001 "I Got You, Baby Girl"
Sekali lagi aku menatap cermin, aku berharap aku cukup terlihat dewasa. Mungkin hidung yang lurus, bukan hidung yang kecil, atau bibir penuh, bukan bibir yang terlihat terbuka dan sedikit memberengut.
Dan mata kucing yang tajam... aku berharap punya mata kucing bukan mata bulat yang terlalu besar untuk wajahku.
Renne sudah bilang berkali-kali, kalau aku tidak menggunakan lisptik merah, aku tidak akan punya kesan dewasa sama sekali, dan petugas akan membawaku karena anak di bawah umur tidak boleh bekerja di kelab.
Padahal, hanya bekerja.
Seperti yang kubilang, kalau saja aku punya umur beberapa tahun lebih tua. Mungkin lima tahun lebih tua dan bukannya masih berumur delapan belas, aku tidak akan perlu terlalu depresi seperti ini melihat wajahku.
Well, tidak setiap saat aku depresi melihat cermin. Hanya setiap malam ketika aku akan bekerja di sini.
"Wow, ini busa?" Renne terkekeh sambil menunjuk dadaku, seperti biasa dia datang tiba-tiba tanpa peringatan, dia berdiri di belakangku dengan wajah mengejek.
"Shut up." Gumamku tanpa nada. "Aku akan buat dada ini jadi sungguhan."
Renne adalah semacam... senior di tempat ini, aku bertemu dengannya di perpustakaan tempat aku bekerja pada pukul dua siang, dia tahu aku seorang workaholic jadi menawariku bekerja di kelab ini. Dan dia juga menjadi teman dekat semenjak aku tidak punya banyak teman lagi karena kebanyakan dari mereka pergi kuliah.
"Seriusan?" ejeknya sambil mendengus. "Kau sudah bilang itu setidaknya lima bulan lalu saat pertama kerja."
"Ini sedang proses." Tukasku sambil berkedip, aku masih depresi ngomong-ngomong.
Renne menepuk-nepuk kepalaku. "Kalau begitu, segera pergi dari hadapan cermin ini, atau Madam Senna akan marah."
"Meskipun aku terlambat lima jam, Madam Senna tidak akan marah padaku."
"This brat...!!" kutuknya sesaat sebelum hendak menoyor kepalaku, tapi tahu bahwa aku benar, jadi dia menjauh. "Harus bagaimana lagi, aku tidak bisa menyangkalnya."
Kuberi dia senyuman jahil lewat cermin yang hanya membuatnya memutar mata kesal.
"Sebaiknya kau cepat, aku tidak bercanda."
Giliranku yang memutar mata.
Ketika Renne pergi, aku kembali melihat wajah yang membuatku depresi. Aku tidak heran kalau Renne memanggilku Brat, mungkin aku memang mirip Brat (*Brat - b;at = boneka Barbie yang punya mata besar dan bibir penuh).
Tapi itu juga tidak mungkin, satu-satunya yang menurutku mendekati Brat adalah Kylie Jenner, dan aku tidak mirip Kylie Jenner sama sekali.
Aku mendesah sesaat sebelum kuputuskan untuk menghentikan penilaian itu, lagipula tidak akan ada yang tahu aku berumur delapan belas, dan lagi kalau tabunganku sudah cukup aku akan segera meninggalkan kelab ini.
Mengikuti permintaan Renne, akhirnya aku keluar dari tempat make up dengan cahaya terlalu terangnya. Membenarkan rok terlalu pendekku, dan kemeja ketat. Kadang-kadang aku merasa telanjang dengan pakaian ini, tapi bayarannya mahal, jadi kupikir tidak apa-apa, hanya sampai pukul tiga malam.
Yang terburuk yang kubayangkan adalah jika aku menggunakan baju ini saat musim salju, aku berani bertaruh aku akan segera membeku dalam lima detik. Kuharap manajer kelab, aka Madam Senna, memikirkan tentang baju musim dingin.
Ketika kumasuki kelab lewat pintu belakang yang langsung terhubung dengan tempat bartender pamer kemampuan meracik minumannya, aku bisa merasakan betapa sesaknya malam ini.
Memang selalu sesak, tapi kali ini terlalu ramai bahkan bagi Rowley. Rowley adalah bartender paling cekatan menurutku, dan dia tidak pernah sesibuk ini.
"Sibuk, eh?" godaku sambil menyimpan rambut khayalan di belakang telinga.
Rowley melirikku sebentar sebelum fokus memasukan berbagai minuman soda ke dalam gelas-gelas stainless steel. Dia mendengus. "Shut up, Amandaaaa. Make up yourself."
"I did." Jawabku sambil menyenderkan tangan di meja bar yang tinggi. "Perlu kubantu?"
"Kalau kau berniat membantu, sebaiknya antar wine ke ruang VIP."
"Wow, VIP di Jumat malam?"
"Ya."
"Aku tidak bisa," jawabku segera dengan tampang pura-pura bersalah dan tersakiti. "Selain aku tidak mau, aku punya kontrak dengan Madam Senna untuk tidak melibatkanku di ruang VIP."
Rowley melirikku dengan wajah yang kuartikan sebagai 'kau pasti bercanda, lihat kedua tanganku yang sedang beraksi ini?'.
Aku mengangkat bahu. "Aku minta maaf, tapi kudengar VIP tempat orang-orang sinting, bahkan Renne diperlakukan tidak baik."
"Ha, ha!" ejek Rowley. "Kau tidak tahu saja bayarannya mahal."
"Wah kebetulan aku tidak peduli."
Kemudian kami terkekeh, Rowley sama sepertiku, dia berniat mencari uang untuk melanjutkan pendidikan seperti berkuliah di kampus layak. Tapi dia sudah menemukan passion-nya di sini, jadi mimpinya berakhir.
Aku takkan seperti dia.
Kutarik tawaku. "Ch, aku tidak mau tertawa bersamamu, Rowley."
"Aku tidak keberatan, lagipula aku menertawakanmu, bukan tertawa bersamamu." Dia memutar-mutar gelas stainless, lalu menjauh dari meja bar sebelum mengocoknya di samping telinga.
Aku menjauh, menghindari apa pun itu jenis kesalahan yang kerap Rowley buat.
"Jadi, aku harus menemani siapa malam ini?"
"Kubilang VIP."
Madam Senna keluar dari pintu belakang, dia memegang rokok di tangan kirinya, dan penampilannya sangat seksi seperti wanita karir dengan blazer merah. Dia terkenal dengan Ibu Merah, tapi menolak sebutan itu.
Ketika dia melihatku dia berhenti merokok dan menghembuskan asap rokoknya. "Ah, Amanda, senang kau tidak terlambat."
"Yeah, aku baru datang satu menit lalu."
"Beruntung aku menyukaimu, malam ini Mr. Peters dan teman-temannya datang lagi, dia hanya mau kau yang menuangkan alkoholnya."
Aku mengernyitkan hidung. "Ugh, aku tidak suka dia meskipun dompetnya tebal."
"Aku juga tidak suka," Madam Senna mendengus. "Pokoknya, ikuti apa yang dia inginkan, seperti biasa, bayaran di luar tip."
Aku mengangguk dengan senyum lebar menampakkan deretan gigi. "Oke, I love you, Madame."
"Penjilat." Ujar Rowley sambil mendengus.
Aku mencubit rusuknya segera, membuatnya meringis kesakitan.
Mengingat aku harus jadi host dari The Peters, aku hapal apa anggur kesukaannya: Rome 1956.
Jadi aku segera membawa satu botol anggur Rome 1956, melewati berisiknya musik, melewati orang-orang mabuk yang menari, dan akhirnya menuju sudut tersepi dari kelab. Kulihat seperti biasa mereka ada tiga orang, duduk di sofa lembut dari beludru, dan seperti biasa mereka terlihat berengsek.
The Peters adalah saudara-sepupu yang umurnya berada di akhir dua puluh, bekerja di belakang sebuah stasiun TV yang tidak pernah kudengar, dan kurasa itu adalah channel TV dewasa yang berbayar.
"Whoa, Iriana!" seru Nolan Peter.
Iriana adalah nama samaranku untuk mereka, aku membedakan nama samaran untuk setiap pelanggan. Misalnya, Selena, Miley, Victoria, Candice... atau seperti itulah. Dan untuk The Peters, kupilih nama acak dan itu adalah Iriana.
Aku tersenyum pada Nolan, senyum tulus karena aku membayangkan dia adalah Benjamin (orang yang ada di uang lima puluh dollar). Dia pasti punya banyak Benjamin.
"Lama tidak berjumpa, Ben--eh, Nolan."
Kedua sepupunya bersiul. "Whoa, ketemu lagi, eh, Iriana?" ucap salah satu yang kutahu dia hanya punya uang receh. Kupanggil dia si Receh.
Tapi aku duduk di sebelah Nolan, dan mulai menuang anggur pada gelas yang sudah tersedia di meja.
Nolan melingkarkan tangannya di bahuku, belum-belum minum dia sudah mabuk duluan.
"Ya ampun, aku kangen bahu ini." Ucapnya.
"Aku juga kangen." Pada Benjamins.
Salah satu alasanku mau menemani The Peters adalah karena mereka memang hanya ingin 'ditemani' bukan ditemani yang melibatkan menyewa hotel atau masuk ke toilet terdekat untuk melakukan quickie. Mereka sudah berkeluarga, dan mereka hanya butuh melihat gadis muda supaya melupakan istri mereka yang sudah tidak diet dan tidak muda lagi.
Yeah, tipikal orang-orang sialan yang tahu batas.
Kami mulai mengobrol seru, kebanyakan aku hanya tersenyum yang menampakan gigi saja. Citraku di kelab ini adalah 'dingin dan penuh sarkasme'. Aku tidak tahu kenapa padahal aku orang yang humoris.
Aku terus menemani mereka yang membicarakan artis pendatang baru yang kurang ajar dan sok terkenal, mereka ingin membatalkan kontrak dengan salah satu perusahaan Entertainer yang hampir setara dengan Paramount tapi ternyata menguntungkan.
Semua percakapannya benar-benar datar, tapi mereka sering tertawa sampai aku sadar bahwa mereka telah mabuk.
"Nah, Iriana, ini sudah botol ke empat. Kenapa kau tidak coba meskipun satu gelas saja?" tanya Nolan yang wajahnya terlalu dekat denganku, dan tercium di mulutnya bau anggur yang tajam.
Dia cegukan.
"Aku tidak bisa mabuk, aku pulang dengan jalan kaki." Jawabku datar.
"Wah, sial!!!" seru si Receh. "Bagaimana kita akan pulang, Nolan? Kita semua mabuk!!"
"Tenang, aku yang menyetir, aku masih sadar." Nolan terkekeh. "Lihat, aku bahkan tahu kalau kau punya kembaran."
"Kembaran apa?" tanya si Receh bingung.
"Lihat, kau punya dua bayangan, hah, hah, hah!!"
"Newt, kurasa dia mabuk, iya 'kan?" tanya si Receh pada sepupu Nolan yang lainnya.
Si Newt mengangguk lemah, dia juga sama mabuknya. "Percayakan saja padaku soal mobilnya."
Yang benar itu, percayakan mobilnya pada tukang derek. Pikirku.
"Iriana, ini anggur terakhir," ucap Nolan sambil mengangkat gelas anggur di hadapan wajahku. "Aku tidak pernah melihatmu minum, tapi kalau kau minum kali ini, kuberi empat ratus dollar untuk satu tegukan."
Wow, empat ratus dollar untuk anggur mahal.
"Lima ratus." Sanggahku yang hanya membuat Nolan terkekeh.
"Lihat? Dia sedikit tidak penurut, itu sebabnya aku suka padanya." Ucap Nolan pada sepupu-sepupunya seolah memamerkanku. Dia meremas bahuku. "Baik, lima ratus dollar."
Aku menyeringai diam-diam, lima ratus dollar berarti aku punya uang makan selama dua minggu atau sekitar itu, tanpa buang waktu aku mengambil gelas di tangan Nolan. Menatapnya selama lima detik dengan pandangan skeptis sebelum menenggaknya dalam satu tegukan langsung melewati tenggorokanku.
Aku mengerang dan meringis. "Hoekk!! Ini urine kecoak?!"
Mereka tertawa.
"Dudes, dia melakukannya!! Apa kau memfoto ekspresinya?" Nolan tertawa sampai membungkuk-bungkuk sementara aku masih merasakan perasaan menyerang dan terbakar di tenggorokanku.
Aku mau muntah.
Ini sama sekali tidak terasa seperti wine atau vodka, rasanya lebih tajam dan langsung membuatku pusing.
Aku pernah bertanya pada Rowley bagaimana rasa anggur mahal, Rowley bilang anggur mahal sama saja seperti rootbeer tapi lebih enak...
ITU DIA!!
Orang yang bilang rasa anggur Rome 1956 mirip dengan rootbeer hanya satu, Rowley, dan hidup Rowley adalah lelucon. Seharusnya aku tidak percaya dan tidak menerima tantangan ini.
Aku akan menghabisinya, segera!
~*~*~*~*~
The Peters pergi dua menit yang lalu setelah puas menertawakanku, sambil memasukan uang dollar ke dalam rok ketatku aku berlari ke toilet menahan perasaan mual dan panas.
Ketika aku masuk toilet, aku berlari ke wastafel dan meludahkan apapun yang kuminum, tapi mereka tidak ingin keluar. Jadi aku hanya berkumur dengan wajah paling memelas di seluruh dunia.
"Ew," gumamku.
Kuhela nafas sambil memegang uang yang diselipkan di rok.
Aku menyeringai sedikit.
Rasa jijik dari meminum anggur mulai menghilang perlahan, dan sekarang aku merasa butuh satu tegukan Rome 1956 lainnya.
Sialan, aku mabuk. Padahal hanya satu gelas.
Aku menjauh dari wastafel sebelum aku mulai depresi lagi melihat wajah kekanakanku, aku menghapus air di wajah dan sekitar mulutku dan segera menuju keluar toilet.
Baru saja aku hendak mendorong pintu toilet seseorang membuka toiletnya dengan paksa hingga aku melompat mundur.
"Whoa!" seruku terkejut.
Aku melihatnya, dia seorang lelaki dengan tatapan mencaritahu, memegang kenop toiletnya sambil menatapku seolah telah menemukan yang dicarinya.
"I got you, Baby Girl!" gumamnya sambil menyeringai.
"Sorry?" bisikku sambil mengernyit.
-
____________________________________
Yay, I found who I am in this story! Btw, my name is Venus. Chat or business? Ig: kadachune26
Aku harap kalian suka cerita ini setidaknya 0,000001% dari 100% yang aku suka. Kalo iya, let me know what do you think about the first chapter? Don't forget to vote and comment.
And click the star bellow if you like this
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro