Bab 20 : Antara Cinta & Benci
Tirai malam telah berganti. Langit tampak cerah di pagi hari ini. Namun, sepertinya Sumire tak ingin menyambut pagi. Dia masih saja berbaring di atas ranjang disertai pandangan sendu.
"Bangun, Sayang. Ini bukan hari libur." Dengan penuh kelembutan Neji membelai kepala sang anak seraya memberi isyarat dari ucapannya bahwa Sumire masih harus masuk sekolah.
Neji paham betul, Sumire bersikap demikian bersebab apa yang terjadi semalam di mana sang ibu kembali tak memenuhi janji.
"Mau diantar siapa hari ini? Papa atau Kak Hinata?"
Sumire menggeleng. "Hari ini aku tidak mau sekolah," jawabnya tanpa menatap.
Untuk sesaat Neji berusaha membujuk sang anak agar bersedia pergi ke sekolah. Tetapi, Sumire sama sekali tak bersemangat. Bahkan, Neji pun menceritakan perihal Yugao yang semalam datang seraya memberi hadiah untuk Sumire.
"Ini hadiah dari Mama." Neji memberikan kotak kecil berpita ungu, membukanya hingga Sumire dapat melihat jam tangan cantik dengan warna putih yang tersemat di dalamnya. "Bagus, bukan?" Bagaimanapun Neji harus tetap membuat hubungan Sumire dan Yugao baik-baik saja. "Kau mau memakainya sekarang?"
Alih-alih menerima, Sumire menepis benda itu cukup kasar. Neji sedikit terkesiap melihat sikap putrinya. "Sumire, ini pemberian dari Mama untukmu."
"Aku tidak mau!" Kali ini suara yang dikeluarkan Sumire sangat tinggi disertai kedua mata yang berkaca-kaca. "Mama jahat! Mama selalu saja berbohong! Aku benci Mama!"
Neji tak berkata apapun lagi, terutama ketika Sumire mulai menangis tersedu. Yang Neji lakukan hanya memeluk seraya mengelus punggungnya dengan lembut.
Setelah beberapa saat terisak, Neji kembali membujuk Sumire pergi sekolah dikarenakan masih ada waktu sekitar setengah jam lagi.
Mulanya Sumire tetap tak mau. Tapi, Neji berusaha menasihati bahwa nilai Sumire akan kembali menurun bila tak menjadi anak yang rajin serta disiplin.
"Papa janji, saat pulang sekolah nanti, Papa akan membawa Sumire berkunjung ke game center."
Akhirnya setelah sekian lama dibujuk dan diiming-imingi bermain di game center, Sumire bersedia untuk pergi sekolah dengan syarat harus diantar oleh sang ayah.
Neji mengangguk setuju. Dia segera meminta Hinata untuk membantu Sumire mandi dan berganti baju, sedangkan dia sendiri menyiapkan bekal berupa dua potong roti serta satu botol susu.
"Kak, ini milik Kak Naru, bukan?" Hinata menunjukkan jaket yang sudah terlipat rapi serta harum pada Neji setelah selesai mengurus Sumire yang kini mengikuti langkahnya. "Kemarin aku sudah mencucinya."
Neji mengangguk. Sedangkan Sumire melirik jaket tersebut ketika pikirannya teringat akan sesuatu setelah Hinata menyebut nama Naruto.
"Papa," Sumire menyentuh satu lengan sang ayah. "Papa masih ingat janji Papa?"
"Janji apa?"
"Janji kalau Papa akan membawaku untuk jalan-jalan dan makan es krim lagi dengan Kak Naru."
Hinata terkesiap. Tak dia kira Neji memiliki janji seperti itu pada Sumire. Terlebih, apakah hubungan kakaknya dengan Naruto memang sedekat itu? Sejak kapan? Ah, Hinata penasaran, tapi tak mau bertanya lebih banyak melihat mood Neji saat ini.
"Ya, Papa ingat. Tapi--"
"Apa Papa akan bohong seperti Mama?" Tatapan Sumire berubah sendu tapi juga penuh harap.
Neji menghela napas, mengelus kepala Sumire dan tersenyum. "Baiklah. Nanti Papa akan membawa Sumire bertemu dengan Kak Naru lagi. Tapi, jika Kak Naru sedang sibuk, kita jalan-jalan berdua saja, oke?"
Seulas senyum bahagia tampak terbit di bibir Sumire. Dia percaya, Neji tidak akan ingkar janji seperti sang ibu.
Ketika Neji dan Sumire pamit pergi. Hinata segera menahan lengan sang ibu yang hendak pergi ke dapur. Hinata menatap Hikari cukup lama, membuat Hikari terheran.
"Ada apa?"
Hinata menggulirkan pandangannya pada mobil Neji yang sudah melaju keluar gerbang, lalu kembali menatap sang ibu. "Ibu tahu, ternyata Kak Neji memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Kak Naru."
Hikari mengernyit. Dia sungguh tak paham pada kalimat yang baru saja dilontarkan putrinya. "Bukankah mereka memang berteman?"
"Ya. Tapi, sepertinya mereka memiliki hubungan yang lebih."
Sontak saja Hikari memberi sentilan ringan pada dahi Hinata. "Jangan bicara sembarangan. Ucapanmu itu bisa menimbulkan masalah besar."
Hikari bicara demikian karena dia tak tahu tentang perceraian yang terjadi dalam rumah tangga Naruto. Sehingga dia tak mau putranya; Neji terlibat masalah besar jika sampai ada orang lain, terutama Sasuke yang mendengar ucapan Hinata. Tidak. Hikari tak ingin ada perselisihan.
"Lagipula, bagaimana bisa kau berpikir sejauh itu, Hinata?" Hikari berbalik badan, berjalan menuju dapur.
Hinata mengikutinya dengan langkah terburu-buru sebelum menceritakan tentang apa yang didengarnya tadi; yaitu percakapan Neji serta Sumire tentang Naruto.
"Aku tidak menduga, Kak Neji dan Sumire pernah menghabiskan waktu seperti itu dengan Kak Naru. Terlebih, Kak Neji juga berjanji pada Sumire untuk menemui Kak Naru lagi."
Hikari terdiam. Ya, dia pun cukup merasa heran. Terutama, kini Naruto tak pernah terlihat lagi di rumahnya. Padahal biasanya setiap pagi Naruto selalu rajin membersihkan pekarangan rumah, merawat bunga-bunga kecil di sana hingga tak jarang mereka pun selalu bertemu pandang serta silih melempar senyuman. Namun, akhir-akhir ini Hikari tak pernah melihat lagi Naruto. Dan kabar terakhir yang dia tahu tentang wanita itu adalah ketika Hinata bercerita bahwa Naruto pergi malam-malam serayamembawa koper.
Hikari turut iba mendengar kabar yang tak menyenangkan itu. Tetapi, Hikari tak bisa berbuat banyak. Karena Hikari berpikir, mungkin saja Naruto sedang ada masalah besar dan dia merasa tak berhak ikut campur.
"Mungkin mereka bertemu tanpa sengaja." Hikari berusaha mengakhiri perbincangan mereka yang dirasa kurang menyenangkan. "Jangan terus membahas hal itu, Hinata. Kau bisa membuat kakakmu terlibat pertikaian."
Hinata pun terdiam. Jika boleh jujur, Hinata selalu berandai-andai Naruto menjadi kakak iparnya, istri untuk Neji sekaligus ibu untuk Sumire. Kepribadian baik Naruto lah yang membuat Hinata sangat berharap Naruto bisa menjadi bagian dari keluarganya.
Teringat sesuatu, Hinata pun mengerutkan dahi dan menghela napas kasar.
Apa sih, yang kupikirkan? Tidak seharusnya aku membayangkan hal seperti itu. Kak Naru 'kan sudah memiliki suami.
•
•
•
Demi memperbaiki hubungan dengan orangtuanya serta meluruskan permasalahan, Sasuke kembali membawa Sakura ke kediaman Uchiha setelah dua hari mereka hanya menghabiskan waktu berdua di dalam hotel.
"Aku takut orang tuamu masih marah padaku." Sakura mencengkeram lengan sang kekasih. Dia ragu untuk keluar dari mobil setelah tiba di pekarangan rumah Fugaku serta Mikoto. "Terutama ayahmu. Dia selalu menatapku dengan sinis."
Sasuke mengelus sebelah pipi Sakura. "Ayah memang seperti itu. Tapi, setelah mengenal cukup lama, Ayah selalu bersikap baik kepada siapapun."
Setelah sekian menit terdiam, akhirnya Sakura turun dari mobil dan berjalan bersama Sasuke memasuki kediaman Uchiha dengan bergandengan tangan.
Hari itu, Itachi dan Izumi sedang pergi ke dokter kandungan. Mereka juga berniat untuk pergi membeli beberapa kebutuhan bayi yang masih belum lengkap. Sehingga keluarga Uchiha yang ada di dalam mansion hanya Fugaku serta Mikoto.
Sakura melempar senyuman ketika pandangannya bertemu dengan kedua orangtua Sasuke.
Mikoto terdiam. Bagaimanapun, dia masih sulit untuk bersikap hangat kepada wanita itu.
"Ada urusan apa lagi kalian datang ke sini?" Fugaku menyambut mereka dengan pertanyaan sarkas.
Sasuke menipiskan bibir. Dia harus sabar menghadapi sikap keras sang ayah. "Aku ingin membicarakan tentang pernikahanku dan Sakura."
Mikoto memijat tulang hidungnya, terdiam beberapa saat kemudian mempersilakan Sasuke dan Sakura duduk di dekatnya.
Fugaku menghela napas. Sebelum ketiga orang di hadapannya membahas hal yang membuatnya muak, Fugaku lantas berdiri dan melangkahkan kaki.
"Kau mau ke mana? Kita harus membicarakan ini bersama-sama." Mikoto berusaha menahan sang suami untuk tetap duduk bersama mereka.
"Ibu benar." Sasuke menimpali. "Aku butuh penda--"
"Aku tidak akan pernah merestui. Lantas, mengapa aku harus ikut membicarakan hal yang jelas-jelas tak kusukai?" Fugaku menatap sang anak dan wanita muda di sisinya dengan pandangan penuh kebencian.
Tanpa berkata apapun atau menunggu siapapun berucap lagi, Fugaku segera bergegas meninggalkan ruangan. Membiarkan ketiga orang di sana berdiskusi tentang pernikahan yang sama sekali tak diinginkan olehnya.
Mikoto membuang napas kasar. Dia enggan memaksa sang suami karena dia tahu bagaimana watak Fugaku sehingga dia tetap berdiam diri, menjadi satu-satunya orang yang mendengarkan keinginan sang anak.
"Bagaimana menurut Ibu jika kita menikah secepatnya?" Sasuke menggenggam satu tangan Sakura. Sedangkan Sakura sendiri hanya terdiam, tak banyak bicara. Selain karena takut salah berucap, dia juga sebenarnya enggan harus terburu-buru menikah dengan Sasuke.
"Jujur, Ibu senang kau berpisah dengan Naruto. Ibu bahagia melihatmu lepas dari perempuan tidak tahu diri itu. Tapi, di sisi lain Ibu juga sedikit kecewa padamu karena kau membawa perempuan lain di saat perceraianmu dengan Naruto belum terjadi." Mikoto menatap keduanya secara bergantian. "Maksud Ibu ... hal itu membuat kau terlihat seperti pria yang jahat."
"Tapi, kenyataannya tidak begitu." Dahi Sasuke berkerut kesal, terutama kala teringat akan sosok pria yang menjadi tetangga mereka, yang Sasuke yakini memiliki hubungan gelap dengan sang mantan istri. "Naruto lah yang lebih dulu mengkhianatiku."
Mikoto sedikit bingung dengan ucapan sang anak. "Bisa kau jelaskan apa maksudmu ...?"
Sasuke pun menceritakan segalanya kepada Mikoto. Namun, dia tidak bercerita perihal Kiba yang sempat mengirimnya foto Naruto bersama Neji di bawah hujan. Terutama tentang pertemuannya dengan Neji malam kemarin lusa. Ya, Sasuke tidak terlalu mabuk kala itu sehingga ingatan tentang pertemuan dan perbincangan dengan Neji pun masih membekas.
Bukan tanpa alasan Sasuke menahan diri untuk tak memberitahu Mikoto tentang dua hal tersebut, melainkan karena ada Sakura di sisinya. Kebohongan Sasuke bisa tersingkap bila Sakura mendengar juga. Sebab, dua hari yang lalu, Sasuke pergi dari hotel dan meninggalkan Sakura dengan alasan akan menemui orangtuanya. Tetapi, kenyataannya tidak demikian karena sesungguhnya Sasuke pulang ke rumah yang sempat dihuni bersama Naruto.
"Kau benar, Sasuke. Mereka pasti memiliki hubungan gelap sejak lama." Mikoto menyetujui kecurigaan kuat sang anak terhadap hubungan Neji dan Naruto. "Kurang ajar. Naruto benar-benar tidak tahu malu. Berani sekali dia menyakitimu sampai seperti itu."
"Jadi, bukan salahku 'kan jika aku berpaling pada Sakura? Pada wanita yang lebih bisa membuatku bahagia?"
Sakura sedikit merona mendengar penuturan sang kekasih. Dia mengeratkan genggaman tangan mereka.
Mikoto mengangguk. "Kita tidak boleh menunda pernikahan kalian lebih lama lagi. Kau harus membuktikan kepada Naruto bahwa kau bisa hidup lebih baik tanpa dirinya."
Sakura ingin menolak. Dia mencintai Sasuke, tapi sungguh dia belum siap untuk menikah.
"Bagaimana, Sakura? Kau setuju, bukan?" Mikoto menatapnya dengan serius.
Sakura terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. Dia benar-benar tak ada pilihan selain memberi persetujuan. Namun, Sakura harap, Sasuke bisa mempertimbangkan lagi tentang pernikahan mereka. Ya, Sakura akan bicara secara empat mata kepada Sasuke setelah ini.
Mikoto kembali membicarakan tentang tanggal yang tepat untuk pernikahan mereka. Mikoto juga meminta agar pernikahan mereka dirahasiakan dari orang lain dan hanya mengundang keluarga saja. Sebab, jika orang lain sampai tahu, maka nama baik keluarganya akan tercoreng. Tidak. Mikoto tak mau putra bungsunya menjadi bahan gosip hanya karena menikah lagi usai tak lama bercerai dari Naruto.
Setelah selesai bicara dengan sang ibu, Sasuke tak lantas membawa Sakura pulang ke hotel atau pergi ke mana pun untuk mencari hiburan. Sasuke lebih memilih untuk menghampiri sang ayah yang tengah duduk sendiri di balkon lantai dua.
"Ayah, bisakah kita bicara sebentar?" Sasuke berdiri sekitar satu meter di belakang Fugaku.
"Aku tidak ada waktu jika untuk membicarakan tentang pernikahanmu dengan wanita asing itu."
"Sakura bukan orang asing. Dia kekasihku."
Fugaku sungguh muak mendengarnya. "Tapi, bagiku dia hanya pengganggu."
"Ayah, kumohon terima Sakura dalam keluarga ini. Restui pernikahan kami."
"Pergilah. Jangan membuatku semakin membencimu." Fugaku berseru tanpa ragu. Dia memang sudah benar-benar benci kepada sikap sang anak yang menurutnya tidak logis sama sekali.
"Apa yang membuat Ayah membenciku?"
" .... "
"Jika Ayah tahu hal yang sebenarnya tentang Naruto, Ayah pasti mengerti pada semua keputusanku."
"Tidak ada yang salah dengan dia." Fugaku kembali bersuara bersebab sang anak yang mulai menyinggung Naruto dalam pembicaraan mereka.
"Dia tidak sebaik yang Ayah pikir. Dia yang mengkhianatiku lebih dulu."
"Bukan aku yang pernah menjadi suaminya. Tapi, aku bisa merasakan perasaan tulusnya terhadapmu. Aku bisa melihat usahanya untuk selalu menjadi istri yang baik bagimu." Fugaku berdiri, menghadap Sasuke. "Berapa tahun kau hidup bersamanya? Apakah kau tidak bisa merasakan semua itu? Lihat kembali apa yang sudah Naruto lakukan untukmu! Bagaimana bisa kau membuat-buat kesalahan tentang dirinya hanya agar dirimu terlihat benar?"
Sasuke sangat tertohok dengan penuturan Fugaku. Namun dia yakin, dia tidak mengarang perihal perselingkuhan Naruto dengan Neji. Sasuke percaya penuh, keduanya memang sudah berhubungan sejak lama.
"Tidak kusangka Ayah lebih membela orang lain daripada aku sebagai anakmu." Sasuke mengepalkan kedua tangan. "Aku meminta restu Ayah karena Ayah adalah orang tuaku. Tapi, bagaimanapun keputusan Ayah, aku akan tetap menikahi Sakura."
Fugaku tak tahu harus bicara seperti apalagi agar Sasuke mengerti. Kini, dia hanya menatapnya dengan pandangan dingin sebelum berjalan mendekat dan berbisik tegas. "Terserah. Karena yang kelak merasakan pahitnya adalah dirimu sendiri. Jangan menyesal."
•
•
•
Demi memenuhi janji kepada sang anak, Neji terpaksa meliburkan diri dari kantor hanya untuk bisa membawa Sumire pergi menemui Naruto usai jam sekolahnya selesai.
Namun, tidak masalah. Neji memang akan melakukan apapun demi kebahagiaan putrinya. Hanya saja, Neji khawatir kedatangan dia dan sang anak akan mengganggu Naruto.
Semoga Sumire tidak rewel jika Naru tak bisa menemaninya.
Di samping Neji, Sumire tampak sumringah. Dia sungguh tak sabar untuk menemui Naruto dan mengajaknya makan es krim bersama. Bahkan, Sumire juga tak ingin pulang terlebih dahulu untuk mengganti pakaiannya serta mengisi perut dengan makan siang. Sumire hanya ingin cepat-cepat dirinya dan sang ayah bertemu Naruto.
"Kenapa kita diam di sini? Apa rumah Kak Naru sudah dekat?" Sumire menatap sang ayah yang tampak melamun dengan kedua tangan yang masih menggenggam setir mobil. "Papa!"
Neji menghela napas. Sebenarnya dia sedang berpikir tentang ucapan yang tepat dan sopan untuk mengajak Naruto pergi. Ah, Neji sungguh malu. Terutama pada orangtua Naruto yang pasti juga ada di sana.
"Tapi, Sumire harus menepati janji untuk tidak merajuk jika Naru tidak bisa ikut bersama kita, oke?"
Sumire tak menjawab. Dia hanya mengangguk dengan sedikit ragu.
Neji meraih jaket Naruto yang beberapa hari lalu dipakai oleh putrinya. Dan kini, jaket itu sudah dicuci bersih oleh Hinata. Neji bersyukur karena benda ini bisa dia gunakan untuk alasan lain mendatangi Naruto di kediaman orang tuanya.
Setelah yakin bahwa rumah di hadapannya adalah kediaman Minato dan Kushina, tempat yang Naruto datangi ketika malam dia mengikutinya, Neji pun lantas menuntun sang anak memasuki pekarangan rumah.
"Ketuk dengan sopan." Neji memperingati Sumire agar tak mengetuk pintu dengan terburu-buru.
"Neji?" Kushina sedikit heran setelah membuka daun pintu dan mendapati tetangga sang anak ada di hadapan rumahnya. "Tidak biasanya kau datang ke sini."
"Aku--"
"Aku dan Papa ingin makan es krim lagi dengan Kak Naru!" Tiba-tiba Sumire berseru ceria, menyela Neji yang hendak menjawab pertanyaan Kushina.
Kedua mata Kushina tampak sedikit membola disertai bibir yang mengulum senyum. Dia memberi elusan lembut pada puncak kepala Sumire. "Benarkah? Kalau begitu, silakan masuk. Kau bisa mengajak Kak Naru untuk membeli es krim."
"Maaf atas sikap putriku. Sejak tadi dia memang tidak sabar untuk menemui Naruto."
Kushina menggeleng dan tersenyum ramah. "Tidak apa-apa, Neji. Naru juga pasti senang."
Setelah mempersilakan Neji dan Sumire untuk duduk, Kushina pun lantas pergi ke dalam kamar sang anak, memberitahu Naruto perihal kedatangan dua anggota keluarga Hyuuga di rumahnya.
Tanpa berlama-lama, Naruto segera menemui mereka dengan wajah berseri, melempar senyuman hangat kepada Neji serta Sumire.
"Kak Naru!" Sumire berseru ceria dan melambaikan tangan ketika Naruto berjalan mendekatinya.
"Halo, gadis cantik." Senyuman Naruto semakin merekah ketika langkahnya sudah tiba di samping Sumire. Dia memberi elusan lembut pada sebelah pipinya. "Kau baru pulang sekolah?"
Sumire mengangguk. Namun, sebelum dia mengutarakan keinginannya, Neji terlebih dahulu memberikan kantong kertas berisi jaket kepada Naruto. "Terima kasih. Dan maaf, aku baru sempat mengembalikannya."
"Papa, kapan kita pergi bersama Kak Naru?" Sumire bertanya dengan suara yang sedikit berbisik. Dia menarik-narik lengan Neji dan menatapnya manja.
Naruto yang mampu mendengar pertanyaan Sumire kepada Neji pun lantas berbungkuk kemudian berbisik lembut di sisinya. "Sekarang juga bisa."
Sumire sontak melirik dan tersenyum malu. Sedangkan Neji hanya menghela napas.
"Naru, aku benar-benar minta maaf karena kami sudah mengganggu waktumu."
"Tidak masalah, Neji. Lagipula, aku tidak memiliki kesibukan." Naruto juga sungguh merasa senang karena ini adalah kali pertama dia bisa dekat dengan anak kecil lagi. Sebab, semua keponakannya sudah beranjak dewasa. Terlebih, dia juga tak memiliki anak sehingga siapapun anak kecil yang mendekatinya selalu Naruto sambut dengan senang hati.
Setelah berpamit pada Kushina, mereka pun segera bergegas. Sesungguhnya, Neji bingung harus membawa kedua wanita berbeda usia ini ke mana. Apakah dia hanya harus membawa Naruto dan Sumire ke mini market untuk sekadar membeli es krim? Rasanya itu kurang berkesan. Namun, Neji juga sedang malas untuk membawa sang anak ke taman hiburan. Pikirannya masih penat.
"Kak Naru duduk di sini saja, di dekat Papa." Sumire meminta Naruto agar tidak duduk di belakang seperti tempo hari lalu.
Dengan canggung, Naruto pun menuruti keinginan putri Neji.
"Sumire." Neji berusaha menegur sang anak yang hendak duduk di pangkuan Naruto. Sungguh, dia benar-benar malu pada Naruto karena Sumire selalu berlaku seenaknya.
Sumire merenggut tak suka. Dia sengaja meminta Naruto duduk di sana agar dirinya bisa duduk di atas pangkuan Naruto.
Naruto yang paham keinginan Sumire pun dengan senang hati membiarkan si gadis kecil duduk di atas pangkuannya.
"Kita makan siang dulu," ucap Neji tanpa menatap sang anak yang nyaris merajuk karena ingin segera memakan es krim.
"Memangnya Sumire belum makan siang sejak tadi?" Naruto melirik Neji.
"Sepulang sekolah dia langsung memintaku untuk menemuimu."
Naruto terdiam lalu mengelus kepala Sumire. "Papa Neji benar, kita harus makan siang dulu. Perutmu harus diisi dengan nasi sebelum makan es krim."
"Kenapa?"
"Karena kalau tidak, nanti perutmu bisa sakit."
Akhirnya, mau tak mau Sumire pun menuruti perintah sang ayah untuk makan siang terlebih dahulu. Mereka mendatangi sebuah restoran yang dekat dengan taman rekreasi. Jika saja taman itu buka, Sumire tentu akan mengajak sang ayah dan Naruto untuk mengunjunginya. Namun sayang, taman rekreasi itu hanya dibuka saat hari Minggu saja.
Naruto sudah menolak untuk makan siang dan hanya akan menemani Neji serta Sumire. Tetapi, Neji tetap memesan satu porsi untuk dirinya juga.
"Aku tidak mungkin bisa makan dengan Sumire sedangkan kau hanya diam." Neji tersenyum tipis. "Makanlah. Jangan sungkan."
Sumire mengangguk setuju sembari mendekatkan sendok serta garpu milik Naruto. "Kak Naru 'kan nanti akan makan es krim denganku dan Papa. Jadi, Kakak juga harus makan dulu agar tidak sakit perut."
Senyuman Naruto merekah indah mendengar penuturan Sumire dan melihat ekspresinya yang sangat lucu.
Ketika Naruto dan sang anak mulai fokus menghabiskan makan siang, Neji yang sudah lebih dulu selesai hanya menatap mereka dengan bergantian.
Neji rasa, kepribadian Naruto sangat hangat dan menyenangkan sehingga siapapun merasa nyaman dekat dengannya. Padahal biasanya, Sumire tak begitu mudah akrab dengan orang asing.
Beberapa kali Neji mengusap punggung tangannya sendiri ketika merasakan sebuah kegelisan lagi kala teringat hal lain. Bila harus jujur, sebenarnya Neji menemui Naruto bukan sekadar untuk memenuhi janji kepada sang anak, melainkan karena dia ingin membicarakan sesuatu dengan Naruto. Namun, bagaimana dia memulainya? Semuanya terasa begitu cangging. Terlebih, hal yang nanti Neji bicarakan pasti akan menyinggung masalah pribadi Naruto.
Apa yang harus kukatakan untuk memulainya? Aku takut membuatnya tidak nyaman. Terlebih, ada Sumire di sini.
Tentu saja Neji bingung. Karena dia tak mungkin harus membahas masalah orang dewasa di hadapan sang anak.
•
•
•
Karena tak ada tanggapan baik dari Fugaku dan Fugaku juga meninggalkannya begitu saja, maka Sasuke pun segera bergegas, kembali pada Sakura yang masih menunggu di ruang tamu bersama sang ibu.
Raut wajah Sakura terlihat tak menyenangkan. Ya, wanita itu sangat jengkel oleh pertanyaan Mikoto selama Sasuke tidak ada. Mikoto terus bertanya mengenai dirinya dan Sasuke; mulai dari bagaimana dia bisa bertemu Sasuke, menjalin hubungan dengannya sampai apakah Sakura sudah mempunyai pilihan Wedding Organizer untuk pernikahannya dengan Sasuke nanti?
Ah, Sakura benar-benar kesal. Tetapi, dia tak bisa menunjukkannya secara terangan-terangan.
Atensi Mikoto beralih pada sang anak ketika Sasuke sudah berada di hadapannya lagi. "Bagaimana? Apa kau sudah bicara dengan Ayah?"
"Ayah tetap tidak merestui." Sasuke menatap sang ibu dengan serius. "Tapi, aku tidak peduli. Aku dan Sakura akan tetap menikah, dengan atau tanpa restu Ayah."
Mikoto tidak menggubris keputusan Sasuke yang terkesan keras kepala. Sebab, dia juga ingin Sasuke segera menikah dengan Sakura. Dia ingin membuktikan kepada Naruto bahwa putra bungsunya bisa hidup jauh lebih bahagia bersama wanita lain daripada dengannya.
Sakura sedikit menghela napas kala Mikoto beranjak menuju lantai atas. Dia meraih satu tangan Sasuke dan berucap manja, "Ini sudah siang, aku lapar."
Sasuke mengangguk paham. Dia juga perlu mengisi kebutuhan perutnya. Namun, karena di rumah belum menyiapkan makan siang, maka Sasuke mengajak Sakura untuk makan di luar.
Selama perjalanan, Sasuke sedikit menimbang-nimbang perihal keberadaan Sakura di kota ini. Sudah cukup lama mereka tak kembali ke Suna dan bekerja. Para atasan juga terus menghubungi karena proyek di Suna masih berjalan.
Sasuke yakin, dia dan Sakura akan mendapat teguran keras dari atasan mereka. Tapi, mau bagaimana lagi? Sejak kemarin banyak yang harus mereka selesaikan.
Usai memikirkan matang-matang, Sasuke akhirnya berkata pada Sakura bahwa lebih baik Sakura kembali ke Suna sebelum pernikahan mereka terlaksana.
Mulanya Sakura menolak keras. Dia jelas tak mau pulang tanpa Sasuke. Dia ingin tetap bersama pria itu. Akan tetapi, Sasuke berusaha menjelaskan dan berusaha membuat Sakura mengerti akan situasi yang ada; Sakura harus kembali ke kantor dan menyelesaikan pekerjaannya yang sempat terabaikan. Begitupula dengan Sasuke sendiri yang masih ada keperluan di kota ini.
Dengan berat hati, Sakura menyetujui keputusan Sasuke. Usai makan siang, mereka segera kembali ke hotel untuk membawa barang-barang Sakura. Tapi, saat mereka masih dalam perjalanan menuju hotel, atensi Sasuke teralihkan pada tiga orang yang baru saja keluar dari pintu restoran.
Sasuke dapat melihat mereka dengan jelas karena jalanan tidak terlalu senggang sehingga mobil yang dikendarainya pun melaju cukup lamban.
Kebahagiaan yang tersirat di wajah mereka membuat emosi Sasuke tersulut. Terutama oleh senyum yang merekah hangat di dua insan dewasa.
Hati Sasuke sungguh terbakar melihat Naruto tampak bersenang-senang dengan Neji serta anaknya.
Namun, Sakura yang fokus memperbaiki make up tidak sadar akan perhatian Sasuke yang cukup terpaku pada samping kanan jalanan. Bahkan, mobil mereka pun semakin melaju lamban. Sakura hanya berpikir; mungkin terlalu banyak kendaraan di hadapannya sehingga Sasuke tak bisa mengemudi dengan cepat.
Rahang Sasuke mengetat disertai pandangan yang berkilat tajam saat di seberang sana; Neji, Naruto serta Sumire berjalan santai sebelum berhenti di sebuah kedai es krim yang tak jauh dari sana. Mereka duduk bersama. Bersenda gurau seperti halnya sebuah keluarga kecil yang amat sejahtera.
Sialan! Mereka membuatku muak!
Cengkeraman pada setir mobil semakin kuat. Emosi Sasuke memuncak ketika teringat akan pertemuannya dengan Neji di malam kemarin.
Dia bilang dia tidak memiliki hubungan apapun dengan Naruto! Tapi, nyatanya mereka terus bersama-sama! Bahkan, sekarang si Hyuuga itu terlihat sangat senang berdekatan dengan Naruto!
Dasar munafik!
Karena emosi serta rasa cemburu yang menggebu-gebu, Sasuke lantas melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi meski jalanan tidak terlalu lengang. Dan karena hal itu, cermin kecil yang Sakura genggam pun jatuh hingga sedikit retak.
"Sasu!" Sakura bersandar penuh pada jok mobil sembari mengeratkan sabuk pengaman. Dia sungguh terkejut dan takut pada Sasuke yang tiba-tiba melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. "Mengemudilah dengan normal, Sasuke!"
Sasuke tak menggburis peringatan sang kekasih. Dia tetap melajukan mobil dengan cepat kemudian meminta Sakura untuk segera turun ketika mereka tiba di depan hotel.
"Kau tidak akan menemaniku ke dalam? Kau juga tidak akan membantuku membawa barang-ba--"
"Aku ada urusan mendadak. Kau diam saja di sini. Kita akan mengatur kepulanganmu besok."
"Tapi, Sasuke. Kau mau ke mana!? Aku--"
Tanpa mempedulikan Sakura yang masih berdiri di tepi jalan, Sasuke memutar mobilnya ke arah semula dan kembali melaju dengan kecepatan di atas rata-rata.
Sasuke harus terus bergerak cepat atau dia akan kehilangan ketiga orang yang diharapkan masih berada di tempat tadi. Ah, tidak, lebih tepatnya dua orang lah yang ingin dia temui.
Laju mobil Sasuke melambat saat sudah memasuki jalanan di mana dia pertama kali melihat mereka.
Dengan tergesa, Sasuke memarkirkan mobilnya lalu turun dan berjalan cepat. Dia bersyukur karena masih menemukan mereka di sekitar sana. Namun, di sisi lain dia juga semakin murka melihat mereka yang tampak bahagia.
Neji, Naruto dan Sumire masih asyik melihat berbagai macam stoples yang terpajang indah di dalam kaca etalase. Usai memakan es krim, Naruto segera mengajak Neji dan Sumire mengunjungi toko ini untuk mengganti stoples yang pernah Hinata gunakan ketika memberinya kue kering saat Naruto masih tinggal bersama Sasuke.
Naruto merasa bersalah karena tidak bisa mengembalikan barang mereka yang ternyata itu adalah stoples milik Hinata. Maka Naruto berinsiatif untuk membeli stoples baru dengan mengajak Neji dan Sumire agar bisa dimintai pendapat tentang motif yang mungkin bisa disukai Hinata.
Masih dengan atensi yang fokus pada beberapa stoples, mereka belum menyadari kehadiran seorang pria yang amat mereka kenali.
Sasuke menipiskan bibir melihat Naruto dan Neji yang tak kunjung menatapnya. Dia mengepalkan tangan, berjalan semakin mendekat dan berhenti ketika jaraknya hanya setengah meter dengan sang mantan istri.
Sasuke berlaku layaknya pembeli. Dia melihat beberapa stoples dalam etalase meski jauh di dalam pikirannya dia sama sekali tidak berniat atau pun tertarik membeli barang tersebut.
Dengan santai, Sasuke berbalik, bersandar pada kaca etalase seraya menilik satu stoples bermotif bunga-bunga kecil.
Masih belum ada suara yang Sasuke keluarkan. Dia sengaja berdiam diri sampai Naruto mau pun Neji melihatnya ada di sana. Sasuke ingin tahu bagaimana reaksi keduanya.
Dan sekitar sepuluh menit setelah itu, Naruto mulai memutuskan untuk membeli sebuah stoples kaca dengan motif bunga lily putih yang sangat cantik. Tentu saja stoples tersebut hasil dari penilaian Neji serta Sumire.
"Kuharap Hinata benar-benar menyukai--"
Ucapan Naruto tak terselesaikan. Wanita itu terpaku di tempat dalam beberapa saat. Karena ketika berbalik badan dan hendak keluar, dia mendapati seorang pria tengah bersandar santai pada salah satu etalase di dekatnya.
Tak hanya Naruto, Neji juga sama terkejutnya. Namun, Neji berusaha berekspresi senormal mungkin.
Sasuke melirik, menatap keduanya dengan pandangan penuh perasaan tidak menyenangkan.
Neji dan Naruto balas menatapnya, akan tetapi tidak ada satu pun kata yang mereka lontarkan. Naruto berjalan melewatinya begitu saja. Pun, dengan Neji yang menuntun Sumire.
"Pria tidak tahu malu dan wanita yang tidak tahu diri. Kalian memang serasi."
Langkah Neji dan Naruto terhenti. Neji menoleh dengan pandangan tak suka. Sedangkan Naruto hanya bergeming tanpa berbalik.
"Kenapa? Kau tersinggung oleh ucapanku?" Sasuke menyimpan stoples yang semula digenggamnya dan berdiri tegak menghadap Neji sepenuhnya. "Aku benar, bukan?"
"Jaga ucapanmu." Neji bersuara rendah. Sungguh, dia belum sempat berbicara dengan Naruto perihal Sasuke yang kemarin lusa menemuinya karena Neji sedang mencari waktu yang tepat untuk menceritakan hal tersebut. Namun tanpa diduga, Sasuke justru muncul di hadapan mereka.
Sasuke mendengkus. "Kau selalu mengelak tentang hubunganmu dengan dia," ujarnya seraya mengedikan dagu ke arah Naruto yang masih tak menatap mereka, berdiri membelakangi dengan perasaan berkecamuk. Dan kalimat selanjutnya yang Sasuke lontarkan sangat menyayat hati Naruto melebihi luka-luka sebelumnya. "Tapi, ternyata kau benar-benar memungut barang bekasku, ya?"
Tangan Neji terkepal disertai mata yang terbelalak. Sasuke sudah pernah mengatakan hal itu ketika menemuinya malam kemarin lusa. Dan tak Neji duga, Sasuke akan berani mengatakannya juga di hadapan Naruto.
Apa yang dia pikirkan!?
Apa dia tidak peduli pada perasaan Naruto!?
Neji nyaris tak mampu mengendalikan emosi jika Sumire tak menarik lengannya dan menatapnya sendu.
"Papa ..."
Sumire tahu, Neji sedang marah dan dia takut. Dia tak suka melihat ayahnya seperti ini.
Berusaha tetap sabar, Neji akhirnya hanya menghela napas berat, mengurungkan niatnya untuk melawan Sasuke. Selain karena tak ingin pertengkaran mereka disaksikan oleh sang anak, dia juga tak ingin menimbulkan keributan di tempat umum.
"Kau benar-benar munafik, Neji!" Sepasang oniks Sasuke tampak berkilat tajam. "Kau selalu menyangkal semuanya, padahal kau memang menjadi orang ketiga dan menjadi penyebab kehancuran rumah tanggaku dengan dia!"
Sasuke memang murka. Tetapi, suara yang dia keluarkan tidak terlalu tinggi. Sebab, dia juga tak mau menjadi pusat perhatian. Hanya saja, meski begitu, ucapan Sasuke masih tetap terdengar oleh Naruto yang masih berada di hadapannya.
"Kau seperti manusia yang tidak waras." Neji menyahut tenang kemudian berbalik badan. Dia tak ingin meladeni Sasuke lebih dari ini.
Melihat Neji yang hendak berlalu, Sasuke pun segera mencengkeram kuat bahu Neji karena dia merasa pembicaraan mereka belum selesai.
Namun, dengan cepat juga Naruto menahan lengan Sasuke kemudian berseru pelan pada Neji agar segera pulang.
"Tapi, bagaimana denganmu?" Neji tampak khawatir. Rasanya tidak tenang jika dia membiarkan Naruto dengan Sasuke yang emosinya seperti ini.
"Jangan khawatir." Naruto berusaha meyakinkan. "Cepat pulang. Kasihan Sumire bila harus melihatmu bertengkar."
" .... "
"Neji, kumohon. Aku tidak ingin ada keributan."
Ini pilihan sulit. Tetapi, mau tak mau Neji tetap harus pergi demi menghindari keributan yang lebih besar. Dan lagi, dia juga tak bisa ikut campur dalam urusan mereka. Sebab, mungkin saja Naruto ingin menyelesaikan permasalahannya dengan Sasuke. Neji hanya mampu berharap; semoga tidak terjadi sesuatu yang buruk pada Naruto.
Sumire yang tidak mengerti apapun hanya menurut ketika sang ayah memintanya masuk ke dalam mobil. Dia sedih harus berpisah dengan Naruto. Tapi, dia juga takut pada pria yang kini tengah berhadapan dengan wanita itu.
"Oh, sang putri sedang berusaha melindungi pangerannya?" Sasuke berkata dengan nada yang amat sarkas. "Menggelikan."
Naruto melepas cengkeraman disertai sepasang safir yang tampak berkaca-kaca. Embun hangat itu sudah terbendung sejak Sasuke secara tidak langsung mengatainya sebagai barang bekas.
"Aku sudah tidak peduli pada hinaanmu terhadapku. Tapi, aku mohon, jangan membawa Neji dalam permasalahan ini." Naruto berusaha untuk tetap tegar walau hatinya sungguh terkoyak sakit. "Lagipula, masalah kita sudah selesai, bukan? Jadi, kurasa kau tidak perlu mengungkit apapun lagi. Terutama menyeret Neji dalam segala urusan kita. Dia sama sekali tidak ada hubungannya."
Alih-alih tenang, emosi Sasuke justru semakin memuncak. Dia segera menarik Naruto untuk meninggalkan toko dan membawanya ke dekat mobil karena Sasuke memarkirkan kendaraan beroda empat itu di tempat yang cukup sunyi.
Naruto berusaha melepas cengkeraman Sasuke. Namun, Sasuke tak goyah sedikit pun.
"Bagaimana bisa aku percaya bahwa Neji tidak ada kaitannya jika kau terus membela dia mati-matian seperti ini!?"
Dahi Naruto mengernyit. Selain karena Sasuke yang semakin mendekat dan menyudutkannya ke mobil, Naruto juga heran akan sikap Sasuke. Mengapa ucapan pria itu seolah-olah mereka masih berstatus sebagai suami-istri?
"Tidak perlu menutupi apapun lagi dariku, Naruto. Aku sudah tahu, kau dan dia memang memiliki hubungan sejak lama."
Sungguh, Naruto sangat bosan dan muak mendengar kalimat yang Sasuke lontarkan. Sudah berapa kali Sasuke menuduhnya demikian? Dari sejak mereka masih berumah tangga hingga kini mereka telah resmi bercerai pun Sasuke selalu menaruh curiga.
Naruto menghela napas lelah. Dia sudah malas untuk berkata apapun. Sebab, Sasuke pasti tidak akan mau mengerti dan tetap dengan egonya sendiri.
"Lepas. Aku harus pulang."
Sasuke tak menuruti. Dia tetap menahan lengan Naruto agar tak pergi.
"Sas, kita sudah tidak memiliki hubungan apapun. Semua tentang kita sudah selesai. Kumohon, biarkan aku pergi."
"Diam. Aku belum selesai bicara."
"Sudah tidak ada yang harus kita bicarakan lagi." Kedua mata Naruto masih tampak sendu, hanya saja kali ini dia terlihat sangat tertekan. "Kita sudah bercerai. Kita sudah bukan suami-istri. Kau dan aku sudah selesai. Semuanya sudah berakhir. Apa kau tidak paham juga?"
Sasuke mengeraskan rahang. Meski kenyataannya begitu, tapi dia merasa tak suka mendengar Naruto yang memperjelas perihal perpisahan mereka.
"Kenapa?" Sasuke menatap lekat pada kedua manik biru yang dahulu membuatnya pertama kali jatuh cinta. "Kenapa kau lebih memilih pria itu daripada aku!? Kenapa kau lebih memilih mengakhiri kehidupan rumah tangga kita daripada meninggalkannya!? Kenapa, Naru!?"
Emosi Sasuke memang meninggi. Namun, suaranya tidak demikian. Sebab, dia tetap berucap dengan nada rendah. Hanya saja, penuh penekanan.
"Kelebihan apa yang Neji miliki hingga kau rela meninggalkanku demi dirinya!?" Sasuke mencengkeram rahang Naruto dengan cukup kasar agar Naruto tak mengalihkan pandangan dari sepasang iris hitamnya. "Tidakkah kau sadar bahwa aku jauh lebih baik dari dia!?"
Naruto masih membisu. Karena dia tahu, melawan ucapan Sasuke tidak akan memperbaiki keadaan sedikit pun.
Sasuke menghela napas kasar kemudian memposisikan diri di samping Naruto tanpa melepas cengkeraman pada salah satu lengan wanita itu. Dia bersandar penuh pada mobil kemudian menatap Naruto dari samping.
Sampai detik ini, Sasuke benar-benar benci jika teringat senyuman Naruto kala tadi bersama Neji. Sasuke tak suka. Sasuke tidak ingin Naruto bahagia dengan pria lain.
"Naruto ..." Sasuke tak melepas pandangan. Dia terus menilik wajah cantik sang mantan istri yang mulai menunduk. "Tadi aku melihatmu tersenyum. Aku melihatmu tertawa. Tapi, bukan denganku, bukan karena aku." Sasuke menunduk dan sedikit mendekatkan wajahnya pada wajah Naruto hingga dia mampu mencium aroma manis yang menguar dari tubuh sang mantan istri. "Bagaimana bisa kau bersenang-senang seperti itu dengan pria lain? Bukankah dulu kau pernah berkata bahwa hanya aku yang bisa membuatmu bahagia?"
•
•
•
TBC ...
24 - April - 2022
=====
Hai!
Terima kasih untuk yang masih menunggu dan masih mau membaca kelanjutannya. InsyaaAllah nanti akan ada hadiah berupa e-sertifikat bagi masing-masing pembaca yang aktif dalam cerita ini.
Sebetulnya isi chapter ini masih panjaaang (banyak yang perlu dibahas). Tapi, karena keterbatasan waktu dalam mengetik, maka saya potong beberapa bagian dan akan ditulis di chapter selanjutnya saja.
InsyaaAllah akan update kembali setelah Idul Fitri. ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro