Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18 : Rencana

Bab 18 : Rencana



Mikoto cukup terkejut melihat Sasuke yang membentak Sakura hanya karena wanita itu terus bertanya hendak pergi ke mana. Selama ini, dia tak pernah satu kali pun melihat Sasuke bersikap kasar pada wanita.

Namun, tentu saja keterkejutan Sakura melibihi Mikoto. Dia tak pernah menduga Sasuke akan bersikap demikian padanya.

"Maaf." Sasuke yang baru menyadari sikap tidak baiknya pada Sakura segera berusaha mengendalikan emosi. Oh, Sasuke bisa sangat rugi bila Sakura sampai berbalik marah dan mendiamkannya berhari-hari. Karena jika demikian, maka Sasuke tak akan mendapatkan kepuasan apapun. Tidak, Sasuke tak mau kehilangan kesenangan itu meski hanya sebentar. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud membentakmu."

Sakura masih tampak sedih. "Kau kenapa, sih? Sejak tadi kau terlihat gelisah dan tiba-tiba kau bersikap seperti ini padaku."

"Aku ... hanya emosi karena masalah dengan rekan kerjaku."

"Dan kau melampiaskannya padaku?"

"Tidak, Sakura. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud seperti itu."

"Lalu, kau mau pergi ke mana sebenarnya?"

Sasuke terdiam. Tidak mungkin bila dia berkata bahwa dia hendak mencari Neji dan Naruto. Sungguh tidak mungkin dia berkata yang sejujurnya, bisa-bisa Sakura murka.

Karena tak memiliki alasan yang logis untuk berbohong, Sasuke segera berpamit pada sang ibu untuk mengantar Sakura pulang.

"Kau akan mengantarku ke Suna?" Sakura terlihat tak senang. Sepasang iris hijaunya menatap Sasuke dengan gelisah. "Aku masih ingin di sini. Aku tidak mau kembali ke Suna tanpamu."

Sasuke mendengkus kemudian mengelus sebelah pipi Sakura sebelum kembali fokus menyetir. "Pulang ke kamar hotel kita, Sayang," ujarnya menuai senyuman bahagia di bibir Sakura.

Ya, tidak mungkin Sasuke mengantarkan wanita itu pulang ke Suna dengan kondisi yang seperti ini. Terlebih, bila Sakura di Suna sedangkan dirinya di Konoha, lantas bagaimana caranya mereka bisa berbagi kehangatan secara nyata? Mustahil bila Sasuke harus ikut tinggal di Suna. Tidak, Sasuke tak mau. Hatinya terasa berat untuk meninggalkan Konoha. Entah mengapa, Sasuke juga tak mengerti. Padahal saat masih bersama Naruto, dia begitu mudah pergi meninggalkan Konoha, tak ada perasaan gelisah seperti sekarang.

Sasuke menghela napas. Raut wajahnya tampak tidak tenang. Karena bagaimana bisa dia tenang setelah Kiba mengirimnya foto-foto seperti itu? Ah, jika saja Sakura tadi tak menahannya mungkin sekarang dia sudah menemui keduanya.

Sial, tanganku sangat gatal ingin memukul pria Hyuuga itu!



Keheningan menyelimuti suasana di dalam mobil. Naruto tak berkata apapun usai memberi nasihat pada Neji agar jangan bersikap terlalu keras kepada Sumire. Begitu pula dengan Neji yang masih terdiam membisu, membuat Naruto semakin tak nyaman dengan keadaan tersebut.

Apa Neji marah, ya?

Sesekali Naruto melirik Neji yang tampak fokus menyetir kemudian kembali menatap wajah damai Sumire.

Aku memang lancang. Tidak seharus--

"Terima kasih."

Suara berat Neji menyentak Naruto dari lamunan hingga wanita itu kembali menoleh padanya.

Tatapan Neji mulai bertaut dengan sepasang iris biru Naruto melalui kaca spion atas. "Terima kasih atas nasihatnya. Apa yang kau katakan memang ada benarnya. Ibu juga selalu menasihatiku begitu."

Ah, Naruto bisa menghela napas lega kali ini. Dia pikir Neji akan tersinggung dan marah padanya.

Tidak banyak yang mereka bicarakan lagi setelah itu selain melempar senyuman tipis kemudian kembali fokus pada kegiatannya masing-masing: Neji menyetir dan Naruto menyamankan posisi tidur Sumire agar semakin nyenyak. Namun, alih-alih kembali tidur lelap, Sumire justru mulai terjaga, gadis kecil itu mengusap kedua matanya beberapa kali sebelum menatap Naruto cukup lama.

"Kita ... masih di mobil?"

Naruto mengangguk dan tersenyum tipis. "Hm, tidurlah kembali. Aku akan menjagamu hingga kau tiba di rumah."

Tidak. Sumire tidak ingin tidur lagi. Dia memang sulit untuk tertidur kembali bila sudah terjaga.

"Sumire, jika kau tidak tidur lagi, bangunlah. Jangan terus berbaring di pangkuan Kak Naru. Kau akan membuat kakinya kram."

Naruto terkesiap. Dia ingin membantah ucapan Neji, tetapi Sumire dengan cepat menuruti perintah sang ayah dan mulai mengubah posisi menjadi duduk.

"Kalau kau ingin berbaring tidak apa-apa, di sini saja ..." Naruto menepuk-nepuk kedua pahanya.

Sumire menggeleng. "Tidak. Papa akan marah."

Naruto tak mengucapkan apapun lagi, dia hanya tersenyum seraya mengelus pucuk kepala Sumire penuh sayang. Batinnya berandai, membayangkan jika dia memiliki anak dari pernikahannya dengan Sasuke, mungkin sekarang dia juga akan seperti Neji: ada teman ketika pergi, makan dan hal-hal menyenangkan lainnya. Betapa hal itu pasti akan sangat menyenangkan, Naruto yakin.

Bersebab Sumire yang tak lagi terlelap dan membuat Naruto tak harus menjaganya sepanjang perjalanan, Naruto pun segera meminta pada Neji untuk menghentikan laju mobilnya. Terlebih, hujan pun sudah mulai reda.

"Kau ingin turun?"

Naruto mengangguk.

"Tapi, jalan yang kau sebutkan tadi masih cukup jauh dari sini."

Demi membuat Neji tak cemas, Naruto berkata bahwa dia memiliki urusan lain di daerah ini dan akan menemui temannya. Neji pun percaya begitu saja sehingga dia tak keberatan untuk meninggalkan Naruto di sana. Namun, berbeda dengan Sumire yang sedikit sendu saat Naruto berpamit pergi. Gadis kecil itu bahkan enggan membalas tatapan Naruto. Yang Sumire lakukan hanya menunduk dengan raut tak senang.

"Kenapa merengut seperti ini, hm?" Naruto bertanya lembut pada Sumire. Karena posisinya sudah di luar mobil, dia hanya bisa mengelus sebelah pipi Sumire dengan salah satu tangannya.

"Sumire," tegur Neji.

Sumire sedikit menegakkan pandangan, menatap Naruto dan Neji bergantian. "A-aku masih ingin bersama Kak Naru."

"Naru harus pulang."

"Tapi, Papa ... aku--"

"Sumire, kita memiliki kesibukan masing-masing. Kau tidak bisa menahan Naru untuk terus bersama kita."

Sumire mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Dia tak berani berbicara lagi usai mendengar sang ayah yang sedikit meninggikan intonasi suaranya. Ya, Neji memang tidak membentak. Papanya itu hanya berusaha menegaskan. Tapi, tetap saja Sumire takut untuk berucap lagi meski hanya sepatah kata.

Melihat hal tersebut, Naruto pun berusaha menenangkan Sumire dengan berucap selembut mungkin. "Papa Neji benar, ada hal lain yang harus kuurus. Begitu pula dengan Papa Neji serta Sumire, setelah ini kalian pasti ada kesibukan lain, bukan?" Naruto tersenyum tulus seraya memberi usapan pelan pada pucuk kepala putri Neji. "Jangan sedih, ya. Aku janji, jika ada waktu luang kita pasti akan bertemu lagi."

"Aku tidak mau bertemu saja." Sumire menggeleng. "Aku ... ingin kita jalan-jalan lagi dan makan es krim bersama."

Neji terkesiap akan kepolosan sang anak yang seolah-olah menganggap bahwa tadi mereka sudah menghabiskan waktu dengan sengaja. Padahal, semuanya sama sekali tidak direncanakan.

Sementara Naruto hanya tertawa kecil dan mengangguk setuju. "Iya." Dia melirik Neji yang hendak mengucapkan sesuatu pada Sumire. "Tak apa, Neji. Aku tidak keberatan."

Karena dirasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Neji pun segera bergegas melajukan mobilnya kembali dengan kecepatan normal. Sedangkan Naruto masih berdiri di tempatnya, membalas lambaian tangan Sumire melalui jendela mobil.

"Papa." Sumire tak lagi menatap keluar melalui jendela mobil untuk berlambai pada Naruto. Sebab, jarak mereka sudah cukup jauh. "Ini milik Kak Naru, 'kan?" Dia menunjukkan jaket milik Naruto yang tadi Naruto pinjamkan padanya.

Neji melirik sekilas. "Ya, sepertinya Naru lupa membawanya."

Tiba-tiba saja Sumire tersenyum dan menatap sang ayah dengan pandangan penuh harapan. "Nanti kita akan bertemu dan makan es krim dengan Kak Naru lagi, 'kan?"

Neji tak lantas menjawab. Dia hanya melempar senyuman tipis. Sungguh, dia sangat ragu untuk menyanggupi keinginan sang anak. Karena Neji rasa, dirinya dengan Naruto tidak cukup akrab. Jadi, bagaimana mungkin nanti dia tiba-tiba mengajak Naruto untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama? Neji sangat sadar hubungan mereka tak sedekat itu.



Naruto berdiri tenang di atas trotoar yang basah karena guyuran hujan di beberapa menit yang lalu. Sebenarnya dia tidak memiliki urusan apapun di tempat ini, bahkan dia tak memiliki kenalan. Ya, dia sengaja berbohong pada Neji karena tak mau merepotkan. Sebab, jarak ke jalan haru masih cukup jauh. Naruto tidak ingin menyita waktu Neji lebih banyak lagi hanya untuk mengantarkan dirinya pulang.

Kala sebuah taksi berhenti, Naruto pun lantas memasuki. Selama perjalanan ke tempat tujuan, Naruto hanya termenung di dalam mobil: membayangkan sesosok pria yang kini tak bisa serta tak pantas lagi untuk dia panggil sebagai seorang suami. Ah, bukan sengaja membayangkan. Tapi, lebih tepatnya masih terbayang. Ribuan kenangan tidak akan semudah itu untuk bisa hilang dari pikiran.

Naruto memejamkan mata untuk beberapa saat, berusaha menepis segala bayang kenangan yang memenuhi benak.

Bersamaan dengan kelopak matanya yang terpejam, sebuah sedan hitam melaju dari arah yang berlawanan saat taksi yang dia naiki memasuki jalan dua arah. Dan ketika kedua mobil itu sudah silih melewati, kelopak mata Naruto pun kembali terbuka secara perlahan. Takdir seolah sengaja membuatnya untuk tak melihat sebuah sedan hitam tersebut yang dipastikan akan menjadi penyebab kegelisahan di dalam hatinya semakin bertambah serta pikiran mengenai sosok pria itu semakin tak sulit dienyahkan.



Sakura yang tak memiliki beban pikiran apapun tampak senang saat dirinya dan Sasuke sudah kembali tiba di kamar hotel. Berbeda dengan Sasuke yang pikiran serta suasana hatinya masih kacau sejak melihat foto yang Kiba kirimkan.

"Aku ada di sini tapi kau banyak melamun." Sakura mengalungkan kedua lengannya pada bahu Sasuke. Dan karena posisi Sasuke tengah berdiri tegap, dia pun harus sedikit berjinjit. "Sejak tadi kau terlihat gelisah. Apa kau masih memikirkan mantan istrimu?" Raut wajah Sakura mulai menunjukkan kecemburuan. "Jangan-jangan ... sebenarnya kau menyesal sudah menceraikan dia!?"

Sasuke sedikit terkesiap dan tak lama kemudian dia mendengkus pelan disertai ekspresi angkuh. "Apa yang harus kusesali?"

"Sungguh?"

"Dia lah yang lebih pantas untuk menyesal, bukan aku."

Ya, bagi Sasuke, Naruto lah yang pasti akan menyesali perceraian mereka. Karena menurutnya, Naruto tak akan mampu mendapatkan pria yang lebih baik dari dirinya, hanya dia satu-satunya pria yang sanggup menerima Naruto.

Seulas senyum tampak terbit di bibir Sakura. "Aku tidak peduli jika dia yang menyesal. Karena yang terpenting, sekarang kita tak perlu lagi menyembunyikan hubungan kita." Sakura benar-benar bahagia akan perceraian Sasuke dan Naruto, karena dengan begitu dia tak perlu lagi bersikap seperti orang asing pada Sasuke di depan rekan kerja mereka nanti. Ya, Sakura sudah cukup jengkel harus menyembunyikan semuanya. Dan kini, dia akan menunjukkan dengan bangga pada siapa saja bahwa Sasuke adalah miliknya.

Jika Sakura berpikir demikian, maka berbanding terbalik dengan Sasuke yang masih tak setuju untuk membuka status hubungan mereka yang sebenarnya. Bukan Sasuke tak mau mengakui Sakura, Sasuke hanya tak ingin reputasinya menjadi buruk. Penilaian orang-orang pada dirinya akan menjadi rendah jika mereka mengetahui perihal hubungannya dengan Sakura, padahal perceraian dengan Naruto pun baru saja terjadi dan bahkan belum mencapai satu hari.

Bagaimanapun caranya Sasuke akan tetap berusaha untuk menutupi hubungan mereka sebelum masa perceraian dengan Naruto mencapai beberapa bulan, agar orang-orang tak curiga atau berpikir negatif padanya. Terlebih, Sakura adalah rekan kerjanya di Suna, bisa menjadi gosip panjang bila mereka tahu yang sebenarnya.

"Daripada hanya melamun, kenapa kita tidak bersenang-senang saja?" Sakura berbisik sensual, mengecup mesra rahang Sasuke seraya sedikit mengelus dada bidangnya, memberi undangan kuat yang tak mampu Sasuke tolak.

Sasuke balas mengecup pipi Sakura sebelum beralih pada bibir dan beberapa inci tubuhnya. Jujur saja, awalnya Sasuke hanya berniat mengantar Sakura ke sini tanpa melakukan apapun, sedangkan dia berencana akan kembali ke kediaman Uchiha guna menyelesaikan sedikit masalah dengan orang tuanya. Tapi, mendapat undangan seperti ini dari Sakura, Sasuke rasa tidak ada salahnya bila dia melayani dengan harapan pikirannya bisa kembali tenang dan segar.

Ya, harapan Sasuke memang begitu. Namun, rupanya kegelisahan yang bercokol dalam dada tak kunjung sirna meski dia sudah bercinta dengan Sakura cukup lama. Bahkan, kini Sakura telah tertidur pulas. Sedangkan dirinya sendiri masih terjaga, menatap kosong langit-langit ruangan.

Sasuke menghela napas kemudian turun dari ranjang dengan bertelanjang dada. Sungguh, Sasuke tahu, Sasuke sadar, foto yang Kiba kirimkan sangatlah tidak menyenangkan untuk dipandang. Tapi, meski begitu, tangannya justru meraih ponsel untuk kembali melihat potret tersebut.

Ekspresi cemburu, benci dan amarah terlukis kentara di wajah Sasuke. Tatapan bengisnya juga menjadi pelengkap sempurna, membuat siapapun pasti merasa takut untuk memandangnya.

Rahang Sasuke mengeras setelah cukup lama menatap potret sang mantan istri dengan seorang pria duda beranak satu yang sangat dia cemburui sejak dirinya dan Naruto masih bersama.

Naru, sekarang kau bisa bersenang-senang dengan pria sialan itu. Tapi, apa kau yakin dia bisa tetap bersikap seperti itu padamu, menerimamu, setelah mengetahui kecacatanmu sebagai seorang wanita!?

Cengkeraman Sasuke pada ponsel semakin kuat hingga beberapa buku jarinya tampak memutih.

Tidak akan ada pria yang sudi hidup bersama wanita sepertimu selain aku! Kau akan menyesal, Naruto! Kau akan benar-benar menyesali keputusanmu berpisah dariku!

"Dasar wanita bodoh." Sasuke kembali menaruh ponselnya di atas nakas setelah menghapus foto tersebut sebelum kembali berbaring di samping Sakura: wanita yang dia anggap jauh lebih baik daripada Naruto.



"Aku pulang." Naruto membuka pintu dengan perlahan. Dia sedikit heran mendapati suasana rumah yang begitu sunyi, tak ada suara orang berbincang mau pun suara televisi. "Ayah, ibu," panggilnya seraya berjalan masuk.

"Ibu di sini!" Kushina berseru dari arah dapur.

"Ayah di mana?" tanya Naruto setelah memasuki dapur dan berdiri di samping sang ibu yang hendak memasak.

"Dia sedang pergi ke rumah temannya."

"Siapa?"

"Hayate. Katanya, Hayate sedang sakit dan butuh pinjaman uang untuk berobat."

Naruto mengangguk paham kemudian membantu sang ibu menyiapkan beberapa makanan untuk makan malam.

"Naru, tadi Bibi Mito menghubungi Ibu," tutur Kushina tanpa mengalihkan atensi dari kegiatannya menata piring di atas meja. "Katanya, rumah sakit di perbatasan kota sedang membutuhkan beberapa perawat. Dia dapat informasi ini dari tetangganya yang bekerja di sana."

"Lalu?"

"Ini bukan perintah, ini hanya saran dari Ibu ... bagaimana jika kau melamar ke sana? Kau lebih berpengalaman, pihak rumah sakit pasti tidak akan ragu untuk menerimamu."

Naruto memang sudah ada niat untuk mencari pekerjaan secepatnya. Tetapi, dia tak pernah terpikir untuk kembali bekerja sebagai seorang perawat. Ya, dulu dia memang sempat bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit besar di Kota Konoha, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk berhenti ketika statusnya sudah menjadi istri Uchiha Sasuke.

Kala itu, Naruto merasa cukup berat untuk keluar dari pekerjaan yang sangat disukainya. Tetapi, perintah dari Sasuke selaku suaminya saat itu tak sanggup dia tolak. Dia berusaha menjadi istri yang baik dengan mematuhi apapun keinginan Sasuke.

"Dan jika kau bekerja di sana, Bibi Mito ingin kau menetap di kediamannya." Kushina sangat setuju akan permintaan Mito. Karena jarak dari rumahnya ke perbatasan kota antara Konoha dan Ame sangat jauh. Kushina rasa, memang lebih baik bila Naruto tinggal di Kota Ame, di rumah Mito yang jaraknya cukup dekat ke rumah sakit.

"Apa tidak akan merepotkan Bibi Mito jika aku tinggal bersamanya?"

Kushina tertawa pelan. "Kau sudah dewasa, Sayang. Kau bisa merawat dirimu sendiri, mengurus segala keperluanmu sendiri. Bagaimana mungkin kau merepotkannya? Terlebih, dia sendiri yang memintamu untuk tinggal di sana. Ya ... mungkin untuk menemaninya juga. Sekarang 'kan dia hanya hidup sendiri."

"Lalu, apa Ayah tahu tentang hal ini?"

"Tentu saja. Tadi Ibu sudah membicarakannya terlebih dahulu dengan Minato dan dia menyerahkan semua keputusannya padamu."

Naruto termenung. Berusaha mempertimbangkan semuanya sebelum mengangguk setuju. Ya, lagipula dia tak ada alasan untuk menolak. Baginya, bekerja dan menjauh dari tempat ini adalah pilihan terbaik. Dengan kesibukkan yang nanti akan menjadi rutinitas, Naruto harap hal itu bisa menjadi sebab hatinya mendapat ketenangan, terlepas dari beban-beban kenangan.

Naruto tak tahu, apakah dia pengecut karena terkesan sudah lari dan menghindar? Tapi, hanya ini satu-satunya peluang untuk Naruto bisa memulai kehidupan baru tanpa terhantui oleh berbagai macam kenangan dengan seorang Uchiha Sasuke. Dan memang itulah tujuan Minato serta Kushina mengizinkan Naruto bekerja jauh juga tinggal di kota lain, mereka ingin sang anak bisa menemukan kedamaian untuk hatinya.



"Apalagi yang kau tunggu?" Gin bersandar malas di ambang pintu. Dia sudah memberikan kunci motor yang dipinta oleh adiknya. Tapi, adiknya itu tak kunjung beranjak.

Jika boleh jujur, sesungguhnya adik Gin sangat penasaran pada benda berbentuk seperti buku yang tadi sang kakak lihat. Sebab, dia cukup sering memergoki Gin menatap album tersebut. Dia yakin, itu bukanlah album foto keluarga karena album foto keluarga ada terletak di ruang tengah.

Foto apa yang terdapat di dalamnya?

Rasa penasaran sang adik semakin tinggi bersebab Gin selalu menyimpan album tersebut dengan sangat tersembunyi dan apik. Terlebih, Gin hanya akan membuka dan menatap foto di dalamnya bila sendirian atau di tempat tertutup seperti kamar.

"Kawaki," tegur Gin kemudian. "Kau menunggu apa lagi?"

Sang adik hanya mengedikan bahu kemudian berbalik badan dan melambaikan tangan dengan malas. "Aku pergi."

"Lajukan dengan kecepatan normal." Gin berusaha menasihati walau dia ragu Kawaki akan mematuhi.

"Hm, hm." Kawaki hanya menyahut malas seraya meraih jaket jeansnya yang tersampir di sofa.

Gin menghela napas. Dia benar-benar cukup lelah dan selalu nyaris kewalahan mengurus Kawaki yang sudah berusia sembilan belas tahun. Sejak beranjak remaja, adiknya itu semakin sulit diatur. Saat SMA pun, tak jarang Kawaki membuat Gin harus datang ke sekolah, menghadap guru yang menegurnya perihal masalah yang dibuat oleh sang adik.



TBC ...
08 - Desember - 2021
=====
Tidak bosan saya berterima kasih kepada kalian yang sudah menunggu dan membaca hingga chapter ini, walau update-nya begitu lama. 🐢💚

Kalau berkenan, mampir juga ke cerita terbaru, ya :





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro