Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22 - Salju dan Pertumpahan Darah

ARIETHA terkesiap saat kilasan-kilasan dalam benaknya berlalu dan hangus, setelah suara itu berteriak. Marcus membangkitkan memori kelam Arietha sebelum dia tiba di Haydens. Kini gadis itu telah kembali dari lamunannya, ke gelanggang besar Haydens tempat pertempuran dahsyat terjadi. Namun, dia sedikit terlambat. Sebuah bom dilemparkan dari pihak Mr. Latriel, memporak-porandakan barisan prajurit muda itu.

"Ary!" pekik Alphia ketika dia terhempas ke tanah yang berjauhan dengan Arietha. Seluruh tubuhnya mungkin sakit, tapi tidak akan separah saudarinya yang kini lebih dekat dengan lawan.

Saat hendak bangkit, sebuah android menembak laser sehingga Alphia menghindar, terpaksa meladeninya. Sementara anak-anak yang lain juga sudah tersebar, tidak saling mengetahui keberadaan temannya.

Jauh dari sana, Arietha baru bangun tertatih-tatih, ketika sebuah peluru menembak tanah di sebelahnya. Seorang pria telah tegak cukup dekat dengannya, mengangkat senapan laras panjang yang tidak berisi baterai untuk laser. Melainkan peluru dari zaman klasik. Marcus mendelik dengan tatapan tajamnya, menusuk Arietha.

"Bocah-bocah tengik!" hardiknya. Marcus menembak sekali lagi lantaran Arietha terus menghindar. "Kalian yang memulai pelarian itu," dia menembak hampir mengenai kepala Arietha, "mendorong yang lain untuk melakukan hal sama. Membuat kami kehabisan petugas berkualitas yang terus dihukum mati akibat perjanjian hina!"

"Di mana rekan-rekanmu itu!?" Marcus berteriak.

"Aku sumpah tidak tahu!" pekik Arietha. Dia mulai mengatur napas, menjernihkan pikiran, lalu mengalihfungsikan busurnya menjadi senjata pemukul.

"Bocah tidak berguna!" Marcus meraung sambil menembak membabi-buta. Beberapa orang dan android terkena tembakannya, tapi Arietha yang lincah masih mampu bertahan. Suasana begitu kacau sampai-sampai tidak jelas lagi yang mana musuh atau lawan.

Saat mereka terpaut jarak, Arietha mulai menembakkan anak panahnya ke arah Marcus—tidak pernah meleset, namun selalu bisa pria itu tangkap dengan gesit, mematahkannya. Marcus, pada matanya tampak berapi-api. Dia teringat bagaimana ketika Jenderal memarahinya habis-habisan, mempermalukannya. Dan semua itu berawal hanya dari keputusan bodohnya setahun yang lalu.

Marcus dengan dendam yang memuncak, kini menembak tidak asal-asalan. Dia hanya menarget ke arah Arietha yang terus berjuang melepaskan panah, ketika seseorang menembaknya dengan revolver laser—tepat melukai pundaknya. Marcus menggerang.

Alphia tiba di sana, membantu Arietha bangkit dan pergi menuju arahan Ramirez yang berteriak agar anak-anak kembali ke tujuan awal: pergi dengan bus. Meskipun itu tak menjamin tentara Endsburg tidak mengejar, tapi masih memiliki peluang terhentinya pertempuran.

Tapi, saat mereka beranjak, Marcus kembali menyerang tanpa ampun. Ketika itulah akhirnya Arietha tertembak di bagian bahu, dada, dan kakinya. Alphia menjerit dan hendak menolong, saat peluru lain menerjangnya—sebelum datang Ramirez yang menolak itu dengan tangan besinya. Lloyd datang memasuki kancah mereka dan berduel dengan Marcus, sampai ia sadar bahwa Alphia tengah menangis keras.

Memanggil Arietha yang telah jatuh berlumuran darah, dengan luka tembakan di mana-mana. Terbaring di atas tanah salju putih yang telah dibanjiri merah. Sementara salju-salju kecil masih berguguran dari langit di atas mereka.

"Ary!" Air mata Alphia mengucur deras pada wajahnya yang merah padam. "Ary, tidak. Jangan lagi, kumohon. Kali ini tidak ... jangan tinggalkan aku."

"Setiap yang bertemu akan berpisah, Alphy," bisik Arietha serak, matanya yang telah memandang beratnya hidup kini berkaca-kaca. "Tapi, kita akan bertemu lagi di rumah."

"Rumah yang mana?" Alphia sesenggukan, "aku tidak tahu lagi apakah pada masa ini masih ada rumah yang layak untuk kita."

Ramirez mencoba menggotong tubuh Arietha, tapi gadis itu mendorongnya saat muntah darah. Pandangan Arietha sudah kabur, dia hanya melihat percikan-percikan api, ledakan, dan sinar laser. Gemuruh perang seolah teredam, menyisakan dengungan samar di telinganya. Butiran salju tersangkut pada bulu matanya, ia tak merasakan dingin seolah akan segera menyatu.

Aku mati, bisik Arietha dalam hati. Sungguh ... tidak adil.

Lloyd menembak Marcus untuk terakhir kalinya sebelum dia berlari menjauh, sementara di belakangnya ada ledakan besar yang terus merambat ke arah mereka. "Pergi! Pergi jauh!" teriaknya.

"Ary, tidak ...," Alphia terus merangkul Arietha yang telah sekarat, berusaha jalan sampai tersandung-sandung. Tapi, Arietha menggeleng. Dia tahu secara benar bahwa dia tak akan bertahan lebih lama. Dan pada tengah malam yang menegangkan itu, mungkin waktunya sudah akan habis.

Ramirez juga memahami itu. Dia sudah menarik-narik Alphia ketika Lloyd mendekat. "Kita harus pergi!" serunya.

Seluruh orang di gelanggang Haydens yang telah penuh mayat kini terperangah, menatap sebuah pesawat canggih yang perlahan melayang rendah, membuka bagian mulutnya yang lebar sebagai jalan masuk. Mr. Libra Smith memuji Tuhan, lalu mengarahkan prajurit-prajurit mudanya agar segera naik menyelamatkan diri. Ethan ada di sana untuk membantu anak-anak lain dari dalam gedung mengevakuasi diri. Sementara itu, tentara Endsburg masih disibukkan oleh serangan animatronik dan pasukan Mr. Latriel.

Ramirez menarik Alphia yang memberontak, terus memanggil nama saudarinya, tapi ia tak mampu kembali ke sana. Lloyd dengan tangkas menghampiri Arietha, menyibak rambutnya yang berantakan menutupi wajah. Mendekapnya dan berbisik, "kita akan pergi."

Anak laki-laki itu mengangkat Arietha dan bergegas menuju pesawat, meski hatinya terus bergetar ketika darah dari sekujur tubuh Arietha telah merambas ke pakaiannya. Tapi, Arietha mengulurkan tangannya untuk membelai pipi Lloyd, berkata, "tinggalkan aku."

"Jangan bodoh!" Lloyd merasa matanya panas, dan dia tak ingin menangis sekarang.

"Ini untuk Alphia."

"Apanya yang untuk dia!?"

"Kalau aku terus ada, dalam kondisi begini," suara Arietha nyaris habis, "itu akan memperburuk perasaannya."

Pundak Lloyd melemas, dia semakin mendekap Arietha erat.

"Aku sudah akan mati. Jadi, tidak ada gunanya. Jangan bodoh."

"Siapa yang bodoh," Lloyd merasa kakinya tidak mampu lagi, dia berhenti berlari dan bertekuk lutut di pinggir gelanggang yang masih berkecamuk perang, "oh, jangan tanya aku."

Hujan salju semakin deras, mengacauka jarak pandang. Lloyd tahu bahwa pesawat masih ada beberapa meter lagi, tapi kini dia hanya diam menatap wajah Arietha yang penuh luka. Air matanya jatuh ke sana, sebelum dia menunduk dan mendekap Arietha lebih kencang. Dia ingin mengutarakan sesuatu, tapi tidak bisa. Hatinya terlalu keras. Kemudian, di balik pundaknya, Arietha mengembuskan napas yang terakhir.

Lloyd menyatukan keningnya dengan milik Arietha, sebelum membaringkan gadis itu di sana. Kelak, gelanggang tempat pertarungan besar yang tercatat dalam sejarah Haydens akan menjadi pemakamannya. Dengan hati yang sangat sakit, Lloyd berlari meninggalkannya dan bergabung bersama yang lain ke dalam pesawat.

"Tidak," gumam Alphia ketika mendekati Lloyd. Tidak menemukan Arietha bersamanya. Lloyd menggeleng, jatuh terduduk di salah satu bangku panjang tempat anak-anak lain yang selamat. Dia tak peduli lagi pada seluruh pakaiannya yang berlumuran darah Arietha, Lloyd menangkupkan kedua tangannya di wajah. Bahunya terguncang. Ethan menarik napas pelan, merangkul Lloyd yang dilanda penyesalan berat. Menenangkannya.

Tidak boleh ... bisik Alphia dalam hati. Dia kembali menangis, saat pintu pesawat tertutup rapat. Dari jendela kaca besar, dia melihat peperangan yang masih sengit di gelanggang Haydens. Sementara di pinggirnya, Alphia tahu jelas ada seorang gadis yang terbaring kaku. Ada Arietha. Ada saudarinya. Keluarga terakhirnya.

Alphia sudah akan jatuh berderai air mata lagi, jika Ramirez tidak datang untuk membawanya ke bangku. Membiarkan Alphia menangis di atas pundaknya. Membelai rambutnya. Tidak ada satu pun orang yang bicara di ruangan itu, tapi semuanya saling berbagi emosi menyakitkan versi mereka sendiri. Tidak ada yang tidak sakit.

Pesawat itu terbang menjauh meninggalkan kecamuk di bawahnya.

Keluar dari Haydens.

Keluar dari Scramton.

[]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro