Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

24 - Kebangkitan

SEMBURAT lembayung timbul di cakrawala, segaris cahayanya menerangi puncak gedung utama, gedung pengajaran, dan gedung asrama, yang nyaris luluhlantak semua. Sesungguhnya, mereka tak benar-benar punya puncak lagi--atau yang sering disebut pelataran balkon--sebab bangunan itu rusak separuh menyisakan reruntuhan. Puing-puing beton berserakan. Dan belum separah gelanggang di antara mereka, yang kini dipenuhi mayat bergelimpangan.

Pertempuran sudah usai sejak pesawat Albert datang mengangkut anak-anak, dan komandan Marcus mengerahkan tentaranya mundur. Sementara pasukan organisasi gelap terlambat mengetahui banyak lawan mereka telah pergi, mereka kocar-kacir saat tentara Endsburg memborbardir sisa wilayah Haydens. Kini tempat itu sudah ditinggalkan terbengkalai, hingga tiba saatnya nanti tim penyelamat datang. Namun, siapa yang berharap?

Cahaya matahari menerpa salah satu puing bangunan asrama, ketika dia bergerak dan bergeser. Seseorang keluar dari sana, terbatuk-batuk dan menggigil. Pelipisnya berdarah, tangan-kakinya memar. Semalaman itu dia tertidur saking lelahnya tanpa mengetahui bahwa pertempuran dahsyat terjadi. Dan ketika dini harinya dia bangun dalam kondisi sakit, hatinya tak bisa lebih sakit lagi.

"Astaga ...," gumam Favre sebelum terbatuk kembali. Dia jalan terhuyung-huyung di atas tanah bersalju hingga berjejak, melintasi banyak tubuh manusia, rongsokan animatronik dan android. Lututnya gemetar, dia rasakan wajahnya memanas seperti akan meledak.

Dia berjalan ke beberapa titik hanya untuk menemukan sekolahnya hancur lebur, dan mayat-mayat membeku ngeri. Setelah merenungi cukup lama, dan matahari semakin menyingsing, Favre bertekuk lutut di sana. Ke mana dia harus pergi? Apa yang harus dia lakukan? Siapa yang bertanggungjawab atas semua ini? Tiba-tiba saja dia mendengar suara seseorang yang seperti menjadi jawaban.

"Endsburg menyerang Haydens. Tapi, kepala sekolah kalian, Libra Smith, dia hanya pergi dengan anak-anak terpilih. Kalian ditinggalkannya." Seorang pria tegak tak jauh di belakang Favre. Rambutnya yang putih kaku tersibak, tampak samar di antara latar putih bersalju.

Favre menoleh cepat, melotot. "Mr. Latriel? Di mana guru yang lain? Ke mana anak-anak di bawa pergi?"

"Tidak tahu," Latriel mengedikkan bahu, "yang jelas mereka ada di tempat aman. Kita dibiarkan terlunta-lunta." Dia menendang gundukan tanah hingga tersibak menampakkan kepala seseorang. "Hm, sepertinya kita harus beres-beres. Salju ini tidak selamanya mengubur mereka, beberapa bulan lagi pasti lebur. Ayo."

"Sungguh tidak adil," bibir Favre bergetar menahan amarah, "teman-temanku mati, aku menguburkannya, sementara mereka berlepas tangan?"

"Aku tahu, sungguh tidak adil." Latriel menggeleng-gelengkan kepalanya seolah dia sangat setuju pada Favre. "Tapi, tidak apa. Kita tidak akan menjadi seperti mereka. Kita akan memakamkan teman-teman Haydens kita dengan layak."

Mereka pun jalan beriringan untuk mulai mengumpulkan mayat-mayat beku di satu tempat. Membuat lubang-lubang khusus untuk menidurkan mereka dengan tenang. Ketika itu, beberapa orang lainnya tiba. Sander dan Kira menggotong kayu, terkejut mengetahui salah satu siswa masih hidup di sana. Favre sendiri terkejut melihat mereka.

"Aku sudah merakit pemantik dari komponen bekas android," kata Kira. Dia berlutut untuk menyalakan api pada tumpukan kayu dan barang-barang aneh lain. Sekilas, Favre seperti melihat jari tangan manusia. Tapi, anak laki-laki itu menyingkirkan pikiran anehnya dan berusaha rasional. Ah, seakan-akan masih ada rasional untuk kehidupannya setelah ini.

"Kamu ...." Sander mengernyit pada Favre, sebelum melirik Latriel dengan makna tertentu. Latriel tersenyum ramah dan merangkul Favre. Berkata, "anak ini punya keberuntungan besar. Kita tentu harus menjaganya baik-baik."

Kira dan Sander saling bertatapan, namun mereka tak bicara banyak. Favre melanjutkan kegiatannya memakamkan jasad bersama Latriel, ketika dia terkesiap. Favre menemukan seorang gadis yang amat familiar, namun agak samar karena kulitnya telah memucat pasi dan rambutnya memudar. Tapi, Favre yakin itu seseorang yang dia kenal. Dan dia yakin gadis itu memiliki rambut auburn gelap, bukan abu pirang. Aneh sekali.

"Oh, siapa itu?" Latriel mendekat.

Beberapa mayat memang agak susah untuk dikenali setelah bagian wajah mereka banyak terkoyak, tapi sebagian yang lain masih utuh seperti keajaiban. Termasuk ini. "Eiries dari Ruang Z, kurasa ...," kata Favre agak ragu. Mungkin dia sempat mengecat rambut, pikirnya konyol.

"Eiries ... tidak perlu ditimbun." Latriel bertelekan sebelah lutut di samping tubuh Arietha, membuka matanya yang tersisa biru pudar. Pria itu bergeming sejenak, sebelum memanggil Kira. Mereka bicara dalam bahasa isyarat sampai Kira terbelalak.

"Sungguh?" tanyanya tak percaya.

"Mengapa tidak?" balas Latriel misterius.

Kira menarik napas dalam, sebelum ikut berjongkok dan mendekat. Tangannya menyentuh tiap titik nadi Arietha dan bagian jantungnya, menimbang beberapa saat, lalu mengangguk. "Bisa."

"Apanya?" Favre mengernyit. "Bisa dikubur? Atau tidak perlu?"

"Tidak, tidak perlu," kata Kira. Dia melirik Sander yang bibirnya sedang berkomat-kamit mengucapkan sesuatu.

Udara berembus dingin dan langit masih mendung, Favre merasa bulu kuduknya meremang. Dia menyusut ingus. "Ada apa?"

Sander, pria kekar itu mendekat ke dalam lingkaran yang mereka bentuk di sekitar Arietha. Mulutnya tak henti melafalkan sesuatu, seiring sentuhannya mengenai kening Arietha, batang hidung, sampai dagunya. Latriel berdiri di sana menatap dengan seksama, sementara Kira menelan ludah. Kepalan tangannya gemetar.

"Apa yang Anda lakukan?" tanya Favre lagi. Dia mulai merasa tidak enak, tapi matanya tak mampu beralih dari kejadian di hadapannya yang akan segera mencengangkan. Jantungnya berdebar-debar hingga nyaris loncat keluar.

Tubuh Arietha berguncang, sebelum mulutnyamenganga seperti menarik napas sekarat menjelang maut, kedua tangannya terbuka dan terkepal beberapa kali, kemudian matanya mengerjap—Arietha terbatuk seakan dia baru saja tenggelam dalam laut gelap sebelum naik ke permukaan. Napasnya sesak, tapi napas itu terus ada. Hingga kondisi mirip kejang-kejang itu berakhir, dia kembali terlentang tenang. Kelopak matanya menurun.

Favre sudah terperanjat sejak awal, jatuh terjerembab ke belakang. Seluruh tubuhnya gemetar. Keringat dingin bercucuran dari pelipisnya. Dan ketika Latriel mengambil tangan Arietha, membantunya duduk dengan baik, Favre menjerit.

"Apa!? Apa-apaan!?" matanya melotot sampai nyaris mencelat. Sebelum dia sempat berteriak lagi, Sander sudah mencengkeram kedua pundaknya.

"Jangan tanya apa pun." Sander menatap tajam seolah tembus ke dalam jiwa Favre. Anak laki-laki itu mendadak lemas ketika berhadapan dengan guru paling kuat dan galak di sekolahnya kemarin. Apakah jika dia masih memberontak, dia masih punya tulang yang tidak retak!? Tidak tahu. Maka lebih baik, Favre memilih menurut.

"Selamat datang ke dunia," bisik Latriel.

Gadis di hadapannya bergeming seperti patung. Matanya mungkin telah terbuka. Jemarinya mungkin dapat bergerak. Namun, dia tak benar-benar memiliki jiwa. Tatapannya kosong. Perasaannya, dan juga hatinya kosong. Tidak ada apa pun. Hanya seonggok tubuh, tidak diketahui apa yang mengisi dan mengendalikannya saat ini.

"Eiries," panggil Kira, yang segera ditanggapi Arietha dengan menoleh. Favre ketakutan sendiri menyaksikan itu, mengetahui bagaimana mayat Arietha bangkit dan bergerak kaku seperti halnya mayat—tentu saja. Favre hanya tidak bisa lagi membayangkan apa jadinya jika Arietha bisa memutar kepala seratus delapan puluh derajat. Mungkin akan pingsan, pikirnya. 

Kira tersenyum getir sebelum mengusap pipi Arietha. "Jangan kecewakan kami," dia berbisik.

Arietha mengangguk.

"Apa kamu bisa bicara?" tanya Sander.

"Ya," jawab Arietha dengan suara serak basah, tampak kesusahan.

"Dia perlu disembuhkan sedikit. Biar aku yang urus," kata Kira. Dia perlahan membantu Arietha bangkit agar mendekat ke api unggun mereka. Kemudian, mulai mengeluarkan barang-barang pengobatannya dari kotak.

"Bisa Anda jelaskan sesuatu?" Favre mendelik pada Latriel yang kembali memasukkan mayat-mayat lain ke liang lahat.

"Tidak ada yang bisa dijelaskan."

"Kenapa!?"

"Karena memang begitu."

"Setidaknya jelaskan apa yang akan kita lakukan setelah ini," desah Favre. "Baiklah, jika memang semua ini aneh—dan aku tidak ingin lebih peduli lagi. Tapi, aku peduli hidupku, dan mustahil untuk membangun Haydens kembali bagi kita. Jadi, apa selanjutnya?"

Latriel berhenti sejenak dari kegiatannya. Dia menepuk-nepukkan kedua tangannya seperti membersihkan debu, beranjak mendekati Favre yang baru saja berdiri setelah jatuh tadi. "Jangan khawatir. Di tanah yang penuh peperangan ini, kamu tidak akan bertahan kecuali dengan kelompok yang kuat. Dan kamu adalah bagian dari kelompok kami sekarang. Para Diabolusch."

"Diabo—apa?"

"Diabolusch," ulang Latriel. "Beberapa anggota kami tewas semalam, tapi tidak semua. Sebagian yang lain masih bersembunyi di tempat berbeda. Scramton ini, kamu lihat dari ujung sana hingga ke sana, adalah milik kita semua. Dan tidak akan ada yang menyerangnya kecuali akan berhadapan dengan kita."

Setelah gelanggang Haydens yang tertimbun salju telah bersih dari mayat manusia dan rongsokan robot, seseorang datang dengan mobil pengangkut. Dia melongokkan kepala dari jendela. "Hanya ini yang tersisa?" kedua alis Kruz melengkkung seolah dia sangat pantas untuk heran.

"Tidak ada yang menduga Endsburg akan datang semalam," kata Latriel. "Ayo, matikan apinya."

Sander menginjak kayu-kayu bakar itu hingga padam, lalu naik ke atas. Kira menyusul bersama Arietha. Kemudian, Favre dan Latriel. Kruz masih ingin banyak bertanya, tapi hanya satu yang paling membuatnya penasaran. "Apa kalian hanya menghidupkan satu?"

"Kamu ingin berapa?" Sander melotot. "Ini bukan perkara mudah, Kruz."

"Gadis itu sudah cukup, dia adalah pemicu yang paling sempurna," kata Latriel, menyeringai lebar seiring matanya berkilat seperti batu darah. "Mereka akan bisa dikalahkan dengan mudah."

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro