Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

With

[Name] memakai jaket merahnya. Ia hanya membawa dompet dan ponselnya di dalam tas selempang miliknya. Gadis itu menatap dirinya di depan cermin. Merasa cukup, [Name] keluar kamar menemui Risaki yang sudah menunggu di luar. Gadis itu tampak gugup.

"Maaf lama~" Atsumu keluar duluan, "Selamat pagi!" Pekiknya riang.

"Selamat pagi, Atsumu-kun," balas Risaki.

"Pagi, Atsumu," kata [Name].

Beberapa detik kemudian Osamu datang dan mengunci pintu. [Name] menatapi fashion keduanya. Atsumu menggunakan kaos putih yang di balut kemeja abu-abu tanpa satupun kancing yang dikaitkan. Ia mengenakan celana jeans berwarna navy. Sedangkan Osamu menggunakan kemeja putih dibalik sweater birunya. Pemuda berambut kelabu menggunakan celana jeans berwarna hitam.

"Kalau begitu kami duluan! Selamat berkencan~~"

Atsumu menarik tangan [Name] untuk pergi lebih dulu. Meninggalkan Osamu dan Risaki yang tengah terdiam. Sang pemuda berambut kelabu menghela nafas. Ia berjalan lebih dulu dari gadis bernetra hazel itu.

"Mau kemana?" Pertanyaan Osamu membuat Risaki tersentak.

"Ah, iya," gadis itu segera menyamai langkahnya dengan sang pemuda.

Sementara di sisi lain, Atsumu membawa [Name] menuju stasiun terdekat. Gadis itu tampak heran saat melihat pemuda berambut pirang itu membeli tiket ke daerah Shibuya. Waktu bebas mereka hanya sampai jam sepuluh malam. Bukankah lebih baik berkeliling Asakusa saja?

"Atsumu, kenapa kau kemari?" Tanya [Name] sesaat setelah mereka duduk berhadapan di dalam kereta.

"Hanya ingin. Ada yang ingin kukunjungi di Shibuya. Temani aku ya?" Kata Atsumu.

[Name] terdiam. Toh menolakpun tidak ada gunanya. Ia sudah berada di shinkansen dalam perjalanan menuju ke sana.

"...mengunjungi patung Hachiko?" Tanya [Name].

"Hahaha, mana mungkin kan?" Atsumu lebih memilih berkutat dengan ponselnya setelah itu.

[Name] juga melakukan hal yang sama. Gadis itu membuka pop up pesan dari ibu kembar Miya. Yang menanyakan apakah perjalanannya lancar, apakah Asakusa menyenangkan, apakah Atsumu dan Osamu baik-baik saja, dan meminta maaf atas kelakuan buruk si kembar. [Name] menjawabnya seadanya.

Atsumu dan [Name] berkeliling di Shibuya. Bahkan pemuda berambut pirang itu sudah membawa [Name] pergi menaiki 2 bus demi mengunjungi toko yang menjadi incaran Atsumu.

“Atsumu, apa ini tidak terlalu jauh?” tanya [Name]. Atsumu tertawa. Pemuda itu mengibaskan tangannya.

“Tidak kok. Tenang saja. Bukan masalah,”

Mendengar perkataan Atsumu, sang gadis berambut ombre coklat hanya bisa mengangguk ragu. Mengikuti pemuda berambut pirang dalam diam.

Ini adalah toko ke delapan yang sudah mereka kunjungi. Atsumu seperti anak gadis, ia melihat-lihat barang cukup lama di masing-masing toko. Namun beberapa kali keluar dengan tangan kosong. [Name] sama sekali tidak melayangkan protes dengan kelakuan menyebalkan Atsumu. Toh, memangnya dia siapa?

Bunyi dering telepon dari ponsel Atsumu menginterupsi kegiatan melihat-lihat sovenir. Ia tampak membuka dengan tergesa-gesa setelah melihat display name yang tertara.

"Sekarang? Oke. Aku akan segera ke sana," sambungan telepon diputus.

Atsumu menoleh ke arah [Name] dengan cengiran. Sang gadis yang berdiri di sebelahnya menatap heran.

"Aku ada acara jam setengah lima sore di Shibuya. Maaf lupa memberitahumu. Aku duluan," Atsumu berlari. Gadis bernetra gold itu mengerjapkan matanya.

"Tunggu—Atsumu!"

Panggilan diabaikan. Atsumu bahkan sudah menghilang saat [Name] mengejarnya sampai pintu toko. Berapa kalipun ia menoleh sekeliling. Figur tegap seorang Miya Atsumu sudah hilang dari pandangannya.

[Name] mengeratkan cengkramannya pada tali tas selempang. Seketika teringat kembali kelakuan buruk Atsumu yang dibicarakan oleh kembarannya tadi malam. Gadis berambut coklat itu menggertakkan giginya. Harusnya ia tidak sepenuhnya percaya pada Atsumu.

Karena walaupun pemuda itu sangat tahu caranya memulai percakapan, atau caranya mempertahankan pembicaraan, Miya Atsumu memang selalu berlaku seenaknya. Datang saat dia sedang butuh dan pergi semaunya. Berbanding terbalik dengan Osamu yang berbicara sarkas, tetapi kelakuannya lebih manusiawi.

Jam menunjukkan pukul lima sore dilayar ponselnya. [Name] membuka aplikasi map, mencoba mencari jalan pulang walaupun ia akan sedikit kesulitan. Namun tepat saat map mulai menunjukkan arah, layar ponselnya berubah menjadi hitam. Gadis itu berdecak.

[Name] berniat memasuki toko kembali guna membeli map. Namun tubuhnya ditabrak kencang saat berbalik. Gadis itu jatuh terduduk di atas jalan setapak. Meringis, [Name] menoleh kesal pada orang yang tetap berlari kencang sesaat setelah menabraknya.

Gadis coklat itu bangkit dan memasuki toko. Mencari-cari map yang menurutnya mudah dibaca. Tetapi saat ia hendak memeriksa jumlah uangnya, [Name] tidak mendapatkan dompetnya dimana pun. Gadis itu mulai panik.

"Maaf, toko akan ditutup jam setengah enam," teguran halus dari seorang perempuan berambut pendek membuat gadis itu tersentak.

"Ah, iya. Sebentar lagi aku membayar," kata [Name].

Gadis itu mengambil beberapa camilan sesuai dengan jumlah uang receh yang tersisa di tas selempangnya. [Name] merasa ingin menangis. Dadanya sesak. Namun tidak ada setetes air matapun yang keluar.

Dompetnya hilang, ponselnya mati, bertanya dimana stasiun terdekatpun akan percuma. Atsumu dan dirinya menaiki bus selama dua puluh menit menuju ke tempat ini. Dan uang receh yang masih ada tidak cukup untuk membawanya menaiki kendaraan umum. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengganjal perut sambil menunggu bantuan datang. Ia segera membayar camilan tersebut. Sambil menunggu proses penghitungan harga, [Name] bertanya.

"Apa aku boleh meminjam telepon toko ini? Aku terpisah dengan temanku,"

"Ah, tentu saja. Silahkan digunakan," gadis itu memutar telepon toko menghadap [Name].

Gadis berambut coklat itu mencoba untuk menghubungi Osamu. Di-dial-nya nomer sang pemuda berambut kelabu. [Name] bersyukur pernah mencoba menghafalkan nomor milik Osamu. Namun beberapa kalipun dicoba. Sang pemuda bernetra kelabu tak kunjung menatap teleponnya. Gadis itu beralih mencoba menelpon sang ibu dari si kembar Miya.

"Ah, maaf, Tante Miwako. Ini [Name]. Bisa tolong beritahu Osamu kalau [Name] berada di Shibuya?"

"[Name]-chan! Kenapa kau bisa ada di Shibuya?" Pekikan panik dari seberang membuat [Name] mengusap tengkuk bingung.

"...[Name] tersesat. Tadi teman [Name] pergi duluan karena ada urusan dadakan. Tolong beritahu Osamu [Name] sedang berada di daerah cat street," kata [Name].

"Iya, akan kuberitahu secepatnya. Maaf tidak bisa menyusulmu karena aku dan Akihara-kun sedang dalam perjalanan bisnis,"

"Tidak, harusnya [Name] yang meminta maaf karena sudah menyusahkan Tante Miwako. Terima kasih sudah membantu,"

"[Name]-chan jangan kemana-mana! Tunggu saja di daerah sana. Cat street tidak terlalu luas untuk dikelilingi,"

"Baiklah. Sekali lagi terima kasih, Tante Miwako," panggilan diputus.

"Terima kasih. Aku akan mengganti pulsanya," mendengar itu, gadis dihadapannya terkekeh.

"Tidak perlu. Ini," plastik berisi camilan disodorkan.

“Terima kasih,”

[Name] keluar dari toko dan segera menuju taman yang berada di desa itu. Gadis berambut coklat itu sempat bertanya dengan sang gadis penjaga toko. Apakah ada tempat yang bisa ia jadikan tempat bernaung sementara, dan mendapat jawaban kalau ia harus membeli sesuatu jika ingin memasuki toko yang lain. Menunggu di depan toko dalam waktu yang tak ditentukan juga bukan pilihan yang bagus.

[Name] memutuskan untuk duduk pada kursi kayu di bawah pohon sakura di taman dekat toko tadi. Gadis itu mulai menyantap makanannya. Kembali memikirkan mengapa Miya Atsumu selalu bertindak seenaknya. Sampai sebuah suara kembali terngiang dibenaknya.

Memangnya dia siapa?

Hanya seorang gadis yang beruntung bisa tinggal di rumah keluarga Miya setelah menolong ibu si kembar. Gadis yang sudah tidak punya keluarga untuk kembali. Yang sangat berterima kasih pada Miya Miwako dan Miya Akihara yang sudah mau merawatnya.

[Name] tidak punya hak memprotes. Ia tidak bisa bersikap egois. Karena itu sang gadis tidak mencoba menelpon Atsumu. Padahal tahu jelas kalau sang pemuda pasti tidak terlalu jauh perginya. Namun tidak bisa karena takut menganggu acara sang pemuda. Atsumu yang sedang marah itu menakutkan. [Name] melihatnya saat pemuda pirang itu menatap tajam para gadis yang menganggunya saat bermain voli.

[Name] merasa sesak. Ia tidak tahu jalan pulang. Duduk di taman dengan lampu redup. Sendirian di hari yang menjelang malam. Udara dingin mulai menusuk kulit, gadis itu mengeratkan jaketnya. [Name] merasakan kesepian. Rasa yang dulu mampu membuatnya kehilangan akal sampai berpikir untuk mengakhiri hidup di usia empat belas tahun. Gadis itu takut, ingin menangis, tetapi air matanya sama sekali tidak menetes. Yang bisa ia lakukan hanya percaya pada Osamu.

Sementara di sana, Osamu tengah terperangah mendengar celotehan panik ibunya. Pemuda itu menggertakkan giginya saat tahu Atsumu meninggalkan [Name]. Apalagi membawanya ke tempat yang jauh. Nomor Atsumu beberapa kali di-dial. Namun tidak tersambung. Risaki yang melihat Osamu mengumpatkan nama kakak kembarnya teringat dengan pesan singkat Atsumu.

"Ah, aku lupa memberitahumu. Tadi Atsumu-kun bilang ia ada acara di Shibuya. Bertemu beberapa kenalannya. Katanya dia sudah menyuruh [Name]-san untuk pulang ke hotel duluan. Tenang saja, kalaupun kesulitan mencari jalan, ada aplikasi map kok," mendengar itu, umpatan Osamu semakin terdengar.

"Brengsek! Dia itu tidak tahu caranya membaca peta!"

Pemuda itu pergi berlari meninggalkan Risaki. Tidak mempedulikan namanya yang diteriakkan gadis itu. Kakinya melangkah ke arah stasiun secepat yang dia bisa. Asakusa dan Shibuya itu lumayan jauh. Apalagi Osamu baru saja menghidupkan ponselnya saat waktu perjanjian jalannya dengan Risaki sudah habis. Namun langsung dikejutkan dengan banyaknya misscall tak di kenal dan ibunya. Sudah jam enam malam. Mengetahui [Name] menelpon menggunakan nomor lain, berarti ponselnya mati.

Osamu terus berlari. Dalam hati terus mengumpati Atsumu. Pemuda itu berdoa semoga [Name] baik-baik saja. Mengingat walaupun keduanya sempat mengabaikan keberadaan gadis itu dirumahnya, [Name] tetap memasakkan makanan untuk mereka saat orang tuanya pergi keluar daerah. Bahkan sampai membuat makanan kesukaan mereka.

Hujan deras membasahi Shibuya saat Osamu sampai di stasiun pemberhentiannya. Pemuda itu membeli sebuah payung di kios stasiun. Lalu kembali berlari menerobos hujan. Melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah delapan malam, Osamu rasanya ingin membuang kembarannya ke palung mariana.

Sementara [Name] tetap berdiam diri di bawah pohon. Tidak mempedulikan jaketnya yang mulai basah. Gadis itu sudah tidak peduli lagi. Sudah hampir empat jam ia menunggu.

Keputusannya untuk percaya pada Osamu sudah mulai mengikis. Tapi ia tidak bisa menyalahkan pemuda itu karena jarak Asakusa ke Shibuya memang cukup jauh. Apalagi Osamu harus mencarinya di daerah Cat Street yang ramai. Kalau nanti dirinya ditemukan oleh pemuda berambut kelabu tersebut, ia akan meminta maaf. Tapi kalau tidak, [Name] sudah tidak mau peduli lagi.

Gadis itu membiarkan rintikan hujan deras mengenai dirinya. Ia mengangkat kakinya ke atas kursi kayu, memeluk kedua lutut. Kemudian menenggelamkan kepalanya dilipatan tangan. Dinginnya air hujan menusuk kulit. [Name] menghela nafas pasrah, ia sudah tidak mengharapkan apapun lagi.

Di tengah gelapnya malam yang menyisakan lampu redup taman, dengan diselimuti air hujan, gadis berambut coklat itu mulai menyanyi dengan suara lirih. Bahkan hampir tidak terdengar. Yang ia inginkan hanya memecah keheningan yang membuatnya merasa kesepian.

"...I'm waitin' in the dark
I thought that you'd be here, by now
There is nothing but the rain
No footsteps on the ground
I'm listening but there's no sound," Jeda beberapa detik sebelum ia melanjutkan nyanyiannya.

"Isn't anyone tryin' to find me?
Won't somebody come take me home?
It's a damn cold night
Trying to figure out this life
Won't you take me by the hand take me somewhere new
I don't know who you are but I..."

Gadis itu memejamkan netra gold miliknya. Menajamkan indra pendengarnya. Walau ia tak bisa mendengar suara apapun karena terhalau suara derasnya rintikan hujan.

"...I'm looking for a place
I'm searching for a face
Is anybody here, I know
'Cause nothing's going right
And averything's a mess
And no one likes to be... alone,"

[Name] mengeratkan pelukan pada lututnya. Semua hal tentang betapa mengerikannya taman ini ketika malam hari—terlihat dari lampu redup dan gelapnya malam—diabaikan. Lagipula ia tidak takut hantu. Yang ada dipikirannya adalah kesendirian yang menyesakkan.

"...Why is everything so confusing?
Maybe I'm just out of my mind,"

"...It's a damn cold night
Trying to figure out this life..."

[Name] merasa rintik hujan tidak lagi mengenai dirinya. Gadis itu sedikit mengangkat kepala. Melihat sepasang sepatu sport berwarna putih-biru di depannya.

"Won't you take me by the hand? take me somewhere new
I don't who you are but I..." sambil tetap melanjutkan nyanyiannya, ia menengadah.

Netra gold-nya bertatapan dengan netra kelabu milik Osamu. Pemuda itu memayungi sang gadis. Membuat dirinya terkena rintikan hujan deras. Nafas pemuda berambut kelabu itu tak beraturan. Walaupun suhu malam ini dingin menusuk, pelipis Osamu penuh dengan peluh. Ia menatap [Name] dengan ekspresi lega.

"...I'm with you..." [Name] menyelesaikan nyanyiannya.

"Pegang dulu," kata pemuda itu sambil menyerahkan payungnya.

[Name] menurut. Gadis itu memposisikan payungnya lebih dekat pada Osamu, toh dirinya sudah basah kuyup. Percuma memakai payung. Gadis itu mengerutkan keningnya heran saat pemuda itu melepaskan sweater birunya dan memberikannya pada [Name].

"Tidak us—"

"Pakai,"

Gadis berambut coklat itu terdiam sebentar sebelum akhirnya menerimanya. Ia memakai sweater Osamu setelah pemuda itu mengambil alih payungnya. Pemuda bernetra kelabu itu sedikit tersenyum geli saat melihat tubuh [Name] yang tenggelam karena sweater-nya sangat kebesaran. Osamu mengulurkan tangannya.

"Ayo pulang," katanya.

[Name] menatap uluran tangan sang pemuda, kemudian meraihnya. Osamu membantunya berdiri, kemudian menariknya untuk berjalan di bawah naungan payung yang sama.

Sebenarnya Osamu tidak suka menyentuh lawan jenis. Tetapi melihat keadaan mengenaskan gadis itu, Osamu tidak bisa bersikap dingin seperti biasa. Genggaman tangan dipererat saat pemuda itu sadar bahwa tangan [Name] sudah sedingin es. Gadis itu menoleh ke arah Osamu, namun sang pemuda tetap menatap ke arah depan.

"Berapa lama kau menunggu?" Tanya Osamu. [Name] terdiam. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke jalanan depan.

"...sekitar empat jam," katanya dengan suara yang mulai serak. Osamu menggertakkan giginya.

"Brengsek!"

[Name] tidak tahu itu umpatan untuk siapa. Tetapi ia yakin sekitar 70% ditujukan pada Miya Atsumu. Mengingat dialah yang meninggalkan [Name] dan membuat Osamu kesulitan. Gadis itu menunduk.

"...maafkan aku," katanya lirih.

"Jangan minta maaf! Harusnya aku tidak membiarkanmu pergi dengan Tsumu! Si bajingan itu sudah membuatmu hampir membeku dan membuat kaa-san khawatir!!"

Emosi sang pemuda kelabu memuncak. Nada suaranya tinggi membentak. Ia mengepalkan tangannya. Wajahnya bahkan memerah karena marah. Namun beberapa menit kemudian setelah menenangkan diri, ia menghela nafas.

Sudah jam sembilan—mereka tidak bisa mengejar waktu keberangkatan kereta terakhir. Terkejar pun mereka akan sampai kira-kira tengah malam. Dan lagi, keadaan gadis disampingnya tak memungkinkan untuk berjalan sampai stasiun. Osamu memutuskan untuk memasuki penginapan terdekat. [Name] diam saja, membiarkan Osamu mengurusi segala administrasi.

"Dengan nama Miya Osamu dan Miya [Name]," kata pemuda itu.

"Ah maaf, hanya tersisa satu kamar. Apa kalian mau tidur berdua?" Tanya penjaga penginapan.

Osamu menatap ke arah [Name] yang mulai tidak fokus. Gadis itu terdiam dengan pandangan lurus dan wajah memerah—bukan karena malu. Osamu yakin gadis itu sama sekali tidak mendengarkan ucapan sang penjaga penginapan. Karena pemuda berambut kelabu itu sadar kalau nafas sang gadis mulai berat.

"Tidak apa. Sepertinya adikku mulai sakit karena kehujanan," putus Osamu.

Pemuda itu memasuki kamar bernuansa tradisional. Ia meletakkan barangnya di atas meja, kemudian menggelar futon untuk [Name]. Osamu menyerahkan sebuah baju penginapan dari lemari kayu.

"Mandi dengan cepat. Jangan sampai kau jatuh pingsan,"

[Name] menuruti perkataan Osamu. Ia kembali lima belas menit kemudian dengan yukata tidur. Gadis itu berbaring di atas futon yang disiapkan Osamu. Sedikit memijat pelipisnya yang mulai berdenyut, gadis itu menoleh saat mendengar pintu ruangan di geser. Osamu berjalan mendekatinya.

"Aku tahu kalau kau tidak mendengarkan perkataan penjaga penginapan. Kamar yang tersisa hanya satu. Tenanglah, aku akan memasang sekat," pemuda itu menunjuk sebuah sekat lipat di pojok ruangan.

"Aku juga membeli obat demam dan roti. Aku sudah mengabari kaa-san, ia akan mengabari pihak sekolah. Besok pagi kaa-san akan datang ke sini. Dan lagi aku belum bisa menghubungi si bajingan Tsumu,"

[Name] menerima roti dan obatnya sambil menggumamkan terima kasih. Gadis itu langsung meminum obat. Setelah itu kembali merebahkan diri. Tertidur karena obat yang diminumnya.

Tepat ketika itu, ponsel Osamu berdering. Melihat nama 'Orang Gila' di layar ponselnya, Osamu kembali naik pitam. Ia menuju beranda kamarnya. Membentak dan memaki seorang Miya Atsumu tanpa membiarkan kembarannya menyela. Atsumu pasrah saja diomeli adiknya. Toh, kali ini benar-benar salahnya meninggalkan [Name] seenaknya.

“Tsumu kau bajingan gila!! Akibat sifat burukmu itu [Name] terkena demam! Tubuhnya menggigil dan terasa hampir membeku karena kehujanan, brengsek! Sialan kau Tsumu, kalau mau mempermainkan perempuan, jangan [Name]!! Kau tidak pernah memikirkan kalau [Name] selalu baik pada kita?!”

Pemuda berambut kelabu menghabiskan waktu selama hampir satu jam mengomeli kakak kembarnya. Sedangkan Atsumu dengan telinga yang sudah panas mendengar umpatan adiknya tanpa bisa membalas hanya bisa menghela nafas lega saat Osamu memutus panggilannya. Pemuda berambut pirang itu merasa bersalah pada [Name]. Padahal selama ini gadis itu sangat baik padanya. Malam itu juga, Atsumu mengirimkan sebuah pesan permintaan maaf ke ponsel sang gadis.

Song : I'm with you - Avril Lavigne

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro