20 - Militer Intermiran
Setahun yang lalu pada musim dingin lainnya ...
SANGAT jelas.
Rasa sakit itu sangat jelas, menggelenyar dari banyak titik ke seluruh tubuhnya. Membuatnya tak mampu bergerak banyak, hanya bertahan dalam napas yang terus menipis, menahan erangan, sementara uap-uap berhamburan dari mulutnya akibat udara dingin yang merayap. Arietha perlahan meraih kesadarannya, menatap sekeliling ruangan tempat dia terkurung nelangsa.
Cahaya pagi berselingan masuk dari kis-kisi jendela, menerpa Arietha yang terlentang di lantai Gehenna. Dia merasakan bahwa kontainer itu sedang bergerak, sesekali terguncang pelan. Anak-anak yang lain masih sama keberadaannya di dalam petak masing-masing. Yang berbeda adalah tidak ada seorang gadis yang serupa dengannya di petak seberang. Alphia telah pergi. Setidaknya, dia bisa selamat setelah Marshall memberitahu jalan pada mereka secara bergantian.
Gehenna berhenti, membuat semua anak serentak terdorong ke samping, beberapa nyaris terjungkir. Pintu besi terbuka. Jostein, yang masih berdiri sebagai sipir, membentak anak-anak agar mereka berbaris teratur saat jeruji listrik terbuka. Mereka terpaksa patuh jika tidak ingin ditembak mati saat itu juga, atau dipukuli dengan senapan. Arietha berjalan di paling belakang, dengan kondisinya yang amat sangat buruk, terhalang suram wajahnya.
Mereka digiring menuju sebuah kamp lainnya yang lebih agak berbeda. Tenda-tenda seadanya (bukan yang modern dan bersih seperti di kamp para tentara), terbuat dari kain mota tebal dan lusuh. Ternyata, sebagian penduduk Festherchapel berlindung di sana. Ada boks-boks sanitasi, sandang dan bahan pangan. Tapi, dari tampilan luarnya saja, Arietha tahu seberapa rendah kualitas barang-barang itu.
Sebagian anak dan orang dewasa yang terluka mengantre untuk diperiksa, diobati ala kadarnya saja. Termasuk ketika giliran Arietha, luka-luka tembak di pundak atau kakinya hanya diberi sedikit antiseptik, diperban dengan keras. Dia meringis. Tapi, para perawat dadakan dari pihak Endsburg itu tidak ingin peduli lebih jauh. Mereka hanya mengerjakan tugas dan dapat upah, bukan karena keinginan hati sendiri.
Setelah anak-anak dari Gehenna itu membaik, mereka dikumpulkan pada tanah lapang menjelang sore untuk disortir berdasarkan usia. Anak-anak yang terlalu muda akan dipisah sendiri dalam kelompok kacung, sementara yang berusia tujuh belas tahun ke atas dikumpulkan dalam tugas yang lebih berat. Arietha, entah bagaiaman tapi disingkirkan ke barisan para pemuda-pemudin itu, tidak dengan anak-anak seusianya. Seorang pria berdiri tegap di hadapan mereka. Berbicara dengan suara lantang dan raut berang. Seolah jika seekor kelinci datang kepadanya, tentu akan dia injak dengan sepatu bot keras berduri.
"Aku Lorado, komandan Empat tentara bagian Festherchapel. Sekarang kalian berada penuh di bawah kendali kami. Tidak berhak lagi untuk bertindak tanpa arahan resmi. Kalian akan ditempa menjadi pasukan untuk berada di blok Endsburg saat peperangan selanjutnya. Mengerti!?"
Seluruh anak remaja itu bergeming, banyak alis yang masih tertekuk dan hati yang ingin memberontak. Termasuk Arietha, meski dia tak mengerti kenapa ada di sana, tapi tangannya terkepal erat. Giginya bergemelatuk.
"AKU TANYA APA KALIAN MENGERTI!?"
"Mengerti!" teriak seluruhnya, setelah bentakan itu seperti menyetrum bagian kecil dalam diri mereka secara refleks.
Lorado memerintahkan anak buahnya untuk mengatur mereka ke dalam truk-truk khusus, yang akan mengantar mereka ke tempat pelatihan di sisi barat Festherchapel. Ketika Lorado melihat Arietha, dia melotot sangat besar sampai-sampai matanya akan mencelat keluar.
"ASTAGA!" pekiknya sambil menarik kerah mantel Arietha. "Apa yang kau lakukan di sini, Bocah!? Pergi ke kelompokmu!"
"Tahan, Lorado," kata sebuah suara berat dan bengis. Seorang pria berwajah keras tiba di sana dengan seorang asisten dan android pengawal. "Dia memang diletakkan di Unit Y."
Lorado tercengang, melepaskan cengkeramannya dari Arietha yang mendengus. "Perintah dari mana?"
"Dariku."
"Apa ini sejalan dengan perintah Ketua?"
"Kamu tahu aku tidak pernah menyimpang darinya," tegas Marcus. "Lagipula, dia menginginkan semua anak yang berpotensi. Kita mengutamakan kualitas untuk calon pasukan, bukan usia."
"Baik, aku tak bisa apa-apa," Lorado meringis, "kau! Cepat masuk ke truk yang di sana!" bentaknya pada Arietha.
Tapi, gadis itu tidak segera menuruti perintah. Dia menyalang pada Marcus seiring kepalan tangannya bergetar menahan amarah. "Di mana ayah dan ibuku!?"
Marcus yang lebih tinggi kekar darinya melirik ke bawah penuh cemooh. "Kamu sudah selamat, kenapa perlu menanyakan mereka?"
"Kembalikan ayah dan ibuku!" Arietha menggerang dan akan menerjang Marcus dengan tinjuannya ketika Lorado yang cekatan menendang tubuh Arietha. Dia terhempas ke tanah dengan suara yang menyakitkan, menarik perhatian semua orang. Kebanyakan anak remaja itu terpegun, tapi tak mampu berkutik.
"Kurang ajar!" hardik Lorado. Dia mendelik pada Marcus. "Anak seperti ini punya potensi apa selain menghancurkan kita!?"
Arietha memaksakan dirinya untuk bangkit, kembali hendak menyerang Marcus tapi Lorado menendangnya untuk ke sekian kali. Gadis itu terbatuk-batuk, jantungnya berdegup kencang ketika seluruh rasa sakit menerjang, menuntutnya untuk segera mati. Meski bibirnya gemetar, dan air mata nyaris menggenang di pelupuk matanya, Alphia tetap kembali bangun. Kali ini, dia hanya diam sempoyongan.
"Dia tidak seperti bocah sepantarannya," tukas Marcus. "Bawa dia dengan mereka, pastikan dia dilatih sekeras mungkin." Kemudian, pria itu berbalik melenggang pergi.
"Untuk apa Anda melakukan ini?" lirih Arietha. "Apa yang Anda harapkan dari seseorang yang sangat membenci Anda!?"
"Aku hanya ingin ayah dan ibuku! Beritahu aku di mana mereka!"
"Diam!" hardik Marcus. "Tidak usah lagi menanyakan tentang orang-orang yang sudah mati. Sekarang, hadapilah tugasmu sekarang."
Arietha terbelalak. Lututnya serta merta lemas seperti tak bertulang, membawanya nyaris jatuh jika tidak menjaga keseimbangan. Air matanya telah berderai. Tapi, Lorado segera menyeretnya menuju truk, mendorongnya ke dalam. Arietha terhempas di sudut ruang truk ketika pintunya dibanting tertutup. Dia menekuk lutut dan menangis sejadi-jadinya, sementara para remaja yang telah duduk di dalam, menyaksikan segalanya, hanya mampu diam seolah mereka tidak tahu apa-apa.
[]
Sudah berlalu bulan-bulan dingin ketika salju turun, kini mereka meleleh sempurna dan meninggalkan rerumputan hijau, dan pepohonan yang kembali hidup. Tapi, tentu saja di Festherchapel semua itu hanyalah mimpi semu. Bahkan ketika musim dingin telah berlalu, udara masih sengit menggigit. Jalanan-jalanan dan gedung masih rusak, menyajikan metropolis mereka seperti telah lama mati. Dunia dari mata Arietha masih kelabu, bahkan saat matahari bersinar terik memanggang para pemuda yang dilatih keras di tengah lapangan.
Gadis itu setelah cederanya berkurang, dia mendapatkan energi yang semakin kuat. Ditambah pelatihan ketat puluhan hari, sejak pagi sampai sore, dengan banyak pengolahan fisik, penggunaan senjata berat, sampai pertarungan tangan kosong. Pemuda-pemudi itu berkembang pesat dan bisa menjadi kuat, menyandang gelar pantas sebagai tentara. Namun, tidak lumrah ketika salah satu di antaranya hanyalah seorang bocah yang juga bisa mengimbangi mereka.
"Aku cukup terpukau padamu," kata seorang gadis yang lebih tua beberapa tahun dari Arietha, ketika dia menghampirinya yang sedang meminum air keran. Beth sudah lama memerhatikan Arietha, hari pertama perekrutan militer intermiran. "Dan tentu saja banyak di antara kami, tak hanya aku."
Arietha tak menanggapi. Dia tak butuh kalimat terpukau padanya. Dia hanya butuh keluarganya kembali, seberapa mustahil itu.
"Apa kamu sudah benar-benar berpihak pada mereka?"
Arietha tersentak. Dia mengelap mulut, lalu menegakkan punggung. "Siapa kamu?"
"Oh," Beth tertawa getir, "aku bukan mata-mata siapa pun. Tidak, bahkan jika itu suruhan Lorado atau yang lain."
"Aku berusaha percaya."
"Kamu harus," kata Beth. "Jadi, apakah kamu benar-benar berpihak?"
"Tidak." Arietha menerawang ke belakang pundak Beth, ke lapangan tempat para remaja lain sedang berlatih. "Sama sekali."
"Sudah kuduga," Beth menghela napas lega, "apa kamu tahu? Teman-temanku semuanya nyaris telah berpihak. Mereka luluh dengan berbagai hak istimewa yang diberikan jika menunjukkan pembelaan besar terhadap Endsburg. Aku memaklumi itu, karena dalam hidup susah begini, penawaran kemudahan memang sangat menggoda."
"Aku tidak memaklumi itu," sanggah Arietha. "Mereka tidak memiliki pendirian. Mereka tidak benar-benar mencintai Adargan. Karena jika mereka sungguh membenci penjajah, ketika disuruh mencium emblem Endsburg atau mati dipenggal, mereka pasti memilih yang kedua."
Beth termenung. "Aku sangat ingin tahu dari keluarga mana kamu berasal."
"Keluarga sederhana," kata Arietha. "Yang hanya butuh ... untuk saling bertemu."
"Ah, kupikir bukankah—"
"Ya, mereka telah tiada," sela Arietha. "Tapi, aku masih memiliki saudari yang berhasil lolos dari penyerangan pertama."
"Apakah dia masih hidup?"
"Aku yakin dia masih hidup," Arietha mengulum bibir, "seberapa tidak percayanya dia dengan dirinya sendiri, aku yakin dia mampu bertahan hidup. Dia pasti sudah tiba di tempat yang aman."
"Tidakkah kamu berpikir untuk menemuinya? Maksudku, dia keluargamu satu-satunya," tanya Beth serius. "Aku juga sudah sebatang kara kalau saja adikku tidak selamat. Dia berhasil dibawa ke pengungsian."
"Tunggu. Bukankah pengungsian di Necroshire hanya hoaks?"
"Tentu saja bukan di sana. pengungsian di bawah pemerintah Adargan ada di Wickhenhills. Itu terjamin sangat aman dan layak. Tanpa pelatihan militer, tanpa serangan-serangan lain. Terkhusus untuk kesejahteraan penduduk yang terlibat agresi Endsburg."
"Saudariku tak berada di sana. Dia ada di tempat lain ... sama jauhnya dari sini menuju Wickenhills."
"Tidak masalah. Yang penting kita sama-sama keluar dari sini meski nantinya akan berpisah."
Arietha melotot. Diam-diam, dia mengawasi keadaan sekitarnya jika ada petugas yang datang. "Keluar?"
"Keluar," ulang Beth. "Tapi, kita harus menyamarkan identitas. Aku memiliki sesuatu yang bisa merubah fisik kita seperti rambut atau mata. Ini diseludupkan oleh salah satu temanku, dan yah, memang kualitasnya tidak terlalu bagus—terkadang konslet. Tapi, ini lebih baik daripada tidak sama sekali."
Beth mengeluarkan sesuatu dari saku celana tentaranya, meletakkan sebuah stiker lingkaran kecil mirip lensa mata ke tangan Arietha. "Ini Modifier. Lekatkan saja di salah satu bagian kulitmu yang tertutup pakaian, dan dia akan merubah warna fisikmu secara otomatis. Kelemahannya adalah kamu harus menerima warna apa pun itu."
Ketika Arietha ingin menempelkannya di balik pergelangan tangan, Beth mencegah panik. "Hei, jangan sekarang. Kamu ini bagaimana, sih? Tentu saja kamu akan segera ditangkap, karena data kita sudah mereka simpan."
"Maaf," kata Arietha. "Kata saudariku, aku memang agak picik."
"Kebiasaan picik itu harus sangat dibuang." Beth mengencangkan ikat rambutnya. "Kita akan buat rencana keluar dari sini. Aku, kamu, dan temanku si tukang penyeludup barang itu. Namanya Roger. Dia tidak gila, tapi kamu akan menemukannya banyak bertindak aneh. Jadi, biasakanlah."
[]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro