🍁
Sejak awal pagi mulai bekerja, Soyeon seringkali terlihat tidak fokus. Berulang kali ia melakukan kesalahan yang sama. Sesuatu mengganggu pikirannya dan Jihoon sadar akan hal itu. Bukan sekali ia mengatakan pada gadis itu untuk istirahat saja jika kondisi tubuhnya sedang tidak baik, tapi Soyeon menolak.
Ketika waktu kerjanya sudah selesai, Soyeon cepat-cepat merapikan barang di atas mejanya. Jihoon yang ada di sampingnya itu hanya menatap Soyeon heran.
"Kau mau apa? Ke mana? Sepertinya terburu-terburu sekali."
Kalimat-kalimat yang diutarakan oleh Jihoon tidak dihiraukan oleh Soyeon. Gadis itu masih saja diam. Hingga akhirnya Jihoon tidak bisa lagi menunggu dan menahan tangan Soyeon dengan paksa.
"Hmm?"
"Aku antar, kau mau ke mana? Kenapa tergesa-gesa?" tanya Jihoon lagi, mengulangi kalimat yang sama.
"Jihoon-ah." Gadis itu menurunkan genggaman tangan Jihoon kemudian tersenyum. "Tidak perlu. Kau bisa langsung ke studio foto. Membereskan ruangan yang berantakan, 'kan?"
Soyeon mengerti apa yang ingin dilakukan oleh Jihoon. Jadi, kali ini biarkan gadis itu berjalan sendiri sesuai dengan apa yang direncanakannya.
Hatinya sudah mantap ingin bertemu dengan seseorang sepulang kerjanya. Orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah dia yang Soyeon duga sebagai pelaku kekacauan kemarin. Sebelumnya, Soyeon sudah sempat menghubungi laki-laki itu dan keduanya menentukan sebuah taman yang terletak tidak jauh dari kantor menjadi tempat pertemuan.
Soyeon juga telah meminta izin kepada Jihoon untuk membawa gelang perak—yang ditemukan di dalam studio foto—bersamanya. Benda itu menjadi satu-satunya bukti yang akan ditunjukkan Soyeon kepada laki-laki yang baru saja mengirimkan pesan. Ternyata ia sudah sampai dan sedang menunggu di taman tersebut.
Lantas, Soyeon bergegas meraih tasnya dan hendak pergi dari sana. "Aku pergi dulu, ya."
"Kalau ada sesuatu terjadi, kau bisa langsung menghubungiku atau temui aku di studio, ya. Hati-hati, Soyeon," tanggap Jihoon.
Gadis itu membalas dengan menunjukkan ibu jarinya kemudian beralih pergi.
🍁🍁
Jihoon baru sampai di studio miliknya. Seharusnya ini adalah hari kedua pembukaan gedung itu setelah diresmikan kemarin. Namun, nyatanya Jihoon harus menelan pil pahit dan menundanya lagi.
Lelaki itu membuka sedikit pintu kemudian menggeser gorden supaya sinar matahari bisa masuk ke dalam ruangan. Jihoon membuang napas berat sembari membenahi beberapa alatnya. Mengecek kondisi perlengkapan foto yang ada di sana, apakah masih berfungsi dengan baik atau tidak. Sayangnya, tidak semua benda itu masih mulus.
Jihoon mendecak. "Sebenarnya apa saja yang dilakukan oleh laki-laki itu? Apa itu benar-benar Daniel? Kalau benar, harusnya dia bisa bicara baik-baik denganku bukan seperti ini."
Ia menyisihkan barang-barang yang tidak layak pakai ke ruangan khusus penyimpan properti. "Untungnya alat-alat yang rusak bukan yang punya peran penting. Jadi, studio ini bisa dibuka lagi besok."
Jihoon tampak sibuk bolak-balik, ke sana dan ke mari. Secepatnya, studio itu harus kembali rapi seperti yang seharusnya.
"Ah, permisi." Suara seorang perempuan terdengar, tapi Jihoon masih memindahkan satu barang tersisa ke dalam.
"Maaf, Nona. Hari ini kami tidak buka, kembali saja besok lagi, ya," pekiknya dari dalam ruangan.
Namun, perempuan itu bukannya pergi melainkan berjalan masuk. Melangkah mendekati ruang tengah di gedung tersebut. "Kenapa tutup?"
Jihoon sedikit terkejut melihat siapa yang datang. Lagi-lagi Hana. Lelaki itu menyambut Hana dan mengajaknya untuk duduk terlebih dulu supaya lebih enak berbicara.
"Surat ancaman itu sudah hilang, tapi ternyata orangnya langsung bertindak ke studio fotoku." Jihoon menggeleng tidak percaya. "Semalam ia mengacaukan ruangan ini dan hari ini kuputuskan untuk menutup sementara studionya karena harus kubenahi sedikit."
"Mwo?! Sungguh?"
Mata Hana membulat, begitu pula mulutnya. Gadis itu menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa kemudian mengembuskan napas kesal.
"Aku juga tidak tau kenapa," keluh Jihoon, "tapi nanti pasti akan kutemukan siapa pelaku sebenarnya."
"Kau masih mencari-cari? Kang Daniel. Pasti dia. Aish, jinjja ... biar aku yang bicara dengannya."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro