His Regret.
Air mata Daiki terlanjur menetes. Ekspresinya menunjukkan sedih dan kecewa akan jawaban Dazai. Mengingat bahwa ayahnya itu berjanji padanya bahwa, ayahnya akan datang menjemputnya bersama dengan ibunya.
"Kenapa..? Kenapa papa tak datang bersama dengan mama?!" Tanya Daiki yang kini sedikit meninggikan suaranya.
Mendengar pertanyaan sang anak dengan nada tinggi yang tak biasa itu pun membuat Dazai terdiam sebelum akhirnya menunjukkan senyum tipis yang membuat Daiki heran.
"Kenapa papa tersenyum?! Di mana mama pa? Jangan jadikan mama sibuk sebagai alasan!" Ucap Daiki yang makin meninggi disetiap kata yang ia ucapkan tadi. Emosinya benar-benar campur aduk hingga ia tidak tahu bagaimana cara mengekspresikan setiap emosi yang telah menjadi satu itu.
Senyum tipis nan pilu yang masih setia terukir di wajah tampan Dazai itu pun perlahan tak terlihat ketika ia menundukkan kepalanya. Sementara Daiki masih menunggu jawaban dari sang ayah. Entah mengapa, ia merasa bahwa jawaban dari Dazai nanti akan sangat menyakiti hatinya.
"Ya, mama tidak sibuk, Daiki-kun.." Ucap Dazai dengan nada sendu. Kepalanya masih tetap tertunduk.
Merasa malu menatap putranya karena tak bisa menjadi seorang ayah yang bisa di banggakan oleh sang putra. Merasa sangat bersalah karena telah membuat Daiki kecewa.
Ah, apakah itu yang Ariseeina rasakan ketika memutuskan untuk pergi meninggalkan Dazai dengan kemungkinan untuk selamanya?
Jawaban yang mengecewakan Daiki yang ia dengar secara langsung dari ayahnya pun membuat air matanya mengalir makin deras di pipinya.
Dazai menggigit bibir bawahnya ketika melihat air mata Daiki yang perlahan jatuh membasahi tanah. Ia tidak bisa, ia tidak kuat untuk mengatakan hal yang sebenarnya pada Daiki. Ia takut Daiki akan menolaknya ketika ia mengatakan bahwa Ariseeina, ibunya, pergi untuk selamanya.
Pergi untuk selamanya karena kesalahannya. Baru ia sadari saat Ranpo mengatakannya. Sekarang ia merasakan betapa sakitnya sebuah penyesalan. Kematian Ariseeina adalah penyesalannya.
"Lalu.. Ke mana mama pa? Ke mana mama pergi..? Ke mana?" Tanya Daiki dengan suara serak khas seorang anak kecil yang menangis. Ditambah air mata yang masih mengalir deras di pipi.
Dazai terdiam dan kemudian mengambil nafas dalam dan menghembuskan nya perlahan. Berusaha tenang agar tak ikut menangis saat mengatakannya pada Daiki. Ia pun menatap putranya yang berlinang air mata di mata dan pipi. Dazai menangkup wajah Daiki dan mengusap air matanya.
"Mama, pergi.. Untuk selamanya."
Kata-kata yang diucapkan dengan nada sendu dan wajah yang menahan tangis pilu, membuat Daiki memeluk Dazai, memendam wajahnya di bahu dan menangis sejadi-jadinya di sana.
Berita duka tentang kematian ibunya yang tak Daiki duga benar benar datang secara tiba-tiba. Seperti nya mimpi yang ia alami semalam benar-benar mereka jadi nyata. Tuhan memanggil ibunya terlalu cepat. Ia masih tak rela melepaskan kepergian sang ibu yang benar-benar ia idamkan. Ia masih tak rela ibunya meninggalkannya begitu cepat tanpa mengucapkan salam perpisahan.
"Mama!!"
Dan teriakan serta isak tangis Daiki pun menggema di bawah langit sore yang seharus nya menjadi pemandangan indah dan menenangkan. Kini, pemandangan indah itu tergantikan dengan kesedihan seorang anak laki laki yang meratapi kepergian ibunya tanpa ada salam perpisahan diantara mereka.
Hal terakhir yang Daiki ingat dari ibunya adalah, sosok Ariseeina yang pergi diam diam dengan linangan air mata yang membanjiri pipinya.
Langit sore yang indah, kini tergantikan dengan langit malam yang gelap. Para bintang juga bulan tak terlihat karena tertutup awan kelabu yang perlahan mulai hujan.
Setelah menemani sang putra tidur di kamarnya, Dazai memutuskan untuk kembali ke kamarnya sendiri. Kamar yang seharusnya terisi oleh dirinya dan juga sang istri. Namun tidak lagi karena ia, Ariseeina tak ada di sini.
Dazai tertawa hambar yang jelas itu adalah tawa yang dipaksa kan. Tersirat kesedihan yang mendalam jika kau bisa membayangkan betapa hambar dan pilunya tawanya itu.
Menutup pintu kamar perlahan, mendudukkan diri di tepi ranjang, kemudian menunduk dan meratapi kembali kepergian Ariseeina. Kejadian yang datang begitu cepat juga tiba-tiba. Entah kenapa ia masih tidak percaya bahkan tidak ingin percaya bahwa Ariseeina pergi secepat ini untuk selamanya.
Meninggalkan bumi. Meninggalkan keluarga. Meninggalkan Daiki. Dan yang terpenting adalah, meninggalkan dirinya.
Mengingat semua itu membuat air mata yang sedari tadi ia tahan dan berusaha agar tangisnya tak pecah pun kini mengalir deras di pipi dengan isakan tangis yang mengiringi. Ia memegangi kepalanya yang kemudian mengacak surainya frustasi.
"Aku tidak mau mengatakan nya lebih jauh. Tapi, ingat Dazai, ini salahmu, ini karmamu."
Hingga terlintaslah ucapan Ranpo beberapa jam lalu disela-sela ia berkabung.
Tak hanya itu, ia baru sadar bahkan baru mengingatnya bahwa.. Kematian Ariseeina adalah kesalahannya di mana kemarin ia dengan mudahnya berkata agar Ariseeina segera dan cepat pergi dari hadapannya begitu saja bahkan tak memikirkan konsekuensi atau karma yang akan ditanggungnya di masa mendatang.
Ya, dia baru menyadari hal itu sekarang. Kesadarannya datang bersamaan dengan penyesalan yang akan ia tanggung seumur hidupnya.
Sungguh, apa yang ia pikirkan?
Seharusnya ia mengontrol emosi nya saat itu.
Seharusnya ia menyadari bahwa hati Ariseeina begitu rapuh.
Seharusnya ia menyadari bahwa tak seharusnya ia begitu.
Sekarang, apa yang harus ia lakukan?
Lagi-lagi ia kehilangan seseorang yang berharga dan yang disayanginya.
Setelah kematian Oda Sakunosuke, temannya, kini Dazai Ariseeina, istrinya.
Di bawah langit kelabu di mana hujan perlahan turun. Membasahi setiap tumbuhan juga makhluk lainnya. Orang-orang yang berlalu lalang pun mengabaikan tangis sang semesta dengan cara menghindari rintikannya.
Di kala orang orang menghindari hujan dengan berbagai cara yaitu dengan berpayung adalah salah satunya, tidak dengan Dazai Osamu yang menunduk, menatap lurus ke arah batu nisan dengan nama 'Dazai Ariseeina' yang tak lain adalah istrinya.
Ya, hari ini adalah hari pemakaman sang istri yang meninggal dunia kemarin.
Dazai sengaja tak memakai payung guna menyamarkan air matanya agar tak terlihat oleh siapapun kecuali dirinya yang kini tengah merasakan kesedihan yang mendalam.
Lagi-lagi ia kehilangan.
Sepertinya apa yang dia katakan adalah benar.
Ketika ia mendapatkan sesuatu, maka sesuatu itu akan hilang darinya.
Odasaku tidak ada. Ariseeina pun bernasib sama.
Tatapan lurus nan kosong itu membuat Daiki yang berada dipelukan Atsushi pun menatap khawatir sang ayah. Sementara Dazai yang terus berdiri di tengah hujan tanpa adanya naungan payung di atasnya, tiba-tiba terduduk di tanah seraya memeluk batu nisan istrinya.
Tidak, ia tidak bisa merelakan istrinya begitu saja.
Tidak, ia tidak bisa berkata 'maafkan aku' sekarang.
Ya, ya semuanya terlambat.
"Apakah kau akan memaafkan ku? Nee, apakah kau memaafkan jika aku berkata 'maafkan aku' padamu? Nee, tidak kah kau menjawab pertanyan ku, Ari-chan? Jawab aku Ari-chan.. Jawab aku!" Batinnya berteriak. Hatinya sungguh sakit ketika harus merelakan seseorang yang sangat di cintainya.
Tolong, seseorang harus membantunya menyembuhkan luka akibat penyesalannya.
Tidak ada yang bisa. Sebenarnya.
Kecuali dia mau dan tidak terlambat menyadari kesalahannya kemudian meminta maaf pada Ariseeina.
"Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku!" Ucap Dazai berkali kali bahkan sampai meninggikan suaranya seperti tadi.
"Papa.." Ucap Daiki sendu dan mencoba untuk turun dari gendongan Atsushi yang hendak mendatangi sang ayah. Namun Atsushi tak membiarkannya karena Dazai sendiri yang menyuruhnya agar menjauhkan Daiki dari Dazai sementara.
"Yamete, Dazai. Dia tidak akan tenang jika kau terus seperti ini," ucap Kunikida yang kini menghampiri rekannya seraya memegang bahunya. Jangan lupakan Dazai yang telah di bawah naungan payung hitam nya.
Isak tangis Dazai terdengar. Ia bahkan nyaris tak mendengar ucapan Kunikida. Dazai makin mempererat pelukannya pada batu nisan Ariseeina.
"Seharusnya aku tahu. Tolong maafkan aku."
To Be Continued
Story By Lady Iruma
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro