Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3 - [Kenalan]

"Hai, Kak, nanya apa, Kak?" balas Iby, masih dengan jantung yang terpompa dengan begitu cepatnya.

"Enggak, cuman mau ngobrol bentar aja. Soalnya dari awal forum aku jarang kenalan sama anggota baru. Just ... wanna know each other."

Kata-kata dari Theo hanya bisa dibalas anggukan oleh Iby. Dia berusaha menyembunyikan wajah bahagianya karena diajak berbicara oleh crush-nya sendiri. Sudah tiga bulan dia di organisasi dan baru kali ini Theo mengajaknya berbicara berdua.

"Hem, kamu tinggal di?" tanya Theo lagi berusaha menghapus kecanggungan.

"Gak jauh, Kak. Di komplek D, eheheh."

"Wah, aku di komplek A, nih. Beda dua komplek, ya." Balasan dari Theo membuat Iby ikut terkekeh.

Oh, Tuhan. Beginikah rasanya jika berbicara dengan kakak kelas idaman?

"Jurusan?"

"IPA, Kak."

"Oh, gitu, aku--"

"Juga IPA, 'kan?" potong Iby cepat.

"Wah, iya kok tahu?" tanya Theo sedikit menaikkan bibirnya ke atas. "Jangan bilang kamu suka stalking?" tambahnya.

Iby menggeleng cepat. "Enggak, lah ... semua orang juga tahu, Kak. Apalagi, sering denger dari speaker sekolah yang manggil-manggil nama Kakak." Alasan Iby cukup kuat untuk membuat Theo percaya. "Dipanggil Theo kelas sebelah IPA dua untum segera menuju ruangan kepala sekolah. Hampir setiap minggu ada panggilan itu, siapa yang gak hafal coba?" tambah Iby balik bertanya.

Theo malah tertawa semakin menggelegar. Deretan giginya yang rapi terlihat oleh Iby, begitu manis dan memesona. Dia tak salah mengagumi seorang laki-laki seperti Theo jika sikapnya begitu baik seperti ini.

"Ehm ... bisa aja. Tapi, aku juga sempet denger tentang kamu, sih. Maaf, ya, kamu beneran gak bisa rasain sakit?" tanya Theo hati-hati, takut jika Iby tersinggung dengan pertanyaannya.

Sekarang malah Iby yang tertawa. "Iya, Kak, santai aja lagi ... aku udah biasa kayak gini, kok. Lagian, ini biasa aja dan malah bikin aku makin nyaman tanpa rasa sakit."

"Jadi, dari kecil gak bisa rasain yang namanya sakit?"

Anggukan dari Iby membuat Theo menghadang langkah Iby dan berhenti di depannya. Dia menatap wajah Iby lekat, kemudian menyipitkan matanya, melihat dengan seksama wajah mungil dan imut itu. Dua mata yang indah, alis tipis dan bibir mungil.

Tangan kanannya terangkat, mencoba bergerak perlahan ke arah pipi Iby. Iby yang kaget malah semakin deg-degan. Jantungnya sudah meronta-ronta meminta keluar, dia merasakan geli di pipinya dan tubuhnya membeku di tempat.

Cubitan singkat dari Theo membuat keduanya terdiam dalam keheningan. Iby yang tidak merasakan sakit, dan Theo yang menunggu respon dari gadis di hadapannya.

"Gak sakit?" tanya Theo memastikan.

Dia sudah yakin jika cubitannya akan membuat beberapa orang menjerit. Tapi, Iby tidak memberikan respon apa pun. Bahkan, gadis itu masih membatu dengan matanya yang indah menatap mata ramah milik Theo.

"By? Gak sakit?" ulangnya.

Seketika Iby tersentak. Dia mengedipkan matanya segera dan mundur beberapa langkah. "Eng-enggak, Kak. Gak sakit, kok. Malah geli dikit aja."

Kelakuan salah tingkah Iby malah membuat Theo kembali tertawa. Benar-benar receh humor laki-laki yang satu itu. Tapi, semakin Theo tertawa, malah semakin membuat jantung Iby terpacu. Ah, dia bisa saja jadi gila.

"Ekhem, udah berduaannya?" tanya sebuah suara dari belakang.

Tanti berdiri di belakang dengan tangan yang ia silangkan di depan dada. Senyumannya yang terlihat menyelidik membuat Theo dan Iby menunduk.

"Cuman kenalan, Kak." Theo berusaha menjelaskan apa adanya.

"Oh ... kenalan tapi udah cubit-cubitan, ya."

Theo dan Iby menatap satu sama lain. Mencoba mengelak dari apa yang dikatakan Tanti, namun terlambat mencari alasan. Otak mereka tidak bisa bekerja cepat saat itu, entah kenapa.

"Ok, gak apa-apa. Aku ke sini cuman mau manggil kamu, Theo. Soalnya tadi mau manggil tapi kamu udah kicep duluan ke luar ruangan. Iby, aku pinjem Theo sebentar, ya. Soalnya ada beberapa yang harus aku bilang sama dia," izin Tanti pada Iby.

Iby yang menjadi tidak enakan malah menggeleng cepat. "Iya, Kak. Ga-gak apa-apa. Bawa aja, Kak. Tadi kita juga cuman ngobrol ringan, kok."

Cengiran dari Iby membuat Tanti tertawa renyah. Dia kemudian berjalan kembali ke ruangan rapat disusul Theo--yang melambaikan tangan ke arah Iby.

Gadis itu membalasnya, tak mau melewatkan momen manis itu dalam hidupnya. Momen saat dia pertama kali bicara panjang dengan laki-laki idamannya dan bahkan bisa langsung akrab dan tertawa bersama!

Iby menggeleng cepat. Menghilangkan semua halu yang melayang begitu saja di dalam pikirannya. Dia sudah membayangkan bagaimana jadinya jika dia dan Theo bersama. Benar-benar sudah terlalu fanatik gadis ini.

"Astaga! Papa!" seru Iby saat menyadari sesuatu.

Dia segera berlari di lorong sekolah. Melewati ruangan demi ruangan untuk mencapai gerbang depan sekolah.

Seperti biasanya dan akan terjadi seterusnya. Dia selalu diantar dan dijemput papanya. Jika bukan papanya, ada kakaknya--Linggar--yang akan terus mengawasinya.

Jikalau boleh jujur, Iby sedikit tidak suka dengan sistem orangtuanya--yang begitu mengekang dirinya. Mulai dari makanan, sampai dengan kendaraan dan juga jam bermain. Semuanya sudah diatur, dan itu teruntuk Iby seorang.

Kakaknya yang sekarang sedang dalam masa kuliah semester tiga dibiarkan begitu saja. Berbeda dengan dia, yang dilarang ini, itu, dan lainnya. Berat memang.

Akhirnya, setelah berlari cukup cepat, Iby sampai di gerbang sekolah. Dia menatap kiri dan kanan, melihat mobil yang terparkir di sana. Tidak ada. Artinya semua guru sudah pulang.

Tapi, biasanya jam segini dia sudah dijemput dan papanya pasti sudah parkir di depan gerbang dengan seragam kantoran.

Iby menghela napasnya pelan. Bersamaan dengan bunyi pesan di ponselnya. Iby segera membuka, saat mengetahui pesan itu dari papanya--Reno.

Daddy
Iby, maaf, ya. Papa ada rapat penting hari ini, dan gak bisa ditinggalin. Harus lembur. Iby akan dijemput sama kak Linggar, ya.

Gadis itu hanya bisa tersenyum masam. Dia berharap Linggar benar-benar menjemputnya dan tidak terlambat. Karena jujur saja, dia sendiri tidak tahu bagaimana akan naik kendaraan umum. Mencobanya saja dia tak pernah.

Ia memutuskan untuk duduk di tangga penurunan. Menatap jalanan dan parkiran sekolah yang mulai kosong. Dia pribadi mulai takut dan khawatir, jika saja tak ada yang menjemputnya, maka ...

Lamunan Iby berakhir ketika sebuah suara motor mengagetkannya. Motor itu melaju di depan gerbang, melewati Iby dengan sedikit tatapan dingin--yang menoleh dari balik helm-nya.

"Kak Galih, ya?" bisik Iby pada dirinya sendiri, memastikan siapa orang itu.

Dia mengangguk sendiri. Menjawab pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Tak salah lagi, itu laki-laki yang tadi mendukung argumen Theo. Mereka berdua benar-benar akan menjadi pasangan yang bagus dalam lomba debat.

"Eh, Iby belum pulang?"

-oOo-

Sekian, terima gaji.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro