21 - Sosok Baru
PARA remaja yang ditempa keras menjadi tentara itu hanya memiliki waktu lima sampai sepuluh menit untuk makan, lalu bergegas membersihkan diri sebelum tidur. Arietha terkadang hanya makan sesuap, atau tidak sama sekali kecuali jika dia memang lapar.
Ketika mereka beranjak ke dalam tenda masing-masing, akan ada setidaknya dua petugas yang berpatroli di luar. Bukan untuk setiap tenda. Jadi, pasti ada kalanya mereka meninggalkan satu tenda menuju tenda lain. Itulah waktunya Arietha harus menyelinap dan bertemu Beth di belakang jajaran toilet. Trik untuk selamat hanya ada satu: jangan tertangkap cahaya dari menara patroli atau senter petugas. Soal melewati gerbang bukan masalah, sebab mereka telah terlatih parkur.
Arietha menghampiri Beth yang memberi isyarat di balik bayang-bayang pagar. Di sebelahnya sudah ada seorang laki-laki dengan rambut berjambul kaku yang memakai kacamata selam. Dia melahap permen karet yang jika ditiup akan meledak mengeluarkan gelembung.
"Ya Tuhan, sudah kubilang jangan makan itu saat kita beraksi," bisik Beth.
"Mau juga, ya?"
Beth merotasikan mata, lalu mengisyatkan pada Arietha bahwa orang di sebelahnya bisa benar-benar sinting. Mereka segera bergerak mengikuti arahan Beth yang gesit dan halus, hingga akhirnya bisa melintasi pengawasan petugas ke depan gerbang. Mereka memanjat dengan tangkas dan melompat mulus.
"Aku tak menduga akan semudah itu," gumam Beth bangga. "Ayo, kendaraan kita ada di—"
Sebuah alarm keras berbunyi memekakkan telinga, mengejutkan Arietha yang mendapati gerbang di belakangnya terbuka. "Lari!" pekik Beth saat tentara android berhamburan keluar dan menembaki mereka dengan laser. Mereka baru menyadari bahwa ada sensor tak kasat mata di luar gerbang yang mendeteksinya. Tentu saja! Pikir Beth sambil merasa bodoh.
Jantung Arietha berdebar-debar, saat dia merunduk atau meroda untuk menghindari serangan. Beth memimpin mereka menuju kawasan rongsokan tempat dua buah motor levitasi yang besar, segera menaiki salah satunya dan menyalakan mesin diikuti cahaya lampu. Arietha naik di kursi belakang motor Roger, ketika Beth telah melaju di depan sebelum tersusul juga. Dua motor itu mengebut gila-gilaan, melayang di atas jalan beraspal setengah hancur, sementara tentara android mengejar.
"Bagaimana bisa ada motor!?" jerit Arietha heran setengah mati.
"Aku punya banyak kenalan dan jalur gelap," sahut Roger santai. "Pegangan yang erat, Beth akan menaikkan kecepatannya."
Mereka terus melaju menembus kabut malam dan dingin yang menusuk tulang, hingga tiba ke jalur bulevar yang di kanan-kirinya terdapat reruntuhan bangunan. Tentara android itu sudah tidak bisa menjangkau mereka lagi. Bahkan saat kendaraan motor dan mobil mereka telah dikerahkan, anak-anak itu sudah sangat jauh. Pasti butuh waktu lebih untuk menyambangi mereka.
"Yahoo!" seru Beth ketika angin menerpa rambutnya yang tergerai, hampir-hampir dia berpikir untuk atraksi dengan melepas kedua tangan. Tapi, Beth tahu dia masih ingin hidup. Sementara Roger sudah sejak awal berkendara sebelah tangan, kadang membuat Arietha di belakangnya meringis ngeri.
Mereka terus melakukan perjalanan hingga sampai di persinggahan yang cukup jauh dari markas-markas Endsburg di Festherchapel. Jauh dari penjara neraka yang menuntut mereka selama ini.
[]
"Selamat pagi, Bocah Hebat," sapa Beth ketika Arietha mengerjap. Dia tertidur bersandar di sebuah tembok, berhasil selamat dalam malam yang dingin hanya dengan mantel tebal. Arietha meregangkan tubuhnya dan beranjak mengikuti Beth.
"Kamu masih menyimpan Modifier?"
"Ya."
Beth mengeluarkan pisau dari sakunya, seketika membuat Arietha terperanjat, tapi kemudian Beth mengangkatnya pada helai-helai rambut. Beth memangkas rambut panjangnya di bawah telinga, lalu memberikan pisau itu pada Arietha. "Untuk dirimu yang baru."
Arietha berpikir sejenak, sebelum menerimanya dan mengikuti gerakan Beth. Dia memangkas habis rambutnya hingga bermodel cepak. Kemudian, merekatkan Modifer di bawah pergelangan tangan dekat siku. Seketika itu juga, warna auburn gelap merambat ke rambutnya yang pirang abu. Iris matanya berubah dari biru topaz menjadi ambar cerah. Ketika Arietha mendekati kaca sebuah toko yang telah pecah sebagian, dia sudah tak mengenali pantulan di hadapannya.
"Gaya yang ini lebih menunjukkan dirimu sekarang," tutur Beth. "Seorang pemberontak."
Kemudian, Beth menggunakan pisaunya untuk melakukan hal mengejutkan. Dia merobek pelipisnya sendiri sebelum mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah chip. Sedikit meringis, dia membersihkan bekas goresan itu dengan air, meneteskan obat dan memplesternya. "Ini akan memudahkan Endsburg melacak kita. Aku sarankan kamu juga menyingkirkannya."
Arietha memandang pisau yang telah dibersihkan itu dengan takut-takut, tapi Beth menepuk pundaknya. "Ini memang mengerikan. Mungkin agak sedikit sakit. Tapi, setidaknya untuk keamanan kita."
Maka, Arietha dengan jantungnya yang berdebar-debar, mulai melakukan hal yang sama. Dia menggerang meski berhasil mengeluarkan chip itu dan segera diobati oleh Beth. Kepalanya jadi agak pening, tapi lebih baik daripada Endsburg menemukannya dengan cepat.
"Hei, apa kalian sudah selesai?" Roger turun dari pelataran atap sebuah toko, menggigit sebuah apel yang entah dari mana dia dapatkan. "Ayo berangkat."
Beth menaiki motornya. "Tujuan kita akan berbeda mulai dari persimpangan di depan plaza. Apa kamu bisa mengendarai motor?"
"Aku hanya pernah menaiki sepeda listrik," kata Arietha jujur.
"Lucu sekali," celetuk Roger. "Aku jadi kepingin."
"Mungkin tidak terlalu jauh berbeda, tapi tetap saja susah jika belum menguasai cara kerjanya." Beth menyalakan mesin. "Begini saja. Kamu ingin ke St. Haliholde, bukan? Kami bisa mengantarmu sejenak."
"Jika kalian tidak masalah, baiklah," jawab Arietha.
Pagi itu, mereka memulai perjalanan di antara gedung-gedung separuh hancur yang membuat Festherchapel tampak seperti metropolis mati. Terkadang, mereka bertemu pasukan tentara android yang berpatroli dan terlibat adu tembak (Roger menyimpan sebuah pistol), tapi mereka akan berhasil lolos. Hingga akhirnya, mereka tiba di St. Haliholde yang lengang dan berkabut.
"Semoga sampai tujuan," kata Beth. Dia tersenyum.
"Kalian juga," Arietha mengangguk, "terima kasih banyak."
Mesin motor kembali menyala, dan Arietha memerhatikan kedua anak muda itu berkendara menjauh. Hilang di ujung jalan meninggalkannya sendirian. Meskipun terkadang Arietha berpikir apa alasan Beth ingin membantunya, sekarang tidak penting lagi. Yang jelas, Arietha sudah di St. Haliholde. Dan dia tinggal menemukan pintu gorong-gorong di belakang sekolah.
Namun, ketika dia mulai berjalan di antara keheningan yang ganjil itu, terdengar derap langkah mendekat. Arietha berbalik dengan cekatan, namun dia terlanjur ditangkap oleh seorang pria. Tidak hanya satu, dia bersama dua orang lainnya. Dari seragam yang khas, Arietha tahu bahwa mereka adalah petugas di kampnya yang kemarin.
"Lepaskan!" teriak Arietha. Dia meronta-ronta, namun kekuatannya masih kalah. "Kalian bawahan Marcus biadab!"
Ketiga pria itu tertawa. Yang menahan Arietha berbisik di telinganya. "Kami tidak ada urusan dengannya. Kami hanya membuat perjanjian dengan anak-anak itu untuk memberi mereka jalan keluar. Dan imbalan yang sepadan seperti gadis kecil."
Arietha melotot. Beth? Roger? Apa mereka menjadikan Arietha sebagai tumbal!? Arietha menggeram, tangannya terkepal kuat. Dia dikepung oleh tiga pria yang entah memiliki tujuan apa. Tapi, Arietha bukan gadis kecil biasa. Arietha sudah berkelahi dengan banyak orang. Arietha sudah berlatih paling keras agar bisa menjadi kuat. Menjadi tentara.
Dan orang-orang ini, tentu tidak akan menghalanginya.
"Argh!" pria yang mendekap Arietha memekik ketika tangannya digigit keras, disusul erangan lainnya ketika Arietha mengayunkan kaki ke belakang—menendang selangkangannya.
Arietha melompat setelah lepas dari pegangannya. Dia beralih menghadapi dua pria lain yang mulai menerjang, bertahan dan melepaskan semua teknik bela diri yang dipelajarinya. Dalam beberapa waktu, kedua orang itu tumbang. Arietha berlari sekencang yang dia mampu, sementara ketiga orang itu mulai menaiki motor mereka yang tersembunyi di balik reruntuhan gedung.
Tidak akan sempat! Pikir Arietha. Dia tak bisa terus berlari, terpaksa mencari tempat bersembunyi. Dia memasuki salah satu apartemen yang masih separuh berdiri, menemukan sebuah lubang di bawah tanah dan tertutup puing-puing atap besar. Arietha menahan batuknya ketika debu-debu berebutan masuk, dia berusaha terbiasa dalam kegelapan. Jantungnya berdegup-degup.
Hatinya hanya bisa berharap cemas, ketika bunyi motor terdengar mendekat. Derap langkah di atasnya membuat Arietha gemetar. Dia mendengar para pria itu merutuk-rutuk dan mengatakan hal kotor, sebelum kemudian mendapat panggilan untuk segera berkumpul. Kemudian, orang-orang itu terdengar menjauh. Arietha yang masih meringkuk, bernapas lega. Mendadak saja dia menangis penuh ketakutan. Sakit hati, sekaligus rasa benci yang terus tumbuh dalam dirinya.
Ketika keadaan aman, dia keluar dari lubang kecil di bawah puing-puing itu. Berjalan sempoyongan menuju pekarangan belakang sekolah, membuka pintu gorong-gorong menuju Scramton.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro