Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10 : Pengkhianatan yang Sempurna (+18)

Bab 10 : Pengkhianatan yang Sempurna (+18)
Warn : Bermuatan dewasa! | Bab ini ditulis dengan lebih dari 7k kata, silakan buka ceritanya melalui profil saya atau log out akun Wattpad kamu terlebih dahulu bila naskah tidak tampil lengkap atau tidak beraturan.



Makan malam sudah disiapkan, beberapa anggota keluarga Uchiha pun mulai duduk rapi di kursi meja makan.

Sesekali Fugaku melirik ke arah pintu ruangan, berharap Sasuke dan Naruto muncul dari sana, bergabung dengan mereka untuk makan malam bersama. Tetapi, tidak ada sedikit pun tanda-tanda bahwa sepasang suami-istri itu akan hadir di antara mereka.

Sebenarnya Fugaku sudah tahu bahwa Sasuke dan Naruto sedang sibuk. Karena tadi sebelum makan malam ini siap, Fugaku hendak menjemput keduanya ke dalam kamar, tetapi belum sempat Fugaku mengentuk pintu, dia sudah dibuat bungkam oleh papan yang menggantung di knop pintu dengan tulisan 'Jangan Mengganggu!'

Fugaku tidak tahu pasti apa yang membuat keduanya sibuk di dalam sana. Namun, Fugaku yakin putra bungsunya dan sang menantu berhati bak malaikat itu pasti tengah bersenang-senang. Sehingga tadi Fugaku hanya tersenyum menanggapinya sebelum kembali ke ruang makan.

Namun, sekarang Fugaku mulai sedikit heran karena dia rasa Sasuke dan Naruto sudah terlalu lama berada di dalam kamar. Yah, sebenarnya tidak masalah memang. Hanya saja, tidak biasanya mereka selama ini mengurung diri di dalam kamar jika belum memasuki waktu terlelap. Terlebih, ini pun sudah saatnya makan malam, Fugaku tidak mau jika sampai mereka terlambat mengisi kebutuhan perutnya di malam hari.

"Ayame, bisakah kau membawakan makanan ini untuk Sasuke dan Naruto?" Fugaku dengan gesit memisahkan beberapa makanan yang tersedia di meja makan ke dalam piring-piring kosong yang sudah dia taruh terlebih dahulu di atas nampan. Seharusnya Mikoto lah yang berinisiatif seperti ini. Dia yang harusnya lebih mengerti. Tetapi, Fugaku paham istrinya mana sudi melakukan hal ini untuk Naruto.

Ayame yang semula hendak beranjak pun harus menahan langkahnya seraya mengangguk patuh kala mendengar permintaan Fugaku.

"Tolong berikan ini pada mereka."

Dengan sopan Ayame menerima nampan berisi beberapa makanan yang Fugaku berikan. "Baik."

Namun, baru saja Ayame tiba di pertengahan anak tangga, dia sudah dikejutkan oleh Sasuke yang berjalan turun sembari membawa Naruto dalam gendongan dengan pakaian keduanya yang tampak tidak rapi, terutama Naruto karena tadi Sasuke sangat tergesa memakaikan baju serta celana pada sang istri.

Dan karena pintu ruang makan terbuka sepenuhnya, di dalam sana atensi semua orang pun teralih pada suara langkah kaki yang terdengar terburu-buru. Walau begitu, hanya Itachi yang memutuskan keluar untuk melihat bersebab penasaran siapa yang berjalan tergesa seperti itu.

"Apa yang terjadi!?" Itachi tampak terkejut kala melihat Naruto yang tidak sadarkan diri dalam gendongan suaminya.

"Dia pingsan." Sasuke menjawab dengan napas memburu. Sedangkan kedua tangannya tampak menyamankan posisi sang istri. "Bisakah kau antar aku ke klinik terdekat?"

Itachi paham, sopir pribadi di kediaman orang tuanya ini tidak akan bisa membawa mobil dengan terburu-buru tapi juga hati-hati, sehingga dia yang harus membantu sang adik.

Tanpa mengatakan apapun, Itachi segera meraih kunci mobil. Sementara anggota keluarga yang lain turut keluar dari ruang makan dan sama terkejutnya kala kali pertama melihat pemandangan Sasuke yang tengah membawa Naruto dalam gendongannya.

"Kau diam saja di sini. Aku akan mengantar Sasuke dan Naruto ke klinik." Itachi menangkup kedua pipi sang istri sebelum melandaskan ciuman singkat pada dahinya.

Izumi hanya mengangguk paham. Sesungguhnya dia sangat penasaran, tapi dia tahu tidak ada waktu untuk bertanya perihal apa yang sudah terjadi karena Sasuke segera beranjak dan dengan tergesa memasuki mobil kala Itachi bantu membuka salah satu pintu mobilnya.

Di saat semua orang nyaris dilanda kepanikan, Mikoto justru malah tetap duduk santai di kursi meja makan sembari menyantap beberapa makanan. Awalnya dia memang penasaran kala mendengar derap langkah kaki yang tergesa, namun ketika Itachi keluar untuk memastikan apa yang terjadi dan akhirnya dia pun mendengar percakapan kedua putranya, alih-alih cemas atau keluar dari ruang makan untuk melihat keadaan sang menantu, Mikoto justru kembali tenang tanpa sedikit pun menolehkan pandangan kepada orang-orang yang ada di luar ruangan.

"Bisa-bisanya kau tetap makan dengan santai." Fugaku menghela napas kasar, merasa tidak habis pikir akan sikap sang istri.

Tanpa mengalihkan pandangan pada sang suami, Mikoto terus menikmati setiap suapan yang masuk ke dalam mulutnya. "Memang aku harus bagaimana?" tanyanya kemudian.

"Apa kau sudah tidak memiliki rasa empati?"

Mikoto membuang napas dengan malas. "Kau saja yang berlebihan," sahutnya seraya menatap Izumi yang tak jauh dari mereka berada. "Sayang, kau tidak makan?"

Izumi menggeleng. "Tidak, Bu. Aku ingin makan bersama Itachi. Jadi, nanti saja saat Itachi sudah pulang."

"Hm, Ibu paham." Mikoto menaruh sendok yang semula digunakannya kemudian berdiri menghampiri Izumi. "Sekarang kau mau ke mana? Mau menunggu di kamar?"

"Iya, sepertinya aku akan menunggu saja di kamar."

"Baiklah. Ayo, Ibu antar."

Seulas senyum canggung terlukis di bibir Izumi. "Tidak usah. Aku bisa sendiri."

"Sayang... bagaimana kalau kau jatuh? Kau 'kan sedang hamil." Mikoto mengelus salah satu sisi kepala Izumi. "Kandunganmu juga baru menginjak usia tiga bulan. Itu sangat rentan."

Entah mengapa ada sedikit perasaan tak nyaman dan gelisah yang menyentuh hati Izumi setiap kali Mikoto bersikap peduli pada kehamilannya. Dan Izumi selalu ingin membicarakan hal ini dengan sang suami. Tapi, dia takut Itachi malah berbalik marah sehingga dia selalu menahannya.

Karena tak bisa menolak lagi, akhirnya mau tak mau dia pun diantar oleh sang ibu mertua hingga ke dalam kamar.

"Kalau kau butuh apa-apa, gunakan saja telepon rumah, ya. Jangan turun sendiri ke bawah."

Izumi hanya mengangguk pelan sebagai tanggapan. Dan Mikoto bergegas keluar seraya menghubungi sang anak sulung agar segera pulang. Tetapi, tidak ada satu pun panggilan yang dijawab oleh Itachi karena ponsel pria itu tergeletak di dalam mobil, sedangkan Itachi sendiri sudah berada di dalam klinik bersama Sasuke dan Naruto.



Di tempat lain, pria yang tadi menjadi penyebab Sasuke terbakar api cemburu hingga Naruto mendapat makian dari sang ibu mertua, tampak sedang berusaha membujuk sang anak agar tak terus-menerus merajuk dikarenakan mereka batal makan bersama dengan seorang wanita yang seharusnya ada setiap hari bersama mereka jika saja perceraian tidak pernah terjadi.

"Sumire, hari ini kita makan bersama Nenek dan Kak Hinata saja, ya?" Neji menyelipkan rambut sang anak ke setiap sisi telinga. "Katakan. Sumire ingin kita makan di restoran mana, hm?"

"Tidak mau!" Suara Sumire tak melembut sejak dia tahu bahwa acara makan bersama sang ibu dibatalkan begitu saja. Setiap kali sang ayah mengajaknya berbicara, Sumire selalu menyahut dengan nada tinggi penuh kekesalan. "Aku hanya ingin makan bersama Papa dan Mama!"

Neji menghela napas. Dia sungguh kesal setengah mati pada sang mantan istri yang sudah membatalkan apa yang telah dia janjikan kepada putri kecil mereka dengan alasan bahwa dia harus pergi memenuhi undangan pesta ulang tahun perusahaan teman suaminya. Padahal Neji sempat merasa lega karena sudah berpikir bisa memenuhi keinginan sang anak. Tetapi, kala dia pulang dari kantor polisi usai menjadi saksi atas kasus Naruto dengan Sasori, di pertengahan jalan menuju sekolah sang anak, Neji mendapat pesan dari wanita yang sempat menjadi istrinya. Pesan itu berisi pembatalan acara makan bersama antara dia, Neji dan Sumire.

Neji sungguh tidak keberatan akan tidak terlaksananya acara makan bersama dengan sang mantan istri. Tapi, tidak dengan Sumire. Putri mereka. Sumire sangat kecewa dan sedih.

Dan karena kekecewaannya itu, sejak pulang sekolah hingga malam hari begini, Sumire sama sekali tidak mau makan walau Hinata sudah memasak makanan kesukaannya. Neji sungguh cemas. Dia takut sang anak jatuh sakit.

"Mama sedang sibuk, Sayang. Dia tidak bisa makan bersama kita."

"Tapi, kemarin Mama sudah janji!" Kedua bola mata Sumire tampak mulai dipenuhi cairan bening yang bisa tumpah sepenuhnya jika Sumire mengedip.

Neji tetap berusaha sabar. "Iya, itu benar. Tapi, tadi Mama bilang kalau Mama ada keperluan mendadak. Sumire paham, 'kan? Mama tidak bermaksud berbohong."

Kali ini air mata Sumire benar-benar jatuh. Dia terisak pelan tanpa mengalihkan tatapannya dari Neji yang terus membelai pipi dan kepalanya. "Kenapa rumah Mama harus berbeda dengan kita?" Suara Sumire memang tak lagi meninggi, namun sarat akan kesedihan yang teramat dalam. "Kenapa Mama tidak tinggal di sini juga bersama kita?"

Neji membisu dengan sepasang iris pucat yang tampak sedikit membola. Begitu pula dengan Hinata yang sejak tadi ada di sisi Neji, berusaha membantu sang keponakan agar tak lagi merajuk.

" .... " Neji masih belum berbicara lagi. Dia tidak tahu harus memberi kalimat tepat yang seperti apa untuk menjawab pertanyaan Sumire. Tak dia kira Sumire akan secepat ini menyadari hal yang mungkin terasa janggal bagi gadis kecil itu.

"Sumire, kau tahu tidak? Kakak punya buku dongeng yang baru, lho." Hinata berusaha menengahi mereka, mengalihkan atensi Sumire yang terus terpaku menuntut jawaban dari Neji. "Kita baca buku itu di kamar Kak Hinata, ya? Mau 'kan?"

Tanpa menunggu jawaban Sumire, Hinata segera mengais tubuh sang gadis kecil kemudian melirik Neji dan berbisik, "Kakak istirahatlah. Malam ini Sumire biar bersamaku saja."



Walau sang istri tengah ditangani oleh dokter, tapi Sasuke tetap gelisah. Dia takut sesuatu yang buruk telah terjadi pada istrinya hingga kini kedua tangan Sasuke tampak dipenuhi keringat dingin.

"Dok, bagaimana kondisi istriku?" Tanpa jeda Sasuke segera bertanya kala sang dokter selesai memeriksa kondisi Naruto yang saat ini masih berbaring di atas brankar.

"Dia hanya demam dan terlalu kelelahan."

Rasanya Sasuke seperti tertampar mendengar kata terakhir. Tadi dia sudah terlalu memaksa Naruto untuk melayaninya, padahal Naruto telah beberapa kali mengeluh lelah dan dingin.

"Benarkah tidak ada penyakit serius?"

Sang dokter menggeleng tegas, menatap Sasuke kemudian kembali menulis resep obat. "Dia harus lebih banyak beristirahat. Baik itu tubuhnya mau pun pikirannya," tutur sang dokter seraya memberikan secarik kertas pada Sasuke. "Karena stres bisa memengaruhi kesehatan fisik."

Sasuke hanya terdiam, menerima secarik kertas tersebut dengan sopan lalu menghampiri sang istri yang masih berbaring.

Dengan penuh kelembutan Sasuke merapikan baju serta rambut Naruto yang nyaris dipenuhi keringat. Tadi bisa saja dia memanggil dokter yang biasa menangani keluarganya untuk datang ke kediaman Uchiha, memeriksa kondisi istrinya. Namun, itu terlalu lama. Dokter tersebut tidak akan bisa datang dengan cepat. Sehingga Sasuke lebih memilih membawanya ke klinik karena sudah terlampau cemas akan kondisi sang istri.

Dengan sigap Itachi membantu Sasuke yang baru saja keluar dari ruangan seraya menggendong Naruto. Dia membukakan pintu mobil kemudian menyamankan posisi Naruto yang berbaring di atas pangkuan Sasuke.

"Kau tunggu saja di sini. Biar aku yang menebus obatnya."

Sasuke mengangguk pelan. Dan beberapa menit kemudian Itachi kembali seraya memberikan obat dalam kantong keresek putih.

Untuk sesaat Itachi sedikit mengernyit heran kala mengecek ponselnya dan mendapati betapa banyak panggilan tak terjawab dari sang ibu.

Karena khawatir terjadi sesuatu di rumah, terutama mengingat kondisi istrinya yang sedang hamil, Itachi pun segera melajukan mobil tanpa banyak bertanya pada Sasuke perihal kondisi sang adik ipar.

Selama perjalanan pulang, Sasuke terus memberi remasan lembut pada jemari tangan sang istri. Berharap Naruto segera siuman. Dia memang merasa bersalah karena telah memaksa Naruto melayaninya berjam-jam tanpa jeda. Tapi meski begitu, Sasuke sama sekali tidak merasa bersalah pada bagian di mana dia sengaja berlaku seperti itu hanya demi memuaskan nafsunya sendiri yang disebabkan oleh wanita lain.

Tidak. Sasuke tidak menyesal sudah menjadikan sang istri sebagai boneka pelampiasan akan nafsunya yang menggebu-gebu pada Sakura. Alih-alih begitu, Sasuke hanya sekadar berpikir bahwa seharusnya tadi dia memberi jeda untuk Naruto beristirahat.

Tapi, mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa menahannya. Lagi pula ini tidak sepenuhnya salahku, Naruto saja yang terlalu lemah. Jika dia terbiasa dengan gaya bermain seperti itu, aku yakin dia mampu mengimbangiku.

Ketidaksadaran istrinya bersebab terlalu lelah melayani dia di atas ranjang, seolah tak menjadi pelajaran bagi Sasuke. Dia justru dengan gilanya berencana akan kembali membawa sang istri ke dalam permainan yang sama.

Aku tidak boleh terus-menerus memanjakan Naruto dalam hal ini. Naruto harus terbiasa melayaniku dengan ritme permainan seperti apapun dan selama apapun. Dia harus bisa mengimbangiku.

Sasuke ingin Naruto bisa melayaninya dengan sesuka hati dia bersebab dia ingin bila nanti dia tak bisa terpuaskan lagi secara nyata oleh Sakura, maka dia bisa menumpahkan segala gejolak hasratnya pada sang istri. Seperti apa yang sudah terjadi. Dia tahu bahwa dia takkan selalu bersama dengan Sakura. Dia dan Sakura hanya bisa berjumpa dan bersama bila dia sudah di Kota Suna. Dan mengajarkan Naruto untuk bisa mengimbanginya tentu saja akan menjadi keuntungan besar bagi Sasuke walau bukan Sakura yang memuaskannya.

Tapi, menjadikan Naruto sebagai pelampiasan lambat laun pasti akan membosankan juga. Ah, aku tetap berharap, aku dan Sakura bisa bertemu lebih sering.

Atensi Sasuke yang semula terfokus memikirkan bagaimana cara agar dia bisa kembali ke Kota Suna secepatnya, terusik kala mendengar lenguhan samar dari bibir wanita yang tengah berbaring di atas pangkuannya.

"Sayang, kau sudah siuman rupanya." Sasuke sedikit lega melihat Naruto yang kembali sadarkan diri. Karena setidaknya istrinya itu memang baik-baik saja walau wajahnya tampak masih pucat. "Bagian tubuh mana yang sakit, hm?"

"Semua ..." Naruto menjawab lirih. "Tubuhku terasa sakit semuanya ..." Dahi Naruto berkerut begitu dalam, menahan nyeri dan pusing yang kembali menyerang kepalanya.

Di hadapan mereka, Itachi pun turut menghela napas lega karena sang adik ipar sudah siuman. Walau begitu, dia tak bertanya apapun, dia tetap fokus menyetir agar mereka segera tiba di rumah.

Sementara Sasuke sama sekali tidak merasa bersalah meski telah mendengar jawaban sang istri bahwa wanita itu merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Selain karena sakit bersebab demam, apa yang tadi sudah Sasuke lakukan pun tentu saja memperparah keadaan tubuh Naruto yang memang tidak fit. Tapi, Sasuke seperti tidak peduli akan hal itu. Dia tetap merasa bahwa apa yang dia lakukan tadi tidak salah dan sudah sewajarnya Naruto melayani dirinya selama apapun.

Setelah mobil yang mereka tumpangi tiba di halaman rumah, Sasuke segera menggendong tubuh sang istri. Sedangkan obat tadi dibawakan oleh Itachi.

Naruto memang sudah siuman. Namun, dia belum bisa terjaga sepenuhnya hingga kini yang dia lakukan hanya bersandar di dada sang suami dengan wajah yang masih pucat pasi.

"Itachi, kau ini dari mana saja, sih?" Mikoto dengan cepat melempar pertanyaan kala putra sulungnya sudah tiba di rumah. Melalui bahu Itachi, Mikoto dapat melihat Sasuke yang berjalan seraya menggendong Naruto yang tatapannya terlihat sayu. Namun meski begitu, Mikoto sama sekali tidak ingin bertanya mengenai kondisinya.

"Aku 'kan mengantar Sasuke dan Naruto. Kenapa Ibu terus menghubungiku? Ada apa?"

"Itachi, apa kau tidak memikirkan kondisi istrimu?"

"Memang kenapa dengan Izumi? Saat kutinggal dia baik-baik saja, 'kan?"

"Dia memang baik-baik saja. Namun, dia itu 'kan sedang hamil." Suara Mikoto meninggi, sengaja agar di belakang sana Naruto dapat mendengarnya. "Seharusnya kau tidak meninggalkan dia begitu saja, apalagi hanya demi mengantar orang lain. Kau harus selalu ada di sisinya."

"Jadi, menurutmu Sasuke adalah orang lain?" Kali ini Fugaku yang menyahut.

Mikoto menghela napas. "Bukan dia maksudku. Tapi, istrinya. Seharusnya Itachi tidak perlu repot-repot mengantar wanita itu ke klinik."

"Aku yang meminta Itachi mengantarku." Sasuke menyahut setelah langkahnya tiba di hadapan mereka. "Kenapa? Ibu tidak suka?"

Remasan kuat mendarat di bahu Sasuke. Naruto menggeleng lemah kemudian berbisik sangat lirih, "Sas, sudah." Dia tahu, Sasuke pasti akan mendebat Mikoto. Dia benar-benar tak mau mereka sampai bertengkar lagi. Terlebih, Naruto sudah tidak tahan ingin segera berbaring. "Kita segera ke kamar saja."

Tanpa mengatakan apapun lagi, Sasuke segera melanjutkan langkah, menaiki tangga menuju kamarnya. Begitu pula dengan Itachi karena kamar mereka berdampingan. Dan sebelum memasuki kamarnya sendiri, Itachi terlebih dulu memberikan obat pada Sasuke. Sementara di lantai bawah, Fugaku meminta Ayame agar kembali memberikan makanan yang tadi sudah dia siapkan untuk diberikan kepada Sasuke dan Naruto.

Sesungguhnya Naruto ingin segera tidur, tetapi obat yang harus segera diminum membuat dia terpaksa makan terlebih dahulu sebelum menelan setiap obat yang diresepkan dokter.

"Sasuke juga segera makan." Dalam kondisi tubuh yang tidak baik-baik saja pun Naruto tetap memerhatikan sang suami, memedulikan seorang pria yang tanpa dia ketahui sudah mengkhianatinya dari jauh-jauh hari.

Sasuke mengangguk pelan kemudian mencium dahi sang istri. "Jangan terlalu memikirkan aku. Lebih baik sekarang kau tidur."

Tak ada lagi yang Naruto bicarakan. Kepalanya sudah terlalu pusing untuk bisa terjaga lebih lama. Sedangkan di sampingnya, Sasuke segera menyelimuti tubuh sang istri kemudian melandaskan kecupan panjang pada keningnya.

Baru saja Sasuke memejamkan mata, tapi ketukan halus dari arah pintu kamar membuat pria itu mengurungkan niatnya untuk beristirahat.

Sasuke beranjak dari ranjang kemudian membuka pintu dengan cepat. "Ayah ...?" gumamnya kala mendapati Fugaku yang berdiri tegap.

"Istrimu sudah tidur?"

"Hm." Sasuke mengangguk. "Naru baru tidur beberapa menit yang lalu."

"Apa yang tadi dokter katakan tentang kesehatan Naruto? Dia tidak mengidap penyakit serius, 'kan?"

Setelah menutup pintu kamar terlebih dahulu dan mengajak sang ayah untuk duduk di kursi kayu yang tersedia di balkon dekat kamar, Sasuke mulai menjelaskan apa yang tadi dokter katakan tentang pemeriksaan pada kesehatan istrinya.

Fugaku juga bertanya perihal mengapa Naruto bisa pingsan di dalam kamar, padahal pada saat makan siang wanita itu masih terlihat baik-baik saja. Dan Sasuke pun menjawab dengan penuh kebohongan. Dia berkata pada sang ayah bahwa dia tidak tahu jika ternyata Naruto sedang sakit sehingga dia pun melanjutkan kegiatan intimnya bersama sang istri. Padahal tentu saja keadaan yang sebenarnya bukan seperti itu.

"Aku sudah meminta pada Naruto untuk berhenti dan beristirahat saja karena aku pun sedikit merasakan bahwa suhu tubuhnya lebih hangat. Tapi, Naru tetap bersikeras ingin melanjutkan kegiatan kita."

Fugaku yang tidak tahu hal yang sebenarnya hanya bisa percaya pada ucapan sang anak. "Yah, syukurlah jika Naruto hanya sekadar demam. Ayah sudah cemas, takut dia mengidap penyakit yang parah."

Sasuke mengangguk samar kemudian menatap sang ayah yang hendak beranjak dari sana. "Ayah, sebelum aku dan Naru ke sini, di dalam pesan yang Ayah kirim saat tadi siang Ayah bilang ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan. Apa itu?"

Sebenarnya Fugaku tidak lupa. Dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk membicarakannya karena sejak tadi Mikoto terus saja membuat suasana tidak enak.

"Bukan hal yang terlalu penting." Fugaku sedikit menghela napas. "Ayah hanya ingin memintamu dan Naru untuk tinggal sementara di sini selama kasus dengan Sasori belum sepenuhnya pulih. Walau pemuda itu sudah dipenjara, Ayah tetap khawatir keluarganya akan mengusik Naruto karena dendam atas ditahannya putra mereka. Apalagi mereka takkan bisa membebaskan Sasori dengan uang seperti kasus-kasus sebelumnya."

Apa yang dikatakan Fugaku memang ada benarnya. Keluarga Sasori bisa saja mengganggu Naruto, mengusiknya bersebab dendam karena Sasori berhasil dijebloskan ke dalam penjara. Fugaku benar-benar cemas. Dia tak mau sang menantu kembali mengalami hal buruk atau bahkan lebih buruk. Sedangkan Sasuke sendiri tidak bisa selalu ada di sampingnya.

"Itu mustahil, Ayah." Sasuke menatap sang ayah dengan pandangan sendu. "Aku dan Naru tidak akan bisa tinggal di sini selama sikap ibu masih tetap seperti itu. Aku tak mau istriku terus-menerus merasa tertekan."

"Ya, Ayah paham." Fugaku mengangguk. Dia mengerti bahwa siksaan batin yang Mikoto berikan jauh lebih buruk dari kejahatan fisik apapun dan hal itu akan lebih membuat Naruto menderita daripada sebuah luka pada tubuh. Maka dari itu, Fugaku mengurungkan niatnya untuk meminta sang putra bungsu dan sang menantu tinggal di kediaman Uchiha. "Terlebih sekarang Naru sedang tidak sehat. Tubuh dan pikirannya butuh banyak istirahat. Jadi, lebih baik mulai besok kau dan istrimu pulang saja ke rumah kalian."

Satu tangan Fugaku menyentuh sebelah bahu sang anak. "Maaf, Sasuke, bukan Ayah tidak suka kau dan Naru tinggal di sini terlalu lama."

Padahal Sasuke dan Naruto baru datang ke kediaman Uchiha saat tadi siang. Belum 24 jam mereka berdiam diri di rumah orang tuanya. Namun, tekanan batin yang Mikoto berikan sudah sangat menyiksa Naruto.

"Tidak apa-apa, Ayah. Aku sangat mengerti kondisinya. Naru juga pasti bisa memahami."

Setelah dirasa tak ada lagi yang harus mereka bicarakan, Fugaku dan Sasuke meninggalkan balkon, memasuki kamar masing-masing untuk segera mengistirahatkan tubuh.

Ke esokan paginya, Sasuke membangunkan sang istri dengan penuh kelembutan setelah meraih kain basah yang sejak semalam berkali-kali dia gunakan untuk mengompres dahi sang istri. Sasuke cukup merasa lega karena suhu tubuh Naruto yang tidak terlalu panas seperti semalam.

"Bangun, Sayang. Kau harus segera sarapan dan minum obat," bisik Sasuke saat Naruto mulai terusik dari tidurnya.

Naruto yang sudah tidak terlalu merasakan sakit di kepalanya pun kini telah bisa terjaga seraya duduk bersandar pada kepala ranjang. "Maaf, aku sudah merepotkan Sasuke." Naruto tahu bahwa semalam tidur sang suami tidak lelap karena Sasuke yang terus-menerus mengganti kompres atau sekadar memberi pijatan lembut pada kepala sang istri agar wanitanya itu bisa tidur lebih nyaman.

"Tidak, Sayang. Kau tidak merepotkanku." Sasuke mencium sebelah pipinya. "Aku ini suamimu. Sudah sewajarnya aku merawatmu yang sedang sakit. Kau juga 'kan, sering melakukan hal yang sama bila aku sedang tidak sehat."

Naruto tersenyum samar. Dia sungguh merasa beruntung karena memiliki suami yang begitu penuh pengertian seperti Sasuke.

"Sayang, setelah ini kita pulang ke rumah, ya." Sasuke merapikan rambut sang istri, mengikatnya menjadi satu sebelum menyandarkan kepala bersurai pirang itu pada dadanya. "Dokter bilang kau harus banyak beristirahat. Dan kau sendiri pasti paham, di rumah ini kau tidak akan bisa memulihkan kesehatanmu dengan benar."

Dalam dekapan Sasuke, Naruto tampak mengangguk. Dia sungguh tidak masalah tinggal di mana pun selama itu bersama dengan Sasuke.

Usai sarapan dan Naruto pun selesai meminum obatnya di pagi hari itu, Sasuke segera membersihkan diri terlebih dahulu sebelum membantu sang istri untuk berganti baju. Mereka keluar kamar dengan Naruto yang berada dalam gendongan karena Sasuke yang tidak membiarkan sang istri untuk berjalan.

Kegiatan sarapan keluarga di ruang makan sedikit terusik kala Sasuke berdiri di ambang pintu bersama Naruto yang berada dalam gendongannya dengan kedua tangan yang mengalung pada leher sang suami.

Sasuke pamit kepada mereka. Begitu pula dengan Naruto. Semua orang di sana mendo'akan Naruto agar lekas sembuh, terkecuali Mikoto tentu saja. Dan selain itu, Fugaku juga berpesan pada Sasuke untuk selalu menjaga Naruto dengan baik.

"Jangan sampai hal yang sama terulang lagi." Fugaku melirik kedua pergelangan tangan Naruto yang berbalut perban kemudian menatap Sasuke dengan tegas. "Jika Naruto terluka lagi, bukan orang yang melukainya yang akan kuhukum, tapi kau Sasuke." Sang ayah mertua tidak tahu saja bahwa Sasuke pun sebenarnya tengah melukis luka dalam diri Naruto. Hanya saja luka tersebut tidak bisa terlihat oleh mata.

Sasuke mengangguk paham. Sementara salah seorang wanita di sana tampak tidak suka mendengar penuturan sang suami.

"Kau tetap menyalahkan anak kita atas kejadian itu?" Mikoto bertanya sinis. Dia ingat betul suaminya itu pernah menyalahkan putra bungsu mereka saat mereka tiba di kediaman Sasuke dan Naruto usai mendapat kabar perihal Naruto yang tertimpa kejadian nahas.

"Aku tidak menyalahkannya. Aku hanya memperingati dia agar dia bisa menjaga istrinya dengan lebih baik lagi." Fugaku menyahut tegas.

"Kau tidak perlu mengingatkan Sasuke agar bisa menjaga istrinya dengan lebih baik lagi. Karena dia kita sudah menjadi suami yang sempurna untuk wanita itu." Mikoto mendelik pada Naruto kemudian kembali menatap Fugaku. "Seharusnya kau memperingati menantumu untuk lebih bisa menjaga dirinya dengan baik agar masalah merepotkan seperti itu tak lagi terjadi."

"Ibu, sudah cukup. Ini masih pagi dan kita sedang sarapan. Jangan membuat selera makanku hilang." Itachi menghela napas.

Alih-laih mendengarkan ucapan putra sulungnya, Mikoto malah menatap Naruto dengan penuh kejengkelan kemudian melempar kalimat yang selalu saja menyakitkan, "Lihat, Naru. Karena kecerobohanmu, Sasuke jadi disalahkan oleh ayahnya, padahal dia selalu menjagamu dengan baik."

Tanpa mengucapkan apapun, Sasuke segera beranjak dari sana seraya memohon maaf kepada sang istri atas apa yang sudah diucapkan oleh sang ibu. Dan Naruto hanya menanggapinya dengan seulas senyum penuh perasaan getir.



Sebenarnya Naruto ingin Sasuke tidak pergi. Tetapi, bagaimana pun ini bukan hari libur. Sehingga setelah tiba di rumah, Sasuke tak bisa lama-lama berdua dengan sang istri karena pria itu harus segera pergi bekerja.

Namun meski begitu, Naruto sedikit heran pada Sasuke yang pergi bekerja begitu saja. Padahal biasanya, jika sang istri sedang tidak sehat Sasuke selalu meliburkan diri demi bisa menemani.

Apa hari ini pekerjaan Sasuke sangat banyak, ya?

Dugaan Naruto terhadap sang suami selalu positif. Sedikit pun dia tak pernah berpikir bahwa Sasuke bermain api di belakangnya.

Dan hal yang sebenarnya tentu saja tidak sesuai dengan dugaan Naruto. Sasuke pergi bekerja bukan semata-mata karena kewajibannya mencari nafkah. Tetapi, karena dia ingin bisa berkomunikasi dengan Sakura lebih lama. Bila sudah di rumah dia tahu bahwa dia dan Sakura akan kesulitan untuk berbagi rindunya melalui ponsel.

Jam kerja sudah selesai. Tetapi, Sasuke masih enggan untuk pulang. Dia lebih memilih bersantai di kafe seraya berbalas pesan dengan Sakura yang kemudian disambung melalui panggilan video.

Sungguh, kehadiran wanita lain dalam kehidupan rumah tangganya benar-benar telah membutakan Sasuke. Dia bahkan tak peduli pada kondisi sang istri yang masih terbaring sakit di rumah. Padahal Naruto pun sudah berkali-kali menghubunginya agar cepat pulang karena dia belum makan siang, tidak ada makanan apapun yang bisa mengisi perut Naruto siang ini. Namun, Sasuke tetap mengabaikan. Sasuke tetap memilih wanita yang sekarang masih melakukan panggilan video dengannya.

Tanpa terasa tiga jam sudah berlalu. Naruto masih menahan laparnya di rumah. Sedangkan Sasuke baru saja mengakhiri komunikasinya dengan Sakura. Dan tanpa rasa bersalah, dia membalas pesan sang istri dengan penuh dusta.

Tidak ada balasan. Sasuke coba menghubungi sang istri melalui panggilan suara. Namun, semua panggilannya terabaikan.

Karena pesan dan panggilannya tak kunjung mendapat respons, Sasuke pun memilih untuk segera pulang setelah sebelumnya dia membeli beberapa makanan di restoran favorit Naruto.

Dan setelah tiba di rumah, akhirnya Sasuke tahu mengapa sang istri tak kunjung membalas pesan atau menerima panggilan darinya setelah melihat bahwa wanita yang sudah hampir dua tahun menjadi istrinya itu tengah tertidur lelap dengan wajah pucat dan suhu tubuh yang kembali meningkat.

Tak kuasa menahan sakit di kepala serta perut yang sangat lapar, tadi Naruto memilih untuk tertidur karena Sasuke yang tak kunjung membalas pesannya. Hingga sekarang sang suami sudah ada di sisinya pun Naruto masih belum terjaga, padahal Sasuke sudah berkali-kali mengelus dahi dan pipinya agar bangun.

"Sayang, maafkan aku. Karena banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini, kau jadi telat makan siang dan minum obat," tutur Sasuke saat sang istri telah terbangun. "Aku sudah membeli makanan kesukaanmu. Sekarang kau makan, ya? Lalu setelah itu minum obat."

Naruto mengangguk pelan kemudian terduduk bersandar pada kepala ranjang. Sedangkan di sisinya, Sasuke tampak menyiapkan makanan sebelum menyuapkannya pada sang istri.

"Sasuke pasti belum makan, ya?" Naruto menatap sendu pada sang suami yang masih dengan sabar menyuapi dirinya perlahan-lahan. "Maafkan aku. Karena kondisi tubuhku yang seperti ini, aku tidak bisa memasak untuk Sasuke seperti biasanya."

Sasuke menghela napas. "Bisakah kau hanya fokus pada kondisimu saja? Jangan terlalu memikirkan aku." Ciuman singkat Sasuke berikan pada ujung hidung sang istri. "Dan lagi, aku sudah makan di kafe dengan teman kantorku. Kau jangan khawatir, ya."

Beberapa hari berlalu sejak saat itu. Dan di setiap harinya Sasuke selalu saja pulang terlambat dengan alasan bahwa pekerjaannya benar-benar sedang banyak. Padahal kenyataannya tentu saja karena dia selalu menghabiskan waktunya dengan Sakura melalui panggilan suara atau video ponsel setiap kali pekerjaan di kantor telah selesai.

Sedangkan Naruto selalu menguatkan diri untuk memasak, karena dia tak mau terus-menerus minum obat dengan terlambat bila harus menunggu sang suami pulang membawa makanan.

Walau Sasuke hanya merawat serta memerhatikannya di malam hari saja dan itu pun tidak memakan waktu yang lama, tapi beruntung kesehatan Naruto berangsur membaik meski waktu istirahatnya tidak sesuai dengan anjuran dokter karena dia harus selalu memasak agar bisa makan.

Sekali pun Naruto tidak pernah menaruh curiga atau marah atas keterlambatan sang suami pulang ke rumah. Karena dia berpikir bahwa Sasuke sudah lelah mencari nafkah untuk dirinya. Dan sangat tidak pantas bila dia harus marah hanya karena Sasuke tidak pulang dengan jam normal.

"Naru, besok aku harus membina untuk penyelesaian proyek di Suna."

Naruto yang semula ceria pun kini tampak murung. Dia sungguh sedih karena ternyata sang suami harus pergi lagi ke kota lain demi pekerjaan. "Aku tidak mau kita terus berjauhan."

"Aku juga tidak mau. Tapi, bagaimana lagi? Ini demi kau juga, Sayang. Jika tidak begini, aku tidak akan dapat uang. Lalu bagaimana cara aku menafkahimu?"

Dusta. Sungguh dusta. Sasuke jelas merasa tidak keberatan harus berjauhan dengan sang istri. Hati dia justru merasa sangat kegirangan karena dengan kembali ke Kota Suna, dia bisa menghabiskan waktu dengan Sakura secara nyata. Ah, memikirkannya saja membuat Sasuke tidak sabar untuk segera pergi.

Naruto masih terlihat tidak rela harus kembali terpisahkan oleh jarak dengan sang suami. "Berapa lama Sasuke bekerja di sana?"

"Aku tidak bisa memastikan, Naru Sayang." Sasuke menghela napas pelan. "Kau sendiri tahu 'kan, tidak ada jadwal pasti untuk waktu kerjaku di Suna."

" .... "

"Tidak apa-apa 'kan, aku pergi?"

" .... "

"Naru?"

"Aku ikut."

"Apa?"

Naruto melingkarkan kedua tangannya pada punggung sang suami. "Aku ikut ke Suna. Aku ikut bersama Sasuke."

Panik? Tentu saja. Sasuke sangat panik mendengar keinginan sang istri. Tak dia kira Naruto memiliki inisiatif untuk ikut.

"Mana bisa, Naru." Sasuke melepas pelukan sang istri kemudian menangkup kedua pipinya. "Atasan tidak akan mengizinkan. Karena aku di sana bekerja bukan mencari hiburan."

Sial. Semoga Naru tidak terus merengek ingin ikut. Jika begini, bagaimana bisa aku bertemu dengan Sakura? Kepergian ke Kota Suna tidak boleh sampai batal.

"Aku tahu. Tapi, aku tidak mau berjauhan dengan Sasuke. Terlebih, Sasuke sangat sulit dihubungi bila sudah di Suna."

"Itu karena jaringan ponselku tidak bagus jika tiba di Suna." Sasuke beberapa kali memberi ciuman pada wajah sang istri. "Kumohon, jangan seperti ini, ya. Aku harus bekerja, Sayang. Di Suna sedang ada proyek penting. Dan sebagai ketua divisi, aku tidak bisa menolak perintah atasan begitu saja."

Mulanya Naruto tetap menolak dan merengek agar Sasuke tidak pergi. Tetapi, lambat laun akhirnya dia bisa menerima walau tidak rela. Dan Sasuke meminta sang istri tinggal di rumah Minato serta Kushina untuk sementara, selama dia pergi. Selain karena khawatir istrinya mendapat gangguan dari keluarga Sasori, Sasuke juga tidak rela bila sang istri sampai harus bertemu dengan Neji tanpa ada dirinya di sisi, mengingat rumah mereka sangat berdekatan. Sungguh, Sasuke benar-benar tidak mau jika istrinya bertemu dengan pria bermarga Hyuuga itu walau tanpa sengaja, seperti berpaspasan di jalan misalnya. Sehingga Sasuke akan lebih tenang bila Naruto tinggal bersama orang tuanya.

Dikarenakan tak ingin terkejar oleh waktu, Sasuke dan Naruto memilih untuk pergi ke kediaman Namikaze hari ini. Satu hari sebelum esok harinya Sasuke benar-benar pergi ke Suna untuk bekerja di cabang kantor yang berada di kota tersebut.

Sasuke kembali meraih ponselnya yang semula dia simpan di jok kiri usai mengirim pesan pada sang wanita simpanan. Dia pikir ponselnya bergetar karena balasan dari Sakura, tapi ternyata bukan, melainkan pesan dari seorang wanita yang telah dia khianati cintanya.

Mulanya Sasuke hendak membalas pesan sang istri. Namun, balasan pesan dari Sakura membuat atensi dia teralih sehingga dia mengabaikan pesan Naruto.

Sasuke mengulum senyum. Dia pun sama seperti Sakura. Tak sabar untuk segera berjumpa.

Perjalanan ke Kota Suna dari Kota Konoha memakan waktu sekitar tiga jam karena kondisi lalu lintas normal. Bila macet, maka waktu perjalanan bisa lebih lama lagi.

Sebelum beristirahat di apartemen yang sudah atasannya pesankan melalui aplikasi ponsel, Sasuke lebih dulu mendatangi apartemen yang Sakura tinggali setelah tiba di Suna. Karena teramat senangnya bisa berjumpa lagi dengan Sakura, Sasuke bahkan tidak memedulikan beberapa pesan Naruto yang memenuhi log notifikasinya. Dalam pesan itu Naruto mengingatkan Sasuke untuk segera tidur jika sudah tiba di Suna. Istirahat yang cukup dan makan yang teratur.

Sakura sudah mempersiapkan diri sejak tadi untuk menyambut kedatangan sang kekasih hati. Dan ketika mendapat pesan dari Sasuke bahwa pria itu sudah ada di depan pintu, Sakura segera berjalan keluar kamar sebelum membuka pintu dan mendapati sosok pria yang amat dia rindukan ada berdiri tegap di sana.

Sasuke tersenyum.

Sakura balas tersenyum dengan kedua tangan yang mulai bergerak, menyentuh dada Sasuke hingga berhenti di kedua lehernya. "Aku merindukanmu."

"Aku lebih merindukanmu."

Mereka saling menatap cukup lama sebelum mengikis jarak dengan sebuah ciuman cukup dalam.

Sasuke dan Sakura sama sekali tidak merasa takut atau khawatir bila bermesraan di luar kamar apartemennya. Sebab, apartemen yang ditinggali oleh Sakura sangat bebas. Tidak memiliki aturan khusus. Sehingga tidak ada orang yang pernah menggubris keduanya.

Napas Sakura tampak terengah kala ciuman mereka terlepas. Tetapi, tak lama kemudian dia kembali meraup bibir Sasuke dengan penuh hasrat. Dan Sasuke sendiri hanya mendengkus senang lalu membalas ciuman Sakura dengan lebih dalam.

Jika saat ini Sasuke tengah asyik bercumbu dengan sang wanita simpanan. Maka di rumah Minato dan Kushina, Naruto tampak gelisah menanti kabar dari sang suami. Dia sangat cemas karena Sasuke tak kunjung memberinya kabar padahal kepergiannya sudah cukup lama.

Dengan keagresifan yang tidak pernah pudar, Sakura terus menggerayangi tubuh Sasuke yang nyaris telanjang di atas sofa. Sedangkan Sasuke sendiri tampak bernapas terengah dan sesekali mendesah serta menggeram senang atas kenikmatan yang Sakura berikan melalui tangan serta bibirnya.

Tadi mereka memang bercumbu di hadapan pintu. Tetapi, tidak lama. Karena satu menit kemudian Sakura segera menyeret Sasuke masuk ke dalam kamarnya, mendudukkan pria itu di sofa dekat ranjang sebelum memberinya kepuasan yang selama ini Sasuke rindukan.

Saat Sasuke nyaris mencapai klimaks, Sakura malah beranjak, membuat Sasuke mendesah kecewa.

Sakura tertawa pelan melihat ekspresi frustrasi pria di hadapannya. Dan tanpa mengatakan apapun, dia segera melepas bajunya sendiri hingga tak tersisa kemudian duduk di atas pangkuan Sasuke yang tubuhnya hanya berbalut kemeja terbuka.

Dengan penuh sensual Sakura mencumbu bibir Sasuke. Sedang tangannya hanya mengalung di kedua bahu kekar pria itu.

"Sakura, biarkan aku mengeluarkannya." Sasuke berbisik dengan suara rendah. Dia sudah ditahan. Tapi, Sakura malah seperti mempermainkannya.

"Keluarkan di dalam rahimku." Sakura berbisik nakal. Dia mencium daun telinga Sasuke lalu tertawa lagi kala melihat ekspresi terkejut yang terlukis samar di raut wajah pria itu.

"Itu tidak mungkin." Sasuke menggeleng, berusaha menolak undangan menyenangkan yang Sakura beri.

"Kenapa tidak mungkin?" Sakura menyandarkan kepalanya pada salah satu bahu Sasuke. "Memangnya kau tidak bosan hanya mengeluarkannya di dalam mulut atau dadaku?"

Sasuke menghela napas pelan. "Bukan aku tidak bosan. Tapi, aku tidak mau mengkhianati istriku, Sakura."

Hening.

Sakura terkesiap mendengar jawaban Sasuke sampai detik kemudian dia tertawa terbahak-bahak hingga perutnya terasa sakit. Bahkan dia pun turun dari pangkuan Sasuke.

"Dear..." Sakura menangkup kedua rahang Sasuke lalu memainkan jari tangan kanannya di atas dada bidang sang pria yang berkeringat. "Kau pikir, dengan kita hanya saling menyentuh saja, itu tidak termasuk ke dalam kategori berkhianat kepada istrimu?"

Sasuke membisu.

"Jangankan seperti itu. Kita baru sekadar menjalin hubungan biasa tanpa saling menyentuh tubuh saja itu sudah termasuk ke dalam mengkhianati istrimu, Sayang."

Awal Sasuke mengenal Sakura adalah sejak kedua kalinya pria itu bekerja di kota ini dan sejak Sakura menjadi anggota divisi yang dia pimpin. Mulanya mereka saling mengenal sebagai rekan kerja saja, tidak lebih. Namun, Sakura dengan segala kenakalannya sukses menggoda Sasuke hingga Sasuke berhasil terjatuh dalam dekapannya.

Sungguh, awalnya Sasuke hanya sekadar menjadikan Sakura sebagai pelampiasan hawa nafsu karena jauh dari sang istri. Tapi, lambat laun entah mengapa Sasuke menjadi benar-benar jatuh hati pada wanita pemilik surai merah muda itu hingga hubungan yang dia anggap sekadar untuk senang-senang semata pun pada akhirnya tak bisa dia akhiri. Dia tak mau kehilangan Sakura.

Dan selama ini dia dan Sakura memang selalu saling memuaskan. Sakura tidak pernah keberatan setiap kali Sasuke ingin menyentuh tubuhnya kapanpun pria itu mau. Begitu pula dengan Sasuke yang selalu dengan senang hati membiarkan Sakura menjelajahi tubuhnya.

Tidak pernah ada kata tidak puas setiap kali Sakura melakukan servis pada area intim Sasuke menggunakan tangan atau bagian tubuh yang lain seperti dada dan mulut. Pun, dengan Sakura yang selalu mendesah penuh kenikmatan atas sentuhan-sentuhan kasar Sasuke menggunakan bibir, lidah dan jemari tangan pada setiap inci tubuhnya.

Walau mereka melakukannya selalu dengan tubuh yang nyaris telanjang atau bahkan benar-benar bertelanjang bulat, tapi hanya sebatas itu mereka saling memuaskan. Tidak pernah lebih. Tak pernah sampai bersetubuh seperti sejatinya bercinta.

Bukan Sasuke tidak mau. Dia bahkan selalu tergoda untuk memasuki tubuh Sakura. Apalagi wanita itu sangat suka dengan permainan yang kasar, mengingat Sasuke selalu memuaskannya bukan dengan cara yang lembut. Tapi, Sasuke tak mau bila harus berbuat sampai sejauh itu. Karena dia berpikir bahwa jika dia menyetubuhi wanita lain, itu artinya dia telah benar-benar mengkhianati Naruto.

"Kita sudah sampai sejauh ini." Sakura kembali duduk di atas pangkuan Sasuke kemudian meraih satu tangan pria itu dan menyentuhkannya pada bagian-bagian tubuh tertentu. "Sudah tidak ada lagi bagian di mana kau bisa berkata bahwa kau tidak mengkhianati istrimu."

" .... " Sasuke masih membisu. Dia berusaha menolak godaan hebat yang terus Sakura berikan. Sejak waktu itu dia memang ingin sekali bercinta bersama Sakura dengan sebenar-benarnya. Namun, dia selalu memikirkan sang istri.

Walau Sasuke berprinsip untuk tidak menyentuh Sakura dengan lebih. Tapi, tidakkah Sasuke sadar bahwa ucapan Sakura tadi memang benar? Dia dan Sakura sudah terlanjur melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan bersama orang lain, orang yang tak memiliki ikatan pernikahan dengannya. Dan mau tidak mau, Sasuke harus bisa terima bahwa dia telah mengkhianati Naruto.

"Kita hanya perlu satu langkah lagi untuk bisa saling memuaskan dengan sebenar-benarnya." Sakura berbisik sensual seraya menyentuh sesuatu yang masih berdiri tegak di bawah perut Sasuke. Memijatnya cukup kuat hingga pria itu meringis ngilu dan nikmat. "Malam ini aku menyerahkan tubuhku sepenuhnya kepadamu, Tuan Uchiha. Kau boleh melakukan apapun padaku."

" .... "

"Tidak ada yang harus ditahan lagi, Sasuke. Kita tidak memerlukan batasan apapun dalam hal ini."

" .... " Sasuke masih belum menjawab. Dia masih sibuk bergelut dengan pemikirannya sendiri.

Tiba-tiba Sakura menyeringai tanpa diketahui Sasuke. Wanita itu memiliki inisiatif untuk menyulut emosi serta libido Sasuke. "Oh... aku tahu. Kau tidak mau menyentuhku lebih bukan karena kau mengkhawatirkan istrimu. Tapi..." Ucapan Sakura menggantung di udara dalam beberapa detik, "... karena kau malu, 'kan?"

Sasuke mengernyit. "Apa maksudmu?"

"Kau malu karena sebenarnya asetmu ini..." Sakura mengedikan dagu ke arah selangkangan Sasuke, sedangkan tatapannya tetap terpaku pada sepasang oniks pria itu. "... tidak bisa memuaskan wanita. Istrimu pasti tidak pernah merasa puas 'kan, atas permainanmu di atas ranjang? Dan sekarang kau takut aku mengetahui kelemahanmu yang sesungguhnya bahwa sebenarnya seorang Uchiha Sasuke tidak sehebat itu."

Rahang Sasuke mengeras. "Akan kubuat kau menarik kata-katamu kembali, Nona Haruno."

Akhirnya. Pertahanan Sasuke pun runtuh bersebab hatinya yang merasa terhina oleh ucapan Sakura. Dengan cepat Sasuke mengangkat tubuh Sakura kemudian membaringkannya di atas ranjang.

Melihat Sasuke yang berhasil masuk ke dalam perangkapnya, Sakura tersenyum senang. Dia pun memposisikan tubuhnya dengan gaya yang sangat sensual agar Sasuke semakin tergoda. "Buktikan padaku, sehebat apa kau memuaskan wanita."

Sasuke mendengkus kasar seraya menanggalkan kemeja hingga kini tubuhnya telanjang sempurna seperti Sakura. "Persiapkan saja dirimu. Karena aku tidak akan berhenti meski kau memohon ampun."

"Hm... benarkah?" Sakura menggerakkan kakinya dengan seduksi kala Sasuke mulai merangkak di atas tubuhnya. "Bagaimana jika aku tidak merasa puas?"

"Jangan banyak bicara. Rasakan saja."

Percumbuan panas kembali terjadi. Dan kali ini berakhir dengan percintaan sesungguhnya, bukan sekadar cium-mencium atau sentuh-menyentuh. Sasuke sama sekali tidak lagi ragu untuk menyatukan tubuh mereka, menggapai kenikmatan yang selama ini dia tahan agar tak melebihi batasan.

Desahan dan erangan keduanya silih menyahut. Memenuhi kamar Sakura.

Sasuke tersenyum bangga melihat Sakura yang benar-benar bungkam sejak pertama kali dia memasukinya. Hingga kini wanita itu hanya bisa mendesah dengan mata yang sesekali terpejam, menikmati setiap pergerakan Sasuke di dalam tubuhnya.

"Bagaimana, hm?" Tanpa mengurangi tempo permainan, Sasuke bertanya dengan suara berat. "Apa kau masih bisa mengatakan bahwa aku tidak mampu memuaskanmu ...?"

Tidak ada jawaban yang jelas. Sakura hanya terus mendesah. Terutama ketika Sasuke semakin bermain dengan kasar.

Sial. Tak sungka dia bisa sehebat ini. Sakura menatap sayu pada Sasuke yang terus bergerak kasar di belakangnya. Aku menyesal karena baru sekarang mengajak dia untuk benar-benar bercinta.

"Berhenti sebentar," pinta Sakura.

Sasuke mendengkus penuh ejekan. "Kenapa? Kau lelah? Kau tidak bisa mengimbangiku? Oh, ayolah Sakura, ini belum seberapa."

Sakura geram mendengar ejekan Sasuke. Dan dengan cepat dia segera melepas penyatuan mereka sebelum berbalik badan kemudian mendorong tubuh Sasuke agar berbaring. "Ya, ini belum seberapa. Karena kau juga belum merasakan pelayananku yang sesungguhnya," tuturnya seraya menindih tubuh Sasuke.

Tanpa aba-aba, Sakura segera kembali menyatukan tubuh mereka, memasukkannya dengan kasar dan kuat.

Sakit tapi nikmat. Sakura sangat suka sensasi seperti ini.

Di bawahnya, Sasuke sontak saja menggeram penuh kenikmatan. Selama ini dia selalu ingin Naruto bisa melakukan hal seperti yang Sakura lakukan ini, tapi istrinya itu tidak pernah mampu dan terlalu lemah melayaninya. Namun, sekarang akhirnya Sasuke bisa merasakan apa yang selalu dia harapkan. Ada Sakura yang mampu memuaskannya.

Pergerakan Sakura benar-benar tidak lembut. Dia terus bergerak di atas tubuh Sasuke dengan kasar serta kuat. Dan dia semakin bersemangat melihat Sasuke yang menggeram keras, sarat akan kenikmatan.

Melihat Sakura yang begitu lihai dan sama sekali tidak mengeluh sakit seperti umumnya seorang gadis yang pertama kali bercinta, membuat Sasuke yakin bahwa Sakura memang sudah berpengalaman. Tapi, dia tidak akan menanyakannya sekarang. Dia tak mau merusak suasana. Untuk saat ini Sasuke hanya ingin menikmati surga duniawi yang Sakura beri.

Seperti dugaanku... bercinta dengan Sakura pasti akan sangat memuaskan. Sasuke memejamkan matanya sebentar sebelum kembali menggerakkan kedua tangannya untuk menyentuh tubuh bagian atas Sakura. Ah, sial. Ini benar-benar nikmat.

Bercinta dengan Sakura sangat menyenangkan menurut Sasuke. Dan Sakura sendiri sama sekali tidak keberatan atau kewalahan. Justru wanita itu dengan senang hati terus melayani Sasuke hingga beberapa jam lamanya, membiarkan Sasuke menumpahkan cairan cintanya ke dalam rahim setiap kali ejakulasi.

Sakura tidak merasa cemas atau khawatir karena Sasuke telah beberapa kali memenuhi rahimnya. Sebab, dua jam sebelum Sasuke tiba di apartemen, Sakura sudah meminum pil pencegah kehamilan terlebih dahulu karena dia memang telah berencana untuk membuat Sasuke benar-benar bercinta dengan dirinya di hari ini. Sakura sudah tidak tahan bila Sasuke hanya memuaskannya menggunakan lidah, bibir atau jemari tangan.

Keberhasilan Sakura bercinta dengan Sasuke tentu saja sangat membahagiakan bagi wanita bermarga Haruno itu. Hatinya sungguh girang karena akhirnya dia bisa merasakan Sasuke dalam dirinya.

Selain tampan dan banyak uang, dia juga bisa memuaskanku di atas ranjang. Sakura membelai rahang tegas Sasuke tanpa sedikit pun melembutkan pergerakannya di atas tubuh pria itu. Kau sangat sempurna, Uchiha Sasuke. Aku tidak akan melepaskanmu.

Jangan ditanya perihal bagaimana pendapat Sakura mengenai Naruto, istri dari Sasuke. Sakura sama sekali tidak peduli. Benar-benar tidak peduli akan perasaan wanita itu. Kecewa atau tidak, marah atau tidak bila suatu saat hubungan mereka diketahui oleh Naruto, Sakura sungguh tak ingin tahu dan tak mau peduli. Karena bagi dia, perasaan Naruto bukan hal yang patut dikhawatirkan atau dipikirkan. Yang terpenting, dia dan Sasuke bisa selalu saling memuaskan.

Pelepasan terakhir mereka diiringi dengan desahan dan erangan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Sasuke dan Sakura silih melempar senyuman penuh kepuasan.

"Kau luar biasa." Sasuke berbisik mesra pada Sakura yang sekarang sudah berbaring di sisinya dengan napas terengah. "Bagaimana aku menurutmu?"

Sakura tersenyum tipis seraya berbalik menyamping agar bisa menatap Sasuke dengan lurus. Dia mengelus sebelah pipi Sasuke hingga elusannya itu turun ke bagian leher dan dada. "Aku tak pandai memuji. Tapi... aku sangat puas."

Tiba-tiba Sasuke teringat sesuatu. Ia terdiam sejenak sebelum mempertanyakan hal yang mengganjal hatinya sejak tadi. "Apa kau pernah menikah?"

Sakura bergeming dalam beberapa saat. "Kenapa? Kau menyesal?" Dia bertanya balik karena dia paham bahwa Sasuke bertanya seperti itu bersebab sadar akan dirinya yang memang bukan seorang gadis perawan. "Kau menyesal sudah bercinta dengan perempuan yang ternyata bukan lagi perawan?"

"Tidak, Sayang." Dengan penuh kelembutan Sasuke mengelus sebelah pipi Sakura. "Aku sama sekali tidak menyesal. Aku hanya ingin tahu saja. Maaf jika pertanyaanku menyinggungmu."

Sebenarnya Sakura tidak pernah menikah. Hanya saja, sebelum mengenal Sasuke, dia sempat bermain nakal dengan beberapa pria yang menjadi kekasihnya saat dulu. Tapi, tidak mungkin bila Sakura harus jujur. Dia tak mau terlihat rendah di mata Sasuke.

"Hm, aku pernah menikah," sahut Sakura kemudian. "Tapi, rumah tangga kami tidak berlangsung lama karena suamiku berselingkuh dengan anak dari rekan kerja ayahnya."

Sasuke percaya begitu saja. Dan dia merasa tidak enak karena secara tidak langsung dia sudah mengorek masa lalu wanita itu, hingga sekarang yang Sasuke lakukan adalah memohon maaf pada Sakura atas pertanyaan yang sudah dia beri.

"Walau kau bukan gadis, tapi kau sangat nikmat." Sasuke mencium ujung hidung Sakura kemudian menopang kepala dengan satu tangan, sedangkan satu tangan lagi dia gunakan untuk menekan tubuh wanita itu agar semakin menempel padanya.

Sakura mencebikkan bibir. "Gombal. Kau pasti berkata begitu karena berusaha menghiburku saja."

"Tidak. Aku serius." Sasuke melirik ponselnya di atas nakas yang terus bergetar sejak tadi, menampilkan pesan-pesan dan panggilan masuk dari sang istri. Tetapi, dengan teganya Sasuke mengabaikan dan kembali fokus pada wanita di dalam dekapan. "Kau memang sangat nikmat. Kau bisa mengimbangi permainanku dengan sempurna. Aku benar-benar puas."

Kali ini Sakura mengulum senyum. "Sangat suka, hm ...?" Dia mencium leher Sasuke hingga turun ke dadanya yang masih bertelanjang karena mereka masih belum berpakaian. "Mulai dari sekarang, jangan lagi ragu untuk menikmati tubuhku. Aku bisa menyalanimu kapan pun kau mau."

Sasuke balas tersenyum. Sebelumnya dia memang sempat menolak ajakan Sakura untuk benar-benar bercinta karena masih memikirkan sang istri. Tapi, setelah dia merasakan dengan nyata kepuasan bergulat panas dengan wanita itu, Sasuke tak bisa mengelak bahwa dia menginginkannya lagi dan lagi. Sedikit pun tidak ada penyesalan di hati Sasuke atas hilangnya batasan dalam hubungannya dengan Sakura.

Bagaimana bisa aku menyesali apa yang sudah membuatku puas? Sasuke mencium kening Sakura kemudian merapikan surainya ke sisi telinga. Wanita ini... bisa memberi apa yang tidak bisa Naruto beri.

Alih-alih ada penyesalan, hati Sasuke justru merasa semakin bahagia nan nyaman atas apa yang sudah dia dan Sakura lakukan. Dia juga bahkan dengan penuh senang hati mengucapkan terima kasih kepada Sakura, tanpa peduli bahwa kini pengkhianatannya pada sang istri telah benar-benar sempurna.




TBC
15 - 06 - 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro