Prologue
Isakan tangis seorang wanita dan juga tawa bahagia orang-orang dewasa menyelimuti sebuah ruang putih dengan bau khas obat-obatan. Wajah lelah itu tampak bahagia, meskipun tubuhnya dibanjiri keringat. Sebuah tangan kekar menggenggam tangan wanita itu.
"Dia perempuan," bisiknya lembut setengah terharu.
Air mata bening bisa terlihat di pelupuk matanya. Tak ada kata yang lebih telat menggambarkan suasana ini selain bahagia. Kelahiran sosok peri cantik dengan mata hitam kecoklatan. Rambutnya tipis, dan bibirnya yang terlihat begitu manis.
Hanya saja, orang-orang dengan seragam putih itu terlihat begitu panik. Berkali-kali dokter itu mencoba menggerakkan tubuh sang bayi. Bahkan, sesekali ia mencoba menepuk pantat kecilnya, tapi sayang hal yang diinginkan tidak mereka dapatkan.
Sesegera mungkin ia beraksi, dibarengi tatapan heran dan tegang yang lainnya. Tindakan akhir, ia memegang tubuh bayi itu pelan, mencoba membuat bayi itu mengeluarkan tangis pertamanya.
"Kenapa ini?" tanya seorang pria yang tadinya menggenggam jemari istrinya yang terbaring lemah.
Dokter itu terdiam sejenak. Namun, sedetik kemudian menyerahkan bayinya pada pria itu. "Bicaralah padanya," ujarnya.
Dengan tatapan yang masih heran, dia mengambil anaknya. Tangannya sekarang malah bergetar, takut sesuatu yang buruk terjadi.
Bayi itu masih saja menutup matanya, namun tangan mungilnya sudah bergerak, dan jemari kakinya menyentuh lengan ayahnya sendiri. Dia hidup, hanya saja tangisan itu tidak keluar dari mulutnya.
"Iby, iya ... kamu Iby, ini papa, Nak."
Suara berat itu membuat sedikit sentakan dari tubuh bayi itu. Bibirnya terlihat sedikit menurun, lalu tak lama setelah itu tangisan kecil mulai keluar dari mulutnya.
Wajah-wajah yang tadinya terdiam, sekarang terharu. Wanita yang tadinya kelelahan, berganti semangat dan berusaha menggapai anaknya yang baru saja dilahirkan ke muka bumi. Suatu keinginannya, mempunyai seorang anak perempuan.
"Feby, Iby. Feby Tyaga, Ma." Ucapan itu dibarengi air mata yang menetes dengan cepat.
Rasa haru menyelimuti, dan kini seorang penghuni baru telah lahir dalam keluarga mereka. Seorang bayi kecil yang nantinya akan memberikan keceriaan di atas rumah mereka, menggenapkan sebuah keluarga kecil.
"Feby Tyaga, selamat satang."
-oOo-
Terik matahari membuat panas menjalar begitu saja ke tubuh. Beberapa anak-anak sudah mengeluh, tidak ingin lagi bermain di luar.
"Enggak, deh. Aku mau pulang aja, panas banget, mama di rumah udah buatin jus." Seorang anak laki-laki menyeka keringatnya kemudian melempar sebuah bola berwarna hijau dengan garis-garis putih.
Anak-anak yang lain melihat satu temannya pergi menjadi ikut mundur dari arena. "Iya, panas banget ... besok-besok aja kita mainnya," ucapnya.
"Ih! Panas gimana? Adem-adem aja, kok .... Kalian semua jangan banyak alasan biar gak main. Sekarang giliran kalian yang jaga, lho! Aku belum main." Seorang gadis cerewet segera angkat bicara dia memandang sinis kelima temannya yang sudah bersiap untuk pergi.
"Besok aja, Iby. Aku juga mau makan ke rumah, laper, sekalian mau mandi, By. Soalnya panas banget ...." Gadis lainnya berusaha mengajak Iby.
Tapi, anak itu tetap saja keras kepala. Dia pergi ke arah rerumputan tempat teman laki-lakinya melemparkan bola kasti. Tak peduli lagi jika temannya yang lain akan pergi.
"Aku main sendiri aja, adem gini dibilang panas," kesalnya.
Setelah mengambil bola, dia segera membawanya kembali ke lapangan. Kemudian berusaha main lempar-lemparan dengan dirinya sendiri. Ah, lebih tepatnya mengejar bola.
Anak seumuran enam tahun itu tidak akan pernah peduli dia bermain dengan siapa, atau dia bermain apa. Yang ada di pikirannya hanya bermain, dan ya begitulah dia setiap hari.
Tiga temannya yang sudah kepanasan beranjak pergi, berbeda dengan dua teman perempuannya yang masih berdiri di tepi lapangan--memandang Iby yang masih sibuk dengan mainannya.
"Iby! Ayo, pulang! Vivi juga mau pulang ini, rumah kita 'kan deket." Vivi berusaha membujuk anak itu.
Tapi tetap saja, dia kerasa kepala, ajakan teman sekalipun akan ia hiraukan. Namun, Nana sendiri tak putus asa, dia malah berjalan kembali memasuki lapangan, dan menarik tangan Iby agar segera pulang.
"Gak mau! Iby masih mau main," katanya melawan.
Mata Vivi tak sengaja melihat kaki Iby yang terlihat kotor. Tapi, bukan itu yang membuatnya menatap kaki Iby. Dia melihat tanah-tanah kotor itu berwarna kemerahan, dan sedikit kental.
"Iby, kaki kamu kenapa?" tanyanya.
"Kenapa?" tanya Iby kembali, ia menatap kakinya sendiri. "Lho, berdarah?" kagetnya.
Vivi langsung terlihat panik, dia segera berteriak, "Om, Tante ... kaki Iby luka ...."
Tak perlu menunggu waktu lama, dua orang mendekat ke arah mereka, kemudian melihat kaki Iby yang bahkan masih mengenakan sandal.
"Om Dedy, kaki Iby kenapa?" tanya Vivi khawatir.
Dedy yang melihatnya langsung mengangkat Iby. Matanya membulat sempurna tatkala melihat sebuah paku berukuran sedang menancap di bawah sandal Iby. Satu kesimpulan, paku itu pasti menusuk kulit Iby juga.
Dengan langkah cepat, Dedy segera menggendong Iby ke rumahnya. Sementara anak itu masih saja diam, tidak paham kenapa orang-orang begitu panik melihatnya.
Jarak yang tidak terlalu jauh membuat mereka sampau dengan cepat. Segera mungkin Dedy membuka pagar besi rumah Iby, kemudian berteriak, "Na! Anakmu keinjek paku, cepat bawa ke Puskesmas."
Teriakan itu membuat mama Iby segera keluar bersamaan dengan suaminya--Reno. Mata mereka segera menatap Iby dengan ekspresi biasa, namun dengan kaki yang dipenuhi darah.
"Iby! Kenapa kamu gak nangis kamu nginjek paku?" panik mamanya.
"Enggak sakit, Ma. Kenapa Iby harus nangis?" jawab Iby polos, masih dengan tatapannya yang biasa.
"Sekarang juga gak sakit?" tanya Nana.
Anggukan dari Iby membuat Nana semakin panik. Dia segera mengkode Reno untuk segera menghidupkan mobil. Iby harus dibawa ke rumah sakit.
-oOo-
Baru opening, gais. Semoga suka. '-' Maaf kalau ada salah-salah kata dan bagaimananya. Oh, ya, ini didedikasikan untuk challanges menulis 30 hari bersama Saranghae Publisher.
Makasih. '-'
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro