Bab 19 : Malam yang Sendu
Malam semakin larut, namun Naruto masih terjaga seraya berkutat dengan buku-buku keperawatan yang sudah lama tak dia sentuh. Naruto bahkan tak tahu, kapan tepatnya terakhir kali dia membaca buku-buku tersebut. Yang Naruto ingat hanyalah bahwa dirinya mulai berhenti berurusan dengan hal-hal berbau rumah sakit sejak menikah dengan Sasuke. Di saat itulah Naruto mulai memfokuskan diri pada kehidupan barunya dengan putra bungsu dari pasangan Fugaku dan Mikoto, dan di saat itu juga Naruto perlahan-lahan mulai abai pada kegiatan-kegiatan yang semula disukainya. Ya lebih tepatnya, bukan Naruto yang sengaja melakukan, tetapi Sasuke lah yang membatasi segala aktivitasnya di luar. Bahkan, Sasuke juga membatasi pergaulan Naruto dengan teman-temannya.
Jika diingat kembali, betapa banyak pengorbanan yang telah Naruto lakukan demi kenyamanan serta kebahagiaan Sasuke. Naruto tak pernah sekali pun menentang kehendaknya. Naruto selalu tulus mematuhi apapun keinginannya. Namun, mengapa Sasuke sampai hati membagi cintanya untuk wanita lain?
Apa karena aku sulit untuk hamil?
Naruto bergumam di dalam hati. Sepasang safirnya memang masih menatap buku, akan tetapi pikirannya mulai kacau: kembali penuh oleh serpihan kenangan bersama Sasuke.
Jika saja aku bisa memberinya anak, aku mungkin takkan dicampakkan.
Salah satu safir Naruto mulai membendung embun hangat hanya dalam beberapa detik sebelum meluncur bebas, menuruni lekuk pipinya.
Kupikir dia benar-benar bisa menerimaku apa adanya.
Tak bisa disangkal, Naruto memang masih sangat mencintai Sasuke. Perasaan tersebut takkan mudah hilang begitu saja walau luka yang Sasuke berikan tak kalah dalam dengan rasa cinta yang dimilikinya.
Naruto nyaris terisak jika ketukan dari pintu utama rumah tak membuyarkan lamunan serta mengalihkan atensinya. Mau tak mau, dia harus kembali berpura-pura tegar dengan mengusap air matanya hingga tak tersisa sedikit pun jejak. Oh, tak hanya itu, Naruto juga kembali mengubah ekspresi wajahnya menjadi penuh senyuman ketika membuka pintu, menyambut sang ayah yang rupanya sudah pulang.
"Maaf, Ayah pulang larut. Tadi Ayah mengantar Hayate dan adiknya ke rumah sakit." Minato melepas jaket dan menyampirkannya di kait khusus dekat sofa.
Naruto hanya mengangguk paham kemudian segera menyiapkan makan malam untuk Minato tanpa membangunkan Kushina. Dia tidak mau tidur sang ibunda terganggu.
Sebenarnya Minato tak ingin makan, namun dia juga tak tega harus menolak di saat sang anak sudah menyiapkan semuanya.
"Apa Kushina sudah memberitahumu tentang kabar dari Mito?" Usai menghabiskan makan malam, Minato menghampiri Naruto di dalam kamar yang tengah merapikan beberapa buku.
"Sudah." Naruto menjauh dari rak buku kemudian duduk di tepi ranjang seraya menatap sang ayah yang masih berdiri di hadapannya. "Ibu juga bilang, katanya ... Ayah sudah mengizinkan jika aku bekerja di sana dan menetap bersama Bibi Mito."
"Ya, Ayah memang sudah mengizinkan. Tapi, semuanya terserah padamu."
Naruto tersenyum. "Aku bersedia dan aku juga akan segera membuat lamarannya."
"Kau tidak merasa dipaksa, 'kan?" Minato khawatir sang anak hanya ingin mematuhi saran dari dirinya serta Kushina saja, bukan benar-benar ingin bekerja. "Kalau kau masih ragu atau memang tidak mau, tidak apa-apa. Kau bisa mencari pekerjaan lain di sini."
Gelengan pelan namun tegas Naruto lakukan. "Tidak, Ayah. Aku tidak terpaksa. Ini memang keputusanku. Lagipula, aku 'kan sudah berpengalaman bekerja sebagai seorang perawat. Tidak ada hal yang harus membuatku ragu."
Memang tak ada keterpaksaan dalam diri Naruto untuk pergi dari Konoha dan menetap di Ame bila dia diterima bekerja sebagai perawat di rumah sakit dekat perbatasan kota. Namun, hal utama yang mendorong Naruto melakukan ini bukanlah karena dia sangat butuh pekerjaan, melainkan karena dia ingin berusaha memulihkan hatinya. Menjauh dari tempat serta apapun yang berkaitan dengan Sasuke.
Minato tersenyum lega mendengarnya. Dia merasa tenang jika memang Naruto tak merasa terdesak oleh saran yang dia serta Kushina berikan. "Oh ya, Ayah baru ingat lagi." Minato mengurungkan niatnya untuk segera beranjak ketika tiba-tiba dia kembali teringat pada malam di mana Naruto pulang ke kediamannya dalam keadaan hati yang benar-benar hancur. "Saat kau pulang ke sini di malam itu, sebenarnya kau tidak sendiri."
"Maksud Ayah ...?"
"Ada Neji yang mengikutimu," jelas Minato.
"Huh?" Naruto bingung. "Neji ... mengikutiku?"
Karena sang anak tidak paham dengan apa yang diucapkannya, Minato pun memberi penjelasan tentang Neji yang mengikutinya di malam itu.
Naruto memang benar-benar tidak sadar jika ketika itu dia diikuti oleh seseorang. Dan yang lebih membuat Naruto terkejut adalah kenyataan bahwa orang yang mengikutinya Hyuuga Neji. Tetangganya sendiri.
"Dia sangat mengkhawatirkanmu."
Naruto hanya terdiam. Tak dia duga, Neji rela melakukan hal itu hanya demi memastikan dia aman.
Ternyata Neji benar-benar teman yang baik dan tulus.
•
•
•
"Sas, kau tidak tidur?" Suara parau Sakura memecah keheningan dan mengalihkan perhatian Sasuke yang semula tengah berdiri di hadapan jendela seraya memainkan ponsel dengan ekspresi gusar.
Sasuke melirik, menatap sang kekasih yang bangkit terduduk lalu mengusap wajah cukup lama.
"Kenapa tidak tidur?" Sakura kembali bertanya setelah pandangannya fokus.
"Aku harus kembali ke rumah." Sasuke berjalan mendekat. "Kau tunggu di sini, oke?"
Sakura menggeleng. Oh, tentu saja dia menolak perintah Sasuke. Dia tak mau berjauhan dengan pria itu. "Aku ikut."
"Sayang, lebih baik kau istirahat di sini. Besok juga aku akan kembali."
"Tapi, untuk apa kau kembali ke rumah?"
"Banyak hal yang harus segera diselesaikan. Kau sendiri tahu 'kan, hubunganku dengan orangtuaku sedang tidak baik?"
Dengan penuh keterpaksaan, akhirnya Sakura mengizinkan Sasuke meninggalkan hotel dengan syarat: esok hari Sasuke harus segera kembali.
Tanpa menunggu apapun lagi, Sasuke bergegas keluar hotel. Namun, usai menaiki mobil dan memasuki jalan raya, Sasuke tak lantas pergi ke kediaman Uchiha sesuai dengan apa yang dikatakan pada Sakura. Tidak. Dia justru membawa mobilnya melaju ke arah jalan yang sama dengan jalan dalam foto Neji serta Naruto yang Kiba kirimkan.
Laju mobil mulai melambat ketika tempat yang sesuai dengan foto sudah benar-benar terlihat jelas oleh pandangan mata.
Rahang Sasuke mengeras. Cengkeraman pada setir mobil pun menguat. Dia menggeram. Memukul setir mobil dengan kasar. Hatinya masih saja dipenuhi oleh perasaan-perasaan tak menyenangkan. Kecemburuan tak kunjung sirna hingga lambat laun berubah menjadi kebencian dan amarah yang begitu sulit untuk terlampiaskan.
Dengan dada yang semakin sesak oleh kemurkaan pada sang mantan istri serta pria bermarga Hyuuga yang menjadi tetangga di kompleksnya, Sasuke kembali melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Dia tak kembali ke hotel atau pun pulang ke kediaman orangtuanya. Tak ada tempat yang dikunjungi oleh Sasuke setelah itu selain dari sebuah bar.
Dalam hidupnya, Sasuke tak pernah sekali pun berkunjung ke bar apalagi hingga meminum alkohol dan bermabuk-mabukan. Tidak. Pergaulannya sejak masa sekolah hingga menikah dengan Naruto sangatlah baik.
Namun, malam ini, tanpa berpikir panjang, Sasuke membawa langkahnya memasuki bar sampai tenggorokannya pun merasakan cairan keras beralkohol yang terasa begitu membakar lidah.
Dahi Sasuke berkerut. Sungguh, dia tak suka minuman ini. Tetapi, dia ingin menenangkan hati serta pikirannya dari segala masalah yang ada, sehingga Sasuke kembali menegak minuman tersebut untuk yang ke lima kalinya.
"Sial!" Sasuke menggeram jengkel ketika pikirannya masih teringat akan Neji serta Naruto. Padahal dia rasa, dia sudah cukup banyak meminum cairan beralkohol itu. Namun, mengapa dia tak bisa melupakan masalahnya meski sejenak? Mengapa sosok Neji dan Naruto masih saja terbayang dalam benak?
Sasuke menaruh gelas dengan kasar disertai sebuah umpatan hingga perbuatannya itu menarik atensi seseorang yang juga duduk di meja bar yang sama dengannya.
"Hei, bisakah kau minum dengan santai?" Orang itu menatap Sasuke dengan pandangan tak suka.
"Huh?" Sasuke balas menatap dengan pandangan tajam. Amarahnya seakan semakin tersulut. "Apa masalahnya denganmu?"
Dengan berani, Sasuke mendekati orang tersebut, mencengkeram kerah kemejanya. "Jangan mengaturku, Sialan! Kau pikir kau siapa!?"
Suasana di sekitar mereka berubah panas dan tegang. Akan tetapi, salah satu dari pengunjung lain serta pengurus bar mulai melerai mereka, mencegah Sasuke dan orang itu berakhir dengan baku hantam.
Sasuke berdecak, menepis lengan seseorang yang menahan pundaknya seraya berjalan keluar bar. Kembali menaiki mobil dan menjalankannya menuju rumah. Rumah yang sempat menjadi tempat kediaman dirinya serta putri tunggal Minato.
Sesampainya di tempat, Sasuke tak lantas masuk rumah. Dia hanya bersandar pada mobil dengan salah satu tangan yang masuk ke dalam saku celana, sedangkan pandangannya mengarah lurus pada kediaman keluarga Hyuuga.
Jujur saja, kepala Sasuke saat ini terasa cukup pening. Pun, dengan pandangan yang tak terlalu fokus dan tajam. Tetapi, Sasuke sama sekali tak berniat untuk beranjak memasuki rumah, apalagi bila harus tertidur lelap.
Pengaruh alkohol ini benar-benar buruk bagi fisik Sasuke serta emosionalnya. Sebab, alih-alih amarahnya reda dan sejenak lupa akan masalah yang ada, kemurkaan Sasuke justru semakin bertambah kuat.
Cukup lama Sasuke berdiam diri seperti itu tanpa sedikit pun mengalihkan tatapan dari rumah Neji. Sampai detik kemudian, daun pintu di sana tampak terbuka, menampilkan pria yang amat dibencinya.
Untuk sesaat, Neji mematung di halaman rumahnya, memperhatikan Sasuke yang terus menatapnya dengan tajam.
Mendapati ekspresi Sasuke yang demikian, Neji pun berpikir bahwa mungkin Sasuke mengetahui perihal dirinya yang tadi siang bertemu Naruto dan mereka menghabiskan waktu cukup lama.
Tepat ketika Neji hendak mengunci gerbang, Sasuke pun segera berjalan menghampirinya, mencengkeram salah satu lengan Neji melalui celah gerbang.
"Aku ingin bicara denganmu."
Neji sedikit mengernyit kala mencium aroma alkohol yang menguar kuat dari tubuh Sasuke.
Sungguh, Neji sama sekali tidak takut akan Sasuke yang mendatanginya seperti ini. Yang dia cemaskan adalah Naruto. Neji khawatir Naruto mendapat perlakuan kasar dari Sasuke, terlebih rupanya pria di hadapannya ini tengah mabuk.
Apa Naru baik-baik saja?
Sesekali Neji melirik ke arah mobil kemudian kembali menatap Sasuke. Dia ingat, tadi Naruto berhenti di pertengahan jalan yang mengarah ke kediaman orangtuanya. Ya, setidaknya mengingat hal ini Neji menjadi sedikit tenang karena mungkin Sasuke takkan berani menyakiti Naruto atau berlaku kasar pada sang istri di hadapan mertuanya sendiri.
"Apa yang ingin kau bicara--"
Belum sempat Neji menyelesaikan pertanyaannya, Sasuke lebih dulu membungkamnya dengan pukulan cukup kuat, membuat sebelah pipi Neji menjadi memar.
"Sialan!" Sasuke menarik kerah baju Neji hingga pria Hyuuga itu nyaris tercekik. "Berani sekali kau mengganggu rumah tanggaku dan merebut Naruto dariku!"
Dahi Neji berkerut bingung. Dia melepaskan cengkeraman Sasuke dengan kasar. "Jangan salah paham. Aku dan Naruto tidak memiliki hubungan lebih. Tadi pun kita bertemu bukan dengan sengaja." Suara Neji menyahut tegas.
"Oh, ya?" Sasuke kembali menarik kerah baju Neji. "Tapi, tadi kalian terlihat mesra, huh? Kau bahkan menaungi dia dari derasnya hujan. Yah ... aku tahu, kau dan dia memang memiliki hubungan gelap sejak lama."
Tiba-tiba saja Sasuke melepas cengkeraman kemudian menghela napas. "Kau tahu, Neji. Aku benar-benar tidak menduga wanita seperti dia berani mengkhianatiku."
Neji masih terdiam. Dia merasa percuma membantah tuduhan Sasuke perihal hubungannya dengan Naruto. Sebab, memang sulit bicara kepada orang yang sedang mabuk.
"Bahkan, dia juga memintaku untuk menceraikannya." Sasuke tertawa serak. "Bukankah itu konyol, Neji?"
Sungguh, Neji benar-benar tak paham dengan apa yang dibicarakan Sasuke dan apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara mereka berdua.
"Oke. Aku takkan mempermasalahkan lagi hubunganmu dengannya." Sasuke menatap Neji dengan lekat. "Terserah jika kau memang mau memungut barang bekas dariku."
Tangan Neji mengepal disertai tatapan yang mulai menajam. Dia memang tak tahu apa yang sudah terjadi antara Sasuke dan Naruto. Tetapi, dia tak suka mendengar ucapan Sasuke baru saja.
"Tapi, kau perlu tahu satu hal ini agar kau bisa memikirkannya lagi sebelum hubunganmu dengan dia terlalu jauh." Sasuke bersandar pada pagar seraya melipat kedua lengannya disertai ekspresi angkuh. "Dia sulit untuk hamil. Ah, mungkin memang takkan pernah bisa. Dia cacat. Dia tidak akan bisa memberimu keturunan."
Segala ucapan penuh cemooh yang Sasuke katakan, terucap tanpa ragu. Dia sungguh puas bisa berkata seperti ini pada Neji agar pria itu tahu akan kekurangan yang dimiliki sang mantan istri, dengan tujuan supaya hubungannya dengan Neji hancur.
Namun, Sasuke salah. Kesan buruk yang Neji rasakan justru tertuju pada Sasuke sendiri, pada sikapnya yang begitu tak beretika.
"Kau tidak akan bahagia hidup dengannya."
"Kau akan malu. Malu pada keluargamu ... pada teman-temanmu ... karena memiliki pendamping hidup yang mungkin bisa dibilang tidak senormal wanita pada umumnya."
"Akan banyak penderitaan yang kau dapat jika menghabiskan waktumu dengan wanita seperti dia."
"Dia wanita yang sangat menyusahkan."
"Dia hanya akan menjadi benalu dalam hidupmu."
Neji mengerutkan dahi melihat sikap Sasuke yang berubah signifikan: saat pertama pria itu bersikap penuh cemburu, namun sekarang pria itu bersikap seolah-olah jijik pada Naruto. Apakah semua sikapnya ini pengaruh alkohol? Atau apa yang terjadi sekarang adalah sesuatu yang memang keluar dari lubuk hatinya?
"Apa maksudmu?"
Sasuke menggeleng. "Aku tak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin kau tahu siapa sebenarnya di--"
"Tidak." Neji menyela tegas. "Yang kutanyakan adalah: apa maksudmu berbicara tentang Naruto sampai seburuk ini? Ucapanmu seperti manusia yang tidak berpendidikan."
Sasuke berdecih. "Dasar bodoh, aku berbicara begini agar kau bisa berpikir dua kali untuk hidup dengannya." Tubuh Sasuke kembali berdiri tegap sebelum membelakangi Neji dan berjalan menjauh secara perlahan. "Kalau kau memang suka, ambil saja wanita tidak tahu diri itu. Dia sudah terlalu lama menjadi beban dalam hidupku. Aku tidak membutuhkannya."
Jika tak ingin ada keributan dan mengganggu keluarganya yang sudah terlelap, ingin sekali Neji memukul Sasuke hingga tersadar dari mabuknya dan sadar akan apa yang sudah diucapkannya, bahwa segala perkataan itu dapat melukai hati Naruto. Tetapi, Neji berusaha menahan segala emosi. Membiarkan Sasuke berlalu pergi setelah puas membuat kesan buruk tentang wanita yang dulu begitu dipuja-puja.
•
•
•
Sungguh, meski sudah bicara banyak pada Neji, tapi Sasuke tak merasa emosinya terobati. Semua tetap terasa membebani hati.
Sasuke menutup pintu rumah dengan bantingan kasar sebelum berjalan memasuki kamar hingga atensinya terpaut pada nakas di samping ranjang yang menjadi tempat sebuah album foto pernikahan.
Dengan emosi yang tak kunjung membaik, Sasuke meraih album foto tersebut lalu meraih potret dirinya dengan Naruto yang semula tersemat indah di dalam sana.
Rahang Sasuke tampak mengetat setelah sepasang oniksnya menatap lekat wajah Naruto di dalam foto. "Naru, apa kau tidak pernah berkaca diri!? Bisa-bisanya kau mengkhianatiku dan bersikeras mengakhiri rumah tangga kita! Kau pikir kau siapa!?"
Genggaman Sasuke semakin kuat hingga lambat laun wajah mereka dalam foto terlihat tak terbentuk sempurna seperti semula. "Kau benar-benar wanita cacat yang tidak tahu diri! Seharusnya kau bersyukur bisa menjadi istriku dan menjadi bagian dari keluarga Uchiha! Seharusnya kau berterima kasih padaku!"
Kali ini Sasuke benar-benar meremat foto tersebut lalu melemparnya ke sembarang arah, begitu pula dengan album foto yang dijatuhkan kemudian dia tendang. "Kupastikan kau akan menyesal, terutama saat melihat hidupku bahagia dengan Sakura!"
Benda yang dulu dia anggap berharga dan dia jaga baik-baik, kini teronggok di pojok ruangan bagai sampah tak berguna.
•
•
•
Di dalam kamarnya, Naruto sudah tertidur cukup lelap. Namun, tiba-tiba saja bibir Naruto membentuk senyuman samar ketika merasakan dua buah lengan yang melingkar mesra pada perutnya dari arah belakang seraya berbisik lembut bahwa dia amat merindukan Naruto.
Kehangatan dalam hati Naruto terasa begitu nyata sampai detik kemudian dia berbalik untuk balas memeluk. Akan tetapi, seketika itu juga sosok tersebut menghilang.
Sepasang safir yang semula terpejam kini menatap sendu pada sekitar: tidak ada siapapun di sana selain dirinya sendiri yang sejak tadi ditemani sepi.
Bersamaan dengan kesadaran yang pulih akan kondisi yang sebenarnya, hati Naruto pun perlahan tak lagi merasakan hangat, begitupula dengan senyuman yang tampak memudar, menyisakan raut wajah yang sarat akan kesedihan.
Salah satu tangan Naruto bergerak, menyentuh bagian bantal serta kasur yang kosong.
Hati Naruto amat tersayat. Begitu pedih dan menyakitkan. Hingga setitik air mata yang mendesak keluar pun, tak mendapat perlawanan dari Naruto. Embun hangat itu berderai begitu saja, menimbulkan isak pilu tanpa suara.
Jika dulu Naruto tidur sendiri bersebab Sasuke yang pergi demi memenuhi tugas di kantor. Maka, sekarang lain hal. Naruto terlelap tanpa ditemani, karena Sasuke yang telah pergi dari hidupnya dan mungkin tak akan pernah kembali.
Memang mustahil untuk benar-benar abai pada perceraian yang sudah terjadi, terutama pada sosok yang sempat menemani dan sampai saat ini masih mengisi relung hati. Naruto tahu, ini tidak mudah. Dia harus berjuang keras untuk bisa memulihkan hati serta membiasakan diri akan kondisi yang memilukan ini. Dan Naruto harap, dia bisa bertahan melawan segala kesedihan.
•
•
•
Hinata yang baru keluar dari kamar dan hendak menuju ke toilet sontak saja terkesiap kala melihat Neji yang berjalan di ruang tengah disertai sebelah pipi yang memar.
"Kakak!"
"Sssttt." Neji menyentuhkan jari telunjuk pada bibirnya sendiri sebagai isyarat agar Hinata tenang.
"Ada apa ini?" Hinata berjalan mendekat, menyentuh pipi Neji yang dia rasa perlu diobati. "Kenapa tiba-tiba wajah Kakak seperti ini?"
Mulanya Neji khawatir sang adik melihat kehadiran Sasuke di halaman rumah serta melihat pertengkaran yang sempat terjadi. Namun, mendapati Hinata yang ternyata tidak tahu apa-apa, Neji pun sedikit merasa lega. Dia tak mau urusan ini bertambah runyam bila keluarganya tahu apa yang telah terjadi.
"Tadi aku bertemu temanku di jalan dan kami memang sedang ada sedikit masalah. Lalu, dia menghajarku satu kali."
Tanpa banyak bertanya lagi, Hinata pun segera membantu Neji untuk mengobati luka itu dengan mengompresnya menggunakan air hangat sebelum diolesi obat luar.
•
•
•
Ke esokan harinya, Hikari serta Sumire juga dibuat terkejut kala melihat luka di wajah Neji. Dan Neji memberi penjelasan kepada sang ibu sama seperti yang dia katakan pada Hinata. Namun, kepada Sumire pribadi Neji berbohong dengan alibi bahwa dia terjatuh dari ranjang. Sumire yang polos pun percaya saja apa yang dikatakan oleh sang ayah.
Karena tak ingin menjadi pusat perhatian di kantor, Neji memilih meliburkan diri sampai luka di wajahnya sedikit membaik. Ketika mengantar sang anak sekolah pun, Neji tak berani turun dari mobil seperti biasa untuk menemani Sumire memasuki kelasnya. Tidak. Neji tetap berdiam di dalam mobil kemudian bergegas pulang saat Sumire sudah terlihat memasuki area sekolah.
Demi tak membuat sang ibu serta sang adik khawatir, ketika tiba di rumah Neji berusaha bersikap tenang seolah tak ada masalah apapun yang mengusiknya. Meski nyatanya, pikiran Neji tak setenang sikapnya. Tidak setelah kejadian malam tadi di mana Sasuke berbicara banyak hal mengenai Naruto.
Sebenarnya Neji tak terlalu peduli tentang ucapan Sasuke yang mengatakan bahwa Naruto tidak bisa hamil. Yang Neji cemaskan hanyalah hubungan Sasuke dan Naruto sendiri. Neji takut bila perceraian yang dikatakan Sasuke memang benar dan semua itu bersebab kesalahpahaman Sasuke akan hubungan dia dengan Naruto.
Kenapa aku harus terlibat dalam masalah seperti ini?
Neji khawatir pihak keluarga mereka pun menduga hal yang sama seperti Sasuke. Neji benar-benar tak mau kesalahpahaman ini terus berlanjut.
Hingga waktu menjemput sang anak tiba pun, Neji masih saja tak bisa menjeda pikirannya mengenai Sasuke serta Naruto. Sepanjang perjalanan pikirannya terus berkutat mengenai mereka. Bahkan, Sumire yang mengajaknya bicara pun tak terlalu dia tanggapi.
Setibanya lagi di rumah, Neji tak lantas masuk. Dia menyempatkan diri untuk menatap pekarangan rumah Sasuke yang tampak sangat hening. Tak ada siapapun. Bahkan, mobil Sasuke juga tak terlihat, padahal tadi pagi Neji masih mendapati adanya sebuah sedan hitam di sana.
"Papa!" Seruan ceria Sumire menyentak Neji dari lamunan. Gadis kecil itu berlari mendekat kemudian memeluk pinggang Neji tanpa tenaga. "Papa, nilai ulanganku semuanya bagus!"
Sungguh, Sumire nyaris lupa akan lembar soal ulangan yang tadi sang guru sudah berikan jika saja ketika tiba di dalam rumah dia tak membongkar isi tas demi menemukan permen yang terselip di dalamnya.
Neji tersenyum. Rasanya segala penat bisa hilang sejenak dengan melihat keceriaan putrinya. "Benarkah? Papa tidak percaya sebelum melihatnya sendiri."
Tanpa menunggu hal lain, Sumire segera berlari, kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil beberapa lembar ulangan harian yang tadi dikerjakannya.
"Lihat ini! Aku tidak bohong."
Neji menerima, menilik setiap lembar kertas ulangan dari masing-masing pelajaran. Nilai yang didapat Sumire memang tidak sepenuhnya mencapai 100, masing-masing hanya mendapat nilai 80-95. Tetapi, Neji bersyukur karena semakin hari Sumire semakin baik dalam belajarnya, terlihat dari perubahan nilai yang dia dapatkan.
Dan demi membuat putrinya semakin semangat belajar, Neji berencana untuk membawa Sumire berkunjung ke tempat wisata sebagai hadiah atas nilai yang didapat hari ini. Namun, tidak sekarang. Sebab, pikiran Neji masih cukup kalut.
Tidak ada banyak hal yang Neji lakukan selepas itu selain menemani sang anak belajar, memperbaiki pemahaman Sumire mengenai mata pelajaran yang sedikit sulit dimengerti olehnya.
Atensi Neji sedikit teralihkan ketika tiba-tiba Hinata datang, duduk di samping mereka dan memperhatikan Sumire yang tengah fokus mengerjakan soal latihan dari sang ayah.
"Kalau Kakak ingin istirahat, tidur saja. Biar aku yang menemani Sumire." Hinata melirik wajah Neji yang tampak letih, padahal hari ini dia tidak bekerja dan lebih banyak diam di rumah. Tetapi, Hinata paham: mungkin saja pikiran kakaknya ini sedang begitu penat.
Demi merilekskan pikirannya, Neji pun meminta izin kepada sang anak untuk istirahat sebentar. Dan beruntung, Sumire tidak rewel. Dia bersedia ditemani belajar oleh Hinata sedangkan ayahnya tidur di dalam kamar.
Sekitar tiga puluh menit berlalu, perhatian Hinata terusik oleh dering telepon rumah. Namun, bukan Hinata yang menjawab telepon tersebut, melainkan Sumire yang terburu-buru beranjak, mengangkat gagang telepon.
"Sumire, jangan sembarangan mengangkat telepon."
Sumire tak mengindahkan. Dia tetap menyapa si pemanggil dengan suaranya yang lucu. "Halo, selamat sore."
"Selamat sore, Sayangku."
Suara tak asing balas menyapa, membuat bola mata Sumire sedikit membola. "Mama!?"
"Iya, Sayang. Ini Mama." Sebenarnya tadi Yugao sudah menghubungi Neji beberapa kali, namun tak ada satu pun panggilannya yang terjawab sehingga Yugao memilih untuk menghubungi keluarga Hyuuga melalui telepon rumah. "Sumire sedang apa? Sudah makan?"
"Aku sedang belajar dengan Kak Hinata. Tapi, aku belum makan karena belum lapar."
"Kenapa tidak ditemani Papa Neji? Ke mana dia?"
"Papa tidak pergi ke mana-mana. Papa ada di rumah. Tapi, sedang tidur karena--"
"Ya ampun, bagaimana bisa Papamu itu tidur? Seharusnya dia menemanimu belajar dan memperhatikan pola makanmu dengan benar. Kau bisa sakit jika terlambat mengisi perutmu, Sumire."
Karena suara Yugao cukup tinggi, maka Hinata pun bisa mendengarnya kemudian melakukan isyarat pada Sumire agar memberikan gagang telepon tersebut kepadanya. "Biar Kak Hinata yang bicara," bisiknya.
Sumire menurut. Dia memberikan gagang telepon pada Hinata tanpa ada niat untuk beranjak dari sana.
"Halo, Kak Yugao." Hinata menyapa dengan suara lembut dan santun. "Sebenarnya sejak tadi Kak Neji yang menemani Sumire. Tapi, karena Kak Neji belum istirahat sama sekali, jadi aku memintanya untuk tidur. Dan untuk masalah Sumire yang belum makan, Sumire sendiri memang belum lapar. Kakak tidak perlu cemas ya, Kak Neji tak pernah abai pada anaknya, dia selalu memperhatikan dan mementingkan Sumire lebih dari apapun."
Jujur saja, Hinata sudah merasa jengkel akan sikap Yugao yang selama ini selalu berpikiran negatif pada Neji dengan mengira bahwa Neji tak pandai mengurus Sumire. Padahal, dirinya sendirilah yang sama sekali tak bisa merawat Sumire. Untuk sekadar membagi waktunya demi menemani sang anak pun Yugao jarang bisa memenuhi. Dia selalu beralasan sibuk akan karir serta suami barunya. Namun, ucapannya selalu membuat kesan seolah-olah dia sering menemani Sumire dan ikut merawat layaknya seorang ibu.
"Begitu." Yugao menyahut tak peduli. "Maaf, bisakah aku kembali bicara dengan Sumire?"
"Mama ingin bicara lagi denganmu." Hinata kembali memberikan gagang telepon pada Sumire yang sejak tadi memperhatikannya.
"Ini aku, Ma."
"Sayang, nanti malam Mama akan datang ke situ. Kau jangan pergi ke mana-mana, ya. Mama ingin bertemu denganmu."
"Benarkah? Aku juga ingin bertemu dengan Mama."
"Tentu saja. Mama sangat merindukanmu. Nanti kita makan malam bersama, oke?"
"Hm, aku juga merindukan Mama."
"Oh ya, Mama ada hadiah untuk Sumire, lho. Sumire pasti suka."
Ketika Sumire bertanya apa hadiah tersebut, Yugao hanya menjawab bahwa hadiahnya rahasia dan akan diberikan nanti malam ketika mereka bertemu serta makan bersama.
Sumire menaruh gagang telepon ke tempatnya semula saat panggilan sudah terputus. Dia kemudian menatap Hinata dengan pandangan berbinar. "Kak, nanti malam mama akan datang ke sini. Mama juga akan memberiku hadiah."
Belum sempat Hinata menjawab, Sumire sudah lebih dulu berlari menuju kamar sang ayah. Membangunkannya perlahan-lahan.
"Papa."
"Papa, bangun."
Perlahan, Neji membuka kelopak matanya. "Ada apa, Sayang?"
Dengan penuh kebahagiaan, Sumire menceritakan obrolannya bersama sang ibu dan hal itu menuai kekhawatiran Neji. Sebab, Neji takut Yugao tak bisa menepati janji mengingat betapa seringnya Yugao ingkar dan berakhir dengan mengecewakan putri mereka.
"Nanti aku juga akan menunjukkan nilai dari hasil ulanganku pada Mama." Harapan Sumire bertemu dengan sang ibu terlihat begitu besar. "Mama pasti senang."
Neji tak mengucapkan apapun. Dia hanya mengusap puncak kepala Sumire seraya berdoa semoga kali ini Yugao mampu membuktikan ucapannya.
•
•
•
Malam tiba. Sumire sudah bersiap menyambut kedatangan sang ibu dengan penampilan yang rapi, cantik serta harum. Sedangkan Hikari serta Hinata sibuk menyiapkan makan malam untuk mereka, begitu pula dengan Neji yang membantu menata piring di atas meja.
"Sayang, kau mau makan duluan?" Neji berjalan mendekat, menghampiri Sumire yang duduk menghadap jendela rumah.
Sumire menggeleng tegas. "Aku ingin makan bersama Mama."
Neji ikut terduduk seraya membelai sebelah pipi sang anak. "Tapi, kalau kau memang sudah lapar, makan sekarang saja."
Lagi-lagi Sumire menggeleng. "Tidak mau. Aku sudah janji."
Tak ada lagi yang bisa Neji lakukan selain menemani Sumire yang terus-menerus menatap jalanan melalui jendela rumah dengan harapan Yugao segera datang.
Sekitar dua jam sudah berlalu. Waktu pun sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Namun, Yugao masih tak kunjung terlihat, membuat Hikari, Hinata serta Neji mulai cemas.
"Apa Yugao tidak akan datang?" Hikari bertanya pada Hinata. "Coba kau bantu hubungi dia melalui telepon rumah."
Selain Hinata, Neji juga telah beberapa kali menghubunginya melalui ponsel. Tetapi, tak ada satu pun panggilannya yang dijawab oleh Yugao.
"Papa." Sumire memelas. "Mama masih di mana?"
"Mungkin Mama sedang ada kendala di jalan." Neji berusaha menenangkan. Dia juga meraih tubuh sang anak agar duduk di atas pangkuannya.
Raut wajah Sumire mulai tampak sendu. Dan di samping itu, Sumire merasakan kedua matanya yang mulai terasa berat. Namun, sebisa mungkin dia menahan kantuk demi menemui sang ibu yang bahkan tak pasti akan datang.
Malam semakin larut. Sumire tak lagi kuasa untuk melawan rasa kantuk. Hingga tanpa dia inginkan, dia tertidur di atas pangkuan sang ayah dengan satu tangan yang mencengkeram beberapa lembar soal ulangan.
Hati Neji tercubit sakit melihatnya. Tak dia kira, Yugao kembali mengingkari janji dan membuat Sumire kecewa untuk ke sekian kalinya.
"Kak Yugao keterlaluan." Hinata bergumam pada sang ibu. "Lagi-lagi dia seperti ini."
Hikari hanya menghela napas. Dia juga kecewa akan sikap Yugao yang tak pernah mementingkan Sumire.
Tanpa berkata apapun pada sang adik serta sang ibu, Neji lantas membawa Sumire ke dalam kamar, membaringkannya di atas ranjang kemudian mengambil beberapa lembar kertas yang sudah lumayan kusut karena cengkeraman.
Dan dua puluh menit setelah itu, Neji terpaksa beranjak keluar, meninggalkan sang anak sendirian ketika Hinata memberitahu akan kedatangan Yugao.
"Mau apa kau ke sini?" Tatapan Neji tampak dingin.
"Tentu saja bertemu anakku." Yugao menggulirkan pandangan ke sekitar. "Di mana Sumire?"
"Sumire sudah tidur. Pulanglah."
Neji berbalik memunggungi dan hendak melangkah pergi. Namun, Yugao dengan cepat menarik bahunya, membuat mereka kembali berhadapan.
"Aku ingin bertemu dengannya."
"Dia juga ingin bertemu denganmu! Dia bahkan menunggumu sejak tadi! Tapi, apa yang kau lakukan!? Lagi-lagi kau ingkar!" Suara Neji sedikit meninggi dengan sorot mata yang benar-benar murka. "Di mana pikiranmu, Yugao!? Kau membuat anakmu menahan lapar! Sumire tidak mau makan sejak tadi karena ingin makan bersamamu! Tapi, orang yang ditunggunya tak datang sesuai janji!"
"Ada hal penting yang harus kuselesaikan."
"Lebih penting dari kebahagiaan anakmu!?"
Yugao terdiam kemudian menghela napas kasar. Dia benar-benar tak menduga Neji akan berani marah kepadanya. "Tidak ada pilihan lain, Neji."
"Kapan kau bisa memprioritaskan Sumire dalam hidupmu!?" Rahang Neji mulai mengeras dengan tangan terkepal. Jika dia gelap mata, mungkin dia akan memukul Yugao saat itu juga. "Jika kau memang tak mampu, kau tak perlu membuat janji."
"Tapi, aku tadi benar-benar--"
"Yugao, bukan sekali kau seperti ini!"
Sejak perdebatan dimulai, Hikari dan Hinata mulai menjauh dari tempat. Mereka memasuki kamar di mana Sumire berada, berusaha membuat Sumire tetap nyaman dalam tidurnya agar tak mendengar atau melihat kedua orangtuanya yang tengah bertengkar.
Yugao membuang napas. Dia sungguh jengkel pada Neji. Tetapi, dia juga tak mau berdebat lama hingga membuang lebih banyak waktunya. Tidak. Yugao tak punya banyak waktu jika harus meladeni ocehan Neji.
"Berikan ini pada Sumire." Yugao memberikan sebuah kantong kertas berisi kotak kecil yang dihiasi pita berwarna ungu. Tetapi, Neji tak menerimanya sehingga Yugao pun hanya menyimpan benda itu di atas sofa. "Aku pamit," ucapnya seraya berlalu pergi.
Neji mengusap wajah dengan kasar. Jika boleh, dia ingin Sumire tak perlu berhubungan lagi dengan Yugao mengingat Yugao pun yang tak pernah merawat serta mementingkannya. Namun, baik buruk hal tersebut, Yugao tetaplah ibunda Sumire. Neji tak bisa memisahkan mereka.
•
•
•
TBC ...
18 - Januari - 2022
===
A/N: Sebetulnya saya mau ubah judul cerita ini setelah menilik detail jalan cerita. Tapi, tidak jadi karena takut pembaca bingung :D
Ada kemungkinan judul akan berubah dalam versi ebook/PDF saja, sedangkan di Wattpad tetap "ISDLM" supaya pembaca tidak merasa asing.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro