Bab 16 - [Penampakan]
Iby rebahan di atas kasur, memikirkan kenangan manis yang baru saja ia lakukan tadi. Benar-benar pengalaman yang tak akan ia lupakan.
Perlakuan manis Theo membuatnya semakin luluh, apalagi saat laki-laki itu mengambilkan kursi untuknya, mengambilkannya makanan, dan mengusap bibirnya karena es krim yang ia makan berserakan.
Tak pernah ia bayangkan sebelumnya, seorang gadis biasa seperti Iby akan bisa dekat dengan raja sekolah. Kalau dipikir-pikir lagi, cerita sudah seperti beauty and the beast, dialah yang menjadi buruk rupanya di kisah itu. Dan Theo adalah pangeran sempurna yang pernah ia kenal.
Tangan Iby mulai membuka foto-foto dia dan Theo tadi siang. Senyuman yang tulus dari Theo yang tampan, dan Iby yang begitu manis.
Siapapun yang melihat itu, mereka pasti sudah dikatakan sebagai pasangan baru. Karena memang kedua terlihat begitu senang dan cocok.
Iby terus saja memandangi semua fotonya, masih dengan senyuman di wajahnya. Sampai-sampai, dia tidak menyadari jikalau Linggar sudah berdiri di belakangnya dan menatap semua foto-foto itu.
"Kenapa kamu, Dek?" tanya Linggar tiba-tiba--membuat Iby sontak menutup HP-nya. "Kakak udah lihat lagian," lanjutnya.
"Ih, ngapain sih, Kak? Ganggu orang aja," kesal Iby segera duduk.
Linggar duduk di sebelah tempat tidur adiknya, dan mulai menatap adiknya dengan pandangan serius.
"Kakak gak mau di sini kamu bahas umur kamu dan bilang kamu udah gede ya, By. Tapi, kamu tahu sendiri penyakit apa yang ada di kamu, Iby. Kalau kamu terlalu lelah, semua kemungkinan penyakit yang nyerang kamu itu lebih banyak.
Kamu tahu sendiri, kan? Gimana mama sama papa jaga kamu dari kecil. Berusaha jaga kesehatan kamu terus dan gak bikin kamu kecapean, walaupun kamu gak pernah ngeluhin tentang itu, By."
"Udah, Kak. Iby gak mau bahas gini," ketua Iby mengalihkan pandangannya.
Dia menyembunyikan air matanya yang perlahan mulai menetes karena kata-kata Linggar. Suaranya benar-benar pelan dan menyentuk, sampai-sampai Iby ingin menangis.
"Kamu boleh nangis denger ini, By. Tapi, kakak mohon banget sama kamu buat sadar sama diri kamu sendiri, Iby. Jangan paksain kamu ikut ini itu, dan ke sana ke mari. Kamu emang gak ngerasain lelah, panas, sakit ataupun dingin di tubuh kamu, By. Sejatinya sakit itu tetap ada, walaupun tak ada rasa," lanjut Linggar.
Kini, Iby tak sanggup lagi berkata-kata. Dia berdiri dan menarik tangan Linggar agar keluar dari kamarnya. Linggar kembali mengingatkannya pada kekurangan terbesarnya, menjadi seorang gadis penyakitan dan lemah.
Linggar pun tak mengubris saat Iby mendorongnya keluar. Dia hanya merasa tak tega melihat Iby sekarang. Dia bahagia, sementara kesehatannya belum yentu demikian.
Gadis itu mengunci pintu kamarnya. Dia dengan cepat merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memikirkan semua kata-kata dari Linggar. Padahal, sebenarnya dia hanya ingin bahagia seperti remaja kebanyakan. Tanpa kekangan, dan kekhawatiran yang terlalu dari keluarganya. Namun, sepertinya Iby tidak akan pernah merasakan itu.
Dia kembali mengambil ponselnya dan menatap sebuah foto yang kebetulan terbuka di sana. Foto dia bersama Theo dengan senyuman manis memegang dua es krim.
Satu hal membuat dirinya salah fokus. Dia melihat seorang laki-laki dengan jaket hitamnya dan duduk tepat pada dua meja di belakang dia.
"Ini kak Galih?" bisik Iby sedikit tidak percaya.
Dia kemudian men-zoom foto itu dan memastikan jikalau apa yang ia lihat itu tidak salah.
"Seriusan ini kak Galih? Ngapain dia ke sana tadi? Sendirian lagi!" seru Iby tak percaya.
Dia lalu melihat beberapa fotonya lagi, mulai dari kafe yang dia kunjungi, sampai taman tempat mereka berempat bermain. Tapi benar, wajah Galih hanya terlihat di satu foto itu, yang lainnya tak ada.
Pikiran Iby menerawang ke mana-mana. Dia mulai memberikan sugesti pada dirinya sendiri bahwa itu hanya kebetulan dan Galih mungkin sedang jalan-jalan dan makan es krim di sana.
"Ya, kak Galih cuman kebetulan ada di sana lagi nikmatin liburan sendirian!" yakin Iby pada dirinya.
-oOo-
Hari terus berlalu, bahkan pemilihan ketua OSIS sudah selesai. Theo mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan. Dan pelantikan akan dilaksanakan hari Senin saat upacara bendera.
Laki-laki itu terlihat bahagia karena mimpi yang ia inginkan selama ini dapat tercapai. Gelar Ketua OSIS itu bisa ia dapatkan dengan kerja keras yang telah ia lakukan.
Saat ini, Theo duduk di meja belajarnya, memandangi ponselnya terus menerus dan membalas pesan yang ada di sana. Benar, kedekatannya dengan Iby semakin terlihat. Setelah menghabiskan waktu libur satu hari itu, mereka semakin dekat dan saling mengirimkan pesan satu sama lain. Mutualan media sosial, dan mengikuti pelatihan olimpiade Kimia bersama-sama.
Jelas sekali, Iby hanya memasuki apa yang dimasuki Theo. Namun, OSIS bukan keberuntungannya, karena dia tak bisa memasuki itu.
Theo terus meyakinkan Iby untuk memasuki yang lainnya. Seperti Pramuka, basket, PKS, dan organisasi lainnya. Iby pun sudah mendaftarkan dirinya ke dalam organisasi itu, berharap keberuntungan kali ini beralih padanya.
"Iya, tenang aja." Sebuah suara membuat pikiran Theo teralihkan.
Dia segera berjalan ke luar kamar dan meninggalkan HP-nya di atas meja belajar yang masih membuka room chat Whatsapp dengan Iby.
Kakinya terhenti, saat berada di ruang tamu, melihat ayahnya dengan seorang wanita. Lagi. Hal yang selalu saja ia lihat paling kurang satu kali seminggu. Itu pulalah yang menjadi hal yang sangat tidak ia sukai.
Geram, Theo melangkah mendekati ayahnya yang berpelukan dengan wanita itu dan tertawa bersama. Tangannya mengambil sebuah vas bunga, kemudian memecahkannya persis di depan mereka berdua.
"Apa-apaan kamu ini?!" bentah ayah Theo emosi.
Theo hanya tersenyum sumringah, dia menatap ayahnya penuh kebencian. "Apa-apaan ini? Wanita yang berbeda lagi? Apa ayah gak mikirin perasaan ibu?" kesalnya.
Pria paruh baya itu semakin naik pitam mendengar perkataan anak satu-satunya. Dia menarik tangan Theo, dan mengusirnya keluar. Memberikan satu pukulan keras di pipinya.
"Jika kau mengulangi ini untuk ketiga kalinya, jangan harap kau bisa tinggal di sini lagi!" usirnya.
Mata Theo berkaca-kaca. Dia berusaha tegar dengan apa yang ia hadapi sekarang. Seolah-olah saat ini dia sudah tidak memiliki orang tua yang akan mengayominya. Ibu yang sudah meninggal, dan seorang ayah yang sama sekali tidak berperasaan.
Theo menaiki motornya, pergi ke tempat biasanya dia melarikan diri jika berada dalam situasi yang sama.
-oOo-
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro