Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Your Fault, Your Karma.

Bangun pagi dan tak mendapati sang istri di sampingnya. Mencari di satu rumah pun tak kunjung terlihat batang hidung istrinya. Menuju ke agensi, berharap sang istri ada di sana. Baru saja datang, ia malah di suguh berita duka yang benar-benar tiba-tiba. Dikabarkan bahwa Ariseeina telah meninggal dunia. Apa maksudnya? 

Sungguh, ia tidak tahu. 

Kematian Ariseeina sungguh membuat hancur hatinya. Serasa dunianya pecah menjadi kepingan kaca dan runtuh begitu saja. Ia bingung, tidak tahu, bertanya tanya apa yang harus ia lakukan sekarang. Dazai merasa dirinya telah tersesat. Tidak, lebih tepatnya, kembali tersesat. 

"A-ano, Dazai-san.." 

Dazai tidak melamun, maka dari itu ia segera memberi respon pada seseorang yang baru saja memanggilnya itu. Memberi respon berupa lirikan sayu akibat air mata yang masih membanjiri pipi nya itu. Namun cepat cepat ia usap agar tak terlihat bahwa ia sedang menangis. Meski susah rasanya untuk menahan air mata selanjutnya untuk tidak lagi keluar. 

"Doushita, Atsushi-kun..?" Tanya Dazai pada seorang pemuda berambut silver yang tak lain adalah orang yang baru saja memanggilnya itu. Dazai berusaha mengeluarkan suaranya dengan nada normal. Namun sayang masih terdengar beberapa isakan yang menyertainya. 

Nakajima Atsushi mendudukkan diri di sofa di hadapan Dazai. Ia menatap sedih ke arah senpainya. Meski tak terlihat bahwa Dazai menangis, tapi Atsushi bisa merasakan aura sedih dan sakit yang mendalam di sekitar Dazai. 

Ditinggalkan oleh seseorang yang dikasihi itu sungguh menyakitkan. Membuat sedih orang orang yang memiliki hubungan khusus dengannya. Salah satunya adalah Dazai. Setidaknya, itulah yang Atsushi pikirkan. 

"Dazai-san, aku.. Turut berduka cita atas kematian Ariseeina-san.." Ucap Atsushi dengan nada sedih tentunya. Namun sebenarnya, bukan itu yang ingin di sampai kan nya. 

Yang ingin di sampikan nya adalah. Itu adalah karma. 

Apa alasan Atsushi mengatakan hal itu pada Dazai? 

Dazai melirik Atsushi sebagai responnya, lagi. Ia tersenyum miris yang membuat Atsushi terdiam namun sedih. "Bukan itu kan yang ingin kau sampaikan?" Seketika pertanyaan Dazai membuat Atsushi tersentak kaget sesaat. Atsushi menunduk dan mencengkeram celana nya. 

"Memang bukan.. Dazai-san," Ucap Atsushi yang perlahan nadanya memelan di setiap kata. 

Dazai terdiam. Bukan karena mendengar jawaban Atsushi. Ia sedang berpikir dengan hati yang berantakan. Intinya, keadaan batinnya benar benar tak karuan. Bukan berarti dia gila. 

"Katakan padaku, apakah Ari-chan sempat ke sini sebelum ia di kabarkan meninggal?" Dazai bertanya lagi yang membuat Atsushi menahan nafasnya sejenak kemudian menghela nafas berat. 

Atsushi mengangguk sebagai jawaban. Sementara Dazai yang terus memperhatikan Atsushi dengan cara melirik nya pun kembali terdiam. Kali ini benar benar karena jawaban Atsushi, bawahannya. 

".. Ariseeina-san memang benar datang pagi ini. Bahkan ia datang lebih bagi hari ini. Aku tidak tahu kenapa tapi, saat aku datang dan melihat wajah Ariseeina-san yang sedang okus mengerjakan pekerjaannya, ia terlihat sedih dan agaknya akan menangis." Atsushi bercerita yang seketika membuat Dazai menatap nya sepenuh nya. 

Sekarang, Dazai benar benar bingung di buatnya. 

Atsushi menunduk dan menggigit bibir bawahnya. "Haruskah aku menceritakan hal itu juga pada Dazai-san?" Antara pikiran serta hatinya pun bergelud guna menempati posisi pertama keputusan yang akan Atsushi ambil nantinya. "A-ariseeina-san sempat meminta kasus pada Ketua dan Kunikida-san. Ketika mereka menjawab tidak, ia pun beralih pada Ranpo-san. Meminta kasus yang belum di selesaikan dan-"

"Dan Ranpo-san memberikannya hingga membuat Ari-chan tewas? Apakah kalian tidak mencegahnya? Apakah kalian sengaja membunuhnya dengan memberikan kasus itu padanya?!" Seketika emosi Dazai meluap dalam teriakan serta penekanan di setiap kata dan ekspresi kesal, sedih, dan marah menjadi satu di wajahnya. 

Dazai yang tiba tiba berteriak itu membuat Atsushi terkejut dan terdiam. Bersamaan dengan itu, Kunikida dan Ranpo sudah berada di depan mata Dazai dan Atsushi. 

"Aku memang memberikannya karena dia memintanya. Dan aku sudah tahu jika hal ini akan terjadi padanya," Ucap Ranpo dengan nada nanar dan menatap Dazai dengan menampakkan manik matanya yang tersirat rasa kesal dan sedih pada Dazai. 

Bukan kesal karena Dazai yang menyalahkannya barusan. Ia justru kesal akan Dazai yang tiba tiba berakting seolah apa yang di lakukannya pada Ariseeina tidak pernah salah. Tidak pernah ada yang salah dengan apa yang ia lakukan pada istrinya, Ariseeina. 

"Jika Ranpo-san tahu jika ini yang akan terjadi, kenapa-!"

"Karena memang itulah yang dia inginkan," Ucap Ranpo yang dengan tegas memotong pembicaraan Dazai dan membalasnya dengan nada pedas yang membuat Dazai terdiam dan membelalak tak percaya. Membatu mendengar perkataan Ranpo barusan. 

Ranpo berbalik dan hendak meninggalkan mereka. "Aku tidak mau mengatakan nya lebih jauh. Tapi, ingat Dazai, ini salahmu, ini karmamu." Setelah berkata demikian, Ranpo pun pergi meninggalkan mereka. 

Tak terasa waktu cepat berlalu. Langit pun berubah karena matahari yang akan pergi dulu. Matahari yang terbenam, menyinari langit sore, namun sayangnya terlihat kelabu bagi seorang Daiki Osamu. 

Perasaan tak enak menyelimuti hatinya. Merasa sesuatu yang ada dalam mimpinya semalam menjadi nyata. Daiki benar benar merasa tidak enak dan ingin rasanya cepat cepat pulang dan menyapa ibunya. 

Ah ya, ibunya. 

Di mana dan ke mana ibu nya itu pergi sedari pagi? 

Bahkan saat ia sempat menghubungi sang ibu pun tidak terjawab panggilan nya. Hal itu benar benar membuat gundah hatinya. Sekarang yang hanya bisa ia lakukan adalah berharap pada sang ayah, Dazai datang bersama dengan ibunya, Ariseeina. 

"Mama, kau baik baik saja kan?" Batin Daiki yang terdengar seperti berdoa. Ia benar benar berharap bahwa tidak terjadi sesuatu pada Ariseeina. 

Bahkan jika mimpi buruk datang, ia enggan untuk menutup mata. Ia membutuhkan sang ayah di sampingnya agar dapat menetralkan sekaligus menenangkannya.

"Papa.. Onegai, bawa Mama pulang!" Batin Daiki lagi. Kali ini suara batin itu terdengar seperti berteriak. Seperti ia ingin mengeluarkan meneriakannya sekencang yang ia bisa. 

"Daiki-kun?" 

Seseorang tiba tiba memegang bahunya. Sentuhan dari orang tersebut membuatnya tenang perlahan. Sudah bisa ia tebak jika itu adalah ayahnya, Dazai. 

"Papa!" Seru Daiki yang kini berbalik menghadap Dazai yang tengah berjongkok dengan satu kali guna menyamakan tinggi Daiki. Daiki segera memeluk Dazai erat yang sempat membuat Dazai terkejut namun sesaat. Ia membalas pelukan putranya. 

"D-di mana mama, pa?"

Dan pertanyaan itu pun akhirnya keluar dari mulut Daiki. Pertanyaan yang tak ingin di jawab Dazai karena merasa tak rela membiarkan putranya mengalami kesedihan yang mendalam. Merasa bahwa Daiki tak siap menerima berita bahwa Ariseeina sang ibu pergi untuk selamanya. 

"Jawab pa!" Daiki meminta dengan paksa. Air mata yang berada diambang batas itu berusaha ia tahan. Ia meremas jubah cokelat sang ayah. 

Dazai tersenyum sendu dan tersirat rasa sedih yang amat dalam di manik mata cokelatnya. "Gomen, papa.. Tidak bisa datang menjemput mu bersama dengan mama," Ucapnya yang memberanikan diri tetap memposisikan kepalanya sendiri untuk terus menatap Daiki. 

Air mata Daiki terlanjur menetes. Ekspresi nya menunjukkan sedih dan kecewa akan jawaban Dazai. Mengingat bahwa ayahnya itu berjanji padanya bahwa, ayahnya akan datang menjemput nya bersama dengan ibunya. 

"Kenapa..? Kenapa papa tak datang bersama dengan mama?!" Tanya Daiki yang kini sedikit meninggikan suaranya. 

To Be Continued
Story By Lady Iruma

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro