Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 5 : Hal yang Tak Diinginkan

Bab 5 : Hal yang Tak Diinginkan



Dengan perlahan, Naruto melepaskan genggaman sang suami dari kedua tangannya. Dia juga seperti tak peduli pada Sasuke yang tampak diliputi amarah serta kecemasan. Yang justru kini dilakukan oleh Naruto adalah menyentuh setiap sisi tubuh Sasuke seraya menilik dengan teliti, memastikan bahwa tidak ada luka apapun.

Naruto mendesah lega. Awalnya dia memang ragu untuk menyentuh tubuh sang suami karena takut darahnya mengotori. Namun, jika tidak begitu dia tidak akan tahu. Biarlah sekarang baju Sasuke kotor, dia bisa mencucinya nanti.

"Syukurlah." Naruto tersenyum tulus seraya menangkup kedua pipi sang suami. Dan hal itu membuat jejak darah di kedua pipi Sasuke tak bisa dielakkan lagi. "Syukurlah kau baik-baik saja."

Sekitar lima meter di tempat mereka berada, tepatnya di sisi kiri, Neji masih tampak berdiri, memperhatikan Naruto yang sangat mencemaskan Sasuke. Tidak heran memang bila sang istri mengkhawatirkan suaminya yang keluar rumah dengan waktu lama, itu hal yang wajar. Namun, Neji tak habis pikir saja pada sikap Naruto saat ini. Sebab, Naruto sendiri bahkan tidak baik-baik saja dan perlu pertolongan sesegera mungkin.

Apakah dia tidak peduli pada luka di kedua tangannya? Dia mencemaskan orang lain, tapi keadaan dia sendiri jauh dari kata baik-baik saja.

Rahang Sasuke masih tampak mengeras. Raut wajahnya pun tak kunjung melembut. Sama seperti Neji, Sasuke juga tak habis pikir akan sikap istrinya. Mengapa Naruto malah lebih mencemaskan dirinya? Padahal tubuhnya sendiri sedang terluka.

"Siapa?" Sasuke menyentuh kedua tangan sang istri yang masih menangkup kedua pipinya, menjauhkannya perlahan-lahan disertai genggaman cukup kuat. "Katakan padaku, siapa yang melukaimu sampai seperti ini." Suara Sasuke memang tidak tinggi. Namun, dari nadanya Naruto dan Neji sama-sama yakin bahwa putra bungsu Fugaku itu tengah berada di puncak amarahnya.

"Akasuna Sasori." Neji yang menyahut. Sebab, Naruto masih tampak tak sanggup menjawab.

Sepasang iris obisidan Sasuke semakin berkilat tajam. Nama itu tidak asing bagi Sasuke. Ya, dia tahu siapa pemilik nama itu. Dan dia benar-benar tidak mengira bahwa orang itu berani mengusik Naruto, istrinya.

Sasuke bersumpah. Dia tidak akan melepaskan Akasuna Sasori begitu saja.

Mendatangi Sasori, menyayat tangannya atau bahkan memberi siksaan yang lebih pedih adalah hal yang ingin Sasuke lakukan saat ini. Namun, keadaan istrinya tidak memungkinkan dia untuk pergi. Luka itu harus segera mendapat pertolongan.

Tanpa berkata apapun, Sasuke segera masuk ke dalam rumah untuk membawa kunci mobil. Dan setelah kembali, dia lantas memapah sang istri untuk memasuki mobil.

"Sas, kau tidak mengucapkan terima kasih pada Neji?" Naruto bertanya dengan hati-hati setelah Sasuke ikut masuk ke dalam mobil dan siap melajukannya.

Sasuke melirik sang istri dengan tatapan tak suka. "Atas dasar apa aku harus berterima kasih pada dia?"

"Ka-karena dia sudah menolongku, Sas!" Naruto tahu Sasuke pasti masih cemburu pada Neji. Dan karena itulah, dia harus menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada sang suami. "Neji yang sudah—"

"Apa saja yang sudah bajingan itu sentuh dari tubuhmu?" Sasuke menyela cepat dan tak lagi menatap. Kini dia hanya fokus menyetir untuk membawa sang istri ke klinik terdekat.

Naruto tak lantas menjawab. Sebab, dia benar-benar terkejut mendengar pertanyaan Sasuke. Apakah bajingan yang dimaksud oleh Sasuke adalah Neji?

Sungguh, Naruto sangat tidak mengira suaminya akan memanggil Neji dengan sebutan 'bajingan'. Naruto rasa, kecemburuan Sasuke sudah keterlaluan kali ini. Bagaimana bisa Sasuke mengatai orang yang sudah menolong istrinya sendiri hanya karena cemburu buta?

"Sasori." Sasuke memperjelas kala melihat sang istri yang tampak bingung nan gelisah. "Katakan padaku, apa saja yang sudah dia sentuh."

Naruto sedikit menghela napas. Rupanya yang dimaksud oleh Sasuke adalah Sasori. Sungguh, Naruto jadi gemas sendiri pada suaminya karena sudah menyebut Sasori dengan kata bajingan. Memang, apa yang dilakukan Sasori tidak pantas. Hanya saja, tadi Neji pun menyentuhnya. Jadi, Naruto sempat mengira Sasuke bertanya tentang Neji mengingat betapa cemburunya sang suami kepada tetangga mereka yang sudah menyelamatkannya itu.

"Tidak ada," jawab Naruto kemudian seraya menggeleng lamban. "Dia tidak menyentuh tubuhku lebih dari luka ini."

Sasuke tak menyahut. Dia hanya segera keluar dari mobil saat telah sampai di sebuah klinik kemudian membuka pintu mobil di mana sang istri masih terduduk.

Walau raut wajahnya penuh oleh amarah, namun saat menyentuh sang istri, Sasuke tetap melakukannya penuh kelembutan. Dia bahkan tak membiarkan Naruto jalan untuk masuk ke klinik. Dia justru menggendongnya.

Selama Naruto tengah ditangani oleh dokter dan Sasuke berada di sisinya, menemaninya, tidak ada pembicaraan apapun di antara mereka. Dan suara yang mengisi ruangan itu hanyalah dentingan dari alat-alat yang dipakai oleh dokter.

Naruto tampak meringis kala sang dokter menyentuhkan kapas yang sudah penuh oleh obat cair antiseptik berjenis hidrogen peroksida. Dan Sasuke yang melihat sang istri tengah berusaha menahan rasa perih hanya bisa mengelus kepala serta dahinya.

Mengobati luka Naruto membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh lima menit. Walau luka-luka di tangannya cukup dalam, tapi dokter berkata bahwa luka tersebut masih bisa disembuhkan dengan cukup menggunakan obat yang akan dia beri, sehingga tak perlu melakukan jahitan.

Setelah menyelesaikan administrasi, Sasuke kembali menggendong sang istri untuk masuk ke dalam mobil. Dia melirik kedua tangan Naruto yang berbalut perban dan terkulai lemas di atas paha sebelum menatap wajahnya yang tampak pucat pasi. Sasuke yakin, istrinya itu sedang merasakan kepedihan yang luar biasa.

Amarah Sasuke semakin bergejolak memikirkannya. Selama ini dia selalu menjaga Naruto dengan baik. Tak pernah membiarkan sedikit pun luka terlukis di tubuh sang istri. Tapi, sekarang dua dari tubuh istrinya telah terluka cukup parah. Sungguh, Sasuke benar-benar tidak akan diam saja, apalagi bila keluarga Sasori meminta masalah selesai secara damai, Sasuke tidak sudi menerimanya.

Sebelum menjalankan mobil, Sasuke menyempatkan diri untuk mengusap dahi sang istri yang berkeringat kemudian mengelus sisi kepalanya penuh sayang.

Naru, aku tidak akan pernah mengampuni orang yang sudah menyakitimu sampai seperti ini.



Di tempat lain, tepatnya di kediaman keluarga Hyuuga, seorang gadis tampak cemas melihat Neji yang pulang dengan wajah babak belur. Terlebih ada bercak darah di kedua tangan pria itu.

"Kak Neji, a-apa yang sudah terjadi?" Hinata, gadis yang disinyalir sebagai adik Neji itu benar-benar panik. Karena sebelumnya Neji tak pernah terluka seperti ini. "A-apa Kakak terlibat pertengkaran!?"

Neji hanya mendengkus pelan melihat kepanikan adiknya. "Aku baik-baik saja, Hinata. Ini luka kecil. Jangan khawatir."

"Ta-tapi, kenapa Kakak bisa terluka seperti ini?"

"Jika kau terus bertanya dengan suara seberisik itu, kau akan membuat ibu dan Sumire bangun." Neji tak mungkin mengatakan pada Hinata tentang apa yang sebenarnya sudah terjadi. Bisa-bisa adiknya itu semakin panik dan seisi rumah menjadi ribut tak jelas. "Lebih baik, sekarang kau siapkan air hangat dan kain kecil untuk lukaku."

Hinata menurut. Dia segera beranjak menuju dapur. Sedangkan Neji terduduk di sofa ruang tengah seraya memejamkan mata. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Sebab, ada jemari tangan mungil yang menyentuh sebelah pipinya seraya memanggil Neji dengan penuh kecemasan.

"Papa."

Neji terkesiap. "Sumire," gumam Neji setelah membuka kelopak mata dan mendapati putri tunggalnya ada di hadapan seraya menyentuh pipi dengan penuh kecemasan. "Kau belum tidur rupanya."

Gadis manis berusia enam tahun itu diam sejenak sebelum menjawab pelan. "Aku menunggu Papa."

Kedua iris pucat Neji tampak sedikit membola. Dia tahu apa yang membuat anaknya menunggu. Jus stroberi. Ya, tadi Neji keluar rumah karena membeli jus stroberi untuk sang anak. Namun, saat pulang dia malah bertemu Naruto hingga membuat fokusnya buyar. Dan jus stroberi yang sudah dia beli, dia jatuhkan begitu saja saat menarik tubuh Naruto untuk bersembunyi dari Sasori.

"Kedai jusnya sedang tutup." Neji terpaksa harus berbohong. "Maaf ya, Sayang. Papa janji, besok Papa akan membelinya saat pulang kerja."

Sumire hanya menggeleng. Dia sudah tak peduli lagi pada jus pesanannya.

Dengan penuh kecemasan, Sumire menggerakkan jemari tangannya yang masih menempel di sebelah pipi Neji. "Kenapa Papa terluka?"

Neji tersenyum tipis. "Papa jatuh."

"Jatuh?" Dengan polosnya Sumire percaya begitu saja. "Jatuh dari apa?"

"Dari tangga." Neji gemas, dia ingin mencubit kedua pipi gembil sang anak. Tetapi, darah di tangannya benar-benar menghalangi. "Papa tidak hati-hati."

Tak lama kemudian, Hinata tampak kembali dengan kedua tangan yang membawa sebaskom air hangat serta kain kecil untuk Neji. Namun, dengan menyebalkannya Neji malah menolak dan meminta Hinata untuk menyimpan kembali benda itu karena dia mau mandi saja. Sementara Sumire, dia hanya menunggu sang ayah dengan duduk di tepi ranjang, di dalam kamarnya.

Setelah selesai membersihkan diri dan memakai piama, Neji segera memasuki kamar sang anak, menghampiri Sumire yang tengah duduk sembari mengayun-ayunkan kedua kakinya.

"Sumire mau tidur sendiri lagi di sini?"

Sang anak menggeleng. "Malam ini aku ingin tidur bersama Papa, boleh?"

Neji mengangguk pelan seraya tersenyum tulus. "Tentu saja," sahutnya lalu menggendong Sumire dan membawa masuk ke dalam kamarnya.

Dengan penuh kelembutan, Neji membaringkan tubuh sang anak di atas ranjang sebelum ikut berbaring dan memeluknya dari samping.

"Papa."

"Hm?" Neji mengecup pelipis Sumire cukup lama. "Ada apa? Apa kau ingin Papa membaca buku dongeng sebelum tidur?" tanya Neji karena sang anak tampak ragu untuk melanjutkan ucapannya.

Sumire menggeleng.

"Lalu?"

Kali ini Sumire menatap kedua iris pucat Neji. "Tadi aku berbicara dengan Mama melalui ponsel Kak Hinata."

Neji terdiam cukup lama. "Kau yang menghubunginya lebih dulu?"

Sumire menggeleng pelan. "Mama yang menelepon."

"Apa yang Mama bicarakan?"

Bibir Sumire tampak tersenyum. "Katanya, besok Papa dan aku harus ke rumah Mama untuk makan bersama."

" .... " Neji menghela napas setelah diam cukup lama. "Lalu kau menjawab apa?"

"Kubilang, aku ingin ke rumah Mama tapi aku harus tanya Papa." Sumire mencengkeram ujung baju Neji. "Papa mau 'kan?"

Mau tidak mau Neji memang harus membawa Sumire demi memenuhi undangan sang mantan istri. Karena dia tak mungkin menolak keinginan sang anak untuk bertemu dengan ibunya sendiri.



Setibanya di rumah, Sasuke segera membawa sang istri agar berbaring di dalam kamar, mengistirahatkan tubuhnya setelah sebelumnya dia membantu Naruto mengganti baju. Dan kini, dia sendiri mulai sibuk mengambil peti kayu cukup besar yang berada di ruang tengah, tepatnya di pojok ruangan dekat nakas telepon rumah, sedikit terhalang oleh beberapa tanaman hias.

Awalnya Naruto memang hendak tidur. Namun, dia mengurungkan niatnya tersebut kala Sasuke tak kunjung kembali ke kamar. Padahal dia ingin tidur ditemani pria itu.

Dengan perlahan, Naruto bangkit dari kasur. Selain ingin tahu suaminya sedang apa, dia juga sedikit penasaran pada suara benda yang silih beradu dari arah ruang tengah.

"Sas, kau di ruang tengah?" Naruto bertanya sembari berjalan menuju ruangan itu. Dan setibanya di sana, tubuh Naruto langsung dipenuhi keringat dingin dengan kedua safir yang membola sempurna saat melihat Sasuke tengah mengeluarkan benda-benda yang dahulu sering pria itu gunakan bersama Itachi untuk berburu.

"Apa yang akan kau lakukan!?" Naruto berlari, menghampiri Sasuke yang tampak tak peduli pada kepanikan sang istri.

Sasuke melirik, menatap tepat pada sepasang iris biru Naruto yang terlihat membola penuh rasa takut dan cemas. "Apa dia melukaimu dengan benda seperti ini?" tanyanya sembari menunjukkan sebuah pisau lipat kecil yang ketajamannya sudah tak perlu diragukan lagi. Karena meski telah jarang digunakan, tapi Sasuke selalu merawat semua benda-benda tersebut dengan sangat apik.

Napas Naruto terengah. Dia segera menyentuh tangan Sasuke yang masih menggenggam benda tajam. "Sasuke ... jangan. Aku mohon."

"Aku hanya ingin dia merasakan luka yang sama denganmu." Sasuke benar-benar sudah nyaris tidak bisa mengendalikan kemurkaannya pada Sasori. "Ah, tidak. Tapi, aku akan membuat dia lebih menderita darimu."

Naruto menggeleng tegas dengan genggaman yang semakin kuat. "Kita bisa menyelesaikan masalah ini dengan cara yang lebih pantas."

"Kau pikir, apa yang dia lakukan padamu itu pantas?"

"Sas, aku mengerti perasaanmu." Naruto tersenyum di sela kepanikannya seraya merentangkan satu tangan. "Lihat, lagi pula aku masih hidup, 'kan? Aku baik-baik saja. Hanya tanganku saja yang terluka." Naruto memelas lagi. "Aku mohon. Kita selesaikan baik-baik, ya?"

"Aku tidak sudi."

"Sas ..."

"Naruto, aku tidak terima istriku terluka seperti ini."

Padahal Sasuke belum tahu alasan mengapa Sasori melukai kedua tangan sang istri. Dan Naruto pun belum menjelaskan kejadian sebenarnya. Tapi, Sasuke sudah semurka ini. Naruto benar-benar tidak bisa membayangkan akan seperti apa bila Sasuke tahu bahwa Sasori berlaku begitu karena hendak memperkosanya.

Ya, Sasuke memang belum bertanya dengan rinci pada sang istri perihal kejadian ini. Namun, tanpa penjelasan Naruto pun dia sudah tahu bahwa Sasori pasti hendak menikmati tubuh istrinya, mengingat siapa Sasori dan kasus-kasus yang membingkai kehidupan suramnya. Oleh sebab itulah Sasuke sangat murka. Dia rasa, dia memang tak boleh membiarkan Sasori santai-santai saja setelah membuat istrinya sampai seperti ini.

"Dan aku ..." Perlahan, Naruto melepaskan genggamannya pada tangan Sasuke. Kini dia menangkup rahang sang suami. "Aku pun tidak akan terima bila kau terlibat masalah besar hanya karena dendam."

Detik selanjutnya Naruto segera memeluk Sasuke dengan sangat erat dan menangis tersedu di depan dada sang suami. "Aku mohon. Jangan melakukan hal yang akan membuat kau sendiri menyesal."

Sasuke bergeming.

"Ini demi aku, Sas. Aku mohon." Naruto kembali memelas dengan pelukan yang semakin erat. Dia sungguh tidak mau Sasuke melakukan tindakan kriminal hanya demi membalas perlakuan Sasori kepada dirinya. "Masalah akan lebih rumit jika kau membalasnya dengan hal yang sama."

Pisau lipat dalam genggaman mulai terlepas. Sasuke balas memeluk sang istri, mengelus punggung dan kepalanya beberapa kali.

Sungguh, Sasuke memilih bersabar untuk tidak membalas perlakuan Sasori bukan karena keinginannya sendiri. Ini hanya demi sang istri yang tak mau masalah berakhir lebih rumit.

"Jangan menangis lagi." Sasuke berbisik lembut seraya mengecup dahi Naruto. "Aku akan menuruti keinginanmu," tuturnya lagi seraya mengusap kedua pipi sang istri yang telah berurai air mata.

Naruto tersenyum penuh kelegaan. "Terima kasih."

Sasuke hanya diam kemudian membawa Naruto untuk duduk bersamanya di sebuah sofa. Dia menyandarkan kepala Naruto pada dadanya sebelum meronggoh ponsel dalam saku jaket dan menghubungi keluarga Uchiha serta keluarga Naruto untuk memberitahu perihal apa yang sudah menimpa istrinya.

Naruto sudah meminta Sasuke untuk tidak memberitahu keluarga siapapun perihal masalah ini. Dia tak mau membuat semua orang cemas. Tapi, Sasuke bersikeras untuk tetap menghubungi mereka dengan alasan bahwa harus ada orang yang mengurus Naruto dan menjaganya selama dia akan disibukkan dengan mengurus Sasori, menyeret pria itu ke dalam penjara bagaimanapun caranya.

Dan keluarga Sasuke serta keluarga Naruto benar-benar terkejut mendapat kabar dari Sasuke tentang apa yang sudah menimpa istrinya. Kini di rumah masing-masing keluarga, tampak sibuk bersiap-siap untuk pergi ke kediaman Sasuke dan Naruto. Mereka sama sekali tidak menunggu esok hari.

"Mikoto, cepatlah sedikit." Fugaku berseru tak sabar melihat sang istri yang tak sepanik dirinya dan anggota keluarga yang lain. Padahal kabar yang mereka terima bukanlah masalah kecil.

Mikoto tak menjawab. Dia hanya mendengkus pelan dengan raut wajah yang tampak dingin sebelum mengikuti langkah sang suami untuk masuk ke dalam mobil. Dan di mobil lain, Itachi pun sudah siap untuk pergi.

Jika Fugaku dan keluarga Uchiha yang lain masih dalam perjalanan, maka keluarga Namikaze sudah sampai di kediaman Sasuke dan Naruto sejak lima menit yang lalu.

Kushina tak memedulikan pintu mobilnya yang masih terbuka. Dia dengan cepat dan tergesa memasuki rumah di hadapannya, menghampiri Naruto yang tengah duduk bersandar pada tubuh Sasuke.

"Sayang ..." Wajah Kushina terlihat sangat penuh oleh kesedihan dan kecemasan. "Kenapa bisa begini?" tanyanya seraya melirik tangan Naruto lalu mengusap kedua pipinya.

Naruto hanya tersenyum. "Ibu jangan cemas, aku sudah baik-baik saja, kok."

Kushina tak berkata apapun lagi, dia hanya ikut duduk di sisi Naruto sembari mengusap dahi sang anak beberapa kali karena keringat yang terus membasahi. Kushina tahu, putrinya itu pasti tengah menahan rasa sakit.

Sementara Sasuke masih diam. Dia belum berniat untuk membicarakan semuanya pada sang mertua. Baik itu pada Kushina mau pun pada Minato. Bukan tanpa alasan, tapi dia tengah menunggu semuanya berkumpul lebih dulu.

"Hanya tanganmu saja yang terluka?" Minato menyentuh kedua tangan Naruto yang berbalut perban dengan hati-hati. "Atau ada luka yang lain di tubuhmu?" tanyanya lagi seraya mengusap sisi kepala sang anak.

Naruto menggeleng. "Tidak ada, Ayah. Luka yang aku terima hanya ini," jawabnya sembari mengedikan dagu ke arah tangan.

"Kaki." Sasuke menyahut tegas seraya melirik sang istri. "Lihat, kakimu juga terluka, bukan?"

"Ini hanya lecet. Luka kecil, Sas."

"Kecil atau besar. Tetap saja kau terluka."

Memang benar, kaki Naruto juga terluka. Tapi, hanya sedikit. Dan itu disebabkan oleh Sasori yang menyeretnya secara kasar. Lukanya tak separah sayatan di tangan. Jadi, Naruto rasa bagian yang ini tak perlu dipermasalahkan.

Selang beberapa menit kemudian, keluarga Uchiha pun tiba di kediaman Sasuke dan Naruto. Semuanya tampak panik dan masuk ke dalam rumah dengan tergesa. Namun, ada satu orang yang berjalan santai, seperti tidak ada sedikit pun kekhawatiran di dalam hatinya. Ya, itu Mikoto. Ibunda Sasuke dan Itachi. Ibu mertua Naruto dan Izumi.

Raut wajah Fugaku terlihat lebih serius dari biasanya kala mendengarkan segala penjelasan dari Sasuke dan Naruto tentang apa yang sudah terjadi. Begitu pula dengan Minato, Kushina, dan Itachi. Sedangkan Mikoto, wanita itu memang mendengarkan, namun tak terlihat cemas atau iba. Raut wajah serta tatapannya masih dingin. Dia bahkan tak mengatakan apapun sejak memasuki rumah sang anak.

Di sisi lain, Kushina mengelus kedua bahu Naruto, berusaha menyalurkan ketenangan pada sang anak kala tubuh Naruto sedikit bergetar saat menceritakan Sasori yang hendak merenggut kehormatannya. Kushina paham, walau berusaha tegar dan tangguh, tapi sebenarnya Naruto sangat trauma atas kejadian ini. Anaknya sungguh ketakutan. Kushina bisa merasakan dari ketegangan tubuhnya.

"Jangan takut. Sekarang ada kami bersamamu." Kushina berbisik lirih seraya tersenyum tulus. "Dan Sasori, dia pasti akan mendapat hukuman atas apa yang sudah dia lakukan."

Fugaku menghela napas, menatap Sasuke dengan tajam. "Lagipula kau pergi ke mana bisa selama itu? Dan kenapa kau tidak membalas pesan istrimu? Jika kau memberinya kabar, Naruto pasti tidak akan mengalami hal buruk ini."

"Kau menyalahkan Sasuke atas kejadian ini?" Mikoto berseru tak suka.

Fugaku diam sejenak. Merasa heran pada pertanyaan sang istri. Mengapa Mikoto malah menuduhnya seperti itu? "Dia memang salah, Mikoto. Dia tidak bisa menjaga istrinya dengan baik."

"Tidak bisa menjaga?" Mikoto membeo dengan senyuman sinis. "Apa kau tidak salah bicara? Naruto saja yang tidak sabar menunggunya!"

" .... " Semua orang terdiam mendengar perseteruan antara Fugaku dan Mikoto. Dan yang paling merasa tertekan karena merasa tidak enak hati di sana adalah Naruto.

Setelah terdiam beberapa saat, Sasuke pun menjawab penuh kebohongan, "Aku masih bersama temanku. Mobilnya mogok. Aku membantunya mendorong hingga ke bengkel. Dan ponselku dipinjam untuk menghubungi istrinya."

"Dengar?" Mikoto menyahut cepat seraya menatap semua orang di sana bergantian sebelum fokus menatap sang suami. "Dia pergi untuk membantu temannya. Bukan untuk melakukan hal-hal negatif yang kalian pikirkan."

Tatapan Mikoto beralih pada sang menantu yang masih duduk bersama Kushina dan Sasuke. "Naru, bisakah kau tidak berpikir negatif tentang putraku? Dia pergi bukan untuk menemui wanita, mabuk atau bahkan berjudi. Tapi, membantu temannya. Kau dengar 'kan, penjelasannya baru saja? Terlebih, dari apa yang sudah kalian ceritakan, bukankah sebelumnya Sasuke telah memberitahumu bahwa dia akan menemui temannya? Lalu kenapa kau harus berpikir buruk hingga menyusul dia?"

Hati Naruto sedikit mencelos sakit mendengar penuturan panjang Mikoto yang menumpahkan sumber kejadian itu pada dirinya secara tidak langsung.

"I-ibu ... a-aku tidak—"

"Naru, Sayang, sudah ya." Kushina menyela cepat seraya mengelus kedua bahu sang anak dengan penuh kelembutan. Dia tersenyum tipis yang sarat akan isyarat bahwa Naruto tak perlu berbicara apapun. "Jangan melawan."

Naruto menatap sang ibu penuh kegelisahan. "Tapi, Bu ... aku benar-benar—"

"Sssstttt." Kushina menyentuhkan jari telunjuknya pada bibir sang anak. "Ibu paham, Sayang. Sangat paham. Tapi Ibu mohon, kau jangan mendebat ibu mertuamu."

Saat Fugaku hendak menyahut, Minato menyela dengan cepat, karena dia tahu pasti Fugaku akan kembali memojokkan Sasuke dengan tuduhan tidak bisa menjaga Naruto dengan baik serta pasti akan melawan ucapan Mikoto yang telah menyudutkan Naruto. "Sudah, Fugaku. Ini kecelakaan. Tidak ada yang tahu hal seperti ini akan terjadi. Kita tidak perlu menyalahkan siapapun."

"Apakah Neji bisa menjadi saksi?" Kali ini Itachi yang berbicara. "Dia yang menyelamatkan Naruto dari Sasori, 'kan?"

"Dia memang harus menjadi saksi." Fugaku menyahut tegas, penuh kemutlakkan. "Itachi, kau hubungi polisi. Aku, Sasuke dan Minato akan pergi ke kediaman Akasuna sekarang."

Mikoto mengernyit. "Apakah harus sekarang juga? Ini sudah malam, Fuga. Masih ada hari esok untuk mengurusnya."

"Dan menunggu pemuda itu bersembunyi di tempat yang jauh?" Fugaku menyahut sarkas. "Lalu kita akan semakin sulit untuk meminta polisi mengusut hal ini?"

"Apa Ibu ingin menunggu kasusnya menjadi basi?" Sasuke menimpali.

"Lebih cepat lebih baik." Suara Itachi terdengar yakin. "Ini bukan masalah kecil, Bu."

Rahang Mikoto mengeras mendengar ucapan suami dan kedua anaknya yang benar-benar mendorong dia agar diam.

Sedangkan Naruto tampak tak nyaman melihat perdebatan kecil tersebut. Dia benar-benar tak enak pada Mikoto. Tapi, dia juga tak bisa melakukan apapun selain diam.

"Fugaku, maaf menghambat." Kushina mulai bersuara lagi setelah sekian lama diam. "Tapi, bukankah percuma bila kita membuat Sasori terkurung dalam jeruji besi? Orang tuanya akan menggunakan uang untuk membebaskan dia."

Fugaku mendengkus kasar. "Hanya uang? Aku bahkan bisa melakukan yang lebih dari itu agar dia tetap berada di dalam penjara."

Dengan segala kekuasaan yang dimiliki keluarga Uchiha, Fugaku tentu bisa dengan mudah memenjarakan Sasori dan membuat pemuda itu tak mampu keluar begitu saja meski orang tuanya sudah menyodorkan sejumlah uang pada pihak hukum. Tidak. Tidak akan semudah itu bila sudah berurusan dengan keluarga Uchiha.

"Sas, kau harus bisa menahan emosimu." Naruto berusaha memperingati sang suami yang hendak beranjak keluar rumah. Dia sungguh khawatir Sasuke akan murka kembali bila sudah berhadapan langsung dengan Sasori.

Sasuke hanya diam seraya menatapnya.

"Tenang saja adik ipar." Itachi menyahut santai, berusaha memberi bergurauan untuk sedikit mencairkan suasana yang tegang. "Jika dia membabi buta, aku akan menjambak rambutnya dari belakang."

Naruto tersenyum samar mendengar ucapan Itachi. Dia sangat berharap tidak ada keributan apapun antara Sasuke dan Sasori dalam penyelesaian masalah ini. Dia ingin semuanya selesai secara aman dan tenang. Tak perlu ada emosi tinggi yang mengendalikan.

Saat semua pria telah pergi dari rumah, Kushina segera mengambil makan untuk sang anak, karena ketika ditanya rupanya Naruto belum makan malam. Sementara Mikoto masih berdiri di sana, sekitar beberapa meter di hadapan Naruto.

Mikoto menghela napas kasar setelah melihat arloji di pergelangan tangan kirinya. Dia yakin, Fugaku dan anaknya tidak akan pulang cepat. "Lihat, semua orang jadi kesusahan karena kau." Tatapan Mikoto pada Naruto tampak begitu sinis.

Naruto terkesiap. Tak dia kira Mikoto akan kembali menyalahkan dirinya atas kejadian ini, seolah Mikoto memang belum puas meski tadi sudah memberi kalimat-kalimat tajam kepada dirinya. "Maafkan aku. Aku juga tidak ingin hal buruk ini terjadi." Naruto menyahut dengan suara lembut, tidak ada emosi, apalagi bernada tinggi. Tidak. Dia tetap bersikap penuh santun kepada sang ibu mertua.

"Iya, aku tahu itu." Raut wajah Mikoto masih belum terlihat lembut sama sekali. "Tapi, jika kau bisa bersabar menunggu anakku pulang, semuanya tidak akan berakhir seperti ini, Naru." Kali ini nada suara Mikoto terdengar lebih sinis dan dengan ucapan yang lebih sarkas. "Ini terjadi karena pikiran negatifmu terhadap suamimu sendiri. Seandainya kau percaya pada Sasuke bahwa dia menemui temannya, maka permasalahan ini tidak akan pernah ada."

Naruto menggeleng tegas. Selapis embun hangat sudah menyelimuti sepasang manik safirnya. "A-aku memang percaya pada Sasuke, Bu. Dan aku pergi mencarinya karena aku cemas. Aku takut terjadi sesuatu yang—"

"Jangan menjadikan anakku sebagai alasan."

Hening.

Naruto bungkam. Tak berani mengatakan apapun lagi setelah Mikoto menyela ucapannya. Dan kini Naruto hanya menundukkan wajah, menatap sendu pada kedua tangannya yang berbalut perban dengan darah yang sedikit meresap keluar. Sungguh, dia benar-benar tak menginginkan hal seperti ini terjadi. Ya, lagi pula siapa yang ingin tertimpa musibah seperti ini? Tidak. Naruto sama sekali tidak ingin. Dan kepergiannya mencari sang suami pun disebabkan rasa cemas, bukan berburuk sangka karena tidak percaya bahwa Sasuke pergi menemui temannya.




TBC
27 - Mei - 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro