The Most Ordinary Person In This Country
Suara air yang menetes deras ke lantai perlahan-lahan menjadi lebih pelan hingga akhirnya berhenti. Sosok remaja berpostur tinggi kemudian keluar tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Bahkan tidak ingin mengeringkan tubuhnya setelah mandi, dia langsung mengambil semua pakaian yang akan dia kenakan hari ini.
"Kim! Tiga puluh menit lagi kau terlambat!" Belum bahkan dia memakai apapun, sebuah suara meneriakinya.
"Ibu, tiga puluh menit adalah waktu yang lama. Aku bahkan bisa pergi ke Fort Knox sebanyak dua kali sebelum ibu selesai menghitungnya!" ucapnya membalas suara teriakan yang memanggil di lantai bawah rumahnya. Suara yang lebih keras dan melentang ke seisi ruangan yang adalah kamar miliknya, Kim.
Setelah merapikan rambutnya, dia memasang wajah meyakinkan dan siap turun ke lantai bawah untuk menikmati sarapan pagi hari.
Di ujung tangga, matanya menangkap seorang pria yang lebih tua darinya, tengah santai menonton saluran berita pagi.
"... Kepolisian Radcliff mengatakan jika tahanan yang kabur sudah mendekam di penjara selama setahun. Hingga saat ini pencarian masih--" Sampai wanita yang meneriaki Kim sebelumnya mematikan televisi.
"Hei!" protes pria itu.
"Makan dengan cepat, dan antar anakmu ke sekolah."
"Ibu, kau tidak perlu menyuruh ayah untuk mengantarku ke sekolah," balas lagi Kim kesal saat dia mulai mengambil duduk di salah satu kursi.
"Kau dengar anakmu? Dia sudah dewasa," sambung pria tersebut yang adalah ayah Kim. Namun, meski begitu dia tidak menyalakan kembali televisinya dan lebih memilih bergabung bersama keluarga kecilnya untuk makan.
"Kim sudah tujuh belas tahun, Margaret. Apa kau tidak merasa terlalu protektif?"
"Apa kau tidak merasa khawatir pada anakmu sendiri?"
"Apa kita harus membahas ini di meja makan?" potong Kim.
"Tapi Ibu, ayah benar. Ibu terlalu protektif, aku bahkan tidak bisa pergi menonton film minggu lalu karena ibu terlalu takut, aku ... lupakan saja," tambahnya saat dia baru selesai mengoleskan selai di roti tawarnya.
"Lihat, kan? Tidak akan ada orang jahat yang mau menyakiti anakmu itu. Wajahnya sudah terlihat miskin dan tidak akan punya nilai jual jika dijadikan tebusan," ucap ayahnya Kim, dan membuat anaknya kini memasang wajah yang lebih tak senang.
"Maksudku dalam artian yang baik, okey?"
"Atau mungkin anakmu bisa saja yang jadi penjahatnya?" balas ibunya, dan setelah itu menggigit roti di tangannya.
"Kim menjadi penjahat? Dia bahkan tidak bisa menghadapi ibunya sendiri saat telinganya ditarik."
Sembari menghela nafas meratapi kehidupan, Kim menggelengkan kepalanya pelan melihat bagaimana aktivitas keluarganya berjalan pagi ini.
Saat kemudian mereka semua selesai sarapan, Kim pada akhirnya tetap diantar ke sekolah dengan mobil mobil ayahnya.
"Gunakan sabuk pengamanmu!" teriak Margaret sebelum suami dan anaknya benar-benar pergi.
~~~
"Terima kasih, ayah ...," ucap Kim setelah keluar dari mobil, dan terhenti sebentar di sana saat ayahnya memanggil.
"Apa kau mau dijemput nanti?"
"Akan kuhubungi ayah nanti, tapi kurasa aku akan berenang saat kelas sudah selesai. Jadi ayah tidak usah menunggu"
Ayahnya memberi sebuah jempol tanda setuju. Kemudian menancap gas cepat pergi meninggalkan area tempat Kim menempuh pendidikan atas. Sebuah SMU terbaik yang mungkin ada di sepanjang Radcliff, North Hardin High School.
Tampak keramaian dari sepanjang jalan masuk sampai bahkan di lorong masih cukup berisik. Kim yang baru saja melangkahkan kakinya di koridor sudah mendapatkan sentakan hebat di bahu kanannya.
"Oh astaga, demi Tuhan! Apakah itu mobil baru keluargamu yang aku lihat, Kim?"
"Oh astaga, demi Tuhan! Untuk sekali lagi itu mobil lama, Richard," balas Kim mengikuti gaya bicara remaja seumurannya itu. Sangat antusias dan cerewet, termasuk menirukan suara tenor khas dari orang yang juga adalah sahabatnya, Richard.
"Ayolah, bahkan yang guru bahasa Inggris kita tau kalau itu mobil baru. Lagipula penampakannya seperti mobil baru."
"Aku katakan padamu, itu hanyalah mobil tua yang bagus."
"Ayolah, apa kau berusaha merendah atau apa? Bagaimana mungkin kau menyebut mobil keren itu dengan sebutan tua?" tanya balik Richard.
"Karena kami membelinya dengan uang kakekku."
Saat akhirnya mereka tiba di lorong loker, dan suara mereka berdua yang membahas soal mobil tiba-tiba menjadi pelan dan berhenti. Keduanya terdiam begitu semua orang di sekitar mengeluarkan tepuk tangan kuat dan meriah disertai sorak-sorak ramai yang menggelegar ke seisi lorong.
"Akhirnya ... mereka mau mengakui ketampananku yang paripurna," ucap Richard tersenyum lebar dengan perasaan bangga. Kim juga sama, tetapi senyum yang lebih pelan bersamaan dengan gelengan lemah yang sebenarnya lebih ditujukan pada sahabatnya.
"Ehem! Maaf menganggu mimpi indahmu, pangeran. Tapi sekarang sudah pagi, dan sebaiknya kau melihat ke belakangmu." Kim membalikkan tubuh Richard paksa, agar mau melihat sosok remaja lain di sana yang sebenarnya menjadi alasan kenapa orang-orang jadi heboh.
"Ck ... ternyata Adrian sudah kembali," desisnya, lanjut berbalik melangkah dengan gaya gemulai yang juga sudah khas.
"Hohoho. Ada telingaku menipuku, kau terdengar baru saja cemburu padanya?" Kim setelah kembali tertawa pelan akhirnya mengejar sahabat sekaligus laki-laki paling anggun di seluruh sekolah.
"Cemburu? Aktingnya di film terakhir benar-benar buruk. Aku bahkan lebih baik darinya. Tambahan, aku juga lebih berbakat darinya."
"Kalimat yang diucapkan oleh pria tercantik di sekolah ini, yang rela menghabiskan uang beasiswa untuk menjaga penampilan. Aku tidak akan protes, tapi tetap saja tidak setuju."
"Penampilan itu penting, Kim. Kau harus ... lupakan. Kalian para laki-laki murahan tidak akan mengerti fashion," balas Richard dan mempercepat langkahnya. Kim tetap mengejarnya dengan menyamakan kecepatan sampai mereka akhirnya bertemu seorang siswi yang berdiri sambil bermain ponsel di depan sebuah kelas.
"Hei, Mulan!"
"Richard! Kim!" sahut gadis itu, Mulan yang sama antusiasnya seperti Richard. Mereka bertiga akhirnya melangkah bersama menuju kelas pagi mereka yang kebetulan punya jadwal sama.
"Kulihat lorong sedang berisik. Apa ada sesuatu?"
Baru saja Kim membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Mulan, Richard masuk dan tiba-tiba memotongnya. "Adrian. Dia baru selesai dengan syuting film terbarunya."
"Really?! Aku yakin filmnya kali ini akan sama luar biasanya dengan yang pertama."
"Ugh ... apa yang istimewa dari filmnya? Itu hanya roman picisan murahan yang diperankan oleh orang-orang berwajah bagus," keluh lagi Richard menyilangkan tangan.
"Uhh ... filmnya menang Oscar, Richard. Kau bahkan menontonnya saat pengumuman kemenangan, dan kau juga membuat ucapan selamat di akun Instagram-mu dan menandainya," jawab Kim yang masih berusaha menahan tawanya.
"Memangnya tidak boleh? Ayolah, semua orang melakukannya. Lagipula filmnya hanya memenangkan Best Screenplay. Bukan Best Actor."
"Itu karena dia tidak masuk ke nominasi," sambung Mulan ikut menggelengkan kepalanya.
Percakapan mereka soal Adrian tetap berlanjut bahkan hingga mereka tiba di kelas Bahasa Inggris. Richard yang masih merasa lebih hebat dari Adrian akhirnya mulai bertanya ke Kim.
"Baiklah, kesimpulannya. Dia berbakat, tapi bukan berarti aku juga tidak berbakat." Richard menutup ucapannya dan mengambil tempat di bagian tengah.
"Bagaimana dengan kau, Kim? Apa kau punya bakat?" lanjut Mulan bertanya.
"Aku bukanlah orang terbaik yang ada di sekolah, dan aku bahkan tidak peduli," jawab Kim langsung. "Tapi jika kau bertanya aku bisa apa?"
Mulan dengan tepat menangkap tas Kim yang dilemparkan ke arahnya. Sementara Kim yang memberikan kedipan sebelah mata pada mereka berdua langsung berlari cepat ke arah dinding, sangat cepat hingga kakinya bahkan bertahan di dinding untuk sementara. Lalu kemudian melompat ke belakang dan berputar dengan indah di udara sebanyak tiga kali. Hingga akhirnya dia berhasil mendarat sempurna di lantai dengan kedua kakinya, dan termasuk menaruh pose dua jari di dagunya.
"Aku hebat, bukan--ouh, sial ...," sambungnya, dan seketika menurunkan nada bicaranya begitu melihat sosok pria tinggi berdiri di tempat kedua temannya tadi. Sementara Mulan sudah mengambil tempat di samping Richard tanpa Kim ketahui. Richard memberikan lambaian jari-jari dan Mulan hanya mengangkat bahu, bersamaan dengan seisi kelas terkekeh pelan melihat Kim sekarang.
"Tuan Liam Kim. Bisa jelaskan sebentar apa yang baru saja kau lakukan?"
"Aku ... uh ... harus ke kantor kepala sekolah. Benar begitu, Pak?" sambung Kim.
"Benar sekali." Pria yang adalah guru Kim itu memberikan jalan menuju pintu, dan dengan pasrah Kim melangkah keluar untuk menemui kepala sekolahnya.
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro