Bab 7 : Pertemuan Tak Menyenangkan
Bab 7 : Pertemuan Tak Menyenangkan
•
•
•
"Hinata, hari ini tolong antar Sumire pergi sekolah."
Hinata mengangguk paham mendengar perintah sang kakak. Tadi malam dia memang terkejut saat ada seorang pria yang datang ke kediaman mereka seraya berkata ingin menjemput Neji untuk dibawa ke kantor polisi. Hinata kira, ada hal buruk yang sudah kakaknya lakukan di luar sana. Namun, Neji menjelaskan secara singkat kepada dirinya tentang apa yang sudah terjadi sehingga Hinata tak lagi panik.
"Aku tidak pergi bersama Papa?" Sumire bertanya seraya menarik-narik ujung jaket sang ayah.
Neji menggeleng, kemudian merendahkan tubuh untuk mencium dahi putrinya. "Tidak. Maaf. Hari ini Papa sedang ada urusan yang sangat penting. Kau pergi bersama Kak Hinata saja."
Sumire diam. Dia tidak keberatan bila harus pergi ke sekolah bersama Hinata. Hanya saja Sumire khawatir pada acara makan bersama sang ibu yang sudah mereka janjikan kemarin. "Tapi, nanti sore kita akan ke rumah Mama, 'kan?"
"Papa tidak bisa berjanji."
"Sumire, sebaiknya kita segera pergi. Sudah hampir jam delapan, nanti kau terlambat." Hinata mengusap lembut pucuk kepala Sumire, berusaha mengalihkan perhatian gadis kecil itu yang hendak merengek pada Neji.
Tatapan Hinata beralih pada sang kakak. "Salam untuk Kak Naru, ya. Semoga lekas sembuh."
Neji hanya mengangguk pelan sebelum berjalan keluar lebih dulu karena Minato dan Fugaku yang sudah menunggu.
Sementara di kediaman Sasuke, pria itu tampak hati-hati kala menyeka luka sang istri menggunakan air hangat sebelum mengobatinya yang kemudian disusul dengan melilitkan perban baru.
"Apa lilitannya terlalu kuat?"
Naruto menggeleng lalu melempar senyuman manis. "Terima kasih, Pak Dokter," bisiknya seraya mendekatkan wajah, mencium ujung hidung Sasuke.
Sasuke sendiri hanya tersenyum menanggapinya sebelum menggendong tubuh sang istri, membawanya ke dalam mobil untuk melanjutkan penyelidikan di kantor polisi.
Rekam CCTV sudah dibawa oleh Neji sebelum tiba di kantor polisi bersama Fugaku. Dan rekaman itulah yang menjadi bukti terkuat atas kejahatan Sasori kepada Naruto. Sungguh, Sasori tidak bisa mengelak lagi, terlebih dia pun tak memiliki bukti untuk melepaskan diri.
Amarah Sasuke kembali tersulut kala melihat rekaman CCTV yang menunjukkan Sasori menyeret istrinya seraya menempelkan ujung pisau pada leher sebagai ancaman. Padahal Sasuke sudah berusaha sabar. Tapi, melihat langsung kejadian itu, menyaksikannya melalui benda virtual bagaimana Sasori memperlakukan wanita yang selama ini selalu dia jaga dengan baik, Sasuke benar-benar tidak terima.
Nyaris saja Sasuke memukul Sasori saat itu juga jika Naruto tidak menahannya lalu berbisik lembut, "Aku tidak mau kau mengotori tanganmu sendiri. Cukup polisi yang menanganinya."
Selain Sasuke, raut wajah Fugaku, Minato dan Neji juga berubah penuh amarah setelah melihat rekaman itu. Mereka benar-benar berharap Sasori bisa mendekam selamanya di dalam penjara. Sebab, sudah bukan sekali dua kali Sasori terlibat kasus seperti ini.
Sedangkan Sasori sendiri terlihat santai disertai senyuman menyebalkan. Karena dia berpikir bahwa orang tuanya pasti akan segera mengurus hal ini dan membuat dia kembali ke rumah.
"Ini hanya sementara." Sasori berujar pada Sasuke yang tengah berdiri dengan usahanya menahan emosi. "Jangan senang dulu." Tatapan Sasori beralih pada Naruto lalu mendekatkan wajah dengan posisi sedikit miring hingga ujung hidungnya nyaris menyentuh helaian pirang wanita itu. "Kupastikan di lain waktu aku akan berhasil menyentuh seluruh tubuhmu tanpa terkecuali. Dan kau akan mendesah di bawah—"
Sasori tak dapat melanjutkan ucapannya bersebab pukulan telak Sasuke yang membuatnya bungkam seketika hingga tubuhnya pun sedikit terhuyung.
"Berengsek!" Kemurkaan Sasuke pada Sasori sudah tak dapat dibendung lebih lama. Dia segera menarik kerah baju pria bersurai merah itu, mencengkeramnya kuat hingga Sasori berdiri tegak dan sedikit berjinjit karena tinggi mereka cukup berbeda. "Sebelum kau menyentuhnya, aku sudah lebih dulu membunuhmu!"
Napas Naruto memburu dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Dia bahkan sama sekali tak melerai kedua pria itu.
"Sasuke, jangan terbawa emosi. Dia hanya memancingmu." Fugaku segera menjauhkan tubuh sang anak dari Sasori. Sedangkan Minato memeluk Naruto dari samping, berusaha menenangkan.
Sasori bisa saja berpikir bahwa dia dapat kembali ke rumah dengan mudah. Namun, Fugaku tentu tidak akan membiarkan pemuda itu bebas lagi. Fugaku pastikan Sasori akan tetap mendekam di dalam penjara sesuai dengan hukuman yang pengadilan putuskan nanti.
Saat suasana sudah kembali tenang. Mereka memutuskan untuk pulang. Sedangkan Sasori untuk sementara ini ditahan di kantor polisi selagi menunggu proses pengadilan nanti.
"Sasuke, bagaimana jika Neji menumpang di mobilmu saja?" Pertanyaan Fugaku menarik atensi sang anak yang hendak membuka pintu mobil.
Sasuke mengernyit. Raut wajahnya tampak tak suka mendengar usulan dari sang ayah. "Kenapa tidak Ayah saja yang mengantarnya?"
"Kalian 'kan bertetangga. Rumahnya berdekatan dengan rumahmu. Lebih efisien bila dia menumpang di mobilmu."
Sasuke melirik sang istri yang sudah duduk di dalam mobil namun belum menutup pintu. "Tidak." Ia kembali menatap sang ayah kemudian melirik Neji dengan tajam.
Neji sebetulnya ingin menolak, tetapi orang-orang di hadapannya terus berbicara sehingga dia tak ada kesempatan untuk menyahut.
"Sas, apa yang Ayah sarankan benar." Naruto menyahut dengan suara lembut dan sangat hati-hati. Takut bila ucapannya malah membuat Sasuke kesal. "Rumah Neji 'kan dekat dengan kita, lebih baik Neji menumpang saja di sini."
"Kau tidak dengar penolakanku?" Suara Sasuke terdengar lebih tegas.
Naruto terdiam. Sedangkan Fugaku hanya menghela napas kasar kemudian mengajak Neji untuk masuk ke mobilnya saja. Tetapi, Neji menolak dengan sopan.
"Tidak apa-apa, Neji. Biar aku dan Minato saja yang mengantarmu."
Neji menggeleng disertai senyuman tipis. "Terima kasih, Paman. Tapi, aku memang tidak akan pulang ke rumah, aku harus menjemput anakku, sebentar lagi jam sekolahnya selesai."
Tak ingin memaksa, Fugaku dan Minato pun hanya mengucapkan terima kasih karena Neji sudah bersedia menjadi saksi, membantu mereka untuk menyelesaikan kasus ini.
Sedangkan Sasuke segera menutup pintu mobil di mana sang istri terduduk kemudian ikut masuk ke dalamnya tanpa sedikit pun menoleh lagi pada sang ayah atau Neji. Bahkan mengucapkan terima kasih saja tidak.
"Sas, kenapa kau tidak ingin Neji menumpang di mobil kita?" Walau tadi Neji memang menolak untuk pulang bersama dirinya dan ayah mereka, tapi Naruto sangat penasaran mengapa suaminya menolak mobilnya ditumpangi oleh Neji.
Rasa tidak senang sedikit demi sedikit mulai menyentuh hati Sasuke. Dia menatap sang istri dengan ujung mata. "Jadi, kau ingin dia ada di sini? Kau ingin berdekatan dengannya?"
"Ah, tidak, tidak. Bukan begitu." Naruto dengan cepat mengibaskan kedua tangan di depan dada.
"Lalu untuk apa kau mempertanyakannya? Lagi pula si Hyuuga itu 'kan tidak akan pulang ke rumah."
Naruto menyelipkan rambut ke sisi telinga. "Ya, aku hanya penasaran saja mengapa kau tidak ingin Neji menumpang di mobil kita. Apa alasannya?"
"Kau."
"Apa?"
"Kau alasan mengapa aku tidak ingin Neji ikut di mobilku."
"Kenapa ... aku?"
Sasuke menghela napas pelan, melambatkan laju mobilnya sebelum menatap sang istri dengan lekat. "Karena aku tidak ingin dia berdekatan denganmu."
Naruto terkesiap. "Berdekatan bagaimana maksudmu?"
"Jika Neji ikut bersama kita, duduk di jok belakang. Itu artinya dia satu mobil denganmu dan berdekatan denganmu, bukan?"
Sontak saja Naruto tertawa hambar mendengar penjelasan sang suami. Dia tak mengira Sasuke menolak Neji ikut bersama mereka hanya karena tak ingin dekat dengan dirinya. Padahal Neji pun pasti duduk di jok belakang, bukan satu jok dengan sang istri. Akan tetapi, rupanya Sasuke tetap tidak mau ada pria lain di sekitar istrinya.
"Sas, walau Neji satu mobil denganku, tapi 'kan ada dirimu juga di sini. Bukan hanya aku dan dia."
"Tetap saja aku tidak mau ada pria lain di sekitarmu."
Sungguh, Sasuke tak bergurau. Dia serius akan ucapannya. Bahkan sejak kemarin dan saat tadi mereka bertemu di kantor polisi pun, dia selalu menempel pada sang istri, tak membiarkan Naruto dan dirinya berjauhan. Dengan tujuan agar pria lain tak bisa berdekatan dengan Naruto walau hanya dalam jarak sekian meter. Pengecualian untuk Sasori. Sebab, pria pemilik surai merah itu memang sengaja mendekatkan diri pada Naruto dan sengaja memancing emosi Sasuke.
•
•
•
Setibanya di rumah, Sasuke segera mengistirahatkan diri di atas sofa, berbaring menghadap langit-langit ruangan dengan kedua paha Naruto sebagai bantalan.
Naruto hanya tersenyum melihat sang suami yang mulai bermanja-manja. Jika Sasuke sudah di posisi ini, biasanya Naruto akan mengelus dahinya, memainkan rambutnya. Namun, karena kedua tangan Naruto masih terasa sakit jika banyak bergerak, maka kali ini dia hanya mampu menatapnya.
"Kita belum makan siang, Sas."
"Ah, kau benar." Sasuke segera bangkit terduduk kemudian mencium salah satu pipi Naruto. "Istriku yang cantik ini mau makan siang dengan apa, hm?"
"Dengan makanan." Naruto mengulum senyum melihat Sasuke menghela napas atas jawaban yang dia berikan.
"Menunya, Sayang." Sasuke meronggoh ponsel. "Kita pesan melalui good-food saja, ya?" Ia mulai membuka aplikasi yang biasa dia dan sang istri gunakan untuk memesan makanan secara online.
Namun, baru saja dia dan sang istri hendak melihat-lihat menu makanan dalam aplikasi tersebut, sebuah pesan yang masuk menginterupsi atensi mereka.
Sasuke melirik sang istri. "Bagaimana? Kau mau pergi ke rumah keluargaku?"
Naruto diam. Dia tampak ragu. Dan tentu hal itu dikarenakan sikap Mikoto padanya yang selalu sinis.
"Kalau kau tidak mau, kita tidak perlu ke sana." Sasuke mengelus sebelah pipi sang istri. "Nanti aku yang bicara pada ayah kalau kita tidak bisa datang."
"Tidak apa-apa. Kita datang saja, Sas." Naruto menyentuh salah satu tangan sang suami dengan sepasang safir yang menatap penuh keyakinan pada iris sehitam arang di hadapannya. Dia memang ragu untuk berkunjung ke kediaman Uchiha sejak sikap Mikoto berubah. Namun, tidak mungkin juga sekarang dia menolak permintaan Fugaku. Terlebih, dalam pesan itu Fugaku berkata bahwa ada yang ingin pria itu bicarakan dengan mereka. Maka Naruto rasa, mereka tak harus menolak undangan makan siang yang Fugaku berikan.
"Kau yakin?" Sasuke bertanya lagi, memastikan.
"Hm. Aku yakin. Lagi pula, sudah lama sekali 'kan, kita tidak berkumpul bersama?"
Setelah memastikan bahwa istrinya memang bersedia memenuhi undangan sang ayah, Sasuke segera masuk ke dalam kamar bersama Naruto kemudian membantunya berganti baju sebelum dia sendiri merapikan penampilan.
Dirasa sudah siap untuk pergi, Sasuke dan Naruto lantas bergegas menaiki mobil. Dan saat kendaraan beroda empat itu keluar dari pekarangan rumah, untuk sesaat Naruto melirik pada kediaman keluarga Hyuuga kala mobil yang dia tumpangi melewati rumah bercat putih tulang tersebut.
Jujur saja, sampai saat ini Naruto masih merasa tidak enak pada Neji karena tak sempat mengucapkan terima kasih atas apa yang sudah Neji lakukan untuk penyelesaian kasusnya bersama Sasori. Dan yang lebih membuat Naruto tidak tenang serta nyaman adalah sikap Sasuke kepada Neji. Suaminya itu malah bersikap sinis, alih-alih berterima kasih.
Naruto menggulirkan pandangannya ke sisi kiri, menatap Sasuke yang tampak fokus menyetir. Aku harus membicarakan lagi masalah ini nanti, dan kuharap Sasuke tidak marah.
Jika Naruto sibuk memikirkan bagaimana cara dan waktu yang tepat untuk berterima kasih pada Neji serta berbicara pada sang suami mengenai hal ini. Maka lain halnya dengan Sasuke. Pria berdarah Uchiha itu sama sekali tak memikirkan bagaimana untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada Neji atas apa yang sudah Neji lakukan dalam penyelesaian kasus sang istri bersama Sasori. Karena yang saat ini memenuhi pikiran Sasuke adalah bagaimana caranya agar dia bisa dengan cepat menghubungi wanita yang berada di Kota Suna.
Sungguh, jika harus jujur, sejak pagi Sasuke sangat gelisah karena belum memberi kabar apapun pada Sakura. Dia tak mau wanita itu marah. Namun, sejak tadi tidak ada sedikit pun kesempatan untuk dia agar bisa menghubungi Sakura.
Bagaimana pun caranya, aku harus bisa menghubungi Sakura hari ini.
•
•
•
Memakan waktu dua puluh menit, akhirnya mereka tiba di kediaman keluarga Uchiha. Kedatangan mereka pun disambut hangat oleh para pelayan yang tengah beraktivitas di halaman rumah. Dan Sasuke serta Naruto hanya melempar seulas senyum ramah dalam menanggapi setiap sapaan mereka.
Naruto sedikit heran kala memasuki rumah dan tak mendapati siapapun. Tetapi, kala memasuki ruang keluarga, dia dan sang suami bisa melihat bahwa rupanya semua keluarga Uchiha tengah berkumpul dalam satu ruangan yang sama. Suasana di sana terasa begitu hangat dan penuh keceriaan.
Naruto tersenyum. Dia benar-benar rindu berkumpul seperti ini dengan keluarga Sasuke. Karena seingat dia, terakhir kali dirinya dan sang suami ikut berkumpul bersama keluarga Uchiha adalah dua bulan yang lalu.
Beberapa anggota keluarga Uchiha menyambut kedatangan Sasuke dan Naruto dengan penuh kehangatan. Begitu pula Mikoto. Namun, sambutan hangat Mikoto hanya ditujukan pada sang anak bungsu. Sementara wanita di sisinya sama sekali tak dia hiraukan, seolah Naruto adalah makhluk tak kasat mata. Bahkan saat Naruto berusaha menarik atensinya dengan sapaan lembut disertai senyuman, Mikoto tetap tak mengindahkan hingga akhirnya Naruto hanya terdiam.
"Bu, jangan seperti itu." Sasuke menegur dengan suara lembut. "Kasihan, Naru. Dia ke sini untuk berkumpul dengan kalian, bukan mendapat kesinisan dari Ibu."
Mikoto menghela napas lalu menatap Naruto dengan malas. "Kalau begitu, dia tidak perlu datang ke sini, 'kan? Lagi pula aku tidak mengundangnya."
Hati Naruto benar-benar tersayat sakit. Dia tidak tahu, akan sampai kapan Mikoto terus bersikap sangat sinis kepadanya. Jika bukan Sasuke yang selalu ada di sisinya. Jika bukan cinta dan kasih sayang Sasuke yang selalu menguatkannya. Naruto yakin, dia tidak akan sanggup bertahan sampai sejauh ini dengan sikap Mikoto yang kian menyakiti hati.
"Mikoto, cukup." Fugaku menginterupsi dengan tegas. "Tidak sepantasnya kau berbicara seperti itu pada menantumu sendiri. Lagi pula akulah yang meminta mereka datang ke sini."
Melihat pertikaian kecil itu sontak saja anggota keluarga yang lain pun terdiam, memerhatikan. Suasana menjadi hening. Mereka merasa sangat iba pada Naruto karena sikap Mikoto yang tak kembali lembut dan penuh kasih sayang seperti dulu. Mereka yakin, Naruto pasti sangat tertekan dengan segala keadaan yang bahkan tidak wanita itu inginkan.
Itachi menipiskan bibir. Dia sudah tidak tahan untuk tidak berbicara mengenai sikap sang ibu kepada adik iparnya. Tapi, ini bukan waktu yang tepat. Itachi ingin berbicara secara empat mata. Dan dia terpaksa harus menunggu sampai waktunya tiba.
Sementara Naruto sendiri hanya terdiam dengan perasaan tak nyaman. Dia merasa bersalah karena sudah memutuskan untuk datang memenuhi undangan Fugaku, padahal Sasuke sudah bertanya berkali-kali tentang apakah dia yakin ingin berkunjung ke kediaman Uchiha atau tidak.
"Sas, maaf ya, karena aku ingin memenuhi undangan ayah untuk datang ke sini, kalian semua jadi bertengkar." Naruto melirih di samping sang suami dengan wajah yang menunduk, tak berani menatap siapapun. "Ini salahku."
Sasuke tak lantas menjawab. Dia hanya menggenggam satu tangan sang istri yang berbalut perban kemudian menyentuh sebelah pipinya dan sedikit menariknya untuk mendongak hingga tatapan mereka bertaut. "Tidak ada yang bertengkar, Sayang. Sudah ya, kau jangan murung seperti ini."
Dengan penuh perasaan getir, Naruto melempar senyuman tipis. Sementara Itachi, sang kakak ipar mulai berusaha mencairkan suasana agar kembali santai dan hangat. Dia juga meminta istrinya, Izumi untuk membawa Naruto duduk bersama dan mengajaknya berbincang ringan agar wanita itu tak merasa canggung dengan suasana yang sempat tegang.
Namun, kebersamaan Izumi dan Naruto terusik oleh hadirnya Mikoto. Tiba-tiba saja ibunda Sasuke dan Itachi itu mendekati sang menantu dari putra sulungnya, mengelus kepala Izumi dengan sangat lembut. "Sayang, apa kau sudah meminum susu untuk kandunganmu?"
Suara Mikoto terdengar tinggi, seolah sengaja agar Naruto mendengar setiap katanya dengan jelas. Dan pertanyaan itu tentu saja membuat suasana kembali hening, menuai perasaan tak enak dari setiap orang karena mereka tahu apa tujuan Mikoto bertanya demikian pada Izumi di hadapan Naruto.
"Sudah, kok." Izumi mengangguk disertai senyuman canggung. Dia benar-benar merasa tidak enak pada Naruto karena Mikoto membahas hal yang sangat sensitif untuk istri dari Sasuke itu.
"Bagus." Mikoto tersenyum tulus pada Izumi. "Kau harus selalu minum dan makan makanan yang bergizi ya, agar kandunganmu terjaga dengan baik."
"Kau terlalu banyak bicara." Fugaku menyahut dengan amarah tertahan. Dia tahu istrinya bukan semata-mata ingin mengingatkan Izumi saja.
"Kau ini." Mikoto menatap sang suami sebentar sebelum kembali melirik Izumi dan mengelus sisi kepalanya. "Aku hanya mengingatkan menantuku sendiri. Iya 'kan, Izumi?"
" .... " Izumi yang tidak tahu harus menjawab apa hanya terdiam dengan kecanggungan. Dia bahkan tak berani menatap Naruto yang sebenarnya menjadi sasaran utama Mikoto dalam setiap ucapannya.
"Tapi, ini bukan saatnya untuk membahas hal seperti itu." Itachi menatap sang ibu dengan pandangan dingin. Dia harap ibundanya segera bungkam, tak lagi membicarakan perihal kehamilan di hadapan wajah Naruto dengan sengaja.
Naruto memang sadar bahwa Mikoto menyindirnya. Tetapi, perasaan senang mengetahui bahwa Izumi tengah mengandung membuat dia mengabaikan tujuan Mikoto berkata seperti itu di hadapannya. "Izumi, ternyata kau sedang hamil?" Bibir Naruto tampak tersenyum senang, penuh ketulusan. "Pantas saja tubuhmu terlihat lebih berisi."
"Iya, dia hamil." Bukan Izumi yang menyahut. Melainkan Mikoto, sang ibu mertua. "Dia sedang mengandung calon bayi yang kelak akan menjadi cucu pertamaku. Dia akan membuat Itachi menjadi seorang ayah." Satu alis Mikoto terangkat disertai tatapan penuh kepuasan pada sepasang safir Naruto karena akhirnya dia bisa berbicara seperti ini padanya. Sudut bibir Mikoto pun tampak tersenyum miring, senyuman yang begitu sinis. "Luar biasa, bukan? Dia bisa menjadi istri yang sempurna untuk putraku. Tidak ... sepertimu."
Senyuman Naruto pudar. Sudah tak ada ekspresi apapun di wajahnya. Hanya tatapan dari sepasang safirnya sajalah yang seolah berbicara betapa pedih luka yang menghujam hatinya saat ini.
"Mikoto!" Fugaku berseru emosi. Dia benar-benar tidak tahu harus menggunakan cara apa agar Mikoto berhenti menyakiti hati Naruto dengan ucapan-ucapannya. Padahal sudah berkali-kali dia mengingatkan sang istri agar kembali memperlakukan Naruto dengan lembut seperti dulu. Tapi, sepertinya Mikoto tak pernah mendengar setiap nasihat yang Fugaku berikan selama ini.
Dan sayang, untuk kali ini perkataan-perkataan tajam Mikoto tidak disaksikan oleh Sasuke. Karena saat sang istri sudah duduk bersama Izumi, Sasuke segera beranjak dari sana dengan alasan ingin buang air kecil sekaligus mencari sebuah barang di dalam kamarnya. Akan tetapi, tujuannya tentu saja bukan itu, melainkan agar dia bisa menghubungi Sakura, memberi kabar pada sang simpanan. Sungguh, Sasuke sangat merindukan suara wanita itu. Tidak sanggup bila Sasuke harus menunggu lebih lama lagi.
Di dalam kamar, Sasuke masih asyik berbincang dengan wanita yang berada di Kota Suna. Bibirnya pun tak mampu untuk tidak tersenyum kala mendengar untaian kata penuh godaan yang Sakura bisikan melalui ponsel. Ya, Sasuke sangat menikmati kebersamaannya dengan Sakura melalui panggilan video tanpa tahu bahwa di ruangan sana, sang istri tengah berjuang melawan setiap rasa sakit yang menyerang hati. Berusaha tegar di tengah-tengah keadaan yang teramat tidak menyenangkan.
•
•
•
TBC
31 - Mei - 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro